Sejujurnya, aku cukup terkejut ketika mengetahui kalau diam-diam El menyelidiki perihal siapa Ayahnya Iza di belakangku. Dia bahkan berhasil mengetahui golongan darah Iza beserta RH-nya. Mendapati kenyataan itu, aku ingin sekali menolak permintaan El untuk berbicara berdua saja dengannya tapi aku takut malah menimbulkan kecurigaan. Aku berpikir, semoga saja dengan aku menyanggupi berbicara, El akan berhenti mendesakku. Selain itu, aku juga ingin tahu tentang maksud El melakukan ini semua dan menuduhku seenaknya.Sungguh, ucapan El yang terkesan menuduh dan menuntut itu secara psikologis telah berhasil membuat perasaan sesakku kian muncul ke permukaan. Kehadirannya telah mengaduk-ngaduk pikiran dan perasaanku yang sebelumnya sempat pulih menjadi berdarah kembali. Dengan jantung yang berdebar dan dada yang panas, aku berjalan mengekori El yang berjalan melewati pinggiran pantai yang sepi. Hanya-lah deburan ombak dan sayup-sayup alunan musik yang terdengar dari kejauhan yang menyertai
Orang bilang, masa lalu ada itu untuk dijadikan pembelajaran dan juga terkadang dilupakan. Menikah di usia muda dan memilih seorang yang beda kasta untuk menjadi pendamping membuat aku sadar kalau aku tidak boleh lagi gegabah dalam mengambil keputusan.Maka, untuk kali ini pun aku sangat hati-hati sekali dalam berbicara dengan El. Aku tidak mau apa yang kuucapkan akan kembali menjadi boomerang. Terlebih jika itu masalah Iza, anak kandungku. Walau aku tahu El mungkin akan menerima Iza dengan tangan terbuka tapi aku takut tidak begitu dengan Bu Rosa dan keluarganya yang selalu memandang rendah padaku dan keluarga.Aku ingat dulu, sebenarnya aku sempat menolak menikah dengan El yang merupakan anak dari majikan orang tuaku. Aku takut keluarga Fahreza jadi malu tapi El dan Pak Ali--almarhum bapak mertua bilang, bagi mereka keberadaanku sangat berarti terlebih orang tuaku lumayan lama mengabdi sama mereka.Menimbang itu, aku yang memang sudah jatuh cinta semenjak El masih remaja akhirnya s
Selama aku hidup, aku jarang sekali ke luar kota atau provinsi dan seingatku paling ke tiga daerah yang sering aku kunjungi. Pertama kota kelahiranku Jakarta, kedua ke Bandung saat berkunjung ke rumah nenek dan ketiga adalah Yogya itu pun karena tugas dari kantor. Perjalanan ke Padang tentu menjadi hal yang baru bagiku, apalagi berjalan-jalan di daerah Cubadak seperti ini. Sepanjang perjalanan di mobil menuju hotel yang menjadi tempat pertemuan kami, aku memlih untuk melemparkan pandangan ke arah luar karena kalau ke depan sudah dipastikan akan dapat delikan Sania yang sepanjang jalan mengajak El mengobrol."Pak El, ternyata hapal betul ya daerah ini. Memangnya Pak El sering ke sini, ya?" tanya Sania yang ada di sebelah El penuh perhatian.Aku sekarang tahu alasan Sania memilih duduk di depan sebelum kami masuk mobil, ternyata dia ingin melancarkan godaannya yang elegan.Dih, gak nyangka! Si princess gabut ini bisa juga tertarik pada pria. Padahal biasanya dia jutek, mungkinkah Sania
