"Hei, apa yang sedang terjadi? Kenapa kau terlihat murung sekali?" tanya Hera Adnan yang baru saja melihat cucunya pulang dari kampusnya dengan wajah yang lesu.
Vesa Araya masih tetap menunduk dan tak menjawab pertanyaan neneknya tersebut.
"Vesa Araya, Oma sedang berbicara denganmu. Apakah kau tidak mendengarnya?"
Vesa yang sedang berjalan dan akan menaiki tangga itu berhenti dan menoleh. Dia sudah paham setiap neneknya memanggil namanya dengan lengkap seperti itu berarti neneknya mulai tak sabar.
Pria muda yang akan segera berusia dua puluh tahun itu menatap sang nenek yang sudah berusia lanjut tapi garis-garis kecantikan itu masih ada di wajahnya.
"Memang apa yang harus aku katakan, Oma?" ucap Vesa malas.
Hera menghela napasnya dengan pelan dan kemudian berbicara, "Apa yang terjadi di kampusmu lagi? Apakah kau memiliki masalah dengan teman-temanmu?"
Vesa menjawab, "Sejak kapan aku tidak memiliki masalah dengan mereka? Oma tahu betul, mereka hampir setiap hari membullyku karena aku yang katanya tidak pantas berkuliah di University of Greenwich. Aku yang terlalu miskin dan banyak hal lainnya."
Vesa berkuliah di University of Greenwich dan tengah memasuki tahun terakhirnya di jurusan Accounting and Business. Sebuah jurusan yang tidak dia sukai tapi tetap dia pilih karena dia tidak ingin membuat ayahnya kecewa.
Hera langsung saja berdiri. Tentu saja tak akan ada seorang nenek yang rela jika cucunya dibully.
"Jangan pedulikan mereka. Mereka itu hanya iri terhadapmu karena kau lebih jenius dibandingkan dengan mereka. Kau mendapatkan beasiswa setiap tahun, sedangkan mereka tidak. Tentu saja mereka sangat iri," ucap Hera dengan sangat bangga.
Vesa mau tidak mau tersenyum saat mendengarkan perkataan neneknya yang ada nada bangga di dalamnya.
"Tapi cuma itu yang bisa aku banggakan. Mereka memiliki banyak hal yang tidak aku miliki. Well, dan yang paling menyebalkan adalah mereka selalu membanggakan orang tua mereka. Sedangkan aku? Apa yang bisa aku banggakan dari Ayah? Ayah-"
"Anak muda, yang sedang kau bicarakan itu adalah anakku. Ayahmu itu adalah anak kebanggaanku, asal kau tahu saja," potong Hera tak sabar.
Vesa memutar bola matanya malas.
"Tetap saja, Oma. Apa yang aku tahu tentang ayah? Dia bahkan hanya datang ke sini satu tahun sekali. Aku terkadang heran sebenarnya ayah itu masih mengakui aku sebagai anaknya atau tidak. Yang benar saja, rasanya hanya ayah yang begitu tega membuang anaknya ke sini dan dia malah tinggal di Indonesia sendirian," ucap Vesa panjang lebar.
Vesa terdiam begitu mengucapkan semua hal yang ada di kepalanya. Hera menunggu cucunya tersebut untuk berbicara kembali tapi setelah beberapa saat dia tak mengatakan apapun, wanita tua itu pun berujar, "Sudah?"
Vesa tak berani menatap neneknya karena sepertinya dia sudah terlalu banyak berbicara.
"Vesa, Oma tahu kau pasti sangat kesal sekali karena ayahmu yang memutuskan untuk tak terlalu sering berhubungan denganmu. Dia memiliki alasan yang sangat kuat untuk hal itu. Kau hanya harus bersabar saja. Bukankah sudah pernah kukatakan, tidak ada ayah di dunia ini yang sangat mencintai anaknya melebihi ayahmu itu. Dia melakukan semua ini karena terlalu menyayangimu."
Vesa tetap saja tak bisa menerimanya karena baginya alasan itu belum cukup kuat. Ini dikarenakan dia tak pernah mendengar sang ayah berusaha menjelaskan atas tindakannya itu.
