"Ah, ponselku tertinggal. Apa ada? Ada hal penting?" tanya Vesa sambil memasuki ruang kerjanya.
"Oh, itu. Tidak ada, Tuan. Hanya mencemaskan Anda saja. Kalau begitu saya permisi dulu," ujar Verylta dan gadis itu pun menghilang begitu saja.Vesa mendesah kecewa. Dia mulai bisa memahami pelan-pelan sekarang. Di sekelilingnya ada begitu banyak kepalsuan hingga dia mulai merasa harus lebih waspada. Dia melirik ponselnya di atas meja dan tak berminat untuk menyentuhnya.Dia sudah merasa aneh dengan ponsel itu sejak lama. Dia pun baru-baru saja menyadari jika ponselnya telah disadap. Dan tak hanya itu saja, dia pun tahu arloji mewahnya itu semuanya telah dipasangi dengan alat penyadap.Vesa tidak tahu apakah saat ini dia harus tertawa apa bersedih. Dia sangat bingung hingga dia tak tahu siapa orang yang bisa dia percayai.Dua jam kemudian, dia hanya menghabiskan waktunya untuk mencari cara agar dia bisa membongkar hal yang menurutnya tak waja"Bagaimana?" tanya seseorang di seberang sana melalui panggilan telepon."Sesuai rencana Anda, Bos. Dia mulai terpancing. Aku rasa sekarang dia sedang kebingungan siapa yang harus dia percayai," jawab Verlyta pelan."Bagus, lanjutkan sesuai rencana, jangan sampai gagal," ucap orang itu serius.Verlyta menjawab, "Baik, Bos. Tenang saja."Dengan segera dia menutup saluran panggilan itu. Gadis muda itu tersenyum senang karena rencananya berjalan dengan lancar.Dia mulai merapikan meja kerjanya saat Derrick dan juga dua pemuda tampan lainnya berjalan menghampiri mereka."Nona Verlyta, apakah Vesa sudah selesai?" tanya Derrick yang tak mau langsung saja masuk ke dalam ruangan sahabatnya itu tanpa izin lantaran takut jika kedatangannya mengganggu Vesa."Eh, maaf. Tuan Vesa sudah pulang dua jam yang lalu," sahut Verlyta.Lay yang mendengar itu, segera berbicara, "Apa yang terjadi?" "Saya tidak tahu karena tad
"Memang apa yang harus aku ceritakan?" tanya Vesa polos."Berhenti bercanda, Vesa Araya," ujar Derrick sambil memukul bahu temannya itu.Vesa mengaduh dan merasa Derrick White ini tak cocok dengan wajah marah. Baginya, karena terbiasa dengan wajah Derrick yang sering melawak, Vesa tak tahan dengan wajah serius Derrick."Oke, baiklah. Baiklah. Aku sudah menceritakannya sebagian di kantor tadi kan? Bagian mana yang membuatmu masih bingung?" tanya Vesa berubah lebih serius, tak ingin membuat Derrick ngambek tidak jelas. Sahabatnya yang satu itu memang terkadang bersikap d luar nalar hingga membuatnya kebingungan.Derrick duduk di sebuah sofa kosong dan menjawab, "Boleh aku tebak dulu, kau itu mencurigai Paman Ruslan?""Apakah sangat terlihat dengan jelas?" tanya Vesa balik."That's so obvious. Katakan kenapa kau mencurigainya?" tanya Derrick penasaran.Vesa tak tahu harus bagaimana memulainya tapi akhirnya dia berkata, "Ses
Hari berikutnya Vesa benar-benar menjalankan ide yang berputar-putar di dalam benaknya. Pria muda itu di sore hari, usai dirinya bekerja di perusahaan ayahnya, langsung dengan sengaja pergi ke kediaman Stefan Aditama.Dia berhadapan langsung dengan Stefan yang saat itu baru saja selesai berolah raga. Vesa Araya mengernyit heran saat melihat Stefan yang masih kuat melakukan olahraga berat padahal usianya sama dengan sang ayah. Dia pun sekarang tak heran jika Stefan memiliki tubuh yang lebih bugar dan nampak lebih muda dari pada usia aslinya. Vesa bahkan yakin di usia Stefan saat ini masih banyak wanita yang tertarik pada pesona Stefan. Dia akan dengan mudah membuat semua perempuan bertekuk lutut untuknya."Apa yang kau lakukan di sini, anak muda?" tanya Stefan sambil memicingkan matanya ke arah pemuda itu."Saya ingin berbicara dengan Anda, Tuan Stefan," jawab Vesa yang sebenarnya sedikit gentar melihat tatapan Stefan yang begitu tajam itu.
