"Jangan bercanda. Jangan gunakan Mamih sebagai alasan" jawab Swastika yang mulai kesal dengan ucapan Arya yang menurutnya candaan belaka. "Aku tidak bercanda. Aku tidak pernah main-main dengan ucapan. Pria yang dipegang ucapannya" ucap Arya dengan raut wajah yang menjadi kebih serius. "Aku harus diskusikan dulu dengan Abi" jawab Swastika sambil memalingkan wajahnya melihat kearah keberadaan Abi. Walaupun dia juga tidak menampik ada sedikit rasa bahagia mendengar ucapan Arya. Setelah pembicaraan itu, mereka jadi sedikit canggung. Tapi berbeda dengan Abi, dia justru terlihat lengket dengan Arya setelah sogokan yang dilakukan Arya berkali-kali. Mulai dari mainan, makanan, satu set peralatan game terbaru, pakaian, sepatu dan semua hal yang ditunjuk Abi langsung dibelikan oleh Arya. Bagi Swastika kebahagiaan Abi adalah yang paling utama. Setelah hari mulai malam dan Abi sudah mulai mengantuk, mereka memutuskan untuk pulang tapi sebelum itu, mereka mampir dulu ke salah satu restoran lan
"Mungkin Abi masih perlu waktu untuk menerima semuanya. Mungkin menurutnya ini terlalu mendadak" ucap Elena mencoba menenangkan Swastika yang menangis dalam pelukannya. Dia mengusap dan menepuk pelan punggung sahabatnya itu sambil sesekali melirik kearah kamar Abi yang sekarang lampunya sudah dimatikan. Dia hanya bisa menghela nafas dalam. "Apa ada perkataanku yang salah?" tanya Swastika disela tangisnya. "Tidak ada" jawab Elena sambil melepas pelukan sahabatnya itu dan menatapnya lekat. "Kalau keputusanmu bagaimana?" sambungnya tapi hanya mendapat gelengan dari Swastika. Swastika sendiri masih bimbang, tidak tahu harus memberikan keputusan seperti apa karena baginya apapun keputusannya tetap Abi yang menjadi pengambil keputusan akhir. Mau seberapa cintanya dia pada seorang pria kalau Abi menolak kehadiran siapapun itu Swastika akan mengiyakan keputusan Abi. Keesokan paginya, Abi masih bungkam. Dia bahkan tidak menghiraukan sapaan Mamanya dan justru memilih mengajak Elena untuk s
Swastika masih penasaran dengan maksud perkataan Elena, tapi dia mencoba menghiraukannya dan memilih masuk kedalam kamarnya setelah selesai membereskan ruang tv dan dapur. "Kenapa dia tidak menghubungiku lagi?" gumam Swastika sambil melirik ponselnya yang ada diatas meja sementara kedua tangannya sedang memegang buku. Biasanya Arya akan selalu mengiriminya pesan, entah mendapat tanggapan atau bahkan terkadang hanya akan dibaca saja oleh Swastika tapi hari ini sejak siang hari Arya sama sekali tidak mengiriminya pesan apapun. Ponselnya terasa sepi walau sebenarnya banyak sekali orang yang menghubunginya mulai dari rekan kerja, klien, distributor ataupun sales. Ingin rasanya dia menghubungi Arya lebih dulu tapi dia merasa gengsi dan justru malah menjadi uring-uringan sendiri. Untuk mengalihkan perhatiannya, dia mulai membaca buku lagi. Hingga konsentrasinya pecah karena terdengar suara ketukan. Takut mengganggu Elena dan Abi, dia segera memakai jaketnya dan membuka pintu. "Sepertiny