Sejak dulu, seorang El memang selalu menjadi pusat perhatian. Banyak wanita yang menyukai mantan suamiku itu karena ketampanan, kebaikan dan sikap cool-nya yang bikin orang salah paham.Jadi, tak heran jika ada seorang wanita yang tetiba menyukai El karena dia memang semenarik itu. Namun, di sisi lain sebagai mantan istri yang baru saja berjumpa dengan El, kuakui mendengar dia dijodohkan ada sedikit rasa tak rela di dalam hati. Apalagi ketika tahu kalau calonnya adalah seorang wanita sempurna macam Sania.Agh!Kenapa aku jadi seperti ini? Apa karena aku tahu El lebih dulu akan menemukan penggantiku? Atau karena tanpa aku sadari sosok El masih bersemayam di sudut hati ini?Mengingat itu semua, entah mengapa rasa kesal di hatiku kembali hadir.Mau diakui atau tidak, selepas mengetahui kalau Sania adalah wanita yang dijidohkan dengan El, anehnya aku merasa organ dan hati ini mengalami komplikasi serius. Aku bahkan tidak bisa mendefinisikan apa yang kualami setelah melihat kebersamaan San
Aku mengakui kehadiran El di saat genting, tersesat dan menyedihkan seperti ini membuat perasaanku campur aduk. Melihatnya gelisah karena mencariku, tidak bisa ternafikan kalau aku terharu dan kini jadi menyadari jika selama ini dia masih punya tempat penting yang sulit diganti. Selama delapan tahun berpisah, nyatanya aku hanya menunggu dan mencintai satu pria meski banyak ujian di dalamnya. Sementara ada pun sosok lain yang datang tidak bisa menarik hatiku yang paling dalam.Apakah ini yang dinamakan cinta atau suatu kebodohan? Ah, entah!Tapi yang jelas, aku pernah mendengar kalau sekalinya kita terjatuh untuk seseorang, terkadang kita menjatuhkan diri kita terlalu dalam sampai bingung harus ke mana mencari jalan keluar.Dan sialnya, bisa jadi itu juga yang aku rasakan saat ini pada sang mantan suami yang mungkin sudah tidak bisa tergapai lagi dan sebisa mungkin harus aku hindari."Akhirnya saya menemukan kamu Lin. Saya takut kamu hilang lagi. Kamu gak apa-apa kan, Lin?" Pertanyaa
Sejak dulu, aku selalu takut berpergian jauh. Selain karena ekonomi keluargaku yang tak memungkinkan di sisi lain aku juga takut naik pesawat karena punya trauma jika menaikinya. Namun, ketika menikah dengan El tentu saja kehidupan dan cara pandangku sedikitnya berubah. Aku yang hanya anak pembantu rasanya harus menyamakan frekuensi dengan El yang memiliki banyak impian dan suka dengan pengalaman baru. Sayang, di saat aku berusaha untuk memaksakan diri agar serasi dengan El, di sisi lain Bu Rosa selalu menghalangi. Dari mulai menghalangi cita-cita honeymoon kami ke Padang sampai melarangku menemani El di German. Padahal saat itu El sudah menguatkanku untuk mau terbang bersamanya, kami bahkan bercita-cita akan memasang gembok bersama di jembatan cinta di Frankfurt sana tapi lagi-lagi ibu mertua gak setuju. Kata mantan Ibu mertua, jika El membawaku pastinya aku hanya bisa menyusahkan El di sana karena aku gak bisa bahasa inggris. Bu Rosa takut kalau aku hanya akan mempermalukan anakny
"... Lin, bisakah kita mulai semuanya dari awal?" Sekali lagi aku teringat ucapan El yang cukup membuat batinku berantakan.Sepanjang perjalanan, rasanya aku tidak bisa mengenyahkan bayangan El sewaktu kami mengobrol tadi. Jujur, sampai sekarang aku tidak habis pikir, mengapa El bisa mengatakan kalau dia sebenarnya terkena musibah sampai sulit kembali ke sini dan bahkan dia bilang karena dia juga korban ingin memulai semuanya dari awal lagi.Aneh! Apa maksudnya dia bilang begitu? Kenapa dia mau memulai semuanya dari awal? Apa tujuannya? Apa dia ingin mengajakku rujuk atau ini hanya alasannya agar bisa sering bertemu Iza?"Agggh ...." Aku mendesah seraya menyandarkan kepala yang terasa penat ke jok penumpang. Saat ini aku sedang berada di mobil Neo yang berjalan dengan kecepatan sedang. Sesekali aku melirik Neo yang tampak serius menatap jalanan. Sejak aku berpamitan dan Neo mengantarku pulang, kulihat Neo lebih banyak diam tak seperti biasanya. Di mobil hanya ada keheningan yang te
