"PERGI" teriaknya dengan keras yang membuat Abi juga Elena segera keluar dari dalam kamarnya. "Ada apa?" tanya Elena sambil berlari menuju tempat Swastika diikuti Abi dibelakangnya. "MAU APA LAGI KAMU KESINI?" bentak Elena yang mencoba sok kuat dengan berdiri didepan Swastika mencoba menghalangi Dion agar tidak mendekat sementara Abi memegang tangan Mamanya dengan sangat kuat. "Masih kurang bermalam di penjara sampai kamu berani datang kemari lagi?" sambungnya dengan tatapan seolah siap membunuh Dion saat itu juga. Dion tidak merespon apapun ucapan Elena, dia tetap diam dengan memandang lekat pada wajah Swastika yang tengah ketakutan dan panik karena rasa trauma yang sempat dialaminya tiba-tiba mulai kambuh lagi. Tangan terasa dingin dan tubuhnya gemetar hebat. Abi sampai takut Mamanya kenapa-kenapa. Satu yang mereka lupakan, ini sudah memasuki tahun keempat setelah kejadian naas itu jadi sudah pasti Dion sudah keluar dari penjara. "Jadi ini sudah 4 tahun ya? Mau apa lagi kamu?"
Arya yang baru saja keluar dari apartemen Swastika segera menghubungi orang kepercayaannya untuk menemukan keberadaan Dion yang dia yakini masih ada didalam kota. Walau sudah berjam-jam yang lalu dia mengusir Dion tapi dia tau dengan pasti bahwa Dion tidak memiliki tujuan. "Dia pasti masih ada disekitar sini" gumamnya sambil mencondongkan diri kedepan untuk melihat kanan kirinya mencari Dion. Dia mencengkeram erat kemudinya. Setelah berkeliling disekitar apartemen Swastika, dia memutuskan untuk berhenti disebuah taman karena melihat siluet seorang pria yang sedang duduk yang menurutnya terlihat seperti Dion. Dia pun memarkirkan mobilnya dan berjalan mendekatinya. Menepuk bahu kirinya dan saat pria itu berbalik ternyata hanya seorang pemuda yang sedang mabuk, diapun memutuskan untuk menyusuri taman itu. Tak berselang lama, anak buahnya menghubungi dan memintanya mendatangi sebuah rumah yang alamatnya sudah dikirimkan. Dia bergegas pergi kesana. "LEPASKAN" teriak Dion dalam keadaan
Dengan telaten Swastika mengobati luka Arya. Walau dia juga merasa ngeri sendiri dengan banyaknya luka itu. Setelah selesai mengobati lukanya, Swastika membuatkan makan siang untuk Arya. "Aku ingin seperti ini setiap hari" ucap Arya sambil menyantap makanannya. Swastika hanya diam dan menunduk menyembunyikan perasaannya. "Terima kasih untuk semalam" ucap Swastika mencoba mengalihkan pembicaraan. "Semalam? Memang kita melakukan apa?" tanya Arya seolah tidak terjadi apa-apa diantara mereka. Dia tetap melanjutkan makannya dan menyantap semuanya dengan lahap. "Tapi kamu sudah tidak apa-apa kan?" tanyanya disela-sela makan. Dia menatap Swastika dengan dalam seolah semua inchi wajah Swastika sedang dia kuliti. Swastika hanya menggeleng yang menandakan bahwa dia sudah baik-baik saja. Setelah itu, mereka melanjutkan makan siang dalam diam. Hingga tak lama Elena bersama Balin datang untuk bergabung makan siang. Mereka juga membawa makanan dan beberapa cemilan. "Kalian sudah makan?" tanya