Vesa telah tinggal bersama dengan kakek dan neneknya sejak dia masih kecil hingga sekarang usianya yang akan segera genap dua puluh tahun. Dan selama itu, dia tak pernah diizinkan sekalipun untuk mengunjungi ayahnya itu di tanah kelahirannya. Negara Indonesia seolah-olah menjadi negara terlarang untuknya.
Akan tetapi, Valentino selalu mengunjungi putranya tersebut setiap satu tahun sekali dan menghabiskan waktunya bersama anaknya itu selama satu bulan penuh.
Walaupun begitu, hubungan mereka berdua memang bisa dibilang tidak terlalu dekat. Mereka mungkin tinggal satu rumah tapi tetap saja tak terlalu akrab. Vesa bahkan terkadang merasa canggung saat berada di dekat ayahnya.
Meskipun begitu, bertemu dengan ayahnya selalu menjadi hari-hari yang dia tunggu dalam satu tahun itu.
"Kenapa, Boy?" suara pria tua berhasil membuatnya kaget saat sedang melamun.
"Seperti biasa, Opa." Vesa menjawabnya dengan malas.
Thomas Miller mendekati cucunya tersebut dan menepuk punggungnya. Hera menuju ke dapur dan membiarkan sang suami berbicara dengan cucunya itu.
"Mereka membullymu? Apa yang mereka lakukan kali ini?" tanya Thomas yang sudah terbiasa mendengar cerita tak mengenakan mengenai permasalahan cucunya itu.
Sejak kecil, Vesa selalu bercerita tentang apapun pada sang kakek dan pria muda itu selalu mendapatkan solusi yang kadang membuatnya terkejut.
Vesa tiba-tiba saja teringat saat dia masih di sekolah dasar. Waktu itu, ada salah seorang temannya yang mencuri alat tulisnya sehingga Vesa tak bisa mengerjakan ujiannya. Dan ketika dia menceritakan hal itu pada sang kakek, dia malah diberi saran untuk membalas temannya yang jahil itu dengan cara mengempeskan ban sepedanya.
Vesa tentu saja benar-benar melakukannya dan akhirnya membuatnya dipanggil ke ruang konseling. Dia pikir dia akan kena marah tapi anehnya kakeknya tersebut malah memberinya dua jempol karena telah berhasil membalas perbuatan temannya itu.
"Salah satu teman kelasku akan berulang tahun dan dia mengadakan pesta. Dia anak pengusaha sukses. Keluarganya memiliki sebuah usaha furniture. Dia bilang pestanya akan digelar dengan mewah. Yah dan dia menyombongkan itu semua. Kami semua diundang, termasuk aku." Vesa terlalu bersemangat sampai menjelaskannya dengan cepat tapi dia lalu mengambil jeda beberapa saat sebelum menjelaskan lagi.
"Mereka bilang setiap undangan harus pakai mobil untuk datang ke sana. Bukankah itu aneh? Mereka sebenarnya mau pamer merk mobil atau bagaimana?" ucap Vesa kesal.
Sebenarnya Vesa hanya bingung, bagaimana dia akan pergi ke sana. Keluarga mereka memang memiliki satu mobil tapi tentu saja mobil itu sudah jarang dipakai karena sudah terlalu tua.
"Oh Opa tahu. Tentu saja. Kau akan ke sana. Opa yang akan atur," ucap Thomas Miller.
"Apa!?" ucap Vesa kaget.
"Opa, tidak. Aku tidak mau menggunakan mobil butut itu. Bukan karena aku malu, tapi karena aku takut akan mogok di tengah jalan," ujar Vesa hati-hati.
Thomas berdecak kesal.
"Memang siapa yang menyuruhmu menggunakan mobil butut milik Opa?" ucapnya sebal.
Vesa berkedip-kedip, "Terus pakai mobil mana? Opa, mobil kita hanya satu. Apakah Opa berniat meminjam mobil untukku atau bagaimana? Tapi bagaimana uang sewanya? Bukankah mahal? Terus-"
"Diamlah!" ucap Thomas benar-benar kesal pada cucunya yang menurutnya terlalu cerewet untuk ukuran seorang laki-laki itu.