El. Fahreza.[ Lin, ini nomor saya. El. Saya harap setelah pembicaraan kita, kamu gak akan menghindari saya lagi. Saya tahu permintaan saya emang egois. Saya tahu, saya tak pantas mengatakannya karena saya masih belum menemukan rahasia perceraian kita yang menjadikan kita saling membenci dan mungkin kamu membesarkan Iza sendiri. Tapi, kamu jangan khawatir, saya akan segera menemukannya. Dan jika saya sudah mendapatkan bukti. Mau kan kita kembali menata semuanya dari awal? ]"Dari awal? Ah, apa bisa?"Aku menatap hampa pesan dadakan dari El yang mampir malam ini ke ponsel. Jujur, membaca chat itu membuat aku nggak bisa menampik kalau saat ini hatiku memang masih menjadi milik El. Maka, ketika seorang El memintaku kembali bersama, di dalam dada ini ada desakan rasa yang tak bisa aku kendalikan. Dan itu cukup mengganggu. Sungguh. Terkadang aku pun bingung, mengapa aku sampai sedalam ini mencintai orang yang keluarganya saja gemar menyakiti. Kuakui kehadiran El kembali berhasil menggo
Suasana kamar rawat El seketika diliputi kecanggungan. Entah mengapa, ketika mereka hadir dan duduk di depanku dan El, aku merasakan ketegangan di udara. Tatapan mereka membuatku merasa canggung, seakan setiap kata yang akan diucapkan sudah ditakar dan dipikirkan berulang kali. Aku menahan diri untuk tidak menilai, tetapi rasa sakit yang terpendam di hatiku kembali mengemuka. Diam-diam, aku melihat reaksi El atas kedatangan dua wanita yang pernah hadir di hidupnya dan mengganggu rumah tangga kami. Namun, rupanya El memang lelaki yang sangat menghargai istri, semenjak Faye dan Sania datang kulihat El hanya memasang wajah datar seolah malas. "El, Lin, sebenarnya kami... kami ingin meminta maaf." Faye yang tadi terlihat gugup pada akhirnya memulai percakapan. Suaranya lembut, tapi ada nada berat yang menyertai kata-katanya. "Kami tahu, kami telah menghalangi El dan kamu untuk bersama. Apalagi aku membuat kalian sempat bertengkar," lanjut Faye sambil melihatku yang duduk di depannya d
Tinggal satu hari lagi El berada di rumah sakit, akhirnya setelah hampir seminggu berada dalam perawatan untuk pemulihan kami diperbolehkan pulang juga. Tampaknya fisik El lebih cepat pulih dari perkiraan. Selama El di rumah sakit aku tidak pernah absen menemaninya dan terkadang juga aku membawa Aliza agar El merasa bahagia.Namun, tentu saja Aliza gak bisa sering-sering menemani karena dia juga harus sekolah dan takut badannya kecapean kalau nungguin El sampai malam. Alhasil, hanya aku yang lebih banyak bareng El karena selain ada kepentingan. Kami pun sama-sama memantau kasus Bu Rosa yang pada akhirnya membuat ibu mertuaku itu divonis hukuman penjara. Baik aku dan El berjanji, akan mengunjunginya usai kami keluar dari rumah sakit. Kami berharap Bu Rosa mau berbesar hati menerima kami. "Mas, alhamdullilah ya akhirnya kasus kita selesai juga. Rasanya aku lega banget deh. Kira-kira kalau aku jenguk Ibu mau nemuin aku gak, ya?" Aku merebahkan kepalaku di atas paha El dan menghadapkan
