"Mungkin Abi masih perlu waktu untuk menerima semuanya. Mungkin menurutnya ini terlalu mendadak" ucap Elena mencoba menenangkan Swastika yang menangis dalam pelukannya. Dia mengusap dan menepuk pelan punggung sahabatnya itu sambil sesekali melirik kearah kamar Abi yang sekarang lampunya sudah dimatikan. Dia hanya bisa menghela nafas dalam. "Apa ada perkataanku yang salah?" tanya Swastika disela tangisnya. "Tidak ada" jawab Elena sambil melepas pelukan sahabatnya itu dan menatapnya lekat. "Kalau keputusanmu bagaimana?" sambungnya tapi hanya mendapat gelengan dari Swastika. Swastika sendiri masih bimbang, tidak tahu harus memberikan keputusan seperti apa karena baginya apapun keputusannya tetap Abi yang menjadi pengambil keputusan akhir. Mau seberapa cintanya dia pada seorang pria kalau Abi menolak kehadiran siapapun itu Swastika akan mengiyakan keputusan Abi. Keesokan paginya, Abi masih bungkam. Dia bahkan tidak menghiraukan sapaan Mamanya dan justru memilih mengajak Elena untuk s
Swastika masih penasaran dengan maksud perkataan Elena, tapi dia mencoba menghiraukannya dan memilih masuk kedalam kamarnya setelah selesai membereskan ruang tv dan dapur. "Kenapa dia tidak menghubungiku lagi?" gumam Swastika sambil melirik ponselnya yang ada diatas meja sementara kedua tangannya sedang memegang buku. Biasanya Arya akan selalu mengiriminya pesan, entah mendapat tanggapan atau bahkan terkadang hanya akan dibaca saja oleh Swastika tapi hari ini sejak siang hari Arya sama sekali tidak mengiriminya pesan apapun. Ponselnya terasa sepi walau sebenarnya banyak sekali orang yang menghubunginya mulai dari rekan kerja, klien, distributor ataupun sales. Ingin rasanya dia menghubungi Arya lebih dulu tapi dia merasa gengsi dan justru malah menjadi uring-uringan sendiri. Untuk mengalihkan perhatiannya, dia mulai membaca buku lagi. Hingga konsentrasinya pecah karena terdengar suara ketukan. Takut mengganggu Elena dan Abi, dia segera memakai jaketnya dan membuka pintu. "Sepertiny
"Pak, sadar Pak" "Bapak" "Sadar Pak" "BOS" teriak Rama yang didekap Arya dengan sangat erat. Beruntunglah susu yang dibawanya tidak tumpah saat itu. Mendengar bentakan Rama yang tepat disamping telinganya, seketika Arya sadar dan melepas pelukannya. "K-kenapa k-kamu yang ada disini? Peluk-peluk saya lagi" ucap Arya terbata sambil mundur pelan-pelan dengan memegang pinggiran celananya yang mulai melorot. "Bapak yang meluk saya duluan" jawab Rama santai sambil berjalan masuk kedalam kamar dan meletakkan nampan yang dibawanya. Sementara Arya duduk ditepi ranjang dengan memegang kepalanya yang terasa berdenyut. "Saya ganteng-ganteng begini pakai dikira Bu Tika" sambungnya dengan nada sedikit meledek. Kalau sudah keadaan begini, mana berani Rama berkata seperti tadi malam. Bisa-bisa tidak dapat gaji+bonusnya bulan depan. Arya tidak menanggapi ocehan Rama, dia lebih memilih untuk kedalam kamar mandi karena merasa mual. Setelah lama menyelesaikan semua urusannya dikamar mandi, Arya b
"PERGI" teriaknya dengan keras yang membuat Abi juga Elena segera keluar dari dalam kamarnya. "Ada apa?" tanya Elena sambil berlari menuju tempat Swastika diikuti Abi dibelakangnya. "MAU APA LAGI KAMU KESINI?" bentak Elena yang mencoba sok kuat dengan berdiri didepan Swastika mencoba menghalangi Dion agar tidak mendekat sementara Abi memegang tangan Mamanya dengan sangat kuat. "Masih kurang bermalam di penjara sampai kamu berani datang kemari lagi?" sambungnya dengan tatapan seolah siap membunuh Dion saat itu juga. Dion tidak merespon apapun ucapan Elena, dia tetap diam dengan memandang lekat pada wajah Swastika yang tengah ketakutan dan panik karena rasa trauma yang sempat dialaminya tiba-tiba mulai kambuh lagi. Tangan terasa dingin dan tubuhnya gemetar hebat. Abi sampai takut Mamanya kenapa-kenapa. Satu yang mereka lupakan, ini sudah memasuki tahun keempat setelah kejadian naas itu jadi sudah pasti Dion sudah keluar dari penjara. "Jadi ini sudah 4 tahun ya? Mau apa lagi kamu?"