"Omong-omong, kapan pestanya?"
"Lusa, Opa."
Thomas Miller terkejut tapi kemudian dia tersenyum pada sang cucu dan berkata, "Tenanglah, Nak. Kali ini kau tidak akan dibully!"
"Valen, jangan terlalu kejam pada anakmu. Ayolah, kau tidak ingin anakmu dipermalukan bukan?" ucap Thomas Miller.Dia sedang menelepon Valentino Araya, putra tirinya sekaligus ayah dari cucunya, Vesa Araya.Hera Adnan yang duduk di dekat suaminya itu pun hanya bisa menatap suaminya dengan tatapan prihatin."Anakmu sudah sering dibuat malu. Apakah kau tidak kasihan? Biarkan kali ini saja dia membungkam mulut teman-temannya itu."Valentino dari seberang sana berkata, "Tidak, Dad. Belum saatnya. Biarkan saja seperti ini dulu.""Apa!? Kau-"Thomas dengan kesal mematikan saluran panggilan itu."Dasar keras kepala. Bisa-bisanya dia tidak mau membantu putranya sendiri? Kenapa anakmu itu masih juga bersikeras tetap tidak ingin Vesa mendapatkan sesuatu apapun yang lebih baik? Apa gunanya-"Suaranya terputus kala ponselnya berdering kembali. Nada ponselnya sengaja disetel dengan nada yang cukup tinggi karena Thomas Miller yang sudah meng
Vesa Araya hampir tidak memiliki teman di kampus itu. Hal itu karena memang sebagian besar teman-teman sekelasnya adalah orang-orang yang cukup terpandang dan setidaknya memiliki kelas sosial yang lebih tinggi daripada dirinya.Teman Vesa berasal dari fakultas lain dan tentu saja tidak diundang ke acara pesta ulang tahun Derrick itu. Vesa sudah terbiasa diabaikan oleh teman-temannya jadi dia pun hanya berjalan sendirian dan mengambil segelas minuman yang dia duga minuman rasa leci.Tentu saja sang pemilik acara tidak menyuguhi alkohol karena di pesta tersebut, tidak hanya dihadiri oleh teman-teman dari kampusnya tapi juga beberapa anak kecil yang kemungkinan besar adalah sanak saudara keluarga White.Vesa menyesap minuman rasa leci itu dan tertegun ketika lidahnya sangat menyukai minuman itu. Dia langsung saja meminumnya sampai tandas hingga dia mendengar seseorang menyeletuk, "Kau tidak pernah meminum minuman semewah ini ya?"Itu suara Alea, gadis
Derrick akhirnya turun dari panggung dan berjalan menuju ke arah Vesa yang baru saja meletakkan gelasnya. Dia menghampiri Vesa dengan ekspresi yang rumit dan membuat semua orang yang berada di gedung itu tak bisa mengalihkan pandangannya dari Derrick."Katakan, Vesa. Dari mana kau dapat arloji ini?" ulang Derrick sambil menggenggam arloji itu.Ayah Derrick berserta istrinya mengikuti putranya dan berdiri di belakang Derrick.Vesa hampir saja menjawab tapi kemudian Alea menyikut lengannya. Dia berkata, "Cepat jawab, kenapa kau diam saja?"Vesa memutar bola matanya kesal. Gadis itu sungguh sangat kasar.Aku sudah mau menjawab tapi kau malah memotongnya, batin Vesa sebal."Aku..."Ucapan Vesa terpotong."Astaga, apa yang sudah diberikan oleh teman kita ini? Ya Tuhan, teman-teman. Vesa memberikan Derrick sebuah arloji tua. Itu barang bekas kan? Kau gila ya. Bagaimana bisa kau memberikan temanmu sebuah barang bekas?" Sebastian mengg