Stefan tergelak mendengarnya. "Menurutmu aku akan membunuhmu atau tidak?" Stefan malah balik bertanya.Vesa tentu tidak tahu pasti tentang hal itu. Saat dia datang ke kediaman salah satu musuh masa lalu ayahnya itu, dia hanya mengandalkan keberuntungannya saja. Berharap Stefan tidak akan langsung bertindak gegabah, Vesa menjawab, "Saya rasa Anda tidak mungkin membunuh saya. Anda bukan seorang pembunuh."Stefan tersenyum tipis, sejujurnya dia malah lega karena Vesa tak berpikiran buruk mengenai dirinya."Ya. Lagi pula tak ada gunanya membunuhmu, anak muda. Saat itu aku sudah menyerahkan diriku pada ayahmu dan ayahmu melepaskan aku jadi kalau dipikir-pikir masalah antara aku dan ayahmu sudah selesai. Kami bahkan tidak pernah berkomunikasi atau ketemu secara tidak sengaja selama dua puluh tahun ini," jelas Stefan.Vesa juga tahu tentang hal itu, dia semakin yakin jika musuh yang mencoba mencelakainya bukanlah Stefan Aditama serta
"Tidak, Paman."Tiba-tiba saja terdengar suara wanita muda dari luar. Inka Kalina masuk ke dalam ruang kerja pamannya dengan pandangan sebal.Stefan langsung saja balas melotot kesal, "Jadi kau mau membantah Paman?"Inka mendekat, "Bukan seperti itu. Ayolah, Paman. Aku lelah sekali jika harus terus menerus pindah ke sana ke mari. Lagi pula sebentar lagi aku akan lulus. Akan buang-buang waktu kalau harus pindah lagi."Stefan mendesah, "Tapi kau tidak tahu betapa berbahayanya dekat dengan anak ini." Dia menunjuk Vesa dengan jarinya.Vesa hanya bisa terdiam."Astaga, Paman. Aku tidak akan apa-apa. Paman bisa meminta anak buah untuk menjagaku sepanjang waktu," ucap Inka berusaha meyakinkan pamannya.Stefan mulai melunak, "Jadi kau tidak akan protes jika Paman mengawasimu lebih dari biasanya?"Inka meremas tangannya dan dengan berat hati menjawab, "Tidak. Terserah Paman saja."Stefan mengangguk puas, "Oke. K
Sebelum Ruslan sampai ke pintu, tiba-tiba saja Vesa mengeluarkan suaranya kembali, "Kenapa Paman membiarkan Agusta mati?"Ruslan terkejut tapi dengan tegar dia berbalik menatap Vesa, "Itu kecelakaan. Benar saat itu saya mengetahui dia keluar tapi dia berjanji tidak akan lama dan tak pernah kami sangka akhirnya dia terbunuh. Kematian Tuan Agusta adalah salah satu pukulan terberat saat itu, Tuan Muda."Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Ruslan benar-benar pergi dari apartemen itu. Vesa jatuh terduduk di sofanya. Derrick mendekat ke arahnya."Seharusnya kau tidak begitu tadi," ujar Derrick pelan.Vesa menjawab, "Bukankah kau memintaku untuk menanyakan langsung kepadanya?"Derrick menggelengkan kepalanya, "Tapi bukan dengan cara seperti itu. Tadi kau tidak bertanya melainkan langsung menuduhnya.""Bukankah itu sama saja?" kilah Vesa.Derrick bersikeras, "Bertanya dan menuduh jelas dua hal yang berbeda, Vesa. Kau bahkan tadi tak
Derrick memungut ponselnya yang terjatuh itu dengan tangan gemetar. Keringat dingin mulai mengalir hingga dia harus menyeka dahinya yang basah akan keringat.Dengan mencoba menguatkan hatinya, dia menghubungi nomor ponsel Ruslan dan sayangnya nomor ponsel itu tidak aktif."Sial, kenapa malah tidak aktif?" gerutu Derrick.Pria muda itu berbalik dan berniat kembali keluar dari kamarnya. Dia berpikir harus segera memberi tahu Vesa. Namun, begitu dia berjalan menuju kamar Vesa, dia melihat si kembar yang sedang mengetuk kamar Vesa. Derrick sontak bersembunyi di balik dinding agar mereka tidak terpergok.Apa Paman Ruslan benar? Tapi kenapa dan bagaimana bisa? pikir Derrick bingung.Dengan berat hati, Derrick mengurungkan niatnya untuk menemui malam itu dan malah kembali ke kamarnya. Dia langsung mengunci kamarnya itu.Dengan ragu, Derrick melihat isi pesan itu kembali dan membaca ulang. Benar. Dia tidak salah baca. Ruslan benar-benar
