Vesa telah melepaskan Sebastian dan pria itu sudah menghilang dari hadapan mereka. Saat ini beberapa teman sekelas Vesa memandang dirinya dengan tatapan aneh yang tidak Vesa mengerti.
Vesa memutar tubuhnya menghadap Derrick. Dia mengembuskan napasnya pelan. Habislah sekarang dia. Dia baru saja ingin memberi kesan baik pada Derrick dengan melawan Sebastian tapi sepertinya yang terjadi adalah sebaliknya. Dia telah memberi kesan buruk pada Derrick dan juga teman-temannya tentang dirinya yang lepas kontrol.
"Aku tidak apa-apa," jawab Vesa. Pria itu sedikit menunduk. Dia rasa dia akan kehilangan teman yang bahkan belum benar-benar resmi menjadi temannya itu.
"Baguslah kalau begitu. Mau ke kantin saja dulu? Kau sepertinya butuh minum," ajak Derrick.
"Hah!?" Vesa mengangkat kepalanya kaget.
Eh, dia tidak salah dengar kan? Derrick White mengajaknya ke kantin? pikir Vesa bingung.
"Kenapa masih diam saja? Ayo, ke kantin dulu!" ajak Derrick lagi.
Derrick yang melihat Vesa masih terdiam seperti orang bodoh itu lalu menyeret Vesa keluar dari ruang kuliah mereka itu.
Vesa masih sedikit linglung saat mereka sampai di kantin.
"Tunggu dan duduk di sini sebentar!" titah Derrick.
Vesa menurut dan langsung duduk tanpa bertanya. Dia melihat Derrick berjalan ke sebuah mesin otomatis untuk membeli minuman.
Derrick menyodorkan sebotol air mineral dingin kepadanya dan Vesa hanya melongo.
"Minumlah!" ucap Derrick.
Vesa masih heran tapi dia menerima air minum itu namun tidak membukanya. Dia hanya memegang botol itu dengan bingung.
Derrick berdecak kesal dan berkata, "Hei, apa kau lupa bagaimana caranya membuka botol itu?"
Vesa menjawab dengan terbata-bata, "Ti-tidak. Bukan begi-tu maksud aku."
Derrick menaikkan sebelah alisnya lalu merampas botol itu dan membuka tutup botolnya dengan cepat. Dia menyerahkannya pada Vesa kemudian sambil berujar, "Minumlah dan dinginkan otakmu!"
Derrick duduk di sampingnya dan bernapas lega saat Vesa akhirnya meminum air mineral itu langsung sampai habis.
"Astaga. Itu enam ratus mililiter dan kau langsung menghabiskannya? Kau cukup haus ya rupanya?" Derrick terkekeh pelan.
Vesa dengan kikuk membalas, "Apa tidak boleh?"
Dan hal itu sontak membuat Derrick tertawa kencang apalagi melihat ekspresi lugu di wajah Vesa itu.
"Astaga, Vesa. Kau ini. Benar-benar." Derrick menggelengkan kepalanya karena baru sadar Vesa sebenarnya cukup polos. Dia jadi berpikir pantas saja banyak yang tega membullynya. Anak itu terlalu naif dan lugu.
Tiba-tiba saja perasaan bersalah datang menghampirinya. Dia teringat apa saja yang pernah dia lakukan pada pemuda yang sedang duduk di hadapannya ini.
Derrick lalu berdeham.
"Vesa, aku minta maaf."
Ucapan Derrick cukup pelan tapi Vesa bisa mendengarkannya dengan cukup jelas. Akan tetapi, pemuda itu tak mengeluarkan suaranya untuk membalasnya karena tak mengerti kenapa Derrick meminta maaf.
Derrick yang tidak mendengar Vesa membalasnya itu pun lalu berujar, "Aish, kau. Kau tidak dengar ya? Baiklah aku ulangi lagi, aku minta maaf. Aku minta maaf atas semua hal buruk yang pernah aku perbuat. Apa kau menerimanya?"
Vesa melongo kaget. Dia tidak sedang berhalusinasi kan? Apakah yang sedang duduk di hadapannya ini adalah benar-benar pemuda sombong itu? Pemuda yang sering memamerkan kekayaaan orang tuanya dan menganggap rendah orang lain yang status sosialnya di bawah dia termasuk dirinya ini. Benarkah ini Derrick White yang itu? Si Tuan Muda angkuh itu?
Derrick White yang itu mana mungkin meminta maaf pada seseorang? Apalagi dirinya. Apakah pemuda ini sedang gegar otak atau bagaimana? Kemarin dia mengantarkan pulang dirinya lalu tadi membelanya bahkan sampai berselisih dengan sahabatnya yang mengakibatkan Derrick kehilangan Sebastian sebagai sahabatnya.
Terus ini? Dia sedang meminta maaf. Hei, dia kenapa bisa berubah dalam waktu secepat ini? Apakah ini ada hubungannya dengan jam tangan tua itu? Benarkah begitu?
Vesa menatap Derrick yang sedang menunggu jawabannya dengan raut wajah yang rumit. Tapi kemudian Vesa berpikir mungkin memang Derrick sudah mulai berubah jadi dia menjawab, "Aku sudah melupakannya. Tak perlu dipikirkan lagi."
