"Sialan" umpat Rama yang tanpa sengaja membuka pintu ruang kerja untuk membawakannya dokumen yang dia minta sebelumnya. Mendengar umpatan Rama, Swastika buru-buru menyudahi ciuman mereka. Dia bahkan mendorong tubuh Arya hingga dia terhuyung kebelakang. Swastika yang merasa malu segera menyembunyikan wajahnya didepan dada Arya. Terlihat seperti anak kecil yang sedang bersembunyi karena ketahuan memakan gula-gula. Arya yang cuek justru membawa Swastika kedalam dekapannya dan menyuruh Rama untuk meletakkan dokumen itu diatas meja hanya dengan gerakan mata saja dan menyuruhnya keluar. "Sudah. Dia sudah pergi" ucap Arya yang masih saja memeluk Swastika. "Bagaimana kalau dia melihat yang tadi?" tanya Swastika yang takut setelah berusaha melepas pelukan Arya. "Biarkan saja. Salah sendiri masuk tanpa ketuk pintu dulu" jawab Arya yang dengan lembut mengajak Swastika untuk duduk. "Bagaimana kalau kita lanjutkan lagi?" sambungnya sambil menaik turunkan kedua alisnya sementara Swastika yang
"Lepaskan. Ini sudah sampai" pinta Swastika sambil menggeliat. "Tunggu sebentar" jawab Arya yang justru semakin mengeratkan pelukannya. "Rama. Keluarlah dulu" sambungnya. Tanpa babibu dia segera keluar dan bersandar dikap mobil sambil menghisap rokok. Sejak selesai sarapan tadi mulutnya terasa pahit karena belum sama sekali menyentuh rokoknya. "Mau apa?" tanya Swastika setelah Arya melonggarkan pelukannya tapi masih memegang kedua lengannya. Dengan cepat Arya segera meraih tengkuk Swastika dan menarik wajahnya semakin mendekat. Arya mendaratkan bibirnya di bibir Swastika. Awalnya pelan dan tidak menuntut tapi lama-lama semakin dalam hingga terdengar suara kecipak disana. Swastika semakin mahir meladeni Arya. Walau keduanya tergolong amatir untuk hal seperti ini tapi berdasarkan naluri masing-masing akhirnya mereka menemukan kenikmatannya. Dengan berat hati, Arya membiarkan Swastika memulai kerjanya sementara dia segera pergi kekantor. "Dasar Bucin" sindir Rama sekali lagi. "Iri
Riuh suara para wartawan didepan gedung venue membuat Swastika semakin gugup. Mereka sudah siap dengan kamera yang diarahkan tepat ke arah pintu mobil Arya yang sudab terparkir cukup lama disana. "Tunggu dulu. Aku gugup. Kenapa mereka banyak sekali?" ucap Swastika sambil mengenggam tangan Arya. Arya bisa merasakan tangan Swastika yang mulai berkeringat dan gemetar. "Tenang. Semua akan baik-baik saja. Anggap saja ini seperti acara yang pernah kamu datangi. Tarik nafas, hembuskan pelan" pinta Arya yang juga mempraktekkan hal yang sama. "Ulangi" pintanya lagi. "Ok. Bagus. Sudah lebih baik?" Swastika mengangguk. Dengan mantap Arya turun lebih dulu setelah memberi kode pada pelayan untuk membukakan pintu. "Wah, gagah sekali" "Tampan" "Mempesona" "Gorgerous" "Perfect" Suara pujian terdengar sahut menyahut setelah mereka melihat Arya. Tidak ada yang tidak terpesona padanya. Suara kamera yang sibuk mengambil gambarnya pun tak kalah sahut menyahut. "Ayo" ajak Arya sambil mengulurk
Malam itu, acara berjalan lancar walau ada sedikit kerikil kecil yang mengganggu jalannya acara tapi Arya masih bisa memendamnya dengan bantuan bisikan-bisikan goib dari Rama walau Arya pasti akan menandai koleganya yang satu itu. "Kerjasama kita dan dia berlangsung berapa lama lagi?" tanya Arya dengan suara lirih. "Kita hanya bekerjasama untuk satu proyek saja. Kalau proyek itu selesai, kita sudah bisa lepas darinya" jawab Rama tak kalah lirih. "Ok. Kamu tau apa yang harus kamu lakukan?" "Siap laksanakan" jawab Rama penuh keyakinan. Dia tau apa yang akan terjadi selanjutnya setelah kontrak mereka habis. Sudah pasti Arya tidak akan membiarkannya begitu saja. Dia pasti akan memberikan efek jera yang bahkan tidak akan pernah dilupakan. Setelah berbincang dengan Rama, Arya segera pergi mendekati Swastika yang melambai padanya. "Bisakah Ayah dan Ibu menginap saja?. Ini sudah terlalu larut malam" tanya Swastika saat mereka berjalan meninggalkan area venue. "Tapi pabrik bagaimana ka
