Dengan telaten Swastika mengobati luka Arya. Walau dia juga merasa ngeri sendiri dengan banyaknya luka itu. Setelah selesai mengobati lukanya, Swastika membuatkan makan siang untuk Arya. "Aku ingin seperti ini setiap hari" ucap Arya sambil menyantap makanannya. Swastika hanya diam dan menunduk menyembunyikan perasaannya. "Terima kasih untuk semalam" ucap Swastika mencoba mengalihkan pembicaraan. "Semalam? Memang kita melakukan apa?" tanya Arya seolah tidak terjadi apa-apa diantara mereka. Dia tetap melanjutkan makannya dan menyantap semuanya dengan lahap. "Tapi kamu sudah tidak apa-apa kan?" tanyanya disela-sela makan. Dia menatap Swastika dengan dalam seolah semua inchi wajah Swastika sedang dia kuliti. Swastika hanya menggeleng yang menandakan bahwa dia sudah baik-baik saja. Setelah itu, mereka melanjutkan makan siang dalam diam. Hingga tak lama Elena bersama Balin datang untuk bergabung makan siang. Mereka juga membawa makanan dan beberapa cemilan. "Kalian sudah makan?" tanya
"Bagaimana keadaannya? Apakah dia sudah sadar?" cecar Swastika pada Rama sesaat setelah dia sampai di rumah sakit. Rama bingung bagaimana harus menjawab Swastika karena disana dia sedang mengurus dua orang. Luna yang juga berada didekatnya juga bingung harus menjawab. Mereka berdua hanya saling pandang dan menyuruh Swastika untuk duduk agar lebih tenang dan Balin mengikutinya duduk disebelah Rama. Rama dan Luna bergantian menjelaskan keadaan Ibu dan anak yang sama-sama masuk rumah sakit itu. Raut tegang di wajah Swastika sangat kentara. Karena Mamih Ratna masih belum boleh dikunjungi, dia memutuskan untuk menjenguk Arya terlebih dahulu. Dia ditempatkan di ruangan yang bersebelahan dengan ruangan yang sudah disewa Rama untuk rawat inap Mamih Ratna. Dengan pelan, Swastika menghampiri brangkar Arya. Disana Arya masih terbaring lemah dengan selang infus yang terus menetes konstan. Tak terasa matanya berembun. "Aku sudah tidak apa-apa" ucap Arya lirih yang membuat Swastika terkejut hin
"Sedang apa kamu disini?" ucap Swastika sambil melihat kedalam selimut yang menyelimuti tubuhnya dan mengusap pahanya yang baru saja tertempel 'sesuatu'. "Kamu yang menyeretku kesini" jawab Arya masih dengan muka bantal dan memilih untuk berbaring kesisi satunya. Dia masih merasa mengantuk karena semalaman menunggu Swastika dan baru bisa tidur menjelang subuh. Sementara itu Swastika yang masih berdebar memilih untuk segera turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi setelah tau kalau dia masih berpakaian lengkap. Sekelebat kejadian malam bertahun-tahun lalu itu mulai muncul dalam pikirannya. Dia takut kejadian itu akan kembali terulang tanpa adanya ikatan diantara mereka bertiga. "Mereka sedang apa sih? Bisa-bisanya" oceh Rama yang saat itu sudah berada didalam ruangan Mamih Ratna bersama Luna. "Ada apa? Kenapa mengoceh begitu?" tanya Luna yang baru selesai menyuapi Mamih Ratna. Daripada menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, Rama justru mencari-cari alasan lain dan memilih men
Pagi-pagi sekali, Swastika segera pergi dari mansion Arya. Dengan wajah sembab dan kepala yang terasa pening dia nekat keluar dari sana hanya karena tidak ingin melihat Arya dan pelayan yang 'menemani'nya tadi malam. "Bi, nanti kalau Mamih Ratna tanya bilang saya sudah berangkat ada pekerjaan mendadak" ucap Swastika pada pelayan senior yang memang sudah mengenalnya dengan baik dan juga setelah dia meletakkan note untuk Abi. "Baik. Hati-hati Nyonya. Saya antar kedepan" ucap Pelayan itu dengan tersenyum dan mengangguk. "Tidak perlu. Bibi lanjutkan saja" tolak Swastika halus dan senyum mengembang. Bibi senior itu tau apa yang terjadi semalam. Arya langsung menghubunginya sesaat setelah dia tidak berhasil membujuk Swastika untuk membukakan pintu kamarnya. Bibi senior itu pula yang langsung membawa pelayan yang nekat menggoda Arya ke salah satu paviliun yang ada disana. Tanpa menaruh curiga pada Bibi senior, Swastika segera pergi setelah memberikan informasi pada penjaga untuk membuka