"Memang apa yang salah dengan hal itu? Bukankah kita memang satu kelas? Berarti kita semua memang berteman kan?" ucap Derrick dengan santainya. Alea terbelalak kaget. Dia mengatupkan mulutnya rapat-rapat, tak tahu bagaimana mengomentari ucapan Derrick. Alea tidak mungkin berani membantah Derrick karena status sosial Derrick yang sama dengannya. Dia tidak ingin membuat masalah dengan pria muda itu karena dia tak ingin nama besar keluarganya ikut terseret. Maka dari itu Alea hanya bisa menghentakkan kakinya dengan kesal sebelum melangkah pergi dari area itu. Derrick menghela napasnya dengan lega usai gadis itu akhirnya tak terlihat. Pria dengan rambut pirang itu menoleh ke arah Vesa, "Vesa, aku antar kau pulang. Aku akan telepon orang bengkel untuk mengurus mobilmu. Kalau sudah beres, akan langsung diantar ke rumah kamu." Vesa terkejut karena ini menurutnya sangat aneh. Seorang Derrick White mau berbicara dengannya itu sudah sebuah hal yang langka, pasalnya putra dari keluarga kaya
"Hentikan, Sebastian!" teriak Derrick yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Sebastian."Kenapa aku harus berhenti?" ucap Sebastian. Dia tidak melonggarkan cengkeraman tangannya pada leher Vesa."Lepaskan dia atau aku ..."Suara Derrick dipenuhi dengan tekanan yang terdengar seperti sebuah ancaman. Sayangnya, Sebastian tidak mendengarkan dan malah semakin mencekik leher Vesa.Vesa berusaha melepaskan dirinya tapi tentu saja gagal, Sebastian mencengkeramnya begitu kuat hingga pria muda itu kesulitan untuk bernapas.Alea yang menyaksikan itu tiba-tiba saja merinding. Dia memang membenci Vesa tapi dia tak ingin Vesa mati."Sebastian Wright, lepaskan dia!" teriak Derrick.Sebastian masih mengacuhkannya. Derrick melihat wajah Vesa yang memerah, Derrick lalu menarik jaket Hoodie yang dikenakan Sebastian berbarengan dengan Alea yang ternyata mendorong Sebastian.Sebastian terjatuh dengan agak keras akibat dorongan itu. Alea terkejut
Vesa telah melepaskan Sebastian dan pria itu sudah menghilang dari hadapan mereka. Saat ini beberapa teman sekelas Vesa memandang dirinya dengan tatapan aneh yang tidak Vesa mengerti. Vesa memutar tubuhnya menghadap Derrick. Dia mengembuskan napasnya pelan. Habislah sekarang dia. Dia baru saja ingin memberi kesan baik pada Derrick dengan melawan Sebastian tapi sepertinya yang terjadi adalah sebaliknya. Dia telah memberi kesan buruk pada Derrick dan juga teman-temannya tentang dirinya yang lepas kontrol. "Aku tidak apa-apa," jawab Vesa. Pria itu sedikit menunduk. Dia rasa dia akan kehilangan teman yang bahkan belum benar-benar resmi menjadi temannya itu. "Baguslah kalau begitu. Mau ke kantin saja dulu? Kau sepertinya butuh minum," ajak Derrick. "Hah!?" Vesa mengangkat kepalanya kaget. Eh, dia tidak salah dengar kan? Derrick White mengajaknya ke kantin? pikir Vesa bingung. "Kenapa masih diam saja? Ayo, ke kantin dulu!" ajak Derrick lagi.
