Sebelum Vesa menjawab pertanyaan Inka, sebuah suara bariton berat terdengar olehnya dari arah tangga, "Kenapa bertanya soal photo itu?"
Stefan Aditama tengah menaiki tangga dengan tenang dan tersenyum pada Inka begitu dia melihat gadis itu."Paman sudah pulang?" tanya gadis itu terheran-heran."Kenapa, gadis nakal? Kau tak suka pamanmu pulang lebih awal?" tanya Stefan pura-pura tersinggung.Vesa masih belum berbalik dan menatap photo itu dengan tatapan kosong penuh kebingungan."Ah, bukan begitu. Hanya heran saja tak biasanya Paman pulang di sore hari begini? Apa ada sesuatu?" tanya Inka balik."Yah, anggap saja urusan Paman berjalan dengan lancar jadi bisa cepat pulang," jawab Stefan sambil lalu."Tumben sekali kau membawa pulang temanmu, apa dia..."Inka dengan cepat menyela, "Jangan berpikir aneh-aneh, Paman. Kami hanya mengerjakan tugas kelompok."Stefan kemudian melirik ke arah pemuda yang masihSuara pintu yang didobrak itu berhasil mengagetkan ketiganya. Stefan dengan tergesa-gesa menuruni tangga disusul oleh Vesa dan Inka dengan penuh kebingungan.Di lantai dasar, beberapa orang yang berpakaian serba hitam muncul di sana. Vesa langsung saja mengetahui jika mereka adalah anak buah ayahnya. Stefan menoleh menatap wajah bingung pemuda itu dan bertanya sekali lagi, "Kau benar-benar tidak memanggil mereka?""Tidak, sungguh. Aku tidak tahu," jawab Vesa jujur.Stefan mempercayainya."Hei, apa-apaan kalian ini? Datang ke rumah orang dengan cara yang sangat barbar. Apakah kalian tidak tahu caranya bertamu ke rumah orang dengan benar?" sindir Stefan.Vesa melihat ke arah mereka dan kemudian seorang pria seumuran Stefan yang tidak lain adalah Ruslan masuk ke dalam, "Tuan Muda."Vesa mengangguk dan kemudian mendekat ke arah Ruslan. Dia bertanya, "Ada apa? Kenapa Paman ke sini dan kenapa membawa pengawal sebanyak ini?"
Vesa tahu jika dia tidak boleh mencurigai seseorang tanpa alasan yang kuat. Namun, ketika dia mempelajari apa yang telah menimpa sang ayah, dia semakin yakin jika memang tak ada orang yang benar-benar dia bisa percayai kecuali jika orang itu memiliki hubungan darah.Satu-satu orang yang memiliki hubungan darah dengannya di Indonesia hanyalah ayahnya maka mulai detik itu juga, dia tidak akan memberikan kepercayaannya secara penuh pada seseorang. Walaupun itu adalah Ruslan, orang yang menjadi kepercayaan ayahnya sendiri dan yang telah menolongnya.Namun jauh di dalam lubuk hatinya, dia ingin sekali mempercayai Derrick dan si kembar meskipun mereka bertiga bukanlah berasal dari Indonesia. Terutama Derrick, dia merasa jika temannya yang satu itu tulus padanya dan tak memiliki niat yang tersembunyi.Dan semoga firasatnya memang benar. Dia ingin memiliki seorang seperti Agusta Irawan yang seperti ayahnya miliki dulu. Dari semua orang terdekat ayahnya hanya Agust
"Paman, saya ada sesuatu yang belum saya katakan pada Paman," ucap Vesa sesaat sebelum mobil mereka sampai di area parkir petinggi di AL Group.Ruslan yang duduk di samping sopir itu langsung saja menoleh, "Ya. Tuan Muda?"Vesa menghela napas sebelum berbicara, dia harus meyakinkan dirinya sendiri jika apa yang dia lakukan sudah benar. "Ada yang mencoba mencelakai saya di kampus," ujar Vesa dengan suara rendah.Mata Ruslan membulat kaget, mulutnya sedikit terbuka, "Kenapa Anda baru memberitahu saya sekarang? Kapan hal itu terjadi? Bisa tolong Anda ceritakan lebih rinci pada saya, Tuan Muda?"Vesa mengangguk, "Saya waktu itu sedang menunggu ketiga teman saya itu di dekat tangga dan saya tiba-tiba saja didorong. Saya terjatuh tapi untung ada seseorang yang menyelamatkan saya.""Apa!? Astaga, Tuan Muda. Kita ke rumah sakit sekarang, saya takut jika luka Anda serius...""Tidak. Tidak perlu, Paman. Saya baik-baik saja. Saya hanya mint