Derrick terkejut tapi kemudian tersenyum lega. Dia berkata, "Syukurlah. Aku kira kau masih dendam padaku. Omong-omong kau keren tadi. Aku baru tahu kau sebenarnya bisa melawan tapi kenapa kau selama ini diam saja jika ada yang membullymu?"
Derrick ingat betul, tak sekalipun Vesa pernah melawan. Dia hanya diam saja lebih tepatnya mengabaikan orang-orang yang selalu mengganggunya.
"Aku malas saja. Aku tidak suka mencari ribut dan menarik perhatian orang," jawab Vesa pelan.
"Apa!? Kau malas? Kenapa? Padahal jika di awal-awal kau mau membela diri, kejadian itu tak akan berlangsung lama. Dan mungkin mereka lebih cepat jeranya dari pada kamu mendiamkan perbuatan mereka," ucap Derrick.
Vesa tersenyum tipis. Dia membalas, "Aku merasa itu tidak perlu. Lagi pula tak ada gunanya. Aku juga masih bisa berkuliah dengan tenang. Jadi tak ada masalah untukku."
Derrick benar-benar heran kenapa ada orang yang begitu tenang dan santai padahal dia sering diperlakukan tidak adil.
"Kau jangan begitu. Kau harus melawan orang yang mengganggumu seperti tadi. Setidaknya itu akan lebih membuatmu lebih nyaman lagi berada di kampus," ujar Derrick.
Vesa lalu menjawab, "Baiklah. Aku akan melawan. Tapi aku senang tadi kau juga membelaku. Omong-omong terima kasih untuk bantuanmu tadi."
Vesa tersenyum tulus.
Mendengar hal itu telinga Derrick memerah seketika. Dia malu.
"Hei, jangan ucapkan kata-kata itu. Aku merinding mendengarmu mengucapkannya. Aku jadi terlihat seakan-akan telah berbuat sesuatu yang besar saja. Padahal tadi aku hanya.. Hanya.. yah aku payah tadi," ucap Derrick lagi-lagi malu.
Vesa semakin bingung dengan sikap Derrick yang tidak biasa itu tapi dengan cepat dia berkata, "Kau tidak payah. Aku sungguh-sungguh berterima kasih karena kau adalah orang pertama yang mau membelaku."
Derrick langsung saja mengusap wajahnya.
"Yak. Vesa, hentikan!" Derrick benar-benar merasa aneh tapi entah kenapa hatinya menghangat.
Oh, jadi ini rasanya jika sudah berbuat baik. Cukup menyenangkan, batin Derrick.
Dia tersenyum bodoh.
Vesa menggelengkan kepalanya dan semakin berpikir jika Derrick White tidaklah seburuk yang dia pikirkan.
Tiba-tiba saja Derrick mengulurkan tangannya dan berkata, "Vesa Araya, mari berteman!"
***
Kabar Derrick White yang telah menjalin pertemanan dengan seorang Vesa Araya yang notabene dikenal sebagai mahasiswa miskin itu dengan cepat tersebar.
Beberapa di antara mereka bahkan tampak memandang aneh ke arah mereka saat berjalan bersama.
Namun banyak juga yang tetap memandang remeh Vesa dan Derrick White hanya akan memberi tatapan tajam pada mereka. Dan tentu saja setelah itu mereka tak berani menatap merendahkan lagi. Mereka tak mau mencari masalah dengan seorang keturunan dari keluarga White.
Sebastian Wright yang melihat mantan sahabatnya itu semakin dekat dengan Vesa mengepalkan tangannya.
Ayahnya telah menampar Sebastian saat tahu putranya yang bodoh itu telah memutus pertemanan dengan Derrick White. Ayah Sebastian takut jika itu akan mempengaruhi kerjasama bisnis yang terjalin antara keluarga Wright dan keluarga White.
Maka dari itu Ayah Sebastian meminta anaknya itu untuk berbaikan dengan Derrick. Sayangnya, akhir-akhir ini Derrick selalu terlihat bersama dengan Vesa dan itu menyulitkan dirinya untuk mendekati Derrick lagi.
"Sialan, si miskin itu. Mengekor Derrick ke mana-mana," ucap salah seorang teman Sebastian yang juga tak suka melihat keakraban Vesa dan Derrick.
"Keparat, memang!" maki Sebastian.
"George, apa kau sudah menyiapkan apa yang aku minta kemarin?" tanya Sebastian dengan kesal.
"Sudah bos," jawab George sambil tersenyum miring.
Sebastian menyeringai, "Bagus. Sudah saatnya si miskin itu mendapatkan balasannya."