Ujian akhir semester telah berakhir, sudah saatnya Vesa melakukan rencana yang sudah dia susun sejak lama. Dia sudah lama menanti-nanti hari ini. Dia akan segera mencari pekerjaan guna mendapatkan uang untuk biaya perjalanannya ke Indonesia.Setahu Vesa, di masa liburan banyak toko yang membuka lowongan pekerjaan part time atau sementara. Dia tahu tak mudah mendapat pekerjaan dengan ijazah sekolah menengah tapi dia tetap akan mencobanya.Pria muda itu melangkahkan kakinya dengan riang keluar gedung kampusnya.Vesa sendirian kali ini. Derrick White yang telah menjadi sahabat baiknya hampir satu bulan lamanya itu pulang terlebih dulu. Derrick diajak ayahnya untuk menjenguk sanak saudaranya yang sedang dirawat di Fulham.Vesa berjalan sambil bermain ponselnya menuju halte bis yang tak jauh dari kampus. Akan tetapi sepertinya hari ini adalah hari yang sial baginya karena tiba-tiba saja, saat dia hendak menyeberang, dirinya ditarik oleh dua orang yang tak dike
Vesa Araya benar-benar mengirim dua makhluk tidak berguna itu pada bos yang telah menyuruh mereka.Mereka dengan tangan gemetar membunyikan bel rumah keluarga Wright dan langsung saja mendapatkan jawaban dari satpam yang bertugas menjaga rumah itu."Selamat pagi, saya ingin mengantar paket untuk Tuan Muda Wright," ucap si pirang yang berbicara dengan gugup."Oh, baiklah. Sebentar, akan saya bukakan," ucap satpam itu."Maaf, tapi harus Tuan Muda Wright sendiri yang mengambil paket ini," sambung si rambut hitam yang sudah berkeringat dingin. Dia sesekali menengok ke arah belakang dan langsung saja mengumpat dalam hati karena pria miskin itu ternyata masih berdiri di dekat sana sambil mengawasi mereka dengan tatapan dinginnya."Tunggu sebentar! Paket ini dari siapa?" tanya satpam itu curiga dan dia tetap belum membukakan pintu untuk orang-orang yang mengantar paket itu."Oh, ini dari Tuan White, maksud saya Tuan Muda White, sahabat Tuan Muda Wr
Halo, readers. Kita ketemu lagi di sini. Akhirnya selesai juga season kedua ini. Lega sekali rasanya bisa menyelesaikan cerita ini. Zila ucapkan banyak terima kasih yang sudah antusias membaca kisah Vesa Araya, anak dari Valentino Araya ini dan mengikutinya sampai akhir. Semoga ceritanya tidak mengecewakan ya dan kalian puas dengan cerita ini. Endingnya semoga juga memuaskan bagi para readers ya dan nggak ada yang kecewa. Zila harap kisah Vesa Araya ini semoga bisa diingat oleh para pembaca. Akhir kata, Zila harap bisa membuat cerita lain yang juga disukai para pembaca. Salam hangat dari Zila Aicha, sampai ketemu di karya Zila berikutnya.
Tubuh Gea terlihat begitu mengerikan. Dadanya tertancap pisau dan mulutnya mengeluarkan busa serta matanya pun terbuka.Vesa langsung memerintah, "Hubungi polisi sekarang."Inka menutup wajahnya karena tak sanggup melihatnya. Vesa langsung saja memeluk gadis itu agar Inka tak merasa takut."Siapa yang membunuhnya? Itu terlalu kejam, Vesa. Sungguh mengerikan," ujar gadis itu dengan suara bergetar."Kita akan segera tahu, biarkan polisi yang menanganinya," ujar Vesa.Tak lama kemudian polisi datang dan langsung saja memeriksa kasus itu."Apakah Anda berdua bisa ikut kami ke kantor polisi untuk memberi kesaksian?" tanya petugas polisi itu."Ya," jawab Vesa.Vesa pun mengajak Inka untuk ikut ketua polisi itu.Vesa dan Inka harus berada di kantor polisi setidaknya selama dua jam lamanya guna memberi kesaksian mereka. Dan saat dia telah selesai dan keluar dari ruang interogasi, dia melihat Lara, anak Gea itu datang ke kantor polisi dengan raut wajah yang penuh air mata."Apa Anda sudah mene