Derrick menghela napas lelah sebelum akhirnya dia membukakan pintu kamarnya untuk Lucas.Dia berpura-pura memasang wajah mengantuk dan berkata, "Jangan lama-lama!" Lucas terkekeh sebelum menjawab, "Tidak akan. Aku juga tak punya waktu banyak karena pasti Lay akan segera mencariku."Derrick memasang wajah seolah dia tak mengerti meskipun dalam hati dia mencoba menebak arti dari perkataan Lucas itu."Oke. Cepatlah!" desak Derrick tak sabar.Lucas malah berjalan ke arah pintu, seolah merasa sedang diawasi dan menutup pintu kamar Derrick lalu menguncinya.Derrick terkesiap, "Kenapa kau menguncinya?"Lucas menjawab, "Ssst. Jangan berteriak!"Wajah Lucas terlihat takut akan sesuatu.Derrcik yang sudah sangat penasaran tak mau menunggu lagi, "Cepat katakan, ada apa?"Lucas mengangguk. Dia mengambil napas dalam-dalam sebelum berbicara, "Aku tahu siapa yang mencelakakan Vesa saat di kampus."D
Halo, readers. Kita ketemu lagi di sini. Akhirnya selesai juga season kedua ini. Lega sekali rasanya bisa menyelesaikan cerita ini. Zila ucapkan banyak terima kasih yang sudah antusias membaca kisah Vesa Araya, anak dari Valentino Araya ini dan mengikutinya sampai akhir. Semoga ceritanya tidak mengecewakan ya dan kalian puas dengan cerita ini. Endingnya semoga juga memuaskan bagi para readers ya dan nggak ada yang kecewa. Zila harap kisah Vesa Araya ini semoga bisa diingat oleh para pembaca. Akhir kata, Zila harap bisa membuat cerita lain yang juga disukai para pembaca. Salam hangat dari Zila Aicha, sampai ketemu di karya Zila berikutnya.
Tubuh Gea terlihat begitu mengerikan. Dadanya tertancap pisau dan mulutnya mengeluarkan busa serta matanya pun terbuka.Vesa langsung memerintah, "Hubungi polisi sekarang."Inka menutup wajahnya karena tak sanggup melihatnya. Vesa langsung saja memeluk gadis itu agar Inka tak merasa takut."Siapa yang membunuhnya? Itu terlalu kejam, Vesa. Sungguh mengerikan," ujar gadis itu dengan suara bergetar."Kita akan segera tahu, biarkan polisi yang menanganinya," ujar Vesa.Tak lama kemudian polisi datang dan langsung saja memeriksa kasus itu."Apakah Anda berdua bisa ikut kami ke kantor polisi untuk memberi kesaksian?" tanya petugas polisi itu."Ya," jawab Vesa.Vesa pun mengajak Inka untuk ikut ketua polisi itu.Vesa dan Inka harus berada di kantor polisi setidaknya selama dua jam lamanya guna memberi kesaksian mereka. Dan saat dia telah selesai dan keluar dari ruang interogasi, dia melihat Lara, anak Gea itu datang ke kantor polisi dengan raut wajah yang penuh air mata."Apa Anda sudah mene
