"Mas Fadly ..."Mendengarnya memanggil, aku segera berbalik. Wajah Dina tengah menatapku lekat. Entah apa yang mendorong, tubuh ini lekas berhamburan memeluknya. Dina melakukan perlawanan kecil. Tapi aku tak menyerah."Saya menunggumu, Mas. Terus menunggu, tapi kamu tidak pernah datang ...."Dia berusaha melepaskan diri, tapi pelukan semakin kueratkan."Din ... Mas mencarimu kemanapun. Tapi seolah lenyap, Mas tidak sama sekali menemukanmu dimana-mana. Tolong maafkan Mas Din, Mas sudah semaksimal mungkin berusaha. Bahkan doa tak pernah henti Mas degungkan."Bukan hanya Dina yang berurai air mata, tapi diri ini. Kukecup wajahnya, lalu mengakhiri dengan mengecup puncak kepala. Dina masih terisak.Pelan tangan kugunakan untuk membuka jilbab yang masih dia kenakan tapi mendadak Dina menahan tanganku."Jangan sentuh saya, Mas.""Saya suamimu, Din."Dia mengeleng-gelengkan kepala. Kini mulai meringkuk. Ya Rabb, dosa jika aku memaksa mendapatkan apa yang kuinginkan sedang secara psikologis,
[Bagaimana Dok, saya harus bilang apa?]Aku menghela napas berat, sepertinya sudah tidak ada lagi yang perlu kututupi. Bukankah Dina sudah sehat? Maka Siska harus tahu masalah ini. [Katakan pada Nyonya Siska, saya akan pulang. Kurang lebih satu jam lagi, saya sampai di rumah.][Baik, Dok.]Kini pandangan Dina tertuju padaku saat tangan memindahkan ponsel di telinga kembali ke dalam saku."Yang nelpon ini Siska. Kamu masih ingat?" ucapku menjawab tanya yang terpancar dari sorot matanya.Dina tampak terhenyak. Lalu memilih kembali duduk di ranjang. Aku yang menyaksikan jadi merasa khawatir."Kamu mau 'kan ketemu sama Siska?"Dina mengangkat wajah, dua bola mata coklatnya menatapku lemah."Mas sudah berbahagia dengan kehidupan Mas yang sekarang, saya tidak ingin hadir sebagai pengganggu. Bisakah Mas pertemukan saya dengan anak saya tanpa harus kembali hidup bersama kalian?"Pertanyaan Dina seperti membebat seluruh harapanku. Bukan ini yang aku inginkan, tapi?"Tidak, Din? Kamu dan anakm
"Kamu lihat yang duduk di sofa itu?"Aku membelalak, menatap jauh ke dalam ruang keluarga. Seorang wanita duduk membelakangi. Siapa dia? Kenapa daritadi perasaanku aneh begini?"Siapa wanita itu, Pak?""Jika hasil DNA menunjukkan positif kamu anak saya, maka wanita yang duduk di dalam sana nantinya akan menjadi ibu biologismu."Dadaku tersentak, jadi kemungkinan wanita itu adalah ibuku? Ya Allah, akhirnya, tapi semua belum terbukti ..."Kamu ingin bertemu dengannya?""Emang boleh, Pak?""Tentu saja boleh. Saya membawa dia kemari memang tersebab dia ingin sekali bertemu denganmu. Tapi saya harapkan satu hal Sabrina. Mengakulah bahwa memang benar kamu anak kami, meski hasil test DNA itu belum keluar."Aku menghela napas."Bagaimana kalau hasilnya menunjukkan bahwa saya bukanlah anak Bapak?"Sejenak suasana dikuasai keheningan. Pak Fadly menarik napas."Kamu tetap akan menjadi anak angkat kami."Mataku kembali membelalak. Kenyataan apa lagi ini? Haruskah aku berbahagia? Atau justru sebal
Bu Asti mengurungkan niat untuk masuk lalu mendekati Bu Dina. Dia meraba-raba seluruh wajah Bu Dina."Masya Allah, tidak ada yang tak mungkin jika Allah sudah berkehendak. Barakallah Ibu sudah dipertemukan kembali dengan Sabrina. Mari silahkan masuk. Maaf, saya tidak bisa melihat."Bu Dina menggenggam jemari Bu Asti. Lalu mereka duduk di atas karpet."Bagaimana ceritanya sampai bisa kamu menemukan ibu kandungmu, Sabrina?"Bu Asti bertanya dengan penuh kelembutan. Bu Dina seperti kebingungan, maka dengan cepat aku mengambil alih pertanyaan tersebut."Rumah yang saya tempati kini ternyata adalah rumah lelaki yang tak lain adalah ayah kandung saya sendiri, Buk.""Alhamdulillah ... Sudah takdirnya seperti itu. Lalu kemana beliau, kenapa tidak ikut mengantar?""Ceritanya panjang, Buk. In Syaa Allah besok saya akan ceritakan semuanya.""Emm, yasudah kalau begitu, ajak ibumu masuk ke kamar. Supaya bisa beristirahat. Pasti esok punya cerita yang lebih menguras pikiran."Aku mengangguk sembari