"Bagaimana keadaannya? Apakah dia sudah sadar?" cecar Swastika pada Rama sesaat setelah dia sampai di rumah sakit. Rama bingung bagaimana harus menjawab Swastika karena disana dia sedang mengurus dua orang. Luna yang juga berada didekatnya juga bingung harus menjawab. Mereka berdua hanya saling pandang dan menyuruh Swastika untuk duduk agar lebih tenang dan Balin mengikutinya duduk disebelah Rama. Rama dan Luna bergantian menjelaskan keadaan Ibu dan anak yang sama-sama masuk rumah sakit itu. Raut tegang di wajah Swastika sangat kentara. Karena Mamih Ratna masih belum boleh dikunjungi, dia memutuskan untuk menjenguk Arya terlebih dahulu. Dia ditempatkan di ruangan yang bersebelahan dengan ruangan yang sudah disewa Rama untuk rawat inap Mamih Ratna. Dengan pelan, Swastika menghampiri brangkar Arya. Disana Arya masih terbaring lemah dengan selang infus yang terus menetes konstan. Tak terasa matanya berembun. "Aku sudah tidak apa-apa" ucap Arya lirih yang membuat Swastika terkejut hin
"Sedang apa kamu disini?" ucap Swastika sambil melihat kedalam selimut yang menyelimuti tubuhnya dan mengusap pahanya yang baru saja tertempel 'sesuatu'. "Kamu yang menyeretku kesini" jawab Arya masih dengan muka bantal dan memilih untuk berbaring kesisi satunya. Dia masih merasa mengantuk karena semalaman menunggu Swastika dan baru bisa tidur menjelang subuh. Sementara itu Swastika yang masih berdebar memilih untuk segera turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi setelah tau kalau dia masih berpakaian lengkap. Sekelebat kejadian malam bertahun-tahun lalu itu mulai muncul dalam pikirannya. Dia takut kejadian itu akan kembali terulang tanpa adanya ikatan diantara mereka bertiga. "Mereka sedang apa sih? Bisa-bisanya" oceh Rama yang saat itu sudah berada didalam ruangan Mamih Ratna bersama Luna. "Ada apa? Kenapa mengoceh begitu?" tanya Luna yang baru selesai menyuapi Mamih Ratna. Daripada menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, Rama justru mencari-cari alasan lain dan memilih men
Pagi-pagi sekali, Swastika segera pergi dari mansion Arya. Dengan wajah sembab dan kepala yang terasa pening dia nekat keluar dari sana hanya karena tidak ingin melihat Arya dan pelayan yang 'menemani'nya tadi malam. "Bi, nanti kalau Mamih Ratna tanya bilang saya sudah berangkat ada pekerjaan mendadak" ucap Swastika pada pelayan senior yang memang sudah mengenalnya dengan baik dan juga setelah dia meletakkan note untuk Abi. "Baik. Hati-hati Nyonya. Saya antar kedepan" ucap Pelayan itu dengan tersenyum dan mengangguk. "Tidak perlu. Bibi lanjutkan saja" tolak Swastika halus dan senyum mengembang. Bibi senior itu tau apa yang terjadi semalam. Arya langsung menghubunginya sesaat setelah dia tidak berhasil membujuk Swastika untuk membukakan pintu kamarnya. Bibi senior itu pula yang langsung membawa pelayan yang nekat menggoda Arya ke salah satu paviliun yang ada disana. Tanpa menaruh curiga pada Bibi senior, Swastika segera pergi setelah memberikan informasi pada penjaga untuk membuka
"Kenapa memberi Abi ijin memakai sepeda motor kamu?" tanya Swastika pada Arya setelah masuk keruang kerja Arya. Awalnya Swastika enggan masuk kedalam sana. Bayangan tadi malam masih terlintas dalam benaknya tapi hanya itu area yang kedap suara dan bisa mereka masuki berdua. Tidak mungkinkan mereka masuk kedalam kamar?"Dia sudah cukup besar. Dari video yang dikirim pengawal, dia juga sudah mahir mengendarainya" jawab Arya sembari duduk disofa sementara Swastika masih setia berdiri dibelakang sofa didepan Arya. "Tetap saja itu berbahaya dan lagipula kenapa kamu tidak meminta ijinku dulu?" tanya Swastika yang sudah mulai geram. "Pasti tidak akan kamu ijinkan" tebak Arya yang memang sudah jelas terbukti. "Kalian memang sama saja. Tidak ada bedanya" keluh Swastika dengan tangan terlipat didepan dada dan kemudian memilih untuk duduk disofa. "Memang" jawab Arya yang membuat Swastika semakin kesal. Karena tidak mendapat jawaban yang memuaskan, Swastika memilih keluar dari ruangan itu