"Kenapa memberi Abi ijin memakai sepeda motor kamu?" tanya Swastika pada Arya setelah masuk keruang kerja Arya. Awalnya Swastika enggan masuk kedalam sana. Bayangan tadi malam masih terlintas dalam benaknya tapi hanya itu area yang kedap suara dan bisa mereka masuki berdua. Tidak mungkinkan mereka masuk kedalam kamar?"Dia sudah cukup besar. Dari video yang dikirim pengawal, dia juga sudah mahir mengendarainya" jawab Arya sembari duduk disofa sementara Swastika masih setia berdiri dibelakang sofa didepan Arya. "Tetap saja itu berbahaya dan lagipula kenapa kamu tidak meminta ijinku dulu?" tanya Swastika yang sudah mulai geram. "Pasti tidak akan kamu ijinkan" tebak Arya yang memang sudah jelas terbukti. "Kalian memang sama saja. Tidak ada bedanya" keluh Swastika dengan tangan terlipat didepan dada dan kemudian memilih untuk duduk disofa. "Memang" jawab Arya yang membuat Swastika semakin kesal. Karena tidak mendapat jawaban yang memuaskan, Swastika memilih keluar dari ruangan itu
"Sialan" umpat Rama yang tanpa sengaja membuka pintu ruang kerja untuk membawakannya dokumen yang dia minta sebelumnya. Mendengar umpatan Rama, Swastika buru-buru menyudahi ciuman mereka. Dia bahkan mendorong tubuh Arya hingga dia terhuyung kebelakang. Swastika yang merasa malu segera menyembunyikan wajahnya didepan dada Arya. Terlihat seperti anak kecil yang sedang bersembunyi karena ketahuan memakan gula-gula. Arya yang cuek justru membawa Swastika kedalam dekapannya dan menyuruh Rama untuk meletakkan dokumen itu diatas meja hanya dengan gerakan mata saja dan menyuruhnya keluar. "Sudah. Dia sudah pergi" ucap Arya yang masih saja memeluk Swastika. "Bagaimana kalau dia melihat yang tadi?" tanya Swastika yang takut setelah berusaha melepas pelukan Arya. "Biarkan saja. Salah sendiri masuk tanpa ketuk pintu dulu" jawab Arya yang dengan lembut mengajak Swastika untuk duduk. "Bagaimana kalau kita lanjutkan lagi?" sambungnya sambil menaik turunkan kedua alisnya sementara Swastika yang
"Lepaskan. Ini sudah sampai" pinta Swastika sambil menggeliat. "Tunggu sebentar" jawab Arya yang justru semakin mengeratkan pelukannya. "Rama. Keluarlah dulu" sambungnya. Tanpa babibu dia segera keluar dan bersandar dikap mobil sambil menghisap rokok. Sejak selesai sarapan tadi mulutnya terasa pahit karena belum sama sekali menyentuh rokoknya. "Mau apa?" tanya Swastika setelah Arya melonggarkan pelukannya tapi masih memegang kedua lengannya. Dengan cepat Arya segera meraih tengkuk Swastika dan menarik wajahnya semakin mendekat. Arya mendaratkan bibirnya di bibir Swastika. Awalnya pelan dan tidak menuntut tapi lama-lama semakin dalam hingga terdengar suara kecipak disana. Swastika semakin mahir meladeni Arya. Walau keduanya tergolong amatir untuk hal seperti ini tapi berdasarkan naluri masing-masing akhirnya mereka menemukan kenikmatannya. Dengan berat hati, Arya membiarkan Swastika memulai kerjanya sementara dia segera pergi kekantor. "Dasar Bucin" sindir Rama sekali lagi. "Iri
Riuh suara para wartawan didepan gedung venue membuat Swastika semakin gugup. Mereka sudah siap dengan kamera yang diarahkan tepat ke arah pintu mobil Arya yang sudab terparkir cukup lama disana. "Tunggu dulu. Aku gugup. Kenapa mereka banyak sekali?" ucap Swastika sambil mengenggam tangan Arya. Arya bisa merasakan tangan Swastika yang mulai berkeringat dan gemetar. "Tenang. Semua akan baik-baik saja. Anggap saja ini seperti acara yang pernah kamu datangi. Tarik nafas, hembuskan pelan" pinta Arya yang juga mempraktekkan hal yang sama. "Ulangi" pintanya lagi. "Ok. Bagus. Sudah lebih baik?" Swastika mengangguk. Dengan mantap Arya turun lebih dulu setelah memberi kode pada pelayan untuk membukakan pintu. "Wah, gagah sekali" "Tampan" "Mempesona" "Gorgerous" "Perfect" Suara pujian terdengar sahut menyahut setelah mereka melihat Arya. Tidak ada yang tidak terpesona padanya. Suara kamera yang sibuk mengambil gambarnya pun tak kalah sahut menyahut. "Ayo" ajak Arya sambil mengulurk