"Ya Allah, Nduk ... Ibuk benar-benar nggak ngerti sama semua yang kamu ucapkan," ucap Ibu seraya mencari topangan untuk berpegang."Ibu nggak papa, Buk?"Sepertinya kenyataan yang terjadi ini berhasil membuat ibu pusing."Ibu nggak papa, Nduk. Tapi Ibu benar-benar nggak bisa mengerti tentang semua yang kamu ceritakan ....""Yasudah kalau Ibu nggak ngerti jangan dipaksakan. Di depan ada tamu Bu, tamunya itu orang yang kemarin Ibu tanyakan. Pak Fadly, majikan saya.""Alhamdulillah, jadi beliau ikut menyusul, Nduk?""Iya, saya yang nelpon Buk.""Apa sudah pasti Nduk, dia ayah kandungmu?""Tesnya memang belum keluar, Buk. Tapi kalau dicocokkan sama apa yang dilakukan Bu Siska dan ceritanya Pak Fadly serta Bu Dina, seratus persen saya yakin saya ini adalah anaknya, Bu.""Jadi Ibu sekarang harus gimana, Nduk?""Nanti Sabrina bakalan jujur sama Pak Fadly tentang siapa yang datang ke rumah tadi. Ibu tinggal jawab yang sebenarnya aja ya, Buk. Terserah kalau Pak Fadly mau percaya atau nggak. Ya
POV DinaSudah lima jam aku duduk di mushalla ini, entah berapa banyak sudah pengunjung lalu lalang datang dan pergi. Tapi tubuh ini masih saja betah duduk di atas sajadah sambil mengangkat kedua tangan. Pada-Nya aku memohon, kesembuhan dan keselamatan untuk suamiku yang kini sedang berjuang dalam koma.Pisau yang tak sengaja tertancap di perutnya, ternyata menembus usus halus. Operasi memang sudah dilakukan, tapi kesadarannya masih dalam genggaman Allah.Selama di rumah sakit jiwa, ibadahku rusak. Dua puluh tahun, semoga Allah mengampuni semua dosa-dosa itu. Tapi aneh, saat memulai kembali shalat setelah terbebas dari rumah sakit itu. Hanya beberapa kali diajar oleh perawat, aku sudah bisa mengucapkan seluruh doanya dengan sempurna.Aku kembali bersujud. Doa yang paling mudah diijabah adalah ketika seorang hamba sedang dalam posisi sujud. Maka kugunakan kesempatan ini untuk memanjatkan doa yang seluas-luasnya dan sebaik-baik doa. Kiranya, hanya Allah yang bisa mengabulkan dan membuat
Setelah sampai di rumah sakit, sebuah pesan tiba-tiba masuk ke ponsel Sabrina. Tapi kuabaikan sejenak karena keinginan menyampaikan berita tentang Siska terlebih penting untuk saat ini.Kuketuk pintu perlahan, lalu tak lama ruangan rawatan Mas Fadly terbuka perlahan."Ibu?"Sabrina nampak terhenyak dengan kedatanganku."Ibu nggak bisa tidur?""Bukan, Nak. Ada masalah penting yang mau Ibu sampaikan sama Ayahmu.""Masalah penting?""Iya, apa Ayahmu sudah tidur?""Belum, Bu. Ayah sedang menerima telpon dari salah satu sahabatnya di rumah sakit Cipto.""Masalah pemeriksaan DNA?""Iya, Buk. Yaudah Bu ayo masuk dulu."Lekas langkah ini memasuki kamar. Melihatku datang, Mas Fadly segera menutup telpon. Senyuman hangat menjadi penyambut kedatanganku malam itu. Akankah semuanya berganti gelisah, sesaat setelah aku mengabarkannya perihal Siska."Kematian, Din," ucapnya menunjuk kursi di sebelah ranjang. Aku menurut."Saya kemari karena ada hal penting yang ingin saya sampaikan pada Mas Fadly."