"Aku tidak membencimu, Alea. Hanya saja kau sudah keterlaluan," ucap Vesa. Dia lalu menggandeng Lara pergi dari sana.Alea berteriak, "Vesa."Vesa tak memperdulikannya. Alea hanya bisa menggigit bibir bawahnya dengan perasaan getir. Vesa sudah tak mau berhubungan lagi dengannya. Pria muda itu pastilah sudah begitu jijik padanya.Alea menjambak rambutnya sendiri lalu pergi dari kampus itu karena tak tahan melihat para mahasiswa yang menatapnya dengan tatapan aneh.Di sisi lain, Vesa berujar pelan, "Maafkan aku. Gara-gara aku, kamu jadi...""Tak apa. Well, omong-omong aku harus pergi sekarang, aku rasa temanku sudah datang," ujar Lara kemudian.Vesa mengangguk pelan, masih merasa begitu bersalah. Begitu gadis itu pergi, dia memilih untuk mengubah rencananya. Dia tak mungkin memanfaatkan Lara untuk menjebak Gea. Gadis itu tak tahu apa-apa. Entah kenapa, dia merasa jika Lara memang gadis polos. Maka dari itu dia memutuskan untuk menyerang Gea tanpa melibatkan Lara. Sore itu dia kembali
Hanya dalam waktu tak kurang dari tiga puluh detik saja, Stefan sudah mengirimkan sebuah photo begitu Vesa mematikan sambungan teleponnya.Vesa dengan tenang membuka pesan itu dan tersenyum miring begitu dia melihat photo itu.Kena kau, Gea. Vesa membatin.Segera dia mengantongi kembali ponselnya dan berjalan mendekati Lara sambil tersenyum cerah."Sudah selesai menghubungimu?" tanya Vesa yng jauh lebih ramah dari pada sebelumnya."Sudah. Mau berkeliling sekarang?" tanya Lara balik."Ya, langsung saja. Aku tak akan mengambil waktumu banyak-banyak," ucap Vesa.Lara mengangguk dan kemudian mulai bertindak sebagai seorang tour guide di sana. Meskipun baru meninggalkan kampus itu selama tujuh bulan lamanya, tapi kampus itu sudah cukup banyak berubah.Vesa mengenang masa-masa di kampusnya itu. Walaupun memang banyak kenangan buruk di sana, dia tetap masih sedikit kenangan baik hingga sekarang dia cukup merasa kecewa lagi ketika teringat masa-masa awal pertemanannya dengan Derrick.Derrick
Lara Serafin tergesa-gesa masuk ke dalam kampusnya, Greenwich University. Dia telah berjanji pada Gemma Jones semalam untuk menemani gadis itu ke perpustakaan.Saat dia melangkahkan kakinya menuju tempat itu, dia harus melewati segerombolan mahasiswa dari fakultas lain yang terlihat sedang berbincang-bincang santai.Lara begitu menikmati kehidupan barunya di kampus itu. Meskipun pada awalnya dia merasa banyak sekali hal yang begitu janggal seperti alasan yang tidak jelas sang ibu yang memilih negara ini. Di samping itu, ibunya yang sekarang ini memilih untuk bekerja dari rumah tentu membuatnya semakin bertanya-tanya.Ibunya, Gea Raharjo beralasan jika bekerja dari rumah berarti membuatnya memiliki waktu yang lebih banyak dengannya. Dikarenakan hal itu juga, Lara tak pernah bisa memprotes ataupun bertanya lebih banyak mengenai alasan utama ibunya itu.Dan ketika Lara bertanya tentang pekerjaan ibunya itu, ibunya hanya akan menjawab jika dia bergelut dengan saham. Entah saham yang seper