Seperti biasa, setiap pagi semua keluarga akan berkumpul di meja makan untuk sarapan. "Selamat pagi semuanya" sapa Abi yang sudah terlihat sangat tampan pagi ini. Dia menyalami mereka satu per satu dan duduk di kursinya seperti biasa. "Kakek dan Nenek jadi pulang pagi ini?" sambungnya setelah meletakkan tas punggungnya disamping kursi. "Iya cucu Nenek yang tampan" goda Sang Nenek. Sudah lama sejak terakhir mereka bertemu. Bahkan Nenek dan Kakeknya sampai terkejut melihat betapa besarnya Abi tumbuh. Menyadari sejak awal bahwa dia memang tampan, Abi memberikan respon dengan mengedipkan sebelah matanya pada sang Nenek. Sontak perlakuan Abi membuat semua yang ada dimeja makan tertawa. "Lihat. Dia memang tampan. Siapa dulu Papanya" bisik Arya dengan bangga memamerkan Abi pada Swastika. "Tapi bukannya dulu kamu..." "Stop" belum selesai Swastika bicara, Arya buru-buru memotongnya. Dia sudah tau kemana arah pembicaraan Swastika. "Itu dulu. Maaf aku terlalu egois dulu dan membuatmu mend
"Jadi bagaimana?" "Begitu. Good" "Saya tunggu kabar baiknya" Setelah menyampaikan semuanya, Arya segera mengakhiri panggilannya dan kembali fokus mengerjakan tumpukan dokumen yang membuatnya pusing bukan main. Bahkan dia sampai menyuruh Rama untuk mengerjakan sebagian pekerjaannya. Hingga sore hari Arya masih setia bercokol diruangannya dengan dokumen yang sekarang hanya tertinggal dua map. "Ini sudah selesai semuanya. Bonusku seharusnya..." "Ok. Bonusmu aku tambah" jawab cepat Arya sebelum Rama menyelesaikan kalimatnya. "Ah, bos benar-benar baik sekali" ucap Rama yang gembira dengan nada yang dibuat lenjeh dan gerakan seperti ingin memeluk Arya. "Ishh. Jauh. Jauh" usir Arya dengan mengibaskan tangannya. "Hehehe. Eh. tunggu dulu. Apa semuanya sudah siap? Jadi kapan?" tanya Rama yang sudah berubah mode menjadi seperti biasanya. "Tunggu saja. Masih dalam proses" jawab Arya dengan senyum sumringah bahkan sampai meletakkan pulpennya. Seketika dia lupa jika sedang mengerjakan lapo
"Baik Pak Arya semua bukti sudah cukup. Akan segera kami urus semuanya. Nanti akan kami kabari lagi kalau ada info-info terbaru" ucap para pengacara yang menangani kasus penggelapan itu. "Baik. Terima kasih kerjasamanya. Saya tunggu kabar baiknya" jawab Arya. Setelah para pengacara itu pergi, Arya dan Rama bisa sedikit bernafas lega. Walau masih belum sepenuhnya karena kasusnya sama sekali belum selesai dan justru masih dalam tahap awal. "Bagaimana? Apa semua persiapannya sudah selesai?" tanya Rama setelah menyesap kopi yang sejak tadi bahkan belum sama sekali dia sentuh. Arya hanya tersenyum tanpa mau menjelaskan lebih lanjut pada Rama hingga saatnya tiba. Rama memilih kembali keruangannya dan menyelesaikan pekerjaannya sebelum jam pulang kantor selesai. Seketika dia membeku melihat sesuatu yang ada di atas meja kerjanya. Pelan dia mengambil sebuah undangan yang ada disana dan membacanya. "Elena dan Balin" gumamnya. Tanpa membuka isi undangan itu, dia meletakkannya kembali dan
"Tenang dulu Bu" ucap dokter itu kala melihat Swastika yang menangis. "Bapak Arya mengalami patah tulung kaki sebelah kiri dan beberapa luka luar. Untuk luka luar sudah kami tangani, tetapi untuk luka dikaki kami akan segera melakukan operasi. Mohon Ibu untuk menandatangani dokumen persetujuan ini sebelum kami melanjutkan tindakan" ucap dokter itu. Kemudian salah seorang perawat mendatanginya dan menyodorkan dokumen yang harus ditandatangani. "Tapi dia baik-baik saja kan Dok?" tanyanya sekali lagi. "Sejauh yang kami periksa, tidak ada luka dalam selain pada kaki. Semuanya baik-baik saja Bu" jawab dokter. Setelah dokumen ditandatangani, mereka bergegas membawa Arya menuju ruang operasi dan menyuruh Swastika untuk menunggu didepan ruangan. Disana, Swastika menghubungi Luna untuk mengabarkan apa yang tengah terjadi pada Arya karena setelah mencoba menghubungi Rama dia masih belum mendapat jawaban. Luna yang saat itu masih mengantuk dan setengah sadar tersentak mendengar kabar itu. D