Ehm! Maaf, saya permisi ke belakang sebentar."Nah, itu suara Mbak Mira. Mbak Mira mau kemari, artinya aku harus segera sampai kamar. Kuangkat kaki dengan kecepatan seribu, menghilang lesat ke dalam kamar. Dengan segera kurebahkan diri di atas ranjang dan menarik selimut. Siapa tahu sebentar lagi, Mbak Mira akan masuk ke kamar ini.Detik-detik rasanya aku bisa menghitung langkah Mbak Mira yang kini berjalan menuju kamarku.Ya Allah, rasanya lebih baik menderita karena harus mengubur cinta untuk Mas Fandy daripada mengetahui kenyataan bahwa yang dilamar hari ini aku bukan untuk Mbak Mira.Aku harus bagaimana ya Allah?Jantung masih tak karuan detakannya, dan semakin menjadi tatkala tahu Mbak Mira kini masuk ke dalam kamar."Kamu udah tidur?"Mbak Mira?Aku menyibak selimut yang menutupi tubuh hingga kepala."Belum Mbak, kepala sakit sekali jadi sulit untuk terpejam.""Udah minum obat?""Belum Mbak."Mbak Mira melangkah masuk lebih jauh lalu mengambil obat di dalam kotak P3K yang ada d
Aku memandangi jas putih yang biasa digunakan suamiku saat bertugas. Dia sangat tampan ketika memakai jas ini. Menjadi istri dari seorang dokter, sungguh tak pernah ada dalam khayalan. Terlahir di panti asuhan, dirawat oleh wanita buta. Memiliki kedua orang tua utuh saja aku tak pernah mau membayangkan. Tapi ternyata, rahmat Allah itu pasti. Kebahagiaan buah kesabaran selama ini sempurna kurasakan sekarang.Tiga bulan sudah pernikahanku dengan Mas Fandy, tak satu kalipun dia membuat perasaan ini terluka. Dia benar-benar suami idaman. Lembut perangainya, santun suaranya bahkan setiap perlakuannya membuatku selalu merindui dan berharap ia cepat-cepat sampai ke rumah. Meski pada kenyataannya semua itu tak mungkin terjadi. Sebab sebagai seorang dokter, dia cukup sibuk dengan segala kerjaannya.Lebih sering sampai di rumah saat matahari sudah hampir tenggelam. Belum lagi kalau kena dinas malam, aku terpaksa tidur bertemankan bantal. Tapi yah sudah resiko menjadi istri seorang dokter. Mau t
Jika aku tahu, pertemuan itu adalah untuk kesempatan terakhir kita bertemu. Aku berjanji tidak akan beranjak, sekalipun di sana, pengantin lelakiku sudah menunggu. Maafkan anakmu, Mama.***Mas Sabri keluar dari kamar mandi, tubuhnya masih mengenakan kemeja lengan panjang. Dengan wajah yang tampak basah, lelaki itu berhasil membuat degup jantung ini berpacu kencang. Dia berjalan mendekatiku yang hendak membuka berbagai aksesoris di kepala.Mas Sabri menatap wajahku dari pantulan kaca cermin. Kedua tangannya diletakkan pada pundak. Sungguh, sesuatu semakin bergelenyar aneh di dalam dada."Biar Mas bantu."Cekatan tangan Mas Sabri memindahkan mahkota yang ada di puncak kepala. Sambil terus menatap di cermin.Lalu dia sedikit menekuk dan membalikkan posisi dudukku. Mas Sabri mengajak berdiri.Tatapan kami bertemu. Mas Sabri meminta ijin membuka khimar yang kugunakan. Dia menghela napas sesaat setelah penutup jilbab itu berhasil lepas dari kepala ini."Pertama kali lihat bidadari sedeka
"Kita jalan-jalannya naik motor aja mau nggak?"Mas Fandy bertanya setelah kami kembali ke kamar. Sehabis menikmati makan malam bersama. Kami juga baru selesai melaksanakan shalat isya berjamaah."Em, boleh juga Mas.""Asyik. Yuk ah pergi."Seketika Mas Fandy menggandeng tanganku. Membuat diri ini terhenyak dan menatapnya sejenak."Lo kenapa, 'kan udah halal. Seperti ini pun boleh."Tangan Mas Fandy yang tadinya memegang lenganku kini berpindah ke pundak. Aku hanya tersenyum, aneh jika menolak. Sebab benar kata Mas Fandy, kami sekarang sudah halal. Apapun itu boleh, kecuali yang satu itu. Belum siappp ...Kami melangkahkan kaki bersamaan, menuruni tangga namun terhalangi oleh papa dan mama."Lo pengantin baru mau kemana malam-malam?"Aku meremas jemari, ini semua ide konyol Mas Fandy. Harusnya kami di kamar saja, nonton mungkin atau tidur barangkali. Ck! Mbak Mira sama Mas Sabri aja stay di kamar."Kami mau cari angin segar, Pa. Em, pengen jalan-jalan keliling Magelang sama Sabrina.