"Pak, sadar Pak" "Bapak" "Sadar Pak" "BOS" teriak Rama yang didekap Arya dengan sangat erat. Beruntunglah susu yang dibawanya tidak tumpah saat itu. Mendengar bentakan Rama yang tepat disamping telinganya, seketika Arya sadar dan melepas pelukannya. "K-kenapa k-kamu yang ada disini? Peluk-peluk saya lagi" ucap Arya terbata sambil mundur pelan-pelan dengan memegang pinggiran celananya yang mulai melorot. "Bapak yang meluk saya duluan" jawab Rama santai sambil berjalan masuk kedalam kamar dan meletakkan nampan yang dibawanya. Sementara Arya duduk ditepi ranjang dengan memegang kepalanya yang terasa berdenyut. "Saya ganteng-ganteng begini pakai dikira Bu Tika" sambungnya dengan nada sedikit meledek. Kalau sudah keadaan begini, mana berani Rama berkata seperti tadi malam. Bisa-bisa tidak dapat gaji+bonusnya bulan depan. Arya tidak menanggapi ocehan Rama, dia lebih memilih untuk kedalam kamar mandi karena merasa mual. Setelah lama menyelesaikan semua urusannya dikamar mandi, Arya b
"PERGI" teriaknya dengan keras yang membuat Abi juga Elena segera keluar dari dalam kamarnya. "Ada apa?" tanya Elena sambil berlari menuju tempat Swastika diikuti Abi dibelakangnya. "MAU APA LAGI KAMU KESINI?" bentak Elena yang mencoba sok kuat dengan berdiri didepan Swastika mencoba menghalangi Dion agar tidak mendekat sementara Abi memegang tangan Mamanya dengan sangat kuat. "Masih kurang bermalam di penjara sampai kamu berani datang kemari lagi?" sambungnya dengan tatapan seolah siap membunuh Dion saat itu juga. Dion tidak merespon apapun ucapan Elena, dia tetap diam dengan memandang lekat pada wajah Swastika yang tengah ketakutan dan panik karena rasa trauma yang sempat dialaminya tiba-tiba mulai kambuh lagi. Tangan terasa dingin dan tubuhnya gemetar hebat. Abi sampai takut Mamanya kenapa-kenapa. Satu yang mereka lupakan, ini sudah memasuki tahun keempat setelah kejadian naas itu jadi sudah pasti Dion sudah keluar dari penjara. "Jadi ini sudah 4 tahun ya? Mau apa lagi kamu?"
Arya yang baru saja keluar dari apartemen Swastika segera menghubungi orang kepercayaannya untuk menemukan keberadaan Dion yang dia yakini masih ada didalam kota. Walau sudah berjam-jam yang lalu dia mengusir Dion tapi dia tau dengan pasti bahwa Dion tidak memiliki tujuan. "Dia pasti masih ada disekitar sini" gumamnya sambil mencondongkan diri kedepan untuk melihat kanan kirinya mencari Dion. Dia mencengkeram erat kemudinya. Setelah berkeliling disekitar apartemen Swastika, dia memutuskan untuk berhenti disebuah taman karena melihat siluet seorang pria yang sedang duduk yang menurutnya terlihat seperti Dion. Dia pun memarkirkan mobilnya dan berjalan mendekatinya. Menepuk bahu kirinya dan saat pria itu berbalik ternyata hanya seorang pemuda yang sedang mabuk, diapun memutuskan untuk menyusuri taman itu. Tak berselang lama, anak buahnya menghubungi dan memintanya mendatangi sebuah rumah yang alamatnya sudah dikirimkan. Dia bergegas pergi kesana. "LEPASKAN" teriak Dion dalam keadaan
Dengan telaten Swastika mengobati luka Arya. Walau dia juga merasa ngeri sendiri dengan banyaknya luka itu. Setelah selesai mengobati lukanya, Swastika membuatkan makan siang untuk Arya. "Aku ingin seperti ini setiap hari" ucap Arya sambil menyantap makanannya. Swastika hanya diam dan menunduk menyembunyikan perasaannya. "Terima kasih untuk semalam" ucap Swastika mencoba mengalihkan pembicaraan. "Semalam? Memang kita melakukan apa?" tanya Arya seolah tidak terjadi apa-apa diantara mereka. Dia tetap melanjutkan makannya dan menyantap semuanya dengan lahap. "Tapi kamu sudah tidak apa-apa kan?" tanyanya disela-sela makan. Dia menatap Swastika dengan dalam seolah semua inchi wajah Swastika sedang dia kuliti. Swastika hanya menggeleng yang menandakan bahwa dia sudah baik-baik saja. Setelah itu, mereka melanjutkan makan siang dalam diam. Hingga tak lama Elena bersama Balin datang untuk bergabung makan siang. Mereka juga membawa makanan dan beberapa cemilan. "Kalian sudah makan?" tanya