Selama El diperiksa oleh dokter, senyuman tak henti tersungging di mulutku karena merasa sangat bahagia bisa melihat El terjaga lagi. Jujur, ini bagaikan suatu anugerah yang tak terkira. Tadinya aku sudah hilang harapan tapi Tuhan memang Maha Baik, Dia selalu tahu apa yang hamba-Nya butuhkan dan Dialah yang Maha pengabul doa."Kondisi Pak El sudah agak stabil tapi beberapa hari ke depan kami harus tetap melakukan observasi karena harus memeriksa secara menyeluruh tapi kabar baiknya Pak El bisa dipindah ke ruang rawat biasa. Sementara, jangan biarkan dia banyak bergerak dulu, ya?" ujar dokter Bagus seraya melepaskan snelli. Wajahnya menunjukan kelegaan setelah memeriksa suamiku.Aku mengangguk pasti sembari tersenyum lebar. "Baik Dok siap. Saya akan menjaga suami saya.""Terima kasih Dok," ujar El lirih dan lemah."Sama-sama. Kalau gitu saya permisi, ya?""Silahkan Dok."Setelah dokter spesialis yang menangani El beranjak pergi, kini tersisalah aku dan El. Aku menatap El yang juga ten
Tiga hari telah berlalu pasca insiden p*nusukan dan p*nculikan yang dilakukan Neo, El masih betah tertidur di atas ranjang ICU. Kata dokter luka El sudah dijait dan operasi besar pun berhasil, sekarang tinggal nunggu kesadaran El. Tapi, syukurnya ada kabar baik yaitu tubuh El merespon positif terhadap obat-obat yang diberikan sehingga bekas tusukannya lebih cepat mengering. Di sisi lain kondisi aku pun berangsur baik. Aku bahkan masih bisa bolak-balik mengurus Iza dan rumah sakit sambil terus memantau kasus Bu Rosa yang pada akhirnya bisa didakwa atas kasus perencanaan penculikan bersama Neo karena dia yang menyuruh Neo menculikku dan dia juga yang menyuruh Neo menterorku dengan membawa Aliza ke istana boneka.Oh Tuhan. Gak disangka Bu Rosa dan Neo tega memisahkan kami sejauh ini. Hanya demi sebuah warisan kekayaan, dia rela menghalalkan berbagai cara termasuk membunuh orang. Benar-benar bejat! Aku tidak terbayang perasaan El jika sadar nanti jika tahu ibunya yang merencanakan ini
Menegangkan, kacau dan menakutkan. Tak bisa aku bayangkan kalau kami akan berada di posisi di mana kami harus terjebak dengan Neo juga anteknya di gudang yang menyeramkan dan juga gelap. Siapa duga, Neo--sahabatku yang kukira baik kini dengan busuknya mengacungkan senjata dan mengarahkan moncongnya ke arah kami di saat aku dan El mau melarikan diri. Jujur! Saat ini aku merasa jantungku hampir meledak karena ketakutan. Neo tampak marah dan putus asa, sementara El berusaha tetap tenang di sampingku. Pria tampan itu seakan menunjukkan bahwa semua akan baik-baik saja jika kami bersama. "Kalian gak bisa ke mana-mana! Aku tegaskan sama kamu, El! Alina itu milikku! Dia cinta sejati seorang Neo bukan Elfarobi! Paham?!" bentak Neo dengan nada tegas dan menggelegar membuatku reflek mundur di belakang El. Sungguh, situasi ini sangat mengerikan, aku tak bisa terus di bawah pandangan Neo yang menyedihkan juga jahat. El meremas tanganku lebih erat, seolah memberi isyarat bahwa dia akan melindun
Neo menculik dan menjebakku. Itulah yang aku pikirkan sekarang. Seketika ketakutan merayap di seluruh tubuhku, tapi aku tahu aku tidak bisa membiarkan rasa takut menguasai diriku. Aku tak percaya kalau Neo kini telah banyak berubah, entah apa alasannya tapi Neo berubah menjadi jahat.Apa karena aku tolak dia jadi seperti ini? Agh, sial! Mengapa aku bisa semudah itu percaya sama Neo?Memikirkan kebodohanku, diam-diam aku jadi menyesal karena tidak bisa bertemu dengan El. Tapi, meski sedih dan marah aku gak boleh kehabisan akal, saat ini El harus tahu aku berada dalam bahaya. Hanya saja, bagaimana caranya? Bagaimana aku bisa melarikan diri atau mencari El? Aku terus menggerak-gerakkan tangan dan kakiku yang kini terikat.Sebenarnya, beberapa saat lalu seusai aku tahu kalau Neo menculikku, Neo yang semula baik tak segan menunjukkan sisi jahatnya. Dia tiba-tiba mendorongku hingga ke kursi belakang. Setelah mengikat aku dan mengancam kalau akan berbuat macam-macam jika aku berisik, Neo