Derrick hanya bisa terdiam kala melihat sahabat baiknya pergi dari rumahnya. Dia melirik Alea sekilas, ingin sekali dia merengkuh tubuh Alea tapi di saat dia mendekat, Alea mundur ke belakang.Dengan wajah yang sudah basah karena air mata, Alea berkata dengan terisak-isak pelan, "Ini semua salahku. Salahku, Derrick."Derrick menggeleng, "Tidak. Ini salahku, Alea. Kau tidak salah. Aku yang membuat semuanya berantakan.""Aku yang datang padamu, aku yang paling bersalah," ujar Alea lagi."Aku yang memintamu datang, aku, Derrick," lanjut Alea.Derrick menyambar, "Dan aku juga mau datang ke sini. Oke, baiklah. Kita sama-sama bersalah. Kita berdua sama-sama bersalah."Alea jatuh terduduk di lantai halaman rumah Derrick, "Vesa pasti membenciku. Padahal kami baik-baik saja. Dia tidak pernah menyakitiku. Tapi kenapa aku? Derrick, aku hanya kesal karena dia tak pernah mau mengunjungiku ke sini. Padahal kan jelas uang bukan masalah baginya. Tapi dia lebih mementingkan perusahaannya itu. Aku hany
London masih menjadi salah satu kota terpadat yang Vesa datangi. Pemandangan malam kota ini selalu berhasil membuat Vesa rindu. Semenjak kematian kakek dan neneknya sekitar tujuh bulan yang lalu, Vesa Araya belum pernah mendatangi kota itu. Hal ini bukan karena dia yang tak ingin pergi menengok kakek dan neneknya, melainkan karena kesibukannya yang cukup menyita waktu.Dalam enam bulan belakang, selain Vesa harus mengejar gelar pendidikanya, dia harus kembali mengurus perusahaan peninggalan sang ayah. Dirinya yang mungkin menjadi anak miliarder terkaya di Indonesia itu pun hampir tak memiliki waktu senggang sedikit pun.Hingga mungkin, bisa dikatakan jika hidup Vesa hanyalah berkutat pada dunia bisnis, pendidika sekaligus melacak keberadaan Gea yang sampai sekarang belum juga dia ketahui.Namun, Vesa bukanlah orang yang mudah menyerah apalagi Gea menjadi salah satu penyebab segala ketidakberuntungan yang menghinggapinya. Vesa tidak sedikitpun menghentikan pencarian dan malah semakin m
"Kau tidak mau menyelidikinya?" tanya Inka kemudian.Vesa terkejut mendengar perkataan Inka, "Menyelidiki? Kau mengatakannya seolah Derrick telah melakukan sesuatu yang aneh-aneh saja."Inka tergelak, "Vesa, bukan begitu maksudku. Yah, kita tidak tahu apa yang terjadi di sana. Kan bisa jadi dia memang sedang menghadapi masalah yang besar."Inka melihat kening Vesa mengerut. Pria muda itu sedang berpikir."Beberapa waktu aku mengenal Derrick, dia tidak sepertimu. Kau selalu mengatakan apapun. Tapi tidak dengan Derrick. Kalian memang berteman dekat, namun aku rasa dia masih menyimpan rahasia atau bisa dibilang tak selalu mengatakan apapun kepadamu," jelas Inka."Itu aku tahu, Inka. Kan tadi sudah aku katakan. Dia memang tak selalu mengatakan segalanya dan aku tak pernah memaksanya untuk mengatakannya. Aku menghargai privasinya," sahut Vesa."Nah, itu dia, Vesa. Kenapa kau tidak coba selidiki. Siapa tahu sebenarnya dia membutuhkan bantuanmu tapi tak mengatakannya," ucap Inka.Vesa berpik
Gea tersenyum sekilas sebelum menjawab pertanyaan putrinya itu, "Karena Inggris itu negara impian Ibu."Lara bingung tapi berusaha tersenyum, tak ingin mengerecoki ibunya dengan pertanyaan-pertanyaan dirinya lagi yang mungkin saja malah membuat Sang Ibu bersedih."Kau pasti akan suka nanti, Sayang. Kau bisa masuk ke Greenwich University nanti," ujar Gea.Lara mengangguk dan setelah itu makanan datang. Gadis muda yang telah menyelesaikan pendidikan sekolah menengahnya itu mulai berkonsentrasi pada makanan yang ada di depannya."Makanlah dulu, Ibu tidur sebentar ya? Jika perlu apa-apa, kau bisa bangunkan Ibu," ucap Gea lagi.Lara menjawab, "Ya, Ibu tenang saja. Setelah makan, aku akan ikut tidur.""Anak baik," puji Lara sambil mengusap lembut rambut Sang Putri.Tak lama setelah itu, Gea benar-benar terpejam. Sayangnya, meskipun Lara dari luar tampak menikmati makanannya, sayang sekali pikirannya sedang berkelana ke mana-mana.Lara memang masih sangat muda, di usianya yang baru saja meng