"Bagaimana keadaannya? Apakah dia sudah sadar?" cecar Swastika pada Rama sesaat setelah dia sampai di rumah sakit. Rama bingung bagaimana harus menjawab Swastika karena disana dia sedang mengurus dua orang. Luna yang juga berada didekatnya juga bingung harus menjawab. Mereka berdua hanya saling pandang dan menyuruh Swastika untuk duduk agar lebih tenang dan Balin mengikutinya duduk disebelah Rama. Rama dan Luna bergantian menjelaskan keadaan Ibu dan anak yang sama-sama masuk rumah sakit itu. Raut tegang di wajah Swastika sangat kentara. Karena Mamih Ratna masih belum boleh dikunjungi, dia memutuskan untuk menjenguk Arya terlebih dahulu. Dia ditempatkan di ruangan yang bersebelahan dengan ruangan yang sudah disewa Rama untuk rawat inap Mamih Ratna. Dengan pelan, Swastika menghampiri brangkar Arya. Disana Arya masih terbaring lemah dengan selang infus yang terus menetes konstan. Tak terasa matanya berembun. "Aku sudah tidak apa-apa" ucap Arya lirih yang membuat Swastika terkejut hin
"Apa kabar Bapak Arya yang terhormat" ucap pria itu setelah melepas topi dan maskernya. Dengan masih memegang lengannya yang terluka. "Masih berani Anda menemui saya?" ucap Arya dengan tenang. "Kenapa saya harus takut? Saya tidak pernah melakukan sesuatu setengah-setengah. Kalau ujungnya saya pasti akan masuk penjara, kenapa tidak sekalian saja saya mengirim Anda menghadap Tuhan Anda?" pria itu tertawa seolah bangga dengan apa yang dia katakan. "Psikopat. Tunggu saja. Sebentar lagi akan ada polisi yang datang" dan benar saja, tidak lama memang ada polisi yang datang kesana. "Biarkan saja. Saya tidak takut" pria itu masih terus tertawa. "Pak Bramanto, apa Anda yakin keluarga Anda sedang dalam keadaan baik-baik saja saat ini?" gertak Arya yang tentu saja langsung membuat Bramanto ciut. Apalagi saat melihat senyum mengerikan yang Arya berikan, sungguh membuat bulu kuduk meremang."Apa yang Anda tau tentang keluarga saya? Mereka sudah berada ditempat yang aman" ucap Bramanto dengan
Pagi harinya, saat semua keluarga tengah berkumpul untuk sarapan, Arya dan David masih belum menampakkan batang hidungnya. "Kemana Arya? Kenapa belum turun?" gerutu Mamih Ratna. "Dia tadi malam sedikit mabuk Mih, mungkin masih tidur" jawab Swastika. "Akan aku coba bangunkan Mih" sambungnya. "Ya sudah. Suruh dia cepat mandi dan sarapan" "Iya Mih" Swastikapun meninggalkan makanannya dan bergegas menuju kamar Arya. Setelah menanyakan pada para pengawal yang berjaga didepan kamar, Swastika segera masuk. Dan benar saja, Arya masih tertidur pulas diatas ranjang dengan kemeja, celana panjang dan kaos kaki yang sudah berserakan dimana-mana. Swastika memunguti semuanya dan meletakkannya didalam paperbag yang semula berisi pakaian bersih untuk Arya berganti baju. "Ayo bangun" Swastika mencoba menarik lengan Arya untuk mengeluarkannya dari dalam selimut. "Hhmm" "Ayo. Mamih menunggu dibawah" "Biarkan saja. Kepalaku pusing sekali" "Makanya jangan mabuk. Kakimu jugakan masih sakit kenapa
