"Pak, sadar Pak" "Bapak" "Sadar Pak" "BOS" teriak Rama yang didekap Arya dengan sangat erat. Beruntunglah susu yang dibawanya tidak tumpah saat itu. Mendengar bentakan Rama yang tepat disamping telinganya, seketika Arya sadar dan melepas pelukannya. "K-kenapa k-kamu yang ada disini? Peluk-peluk saya lagi" ucap Arya terbata sambil mundur pelan-pelan dengan memegang pinggiran celananya yang mulai melorot. "Bapak yang meluk saya duluan" jawab Rama santai sambil berjalan masuk kedalam kamar dan meletakkan nampan yang dibawanya. Sementara Arya duduk ditepi ranjang dengan memegang kepalanya yang terasa berdenyut. "Saya ganteng-ganteng begini pakai dikira Bu Tika" sambungnya dengan nada sedikit meledek. Kalau sudah keadaan begini, mana berani Rama berkata seperti tadi malam. Bisa-bisa tidak dapat gaji+bonusnya bulan depan. Arya tidak menanggapi ocehan Rama, dia lebih memilih untuk kedalam kamar mandi karena merasa mual. Setelah lama menyelesaikan semua urusannya dikamar mandi, Arya b
"PERGI" teriaknya dengan keras yang membuat Abi juga Elena segera keluar dari dalam kamarnya. "Ada apa?" tanya Elena sambil berlari menuju tempat Swastika diikuti Abi dibelakangnya. "MAU APA LAGI KAMU KESINI?" bentak Elena yang mencoba sok kuat dengan berdiri didepan Swastika mencoba menghalangi Dion agar tidak mendekat sementara Abi memegang tangan Mamanya dengan sangat kuat. "Masih kurang bermalam di penjara sampai kamu berani datang kemari lagi?" sambungnya dengan tatapan seolah siap membunuh Dion saat itu juga. Dion tidak merespon apapun ucapan Elena, dia tetap diam dengan memandang lekat pada wajah Swastika yang tengah ketakutan dan panik karena rasa trauma yang sempat dialaminya tiba-tiba mulai kambuh lagi. Tangan terasa dingin dan tubuhnya gemetar hebat. Abi sampai takut Mamanya kenapa-kenapa. Satu yang mereka lupakan, ini sudah memasuki tahun keempat setelah kejadian naas itu jadi sudah pasti Dion sudah keluar dari penjara. "Jadi ini sudah 4 tahun ya? Mau apa lagi kamu?"
Arya yang baru saja keluar dari apartemen Swastika segera menghubungi orang kepercayaannya untuk menemukan keberadaan Dion yang dia yakini masih ada didalam kota. Walau sudah berjam-jam yang lalu dia mengusir Dion tapi dia tau dengan pasti bahwa Dion tidak memiliki tujuan. "Dia pasti masih ada disekitar sini" gumamnya sambil mencondongkan diri kedepan untuk melihat kanan kirinya mencari Dion. Dia mencengkeram erat kemudinya. Setelah berkeliling disekitar apartemen Swastika, dia memutuskan untuk berhenti disebuah taman karena melihat siluet seorang pria yang sedang duduk yang menurutnya terlihat seperti Dion. Dia pun memarkirkan mobilnya dan berjalan mendekatinya. Menepuk bahu kirinya dan saat pria itu berbalik ternyata hanya seorang pemuda yang sedang mabuk, diapun memutuskan untuk menyusuri taman itu. Tak berselang lama, anak buahnya menghubungi dan memintanya mendatangi sebuah rumah yang alamatnya sudah dikirimkan. Dia bergegas pergi kesana. "LEPASKAN" teriak Dion dalam keadaan
Dengan telaten Swastika mengobati luka Arya. Walau dia juga merasa ngeri sendiri dengan banyaknya luka itu. Setelah selesai mengobati lukanya, Swastika membuatkan makan siang untuk Arya. "Aku ingin seperti ini setiap hari" ucap Arya sambil menyantap makanannya. Swastika hanya diam dan menunduk menyembunyikan perasaannya. "Terima kasih untuk semalam" ucap Swastika mencoba mengalihkan pembicaraan. "Semalam? Memang kita melakukan apa?" tanya Arya seolah tidak terjadi apa-apa diantara mereka. Dia tetap melanjutkan makannya dan menyantap semuanya dengan lahap. "Tapi kamu sudah tidak apa-apa kan?" tanyanya disela-sela makan. Dia menatap Swastika dengan dalam seolah semua inchi wajah Swastika sedang dia kuliti. Swastika hanya menggeleng yang menandakan bahwa dia sudah baik-baik saja. Setelah itu, mereka melanjutkan makan siang dalam diam. Hingga tak lama Elena bersama Balin datang untuk bergabung makan siang. Mereka juga membawa makanan dan beberapa cemilan. "Kalian sudah makan?" tanya