"Aku tidak membencimu, Alea. Hanya saja kau sudah keterlaluan," ucap Vesa. Dia lalu menggandeng Lara pergi dari sana.Alea berteriak, "Vesa."Vesa tak memperdulikannya. Alea hanya bisa menggigit bibir bawahnya dengan perasaan getir. Vesa sudah tak mau berhubungan lagi dengannya. Pria muda itu pastilah sudah begitu jijik padanya.Alea menjambak rambutnya sendiri lalu pergi dari kampus itu karena tak tahan melihat para mahasiswa yang menatapnya dengan tatapan aneh.Di sisi lain, Vesa berujar pelan, "Maafkan aku. Gara-gara aku, kamu jadi...""Tak apa. Well, omong-omong aku harus pergi sekarang, aku rasa temanku sudah datang," ujar Lara kemudian.Vesa mengangguk pelan, masih merasa begitu bersalah. Begitu gadis itu pergi, dia memilih untuk mengubah rencananya. Dia tak mungkin memanfaatkan Lara untuk menjebak Gea. Gadis itu tak tahu apa-apa. Entah kenapa, dia merasa jika Lara memang gadis polos. Maka dari itu dia memutuskan untuk menyerang Gea tanpa melibatkan Lara. Sore itu dia kembali
Hanya dalam waktu tak kurang dari tiga puluh detik saja, Stefan sudah mengirimkan sebuah photo begitu Vesa mematikan sambungan teleponnya.Vesa dengan tenang membuka pesan itu dan tersenyum miring begitu dia melihat photo itu.Kena kau, Gea. Vesa membatin.Segera dia mengantongi kembali ponselnya dan berjalan mendekati Lara sambil tersenyum cerah."Sudah selesai menghubungimu?" tanya Vesa yng jauh lebih ramah dari pada sebelumnya."Sudah. Mau berkeliling sekarang?" tanya Lara balik."Ya, langsung saja. Aku tak akan mengambil waktumu banyak-banyak," ucap Vesa.Lara mengangguk dan kemudian mulai bertindak sebagai seorang tour guide di sana. Meskipun baru meninggalkan kampus itu selama tujuh bulan lamanya, tapi kampus itu sudah cukup banyak berubah.Vesa mengenang masa-masa di kampusnya itu. Walaupun memang banyak kenangan buruk di sana, dia tetap masih sedikit kenangan baik hingga sekarang dia cukup merasa kecewa lagi ketika teringat masa-masa awal pertemanannya dengan Derrick.Derrick
Lara Serafin tergesa-gesa masuk ke dalam kampusnya, Greenwich University. Dia telah berjanji pada Gemma Jones semalam untuk menemani gadis itu ke perpustakaan.Saat dia melangkahkan kakinya menuju tempat itu, dia harus melewati segerombolan mahasiswa dari fakultas lain yang terlihat sedang berbincang-bincang santai.Lara begitu menikmati kehidupan barunya di kampus itu. Meskipun pada awalnya dia merasa banyak sekali hal yang begitu janggal seperti alasan yang tidak jelas sang ibu yang memilih negara ini. Di samping itu, ibunya yang sekarang ini memilih untuk bekerja dari rumah tentu membuatnya semakin bertanya-tanya.Ibunya, Gea Raharjo beralasan jika bekerja dari rumah berarti membuatnya memiliki waktu yang lebih banyak dengannya. Dikarenakan hal itu juga, Lara tak pernah bisa memprotes ataupun bertanya lebih banyak mengenai alasan utama ibunya itu.Dan ketika Lara bertanya tentang pekerjaan ibunya itu, ibunya hanya akan menjawab jika dia bergelut dengan saham. Entah saham yang seper
Derrick hanya bisa terdiam kala melihat sahabat baiknya pergi dari rumahnya. Dia melirik Alea sekilas, ingin sekali dia merengkuh tubuh Alea tapi di saat dia mendekat, Alea mundur ke belakang.Dengan wajah yang sudah basah karena air mata, Alea berkata dengan terisak-isak pelan, "Ini semua salahku. Salahku, Derrick."Derrick menggeleng, "Tidak. Ini salahku, Alea. Kau tidak salah. Aku yang membuat semuanya berantakan.""Aku yang datang padamu, aku yang paling bersalah," ujar Alea lagi."Aku yang memintamu datang, aku, Derrick," lanjut Alea.Derrick menyambar, "Dan aku juga mau datang ke sini. Oke, baiklah. Kita sama-sama bersalah. Kita berdua sama-sama bersalah."Alea jatuh terduduk di lantai halaman rumah Derrick, "Vesa pasti membenciku. Padahal kami baik-baik saja. Dia tidak pernah menyakitiku. Tapi kenapa aku? Derrick, aku hanya kesal karena dia tak pernah mau mengunjungiku ke sini. Padahal kan jelas uang bukan masalah baginya. Tapi dia lebih mementingkan perusahaannya itu. Aku hany
