Ehm! Maaf, saya permisi ke belakang sebentar."Nah, itu suara Mbak Mira. Mbak Mira mau kemari, artinya aku harus segera sampai kamar. Kuangkat kaki dengan kecepatan seribu, menghilang lesat ke dalam kamar. Dengan segera kurebahkan diri di atas ranjang dan menarik selimut. Siapa tahu sebentar lagi, Mbak Mira akan masuk ke kamar ini.Detik-detik rasanya aku bisa menghitung langkah Mbak Mira yang kini berjalan menuju kamarku.Ya Allah, rasanya lebih baik menderita karena harus mengubur cinta untuk Mas Fandy daripada mengetahui kenyataan bahwa yang dilamar hari ini aku bukan untuk Mbak Mira.Aku harus bagaimana ya Allah?Jantung masih tak karuan detakannya, dan semakin menjadi tatkala tahu Mbak Mira kini masuk ke dalam kamar."Kamu udah tidur?"Mbak Mira?Aku menyibak selimut yang menutupi tubuh hingga kepala."Belum Mbak, kepala sakit sekali jadi sulit untuk terpejam.""Udah minum obat?""Belum Mbak."Mbak Mira melangkah masuk lebih jauh lalu mengambil obat di dalam kotak P3K yang ada d
"Berdasarakan pemeriksaan kecocokan DNA antara saudari Sabrina dengan Bapak Fadly yang dilakukan tanggal .... Dengan ini, hasil dari pemeriksaan tersebut dinyatakan positif," ucap sahabat Pak Fadly melalui video call sehari setelah Nyonya Siska diketemukan.Seluruh yang hadir di ruang rawatan Pak Fadly mengucap takbir menyebut kebesaran Allah, termasuk aku. Dua puluh tahun, ternyata jika Allah sudah berkehendak, semua akan terbongkar. Bu Dina memelukku erat, air mata haru membanjiri wajahnya. Dia yang sempat percaya saat Pak Fadly menyuruhku berbohong, kini terlihat begitu lega. Sebab beberapa waktu sudah tahu jika aku dan Pak Fadly bekerja sama, sedang hasil test DNA nya belum keluar."Sabrina, kemari Nak."Pak Fadly memintaku mendekatinya. Selama ini, setelah semua yang dilakukan Nyonya Siska terbongkar. Meski tes DNA belum keluar, Pak Fadly sudah memintaku agar memanggilnya dengan sebutan Ayah, dan diapun selalu memanggilku dengan sebutan Nak. Namun tetap saja, aku masih begitu m
Kami duduk di sebuah kursi yang terletak di pinggiran tempat parkir, suasana begitu sejuk sebab disekelilingi oleh pepohonan. Kurasa inilah tempat terbaik untuk berbicara, setidaknya tidak ada satu orangpun yang kemungkinan akan memergoki. Aku tak ingin Mbak Mira tersakiti hatinya jika tahu Mas Fandy sampai menemuiku di kampus ini."Apa kabar?"Dia membuka dengan pertanyaan yang membuat hati berdebar tak menentu."Baik. Mas Fandy sendiri apa kabar?""Alhamdulillah, saya kurang baik.""Kurang baik? Tapi jika dilihat dari luar, sangat baik kok," selorohku yang tak bisa menjaga suara. Aduh ...Dia tersenyum, senyum yang membuat hati meleleh. Bisakah ya Allah aku terus menikmati senyumnya? Huhft ..."Dari luar memang baik, tapi tidak dari dalam. Eh, ohiya, selamat ya," ucapnya kemudian sembari menatapku."Selamat untuk apa, Mas?""Selamat untuk hasil tes DNA-nya. Saya ikut senang.""Alhamdulillah, Mas.""Huh, puluhan tahun, Allah Maha Luar Biasa."Aku tersenyum."Itu Asmaul Husna yang ke
POV FadlyBegitulah kiranya anak-anak, ketika lelaki yang diciptakan Allah tidak hanya satu, tapi kenapa dua anak perempuanku terlibat dengan satu lelaki yang sama?Meski terlihat tidak adil karena aku tak membiarkan Sabrina memberi keputusan, justru langsung menolak lamaran Pak Pramudia. Tapi kuharap inilah yang terbaik. Semua kulakukan tersebab tak ingin hubungan kakak beradik itu rusak hanya karena lelaki.Selama sebulan ini, tak ada cacat pada hubungan mereka. Yang kutakutkan sebelumnya akan sering beradu mulut, tapi ternyata mereka justru begitu akur.Sebab itulah aku memutuskan untuk tidak menerima lamaran tersebut untuk saat ini dan meminta waktu hingga empat tahun. Kupikir empat tahun, cukup untuk seseorang melupakan dan mentransfer perasaan cintanya kepada orang lain. Dan harapan besarnya adalah setelah empat tahun itu, Mira sudah move on dari mencintai Fandy. Tapi pada mereka berdua, aku tak perlu jujur bukan? Niatku baik, jika selama empat tahun tersebut ternyata mereka j