"Bagaimana keadaannya? Apakah dia sudah sadar?" cecar Swastika pada Rama sesaat setelah dia sampai di rumah sakit. Rama bingung bagaimana harus menjawab Swastika karena disana dia sedang mengurus dua orang. Luna yang juga berada didekatnya juga bingung harus menjawab. Mereka berdua hanya saling pandang dan menyuruh Swastika untuk duduk agar lebih tenang dan Balin mengikutinya duduk disebelah Rama. Rama dan Luna bergantian menjelaskan keadaan Ibu dan anak yang sama-sama masuk rumah sakit itu. Raut tegang di wajah Swastika sangat kentara. Karena Mamih Ratna masih belum boleh dikunjungi, dia memutuskan untuk menjenguk Arya terlebih dahulu. Dia ditempatkan di ruangan yang bersebelahan dengan ruangan yang sudah disewa Rama untuk rawat inap Mamih Ratna. Dengan pelan, Swastika menghampiri brangkar Arya. Disana Arya masih terbaring lemah dengan selang infus yang terus menetes konstan. Tak terasa matanya berembun. "Aku sudah tidak apa-apa" ucap Arya lirih yang membuat Swastika terkejut hin
"Sedang apa kamu disini?" ucap Swastika sambil melihat kedalam selimut yang menyelimuti tubuhnya dan mengusap pahanya yang baru saja tertempel 'sesuatu'. "Kamu yang menyeretku kesini" jawab Arya masih dengan muka bantal dan memilih untuk berbaring kesisi satunya. Dia masih merasa mengantuk karena semalaman menunggu Swastika dan baru bisa tidur menjelang subuh. Sementara itu Swastika yang masih berdebar memilih untuk segera turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi setelah tau kalau dia masih berpakaian lengkap. Sekelebat kejadian malam bertahun-tahun lalu itu mulai muncul dalam pikirannya. Dia takut kejadian itu akan kembali terulang tanpa adanya ikatan diantara mereka bertiga. "Mereka sedang apa sih? Bisa-bisanya" oceh Rama yang saat itu sudah berada didalam ruangan Mamih Ratna bersama Luna. "Ada apa? Kenapa mengoceh begitu?" tanya Luna yang baru selesai menyuapi Mamih Ratna. Daripada menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, Rama justru mencari-cari alasan lain dan memilih men
Pagi-pagi sekali, Swastika segera pergi dari mansion Arya. Dengan wajah sembab dan kepala yang terasa pening dia nekat keluar dari sana hanya karena tidak ingin melihat Arya dan pelayan yang 'menemani'nya tadi malam. "Bi, nanti kalau Mamih Ratna tanya bilang saya sudah berangkat ada pekerjaan mendadak" ucap Swastika pada pelayan senior yang memang sudah mengenalnya dengan baik dan juga setelah dia meletakkan note untuk Abi. "Baik. Hati-hati Nyonya. Saya antar kedepan" ucap Pelayan itu dengan tersenyum dan mengangguk. "Tidak perlu. Bibi lanjutkan saja" tolak Swastika halus dan senyum mengembang. Bibi senior itu tau apa yang terjadi semalam. Arya langsung menghubunginya sesaat setelah dia tidak berhasil membujuk Swastika untuk membukakan pintu kamarnya. Bibi senior itu pula yang langsung membawa pelayan yang nekat menggoda Arya ke salah satu paviliun yang ada disana. Tanpa menaruh curiga pada Bibi senior, Swastika segera pergi setelah memberikan informasi pada penjaga untuk membuka
"Kenapa memberi Abi ijin memakai sepeda motor kamu?" tanya Swastika pada Arya setelah masuk keruang kerja Arya. Awalnya Swastika enggan masuk kedalam sana. Bayangan tadi malam masih terlintas dalam benaknya tapi hanya itu area yang kedap suara dan bisa mereka masuki berdua. Tidak mungkinkan mereka masuk kedalam kamar?"Dia sudah cukup besar. Dari video yang dikirim pengawal, dia juga sudah mahir mengendarainya" jawab Arya sembari duduk disofa sementara Swastika masih setia berdiri dibelakang sofa didepan Arya. "Tetap saja itu berbahaya dan lagipula kenapa kamu tidak meminta ijinku dulu?" tanya Swastika yang sudah mulai geram. "Pasti tidak akan kamu ijinkan" tebak Arya yang memang sudah jelas terbukti. "Kalian memang sama saja. Tidak ada bedanya" keluh Swastika dengan tangan terlipat didepan dada dan kemudian memilih untuk duduk disofa. "Memang" jawab Arya yang membuat Swastika semakin kesal. Karena tidak mendapat jawaban yang memuaskan, Swastika memilih keluar dari ruangan itu