"Duduknya dekat lagi, Mbak."Kugeser posisi duduk mendekati Mas Fandy, sesuai instruksi dari photografer. Rasa bahagia bercampur haru menyeruak di dalam dada. Ya Allah, inilah hari yang paling kutunggu-tunggu seumur hidup. Memandanginya tanpa takut dosa, menyentuh kulitnya tanpa takut dilaknat malaikat. Serta yang paling tak bisa kubayangkan, sebuah kecupan kening untuk pertama kalinya juga kurasakan di hari ini."Ditahan dulu ya Mas posisinya."Ucapan itu didengungkan oleh sang fotografer saat bibir Mas Fandi menyentuh keningku. Bisa kalian bayangkan gimana rasanya? Saat benda kenyal berwarna ranum itu sedang mengecup penuh keromantisan, namun seseorang justru meminta agar perlakuan tersebut dipertahankan. Seketika suasana romantis digantikan oleh kecanggungan.Mas Fandy menarik wajahnya lalu kami saling terkekeh."Yah Mas, tadi hasil fotonya kurang bagus. Yuk sekali lagi."Sang fotografer kembali menyemangati. Sedang di sekeliling, sanak keluarga termasuk Mira Dan Mas Sabri menan
"Pak Sabiq, lelaki itu adalah ayah kandungku."Kejadiannya sebulan yang lalu, kata papa seorang lelaki yang wajahnya sangat mirip denganku datang menjenguk mama ke rumah sakit. Papa berhasil memergoki lelaki itu.Mereka berbicara. Dan lelaki itupun jujur, perihal rahasia yang tidak pernah dibicarakan mama selama dua puluh tahun lebih pernikahannya dengan papa.Puluhan tahun yang lalu, sebelum mama sah menjadi istri papa, dia dan mama pernah hidup bersama. Ah, sakit hati jika mengingat semua itu. Tapi bukankah Allah saja Maha Pemaaf? Harusnya akupun sudah memaafkan kekhilafan kedua orang tuaku itu. Tapi kadang, syaitan terus membisikkan kata mujarabnya, agar aku membenci mereka. Bersyukur, Alllah memberiku orang-orang terdekat yang kadar imannya sangat terjaga. Saat aku putus asa, papa, mama dan Sabrina, selalu menyemangati. Bahkan saat aku merasa tak lagi ada yang mencintai. Ternyata, Allah kirimkan Mas Sabri, lelaki yang selalu membiusku dengan angan membangun syurga kelak bersaman
POV MiraSiang itu juga kami berangkat ke Solo. Papa dan Mama ikut mengantar. Sepanjang perjalanan aku tak henti menangis. Meski mama sudah minta untuk tenang, tapi tetap saja air mata ini tumpah bagai kucuran air hujan.Dua jam perjalanan, akhirnya kami sampai di rumah sakit. Papa segera menanyakan keberadaan Mas Sabri pada perawat jaga. Dengan langkah cepat kami segera menuju ruang rawatan.Sesampai di depan ruangan. Mama kembali meminta agar aku menarik napas dan bersikap tenang. Ya Allah, apa mereka tidak tahu bagaimana khawatirnya hati ini? Sungguh, aku tak ingin terjadi sesuatu pada Mas Sabri, aku terlanjur sangat mencintainya. Jika ia tiada, entah bagaimana nasibku ...Papa membuka pintu, hingga nampaklah sosok lelaki yang amat kurindukan selama ini."Mas Sabri ...."Lelaki itu tersenyum menyambut kedatanganku. Kaki ini terangkat hendak berhamburan memeluknya, tapi papa menahan gerakanku."Ingat Mira, kamu masih masa pingitan."Huh!Seketika tubuh ini lemas, papa hanya membole