"Aku tidak ingin pulang. Aku ikut kemana Anda pergi" ucap gadis itu dengan wajah memelas dan air mata yang masih menggenang. "HAH?" Rama yang bingung tidak tau harus membawa gadis itu kemana, akhirnya memilih untuk tetap meninggalkan acara pesta. Sebelum pergi dia mengabari Arya bahwa ada urusan mendesak yang membuatnya harus pergi lebih dulu. "Rama kenapa?" tanya Swastika yang mendapat bisikan mengenai kepulangan Rama. "Tidak tau. Katanya ada urusan mendesak" jawab Arya tidak peduli. Merekapun melanjutkan menikmati rangkaian acara lain dengan Abi yang sudah lebih dulu masuk kedalam kamar hotel. Arya sengaja memesan kamar hotel yang memang berada disatu lokasi dengan gedung tempat acara pernikahan Elena. Dia sudah menduga bahwa acara ini akan berlangsung hingga lebih dari tengah malam. Dia juga sudah memesan untuk yang lain termasuk Rama tapi karena dia sudah pulang lebih dulu, kamar itu hanya akan dihuni oleh David sementara Abi akan tetap bersama Ryan dan dua pengawal lain, da
Dua jam sebelum acara dimulai, mereka sudah berangkat beriringan menggunakan tiga mobil dan beberapa pengawal yang ada di belakang rombongan mereka. "Jangan cemberut sepert itu dong. Ayo senyum" goda David pada Rama yang kalah dalam tantangan tahan nafas. "Sialan. Ini tidak mungkin. Pasti kalian berdua curang" tuding Rama pada Abi dan David. "TIDAK" sangkal Abi dan David. "Itu hampir 15 menit. Tidak mungkin kalian bisa tahan nafas sampai selama itu terutama kamu" tunjuk Rama pada David. "Lebih baik kita nanti tanyakan pada Pak Arya saja" jawab David yang tertawa bersama Abi. Mereka merasa lucu melihat Rama yang uring-uringan karena tidak terima dengan kekalahannya. Setelah berkendara membelah kemacetan hampir 2 jam akhirnya mereka sampai ke tempat acara. "Wow. Dekorasinya cantik sekali" kagum Swastika yang lekat memandang dekorasi ruangan itu. Pada awalnya Elena menginginkan tema outdoor tapi karena ramalan cuaca yang tidak menentu akhirnya dia harus mengganti tema menjadi indo
"Wah, tadi itu benar-benar menyenangkan" ucap Abi kegirangan saat sudah masuk kedalam kamarnya. Tidak pernah dia membayangkan akan berada dalam situasi seperti itu. Sangat mirip dengan adegan perkelahian di film action yang sering ditontonnya. Seketika ponselnya bergetar menandakan ada sebuah pesan masuk. "Waaahhhh" teriak Abi kegirangan sembari joget-joget masuk kedalam kamar mandi. Pesan dari Arya yang berisi perintah untuk mulai belajar pisau dan pedang membuat adrenalin Abi terpacu. "Baru pulang sudah sibuk dengan ponselmu lagi?" Ucap Swastika yang keheranan dengan kelakuan Arya. "Hehe. Maaf. Sayang sini sebentar" "Ada apa?" Swastika mendekat membawa es jeruk dan beberapa cemilan. Arya merogoh sesuatu yang ada didalam sakunya dan menunjukkannya pada Swastika. "Marry Me?" ucap Arya tiba-tiba.Swastika yang kaget hanya bisa menutup mulutnya yang menganga. Jantungnya berdetak cepat sampai dia benar-benar tidak bisa berkata-kata. "Maaf karena tidak ada acara istimewa. Aku buk
Sampai dikantornya, Arya segera menuju ruangannya dan meminta Rama dan David untuk segera menemuinya. "Kamu istirahat disini dulu sebentar ya. Aku ada meeting sebentar dengan Rama dan David" ucap Arya setelah mengantar Swastika keruangan pribadinya. "Baiklah. Sepertinya ini perihal rahasia perusahaanmu. Aku akan tunggu disini" jawab Swastika. Sebelum meninggalkan Swastika disana, Arya meninggalkan kecupan dikening dan kemudian menggunakan tongkatnya untuk berjalan menuju ruangannya. Disana Rama dan David sudah menunggu. "Jadi bagaimana? Jelaskan" pinta Arya.Merekapun menjelaskan pada Arya mengenai bukti-bukti temuannya dan siapa saja yang dicurigai sebagai komplotannya. Rama juga menjelaskan bahwa disalah satu cabang perusahaannya, mereka berhasil membawa kabur sejumlah uang. "Kenapa bisa kecolongan lagi?" tanya Arya yang sudah kesal sedari tadi. "Maaf, kami tidak menyangka kalau komplotannya bahkan sudah ada dimana-mana" jawab David. "Untuk sekarang, semua yang ada di kantor c