Arya yang baru saja keluar dari apartemen Swastika segera menghubungi orang kepercayaannya untuk menemukan keberadaan Dion yang dia yakini masih ada didalam kota. Walau sudah berjam-jam yang lalu dia mengusir Dion tapi dia tau dengan pasti bahwa Dion tidak memiliki tujuan. "Dia pasti masih ada disekitar sini" gumamnya sambil mencondongkan diri kedepan untuk melihat kanan kirinya mencari Dion. Dia mencengkeram erat kemudinya. Setelah berkeliling disekitar apartemen Swastika, dia memutuskan untuk berhenti disebuah taman karena melihat siluet seorang pria yang sedang duduk yang menurutnya terlihat seperti Dion. Dia pun memarkirkan mobilnya dan berjalan mendekatinya. Menepuk bahu kirinya dan saat pria itu berbalik ternyata hanya seorang pemuda yang sedang mabuk, diapun memutuskan untuk menyusuri taman itu. Tak berselang lama, anak buahnya menghubungi dan memintanya mendatangi sebuah rumah yang alamatnya sudah dikirimkan. Dia bergegas pergi kesana. "LEPASKAN" teriak Dion dalam keadaan
Dengan telaten Swastika mengobati luka Arya. Walau dia juga merasa ngeri sendiri dengan banyaknya luka itu. Setelah selesai mengobati lukanya, Swastika membuatkan makan siang untuk Arya. "Aku ingin seperti ini setiap hari" ucap Arya sambil menyantap makanannya. Swastika hanya diam dan menunduk menyembunyikan perasaannya. "Terima kasih untuk semalam" ucap Swastika mencoba mengalihkan pembicaraan. "Semalam? Memang kita melakukan apa?" tanya Arya seolah tidak terjadi apa-apa diantara mereka. Dia tetap melanjutkan makannya dan menyantap semuanya dengan lahap. "Tapi kamu sudah tidak apa-apa kan?" tanyanya disela-sela makan. Dia menatap Swastika dengan dalam seolah semua inchi wajah Swastika sedang dia kuliti. Swastika hanya menggeleng yang menandakan bahwa dia sudah baik-baik saja. Setelah itu, mereka melanjutkan makan siang dalam diam. Hingga tak lama Elena bersama Balin datang untuk bergabung makan siang. Mereka juga membawa makanan dan beberapa cemilan. "Kalian sudah makan?" tanya
"Bagaimana keadaannya? Apakah dia sudah sadar?" cecar Swastika pada Rama sesaat setelah dia sampai di rumah sakit. Rama bingung bagaimana harus menjawab Swastika karena disana dia sedang mengurus dua orang. Luna yang juga berada didekatnya juga bingung harus menjawab. Mereka berdua hanya saling pandang dan menyuruh Swastika untuk duduk agar lebih tenang dan Balin mengikutinya duduk disebelah Rama. Rama dan Luna bergantian menjelaskan keadaan Ibu dan anak yang sama-sama masuk rumah sakit itu. Raut tegang di wajah Swastika sangat kentara. Karena Mamih Ratna masih belum boleh dikunjungi, dia memutuskan untuk menjenguk Arya terlebih dahulu. Dia ditempatkan di ruangan yang bersebelahan dengan ruangan yang sudah disewa Rama untuk rawat inap Mamih Ratna. Dengan pelan, Swastika menghampiri brangkar Arya. Disana Arya masih terbaring lemah dengan selang infus yang terus menetes konstan. Tak terasa matanya berembun. "Aku sudah tidak apa-apa" ucap Arya lirih yang membuat Swastika terkejut hin
"Sedang apa kamu disini?" ucap Swastika sambil melihat kedalam selimut yang menyelimuti tubuhnya dan mengusap pahanya yang baru saja tertempel 'sesuatu'. "Kamu yang menyeretku kesini" jawab Arya masih dengan muka bantal dan memilih untuk berbaring kesisi satunya. Dia masih merasa mengantuk karena semalaman menunggu Swastika dan baru bisa tidur menjelang subuh. Sementara itu Swastika yang masih berdebar memilih untuk segera turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi setelah tau kalau dia masih berpakaian lengkap. Sekelebat kejadian malam bertahun-tahun lalu itu mulai muncul dalam pikirannya. Dia takut kejadian itu akan kembali terulang tanpa adanya ikatan diantara mereka bertiga. "Mereka sedang apa sih? Bisa-bisanya" oceh Rama yang saat itu sudah berada didalam ruangan Mamih Ratna bersama Luna. "Ada apa? Kenapa mengoceh begitu?" tanya Luna yang baru selesai menyuapi Mamih Ratna. Daripada menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, Rama justru mencari-cari alasan lain dan memilih men