POV Sabrina[Alhamdulillah Mas lulus ....]Sebuah pesan yang dikirim saat aku berada di rumah Bu Asti, empat tahun yang lalu. Karena penasaran, kubalas juga pesan itu.[Lulus apa, Mas?][Mas ikut program Nusantara Sehat. Dan Alhamdulillah Mas lulus dan akan ditempatkan di Kepulauan Anambas, Riau.]Deg. Jantungku seketika berdegup kencang. Jadi Mas Fandy akan pergi jauh? Untuk berapa lama?[Alhamdulillah selamat ya, Mas. Semoga Mas bisa mempraktekkan ilmu yang sudah ada dengan sebaik-baiknya.]Aku masih bersikap tenang, meski sejujurnya ada rasa berat mendengar berita ini. Kenyataannya, meski mulut sudah menyatakan agar Mas Fandy tak menghubungi selama empat tahun ini, tapi hati seolah berkata lain. Ia ingin terus memberi dan mendapat kabar dari lelaki itu.[Makasih, ya. In Syaa Allah besok kami diberangkatkan. Kamu mau pesan sesuatu nggak untuk Mas?]Aku tercenung sejenak, pesan apa? Masak iya harus meminta agar setelah pergi, ia tidak lupa untuk pulang, atau meminta agar setelah per
POV MiraSiang itu juga kami berangkat ke Solo. Papa dan Mama ikut mengantar. Sepanjang perjalanan aku tak henti menangis. Meski mama sudah minta untuk tenang, tapi tetap saja air mata ini tumpah bagai kucuran air hujan.Dua jam perjalanan, akhirnya kami sampai di rumah sakit. Papa segera menanyakan keberadaan Mas Sabri pada perawat jaga. Dengan langkah cepat kami segera menuju ruang rawatan.Sesampai di depan ruangan. Mama kembali meminta agar aku menarik napas dan bersikap tenang. Ya Allah, apa mereka tidak tahu bagaimana khawatirnya hati ini? Sungguh, aku tak ingin terjadi sesuatu pada Mas Sabri, aku terlanjur sangat mencintainya. Jika ia tiada, entah bagaimana nasibku ...Papa membuka pintu, hingga nampaklah sosok lelaki yang amat kurindukan selama ini."Mas Sabri ...."Lelaki itu tersenyum menyambut kedatanganku. Kaki ini terangkat hendak berhamburan memeluknya, tapi papa menahan gerakanku."Ingat Mira, kamu masih masa pingitan."Huh!Seketika tubuh ini lemas, papa hanya membole
"Pak Sabiq, lelaki itu adalah ayah kandungku."Kejadiannya sebulan yang lalu, kata papa seorang lelaki yang wajahnya sangat mirip denganku datang menjenguk mama ke rumah sakit. Papa berhasil memergoki lelaki itu.Mereka berbicara. Dan lelaki itupun jujur, perihal rahasia yang tidak pernah dibicarakan mama selama dua puluh tahun lebih pernikahannya dengan papa.Puluhan tahun yang lalu, sebelum mama sah menjadi istri papa, dia dan mama pernah hidup bersama. Ah, sakit hati jika mengingat semua itu. Tapi bukankah Allah saja Maha Pemaaf? Harusnya akupun sudah memaafkan kekhilafan kedua orang tuaku itu. Tapi kadang, syaitan terus membisikkan kata mujarabnya, agar aku membenci mereka. Bersyukur, Alllah memberiku orang-orang terdekat yang kadar imannya sangat terjaga. Saat aku putus asa, papa, mama dan Sabrina, selalu menyemangati. Bahkan saat aku merasa tak lagi ada yang mencintai. Ternyata, Allah kirimkan Mas Sabri, lelaki yang selalu membiusku dengan angan membangun syurga kelak bersaman
"Duduknya dekat lagi, Mbak."Kugeser posisi duduk mendekati Mas Fandy, sesuai instruksi dari photografer. Rasa bahagia bercampur haru menyeruak di dalam dada. Ya Allah, inilah hari yang paling kutunggu-tunggu seumur hidup. Memandanginya tanpa takut dosa, menyentuh kulitnya tanpa takut dilaknat malaikat. Serta yang paling tak bisa kubayangkan, sebuah kecupan kening untuk pertama kalinya juga kurasakan di hari ini."Ditahan dulu ya Mas posisinya."Ucapan itu didengungkan oleh sang fotografer saat bibir Mas Fandi menyentuh keningku. Bisa kalian bayangkan gimana rasanya? Saat benda kenyal berwarna ranum itu sedang mengecup penuh keromantisan, namun seseorang justru meminta agar perlakuan tersebut dipertahankan. Seketika suasana romantis digantikan oleh kecanggungan.Mas Fandy menarik wajahnya lalu kami saling terkekeh."Yah Mas, tadi hasil fotonya kurang bagus. Yuk sekali lagi."Sang fotografer kembali menyemangati. Sedang di sekeliling, sanak keluarga termasuk Mira Dan Mas Sabri menan