"Sialan" umpat Rama yang tanpa sengaja membuka pintu ruang kerja untuk membawakannya dokumen yang dia minta sebelumnya. Mendengar umpatan Rama, Swastika buru-buru menyudahi ciuman mereka. Dia bahkan mendorong tubuh Arya hingga dia terhuyung kebelakang. Swastika yang merasa malu segera menyembunyikan wajahnya didepan dada Arya. Terlihat seperti anak kecil yang sedang bersembunyi karena ketahuan memakan gula-gula. Arya yang cuek justru membawa Swastika kedalam dekapannya dan menyuruh Rama untuk meletakkan dokumen itu diatas meja hanya dengan gerakan mata saja dan menyuruhnya keluar. "Sudah. Dia sudah pergi" ucap Arya yang masih saja memeluk Swastika. "Bagaimana kalau dia melihat yang tadi?" tanya Swastika yang takut setelah berusaha melepas pelukan Arya. "Biarkan saja. Salah sendiri masuk tanpa ketuk pintu dulu" jawab Arya yang dengan lembut mengajak Swastika untuk duduk. "Bagaimana kalau kita lanjutkan lagi?" sambungnya sambil menaik turunkan kedua alisnya sementara Swastika yang
"Apa kabar Bapak Arya yang terhormat" ucap pria itu setelah melepas topi dan maskernya. Dengan masih memegang lengannya yang terluka. "Masih berani Anda menemui saya?" ucap Arya dengan tenang. "Kenapa saya harus takut? Saya tidak pernah melakukan sesuatu setengah-setengah. Kalau ujungnya saya pasti akan masuk penjara, kenapa tidak sekalian saja saya mengirim Anda menghadap Tuhan Anda?" pria itu tertawa seolah bangga dengan apa yang dia katakan. "Psikopat. Tunggu saja. Sebentar lagi akan ada polisi yang datang" dan benar saja, tidak lama memang ada polisi yang datang kesana. "Biarkan saja. Saya tidak takut" pria itu masih terus tertawa. "Pak Bramanto, apa Anda yakin keluarga Anda sedang dalam keadaan baik-baik saja saat ini?" gertak Arya yang tentu saja langsung membuat Bramanto ciut. Apalagi saat melihat senyum mengerikan yang Arya berikan, sungguh membuat bulu kuduk meremang."Apa yang Anda tau tentang keluarga saya? Mereka sudah berada ditempat yang aman" ucap Bramanto dengan
Pagi harinya, saat semua keluarga tengah berkumpul untuk sarapan, Arya dan David masih belum menampakkan batang hidungnya. "Kemana Arya? Kenapa belum turun?" gerutu Mamih Ratna. "Dia tadi malam sedikit mabuk Mih, mungkin masih tidur" jawab Swastika. "Akan aku coba bangunkan Mih" sambungnya. "Ya sudah. Suruh dia cepat mandi dan sarapan" "Iya Mih" Swastikapun meninggalkan makanannya dan bergegas menuju kamar Arya. Setelah menanyakan pada para pengawal yang berjaga didepan kamar, Swastika segera masuk. Dan benar saja, Arya masih tertidur pulas diatas ranjang dengan kemeja, celana panjang dan kaos kaki yang sudah berserakan dimana-mana. Swastika memunguti semuanya dan meletakkannya didalam paperbag yang semula berisi pakaian bersih untuk Arya berganti baju. "Ayo bangun" Swastika mencoba menarik lengan Arya untuk mengeluarkannya dari dalam selimut. "Hhmm" "Ayo. Mamih menunggu dibawah" "Biarkan saja. Kepalaku pusing sekali" "Makanya jangan mabuk. Kakimu jugakan masih sakit kenapa