POV Sabrina[Alhamdulillah Mas lulus ....]Sebuah pesan yang dikirim saat aku berada di rumah Bu Asti, empat tahun yang lalu. Karena penasaran, kubalas juga pesan itu.[Lulus apa, Mas?][Mas ikut program Nusantara Sehat. Dan Alhamdulillah Mas lulus dan akan ditempatkan di Kepulauan Anambas, Riau.]Deg. Jantungku seketika berdegup kencang. Jadi Mas Fandy akan pergi jauh? Untuk berapa lama?[Alhamdulillah selamat ya, Mas. Semoga Mas bisa mempraktekkan ilmu yang sudah ada dengan sebaik-baiknya.]Aku masih bersikap tenang, meski sejujurnya ada rasa berat mendengar berita ini. Kenyataannya, meski mulut sudah menyatakan agar Mas Fandy tak menghubungi selama empat tahun ini, tapi hati seolah berkata lain. Ia ingin terus memberi dan mendapat kabar dari lelaki itu.[Makasih, ya. In Syaa Allah besok kami diberangkatkan. Kamu mau pesan sesuatu nggak untuk Mas?]Aku tercenung sejenak, pesan apa? Masak iya harus meminta agar setelah pergi, ia tidak lupa untuk pulang, atau meminta agar setelah per
POV FadlyBegitulah kiranya anak-anak, ketika lelaki yang diciptakan Allah tidak hanya satu, tapi kenapa dua anak perempuanku terlibat dengan satu lelaki yang sama?Meski terlihat tidak adil karena aku tak membiarkan Sabrina memberi keputusan, justru langsung menolak lamaran Pak Pramudia. Tapi kuharap inilah yang terbaik. Semua kulakukan tersebab tak ingin hubungan kakak beradik itu rusak hanya karena lelaki.Selama sebulan ini, tak ada cacat pada hubungan mereka. Yang kutakutkan sebelumnya akan sering beradu mulut, tapi ternyata mereka justru begitu akur.Sebab itulah aku memutuskan untuk tidak menerima lamaran tersebut untuk saat ini dan meminta waktu hingga empat tahun. Kupikir empat tahun, cukup untuk seseorang melupakan dan mentransfer perasaan cintanya kepada orang lain. Dan harapan besarnya adalah setelah empat tahun itu, Mira sudah move on dari mencintai Fandy. Tapi pada mereka berdua, aku tak perlu jujur bukan? Niatku baik, jika selama empat tahun tersebut ternyata mereka j
Kami duduk di sebuah kursi yang terletak di pinggiran tempat parkir, suasana begitu sejuk sebab disekelilingi oleh pepohonan. Kurasa inilah tempat terbaik untuk berbicara, setidaknya tidak ada satu orangpun yang kemungkinan akan memergoki. Aku tak ingin Mbak Mira tersakiti hatinya jika tahu Mas Fandy sampai menemuiku di kampus ini."Apa kabar?"Dia membuka dengan pertanyaan yang membuat hati berdebar tak menentu."Baik. Mas Fandy sendiri apa kabar?""Alhamdulillah, saya kurang baik.""Kurang baik? Tapi jika dilihat dari luar, sangat baik kok," selorohku yang tak bisa menjaga suara. Aduh ...Dia tersenyum, senyum yang membuat hati meleleh. Bisakah ya Allah aku terus menikmati senyumnya? Huhft ..."Dari luar memang baik, tapi tidak dari dalam. Eh, ohiya, selamat ya," ucapnya kemudian sembari menatapku."Selamat untuk apa, Mas?""Selamat untuk hasil tes DNA-nya. Saya ikut senang.""Alhamdulillah, Mas.""Huh, puluhan tahun, Allah Maha Luar Biasa."Aku tersenyum."Itu Asmaul Husna yang ke