Esok harinya. Aku merasa sudah cukup menyendiri dan memikirkan rencana ke depannya untuk dilakukan menghadapi masalah ini. Semalaman penuh aku merenungkan semua sampai akhirnya aku memilih untuk berbicara dengan El dan menyelesaikan semuanya sesuai saran Rahma. Berulang kali aku memikirkan kalau apa yang dikatakan Rahma itu benar, kalau dosa ibu kandungku bukanlah dosaku. Tidak seharusnya aku menanggung kesalahan ibuku dan aku pun seharusnya percaya pada El. Selama ini El sudah banyak berkorban, gak mungkin dia mengkhianatiku terutama sama Faye.Dikarenakan mengingat itu semua, aku pikir ini saatnya aku untuk mengambil semua peranan dan memutuskan yang terbaik untuk kehidupanku sendiri. Aku harus percaya sama El dan aku yakin dia pun akan memahami kalau pengkhianatan orang tua kami gak ada hubungannya dengan rumah tangga kami.Aku melirik jam tangan, ternyata waktu sudah menunjukan jam 7.00 pagi, sepertinya aku harus segera pergi ke rumah sakit. Aku ingin bergegas menemui El dan mem
Keesokan paginya. Aku kembali mencoba mencari cara agar bisa masuk ke ruangan El tanpa bisa diusir seperti semalam. Bagaikan orang gila, aku meminta bantuan ke sana dan ke sini demi bisa masuk ke ruangan El tapi rasanya susah sekali karena Bu Rosa sama sekali gak beranjak.Beruntung, setelah menunggu hampir tengah hari. Aku akhirnya dapat bantuan dari Bre--sahabatnya El dan sekarang jadi mantan bosku. Bre yang baru saja menjenguk El bilang kalau El sudah membaik dan dipindah ke ruang rawat VIP sehingga aku bisa dengan mudah mengakses selama gak ada Bu Rosa atau pengawalnya. Kata Bre, El masih belum sadar sepenuhnya karena masih harus banyak istirahat akibat cidera tulang yang ia alami. Tentu kabar itu setidaknya membahagiakan hatiku yang sejak semalam sudah harap-harap cemas, terutama Bre juga bilang Bu Rosa sedang pergi keluar jadi ini saatnya aku bisa menyelinap masuk.Dan setelah persiapan matang, akhirnya aku bisa juga sampai di depan ruang rawat El. Sebelum masuk, aku berhenti
"El kecelakaan Lin, dia kecelakaan! Sekarang katanya dia dilarikan ke UGD." Sekali lagi informasi dari Bik Ratih beberapa saat lalu membuatku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. 1320015635874Jujur, aku sangat terkejut hingga sempat terdiam dan tubuhku terasa kaku. Berita kecelakaan tentang El benar-benar menghantamku seperti gelombang besar yang tiba-tiba datang. Namun, meski rasanya hati ini begitu cemas, tanpa pikir panjang dengan cepat, aku meraih tas dan jaketku, lalu bergegas keluar rumah menuju rumah sakit, tentu saja setelah menitipkan Iza kepada Bik Ratih. Aku sengaja gak mau memberitahukan kabar tentang El pada Iza karena anak itu pasti menangis kencang dan ingin ikut padahal ini sudah sangat larut malam.Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, tak ayal pikiranku kacau dengan berbagai perasaan. Ada ketakutan, kekhawatiran, dan rasa bersalah yang mendalam. Aku mengira kalau El mengalami kecelakaan tunggal karena saking marahnya padaku sehingga oleng dan menabrak pembat