"Aku tidak ingin pulang. Aku ikut kemana Anda pergi" ucap gadis itu dengan wajah memelas dan air mata yang masih menggenang. "HAH?" Rama yang bingung tidak tau harus membawa gadis itu kemana, akhirnya memilih untuk tetap meninggalkan acara pesta. Sebelum pergi dia mengabari Arya bahwa ada urusan mendesak yang membuatnya harus pergi lebih dulu. "Rama kenapa?" tanya Swastika yang mendapat bisikan mengenai kepulangan Rama. "Tidak tau. Katanya ada urusan mendesak" jawab Arya tidak peduli. Merekapun melanjutkan menikmati rangkaian acara lain dengan Abi yang sudah lebih dulu masuk kedalam kamar hotel. Arya sengaja memesan kamar hotel yang memang berada disatu lokasi dengan gedung tempat acara pernikahan Elena. Dia sudah menduga bahwa acara ini akan berlangsung hingga lebih dari tengah malam. Dia juga sudah memesan untuk yang lain termasuk Rama tapi karena dia sudah pulang lebih dulu, kamar itu hanya akan dihuni oleh David sementara Abi akan tetap bersama Ryan dan dua pengawal lain, da
Dua jam sebelum acara dimulai, mereka sudah berangkat beriringan menggunakan tiga mobil dan beberapa pengawal yang ada di belakang rombongan mereka. "Jangan cemberut sepert itu dong. Ayo senyum" goda David pada Rama yang kalah dalam tantangan tahan nafas. "Sialan. Ini tidak mungkin. Pasti kalian berdua curang" tuding Rama pada Abi dan David. "TIDAK" sangkal Abi dan David. "Itu hampir 15 menit. Tidak mungkin kalian bisa tahan nafas sampai selama itu terutama kamu" tunjuk Rama pada David. "Lebih baik kita nanti tanyakan pada Pak Arya saja" jawab David yang tertawa bersama Abi. Mereka merasa lucu melihat Rama yang uring-uringan karena tidak terima dengan kekalahannya. Setelah berkendara membelah kemacetan hampir 2 jam akhirnya mereka sampai ke tempat acara. "Wow. Dekorasinya cantik sekali" kagum Swastika yang lekat memandang dekorasi ruangan itu. Pada awalnya Elena menginginkan tema outdoor tapi karena ramalan cuaca yang tidak menentu akhirnya dia harus mengganti tema menjadi indo
"Wah, tadi itu benar-benar menyenangkan" ucap Abi kegirangan saat sudah masuk kedalam kamarnya. Tidak pernah dia membayangkan akan berada dalam situasi seperti itu. Sangat mirip dengan adegan perkelahian di film action yang sering ditontonnya. Seketika ponselnya bergetar menandakan ada sebuah pesan masuk. "Waaahhhh" teriak Abi kegirangan sembari joget-joget masuk kedalam kamar mandi. Pesan dari Arya yang berisi perintah untuk mulai belajar pisau dan pedang membuat adrenalin Abi terpacu. "Baru pulang sudah sibuk dengan ponselmu lagi?" Ucap Swastika yang keheranan dengan kelakuan Arya. "Hehe. Maaf. Sayang sini sebentar" "Ada apa?" Swastika mendekat membawa es jeruk dan beberapa cemilan. Arya merogoh sesuatu yang ada didalam sakunya dan menunjukkannya pada Swastika. "Marry Me?" ucap Arya tiba-tiba.Swastika yang kaget hanya bisa menutup mulutnya yang menganga. Jantungnya berdetak cepat sampai dia benar-benar tidak bisa berkata-kata. "Maaf karena tidak ada acara istimewa. Aku buk
Sampai dikantornya, Arya segera menuju ruangannya dan meminta Rama dan David untuk segera menemuinya. "Kamu istirahat disini dulu sebentar ya. Aku ada meeting sebentar dengan Rama dan David" ucap Arya setelah mengantar Swastika keruangan pribadinya. "Baiklah. Sepertinya ini perihal rahasia perusahaanmu. Aku akan tunggu disini" jawab Swastika. Sebelum meninggalkan Swastika disana, Arya meninggalkan kecupan dikening dan kemudian menggunakan tongkatnya untuk berjalan menuju ruangannya. Disana Rama dan David sudah menunggu. "Jadi bagaimana? Jelaskan" pinta Arya.Merekapun menjelaskan pada Arya mengenai bukti-bukti temuannya dan siapa saja yang dicurigai sebagai komplotannya. Rama juga menjelaskan bahwa disalah satu cabang perusahaannya, mereka berhasil membawa kabur sejumlah uang. "Kenapa bisa kecolongan lagi?" tanya Arya yang sudah kesal sedari tadi. "Maaf, kami tidak menyangka kalau komplotannya bahkan sudah ada dimana-mana" jawab David. "Untuk sekarang, semua yang ada di kantor c