London masih menjadi salah satu kota terpadat yang Vesa datangi. Pemandangan malam kota ini selalu berhasil membuat Vesa rindu. Semenjak kematian kakek dan neneknya sekitar tujuh bulan yang lalu, Vesa Araya belum pernah mendatangi kota itu. Hal ini bukan karena dia yang tak ingin pergi menengok kakek dan neneknya, melainkan karena kesibukannya yang cukup menyita waktu.Dalam enam bulan belakang, selain Vesa harus mengejar gelar pendidikanya, dia harus kembali mengurus perusahaan peninggalan sang ayah. Dirinya yang mungkin menjadi anak miliarder terkaya di Indonesia itu pun hampir tak memiliki waktu senggang sedikit pun.Hingga mungkin, bisa dikatakan jika hidup Vesa hanyalah berkutat pada dunia bisnis, pendidika sekaligus melacak keberadaan Gea yang sampai sekarang belum juga dia ketahui.Namun, Vesa bukanlah orang yang mudah menyerah apalagi Gea menjadi salah satu penyebab segala ketidakberuntungan yang menghinggapinya. Vesa tidak sedikitpun menghentikan pencarian dan malah semakin m
"Kau tidak mau menyelidikinya?" tanya Inka kemudian.Vesa terkejut mendengar perkataan Inka, "Menyelidiki? Kau mengatakannya seolah Derrick telah melakukan sesuatu yang aneh-aneh saja."Inka tergelak, "Vesa, bukan begitu maksudku. Yah, kita tidak tahu apa yang terjadi di sana. Kan bisa jadi dia memang sedang menghadapi masalah yang besar."Inka melihat kening Vesa mengerut. Pria muda itu sedang berpikir."Beberapa waktu aku mengenal Derrick, dia tidak sepertimu. Kau selalu mengatakan apapun. Tapi tidak dengan Derrick. Kalian memang berteman dekat, namun aku rasa dia masih menyimpan rahasia atau bisa dibilang tak selalu mengatakan apapun kepadamu," jelas Inka."Itu aku tahu, Inka. Kan tadi sudah aku katakan. Dia memang tak selalu mengatakan segalanya dan aku tak pernah memaksanya untuk mengatakannya. Aku menghargai privasinya," sahut Vesa."Nah, itu dia, Vesa. Kenapa kau tidak coba selidiki. Siapa tahu sebenarnya dia membutuhkan bantuanmu tapi tak mengatakannya," ucap Inka.Vesa berpik
Gea tersenyum sekilas sebelum menjawab pertanyaan putrinya itu, "Karena Inggris itu negara impian Ibu."Lara bingung tapi berusaha tersenyum, tak ingin mengerecoki ibunya dengan pertanyaan-pertanyaan dirinya lagi yang mungkin saja malah membuat Sang Ibu bersedih."Kau pasti akan suka nanti, Sayang. Kau bisa masuk ke Greenwich University nanti," ujar Gea.Lara mengangguk dan setelah itu makanan datang. Gadis muda yang telah menyelesaikan pendidikan sekolah menengahnya itu mulai berkonsentrasi pada makanan yang ada di depannya."Makanlah dulu, Ibu tidur sebentar ya? Jika perlu apa-apa, kau bisa bangunkan Ibu," ucap Gea lagi.Lara menjawab, "Ya, Ibu tenang saja. Setelah makan, aku akan ikut tidur.""Anak baik," puji Lara sambil mengusap lembut rambut Sang Putri.Tak lama setelah itu, Gea benar-benar terpejam. Sayangnya, meskipun Lara dari luar tampak menikmati makanannya, sayang sekali pikirannya sedang berkelana ke mana-mana.Lara memang masih sangat muda, di usianya yang baru saja meng