Di dalam lift, Derrick menoleh keheranan pada sahabatnya itu tapi tak mengatakan apa-apa."Oh, iya Vesa. Kenapa kau meninggalkan ponselmu di ruanganmu?" tanya Derrick."Hah!? Aku meninggalkannya?" tanya Vesa pura-pura terkejut.Vesa menepuk jidatnya pelan.Derrick menatap aneh Vesa, "Kau itu. Dasar pelupa. Apa kita perlu naik ke lantai atas lagi untuk mengambil ponselmu?"Dengan cepat Vesa menanggapi, "Tidak. Tidak perlu, Derrick. Waktu istirahat kan cuma sebentar, aku takut nanti malah sudah habis waktunya. Kau bawa ponselmu kan? Kalau ada yang penting, pasti mereka akan menghubungimu. Verylta tahu aku keluar denganmu."Derrick mengangguk, "Benar juga."Saatl lift itu sudah terbuka, Vesa dengan sengaja menjatuhkan jam tangannya di depan lift dan hal itu tertangkap mata Derrick. Namun, sebelum Derrick memprotesnya, Vesa sudah menyeret temannya itu dan pergi ke seberang jalan. Sampai di minimarket, Vesa merampas
"Ah, ponselku tertinggal. Apa ada? Ada hal penting?" tanya Vesa sambil memasuki ruang kerjanya."Oh, itu. Tidak ada, Tuan. Hanya mencemaskan Anda saja. Kalau begitu saya permisi dulu," ujar Verylta dan gadis itu pun menghilang begitu saja.Vesa mendesah kecewa. Dia mulai bisa memahami pelan-pelan sekarang. Di sekelilingnya ada begitu banyak kepalsuan hingga dia mulai merasa harus lebih waspada. Dia melirik ponselnya di atas meja dan tak berminat untuk menyentuhnya.Dia sudah merasa aneh dengan ponsel itu sejak lama. Dia pun baru-baru saja menyadari jika ponselnya telah disadap. Dan tak hanya itu saja, dia pun tahu arloji mewahnya itu semuanya telah dipasangi dengan alat penyadap. Vesa tidak tahu apakah saat ini dia harus tertawa apa bersedih. Dia sangat bingung hingga dia tak tahu siapa orang yang bisa dia percayai. Dua jam kemudian, dia hanya menghabiskan waktunya untuk mencari cara agar dia bisa membongkar hal yang menurutnya tak waja
"Bagaimana?" tanya seseorang di seberang sana melalui panggilan telepon."Sesuai rencana Anda, Bos. Dia mulai terpancing. Aku rasa sekarang dia sedang kebingungan siapa yang harus dia percayai," jawab Verlyta pelan."Bagus, lanjutkan sesuai rencana, jangan sampai gagal," ucap orang itu serius.Verlyta menjawab, "Baik, Bos. Tenang saja."Dengan segera dia menutup saluran panggilan itu. Gadis muda itu tersenyum senang karena rencananya berjalan dengan lancar.Dia mulai merapikan meja kerjanya saat Derrick dan juga dua pemuda tampan lainnya berjalan menghampiri mereka."Nona Verlyta, apakah Vesa sudah selesai?" tanya Derrick yang tak mau langsung saja masuk ke dalam ruangan sahabatnya itu tanpa izin lantaran takut jika kedatangannya mengganggu Vesa."Eh, maaf. Tuan Vesa sudah pulang dua jam yang lalu," sahut Verlyta.Lay yang mendengar itu, segera berbicara, "Apa yang terjadi?" "Saya tidak tahu karena tad
"Memang apa yang harus aku ceritakan?" tanya Vesa polos."Berhenti bercanda, Vesa Araya," ujar Derrick sambil memukul bahu temannya itu.Vesa mengaduh dan merasa Derrick White ini tak cocok dengan wajah marah. Baginya, karena terbiasa dengan wajah Derrick yang sering melawak, Vesa tak tahan dengan wajah serius Derrick."Oke, baiklah. Baiklah. Aku sudah menceritakannya sebagian di kantor tadi kan? Bagian mana yang membuatmu masih bingung?" tanya Vesa berubah lebih serius, tak ingin membuat Derrick ngambek tidak jelas. Sahabatnya yang satu itu memang terkadang bersikap d luar nalar hingga membuatnya kebingungan.Derrick duduk di sebuah sofa kosong dan menjawab, "Boleh aku tebak dulu, kau itu mencurigai Paman Ruslan?""Apakah sangat terlihat dengan jelas?" tanya Vesa balik."That's so obvious. Katakan kenapa kau mencurigainya?" tanya Derrick penasaran.Vesa tak tahu harus bagaimana memulainya tapi akhirnya dia berkata, "Ses
Hari berikutnya Vesa benar-benar menjalankan ide yang berputar-putar di dalam benaknya. Pria muda itu di sore hari, usai dirinya bekerja di perusahaan ayahnya, langsung dengan sengaja pergi ke kediaman Stefan Aditama.Dia berhadapan langsung dengan Stefan yang saat itu baru saja selesai berolah raga. Vesa Araya mengernyit heran saat melihat Stefan yang masih kuat melakukan olahraga berat padahal usianya sama dengan sang ayah. Dia pun sekarang tak heran jika Stefan memiliki tubuh yang lebih bugar dan nampak lebih muda dari pada usia aslinya. Vesa bahkan yakin di usia Stefan saat ini masih banyak wanita yang tertarik pada pesona Stefan. Dia akan dengan mudah membuat semua perempuan bertekuk lutut untuknya."Apa yang kau lakukan di sini, anak muda?" tanya Stefan sambil memicingkan matanya ke arah pemuda itu."Saya ingin berbicara dengan Anda, Tuan Stefan," jawab Vesa yang sebenarnya sedikit gentar melihat tatapan Stefan yang begitu tajam itu.