"Antar ke rumah sakit ya Pak" ucap Abi pada sopir yang mengawalnya. Karena permintaan Arya, untuk sementara Abi tidak diperbolehkan untuk naik sepeda motor sebagai gantinya, dia akan diantar jemput oleh sopir kepercayaan Arya dan beberapa pengawal. Karena hal itu pula, setelah Arya memberi instruksi pada Rama, ada pengawal yang datang kesekolah Abi dan mengambil motor yang dibawanya tadi pagi. "Kenapa harus sebegitunya sih? Kenapa juga tidak boleh naik motor? Dia yang punya musuh kenapa harus aku yang berkorban?" ocehan Abi disepanjang perjalanan. "Tuan Arya hanya mengkhawatirkan Tuan Muda. Karena dibidang yang digeluti Tuan Arya, para musuh tidak akan hanya mencoba menyerang Tuan Arya sendiri tetapi juga orang-orang yang ada disekelilingnya. Jadi saya mohon Tuan Muda untuk tidak berprasangka buruk dulu" ucap Ryan, pengawal pribadi Abi. "Hufh" Abi memutar bola matanya dan memilih untuk kembali fokus pada ponselnya. Setelah menempuh perjalanan yang memakan waktu lama karena terjeb
"Bu, saya mau ijin pulang dulu. Sebentar lagi mau masuk jam kantor" pamit Rama. "Iya. Berangkatlah" jawab Mamih Ratna. Setelah berpamitan, Rama diantar Swastika hingga keluar ruangan. "Rama, kalau ada info terbaru tolong kabari ya" pinta Swastika. "Baik Bu. Akan saya infokan kalau ada perkembangan. Saya permisi" Rama pun meninggalkan rumah sakit dan pergi menuju kantornya. Saat Swastika kembali kedalam ruangan dan melanjutkan kegiatannya mengelap tubuh Arya, tiba-tiba dia merasakan jemari Arya bergerak. Cepat-cepat dia berdiri dan memanggil Mamih Ratna dan Swastika meminta tolong pada Luna untuk memanggilkan dokter. Tak berapa lama, kedua mata Arya perlahan terbuka."Arya" "Sayang" "Kamu bisa dengar Mamih?" "Arya" "Arya" panggil Mamih Ratna dan Swastika saling sahut. Mereka terus memberikan afirmasi pada Arya agar segera sadar tetapi Arya tidak merespon apapun. Dia masih berusaha membuka matanya. "Mamih" "Tika" ucapnya tanpa mengeluarkan suara. "Hei, kamu sudah bangun? Tu
"Tenang dulu Bu" ucap dokter itu kala melihat Swastika yang menangis. "Bapak Arya mengalami patah tulung kaki sebelah kiri dan beberapa luka luar. Untuk luka luar sudah kami tangani, tetapi untuk luka dikaki kami akan segera melakukan operasi. Mohon Ibu untuk menandatangani dokumen persetujuan ini sebelum kami melanjutkan tindakan" ucap dokter itu. Kemudian salah seorang perawat mendatanginya dan menyodorkan dokumen yang harus ditandatangani. "Tapi dia baik-baik saja kan Dok?" tanyanya sekali lagi. "Sejauh yang kami periksa, tidak ada luka dalam selain pada kaki. Semuanya baik-baik saja Bu" jawab dokter. Setelah dokumen ditandatangani, mereka bergegas membawa Arya menuju ruang operasi dan menyuruh Swastika untuk menunggu didepan ruangan. Disana, Swastika menghubungi Luna untuk mengabarkan apa yang tengah terjadi pada Arya karena setelah mencoba menghubungi Rama dia masih belum mendapat jawaban. Luna yang saat itu masih mengantuk dan setengah sadar tersentak mendengar kabar itu. D