"Antar ke rumah sakit ya Pak" ucap Abi pada sopir yang mengawalnya. Karena permintaan Arya, untuk sementara Abi tidak diperbolehkan untuk naik sepeda motor sebagai gantinya, dia akan diantar jemput oleh sopir kepercayaan Arya dan beberapa pengawal. Karena hal itu pula, setelah Arya memberi instruksi pada Rama, ada pengawal yang datang kesekolah Abi dan mengambil motor yang dibawanya tadi pagi. "Kenapa harus sebegitunya sih? Kenapa juga tidak boleh naik motor? Dia yang punya musuh kenapa harus aku yang berkorban?" ocehan Abi disepanjang perjalanan. "Tuan Arya hanya mengkhawatirkan Tuan Muda. Karena dibidang yang digeluti Tuan Arya, para musuh tidak akan hanya mencoba menyerang Tuan Arya sendiri tetapi juga orang-orang yang ada disekelilingnya. Jadi saya mohon Tuan Muda untuk tidak berprasangka buruk dulu" ucap Ryan, pengawal pribadi Abi. "Hufh" Abi memutar bola matanya dan memilih untuk kembali fokus pada ponselnya. Setelah menempuh perjalanan yang memakan waktu lama karena terjeb
"Bu, saya mau ijin pulang dulu. Sebentar lagi mau masuk jam kantor" pamit Rama. "Iya. Berangkatlah" jawab Mamih Ratna. Setelah berpamitan, Rama diantar Swastika hingga keluar ruangan. "Rama, kalau ada info terbaru tolong kabari ya" pinta Swastika. "Baik Bu. Akan saya infokan kalau ada perkembangan. Saya permisi" Rama pun meninggalkan rumah sakit dan pergi menuju kantornya. Saat Swastika kembali kedalam ruangan dan melanjutkan kegiatannya mengelap tubuh Arya, tiba-tiba dia merasakan jemari Arya bergerak. Cepat-cepat dia berdiri dan memanggil Mamih Ratna dan Swastika meminta tolong pada Luna untuk memanggilkan dokter. Tak berapa lama, kedua mata Arya perlahan terbuka."Arya" "Sayang" "Kamu bisa dengar Mamih?" "Arya" "Arya" panggil Mamih Ratna dan Swastika saling sahut. Mereka terus memberikan afirmasi pada Arya agar segera sadar tetapi Arya tidak merespon apapun. Dia masih berusaha membuka matanya. "Mamih" "Tika" ucapnya tanpa mengeluarkan suara. "Hei, kamu sudah bangun? Tu
"Tenang dulu Bu" ucap dokter itu kala melihat Swastika yang menangis. "Bapak Arya mengalami patah tulung kaki sebelah kiri dan beberapa luka luar. Untuk luka luar sudah kami tangani, tetapi untuk luka dikaki kami akan segera melakukan operasi. Mohon Ibu untuk menandatangani dokumen persetujuan ini sebelum kami melanjutkan tindakan" ucap dokter itu. Kemudian salah seorang perawat mendatanginya dan menyodorkan dokumen yang harus ditandatangani. "Tapi dia baik-baik saja kan Dok?" tanyanya sekali lagi. "Sejauh yang kami periksa, tidak ada luka dalam selain pada kaki. Semuanya baik-baik saja Bu" jawab dokter. Setelah dokumen ditandatangani, mereka bergegas membawa Arya menuju ruang operasi dan menyuruh Swastika untuk menunggu didepan ruangan. Disana, Swastika menghubungi Luna untuk mengabarkan apa yang tengah terjadi pada Arya karena setelah mencoba menghubungi Rama dia masih belum mendapat jawaban. Luna yang saat itu masih mengantuk dan setengah sadar tersentak mendengar kabar itu. D