Ujian akhir semester telah berakhir, sudah saatnya Vesa melakukan rencana yang sudah dia susun sejak lama. Dia sudah lama menanti-nanti hari ini. Dia akan segera mencari pekerjaan guna mendapatkan uang untuk biaya perjalanannya ke Indonesia.Setahu Vesa, di masa liburan banyak toko yang membuka lowongan pekerjaan part time atau sementara. Dia tahu tak mudah mendapat pekerjaan dengan ijazah sekolah menengah tapi dia tetap akan mencobanya.Pria muda itu melangkahkan kakinya dengan riang keluar gedung kampusnya.Vesa sendirian kali ini. Derrick White yang telah menjadi sahabat baiknya hampir satu bulan lamanya itu pulang terlebih dulu. Derrick diajak ayahnya untuk menjenguk sanak saudaranya yang sedang dirawat di Fulham.Vesa berjalan sambil bermain ponselnya menuju halte bis yang tak jauh dari kampus. Akan tetapi sepertinya hari ini adalah hari yang sial baginya karena tiba-tiba saja, saat dia hendak menyeberang, dirinya ditarik oleh dua orang yang tak dike
Vesa Araya benar-benar mengirim dua makhluk tidak berguna itu pada bos yang telah menyuruh mereka.Mereka dengan tangan gemetar membunyikan bel rumah keluarga Wright dan langsung saja mendapatkan jawaban dari satpam yang bertugas menjaga rumah itu."Selamat pagi, saya ingin mengantar paket untuk Tuan Muda Wright," ucap si pirang yang berbicara dengan gugup."Oh, baiklah. Sebentar, akan saya bukakan," ucap satpam itu."Maaf, tapi harus Tuan Muda Wright sendiri yang mengambil paket ini," sambung si rambut hitam yang sudah berkeringat dingin. Dia sesekali menengok ke arah belakang dan langsung saja mengumpat dalam hati karena pria miskin itu ternyata masih berdiri di dekat sana sambil mengawasi mereka dengan tatapan dinginnya."Tunggu sebentar! Paket ini dari siapa?" tanya satpam itu curiga dan dia tetap belum membukakan pintu untuk orang-orang yang mengantar paket itu."Oh, ini dari Tuan White, maksud saya Tuan Muda White, sahabat Tuan Muda Wr
Vesa Araya sedang menatap bengong pada Derrick White yang tengah tersenyum tanpa merasa bersalah kepadanya."Derrick, sudah kukatakan ini bukan liburan. Kenapa kau malah mengajak orang-orang?" ucap Vesa sedikit sebal."Aku tidak mengajak orang-orang. Aku hanya mengajak dua teman baikku. Ini Lucas dan yang ini Lay, mereka kembar," ucap Derrick yang lagi-lagi menampilkan wajah tanpa dosanya saat memperkenalkan mereka.Vesa memutar bolanya malas. Tentu saja dia langsung tahu kedua teman Derrick itu kembar. Bagaimana tidak jika keduanya sangat mirip sekali bagai pinang dibelah dua. Mereka juga memakai pakaian yang sama persis bahkan warnanya sama. Aksesoris juga sama, ditambah lagi koper mereka juga sama.Vesa heran sekali, kenapa ada dua orang manusia dewasa yang masih mau berdandan dengan mirip begitu? Oh, ayolah. Mereka memang kembar, tapi apakah perlu harus memakai pakaian yang sama seperti itu?Yah memang anak kembar selalu lucu di mata Vesa, tapi
"Kapan kau pensiun, Ruslan?" tanya Valentino."Saya tidak akan pernah pensiun. Apa Anda tidak bosan menanyakan hal itu ribuan kali?" tanya Ruslan balik.Valentino menghela napasnya.Ruslan hanya diam berdiri di belakang Tuan Mudanya yang telah dia layani selama lebih dari dua puluh lima tahun itu."Aku hanya ingin kau istirahat, Ruslan. Kau sudah tidak muda lagi. Kau butuh waktu untuk dirimu sendiri," ucap Valentino belum ingin menyerah."Usia saya memang sudah hampir enam puluh tahun tapi kemampuan saya tak menurun, Tuan Muda. Anda juga pasti tahu akan hal itu," ujar Ruslan keras kepala."Kau... Hah, kapan kau berhenti mengkhawatirkan aku? Banyak bodyguard lain yang bisa melindungi aku. Kau tak boleh memaksakan dirimu lagi. Kau sudah terlalu melakukan hal banyak untukku," ucap Valentino. Wajahnya terlihat sedih."Tuan Muda, sudah saya katakan jika saya tidak akan pernah pensiun. Saya akan menjaga Tuan Muda sampai saya mati. Saya suda
Pada akhirnya Derrick memesan satu kamar ukuran besar dengan dua tempat tidur. Dia dengan puas memotretnya dan mengirimkannya pada ayahnya.Ah, akhirnya Vesa paham. Kenapa dia tak berpikir lebih banyak? Tentu saja, seorang Derrick White tidak akan mungkin mau menempati hotel murah. Karena itu pasti membuat harga diri temannya itu jatuh. Lagi pula, menginap di hotel berbintang tujuh selama berbulan-bulan juga, uang keluarga White tidak akan habis.Derrick tak berhenti memotret setiap bagian kamar itu dan kemudian berkata, "Ayo, bersama-sama!"Vesa memutar bola matanya malas. Dia juga baru ingat, Derrick suka sekali memamerkan apapun ke dalam media sosial pribadinya."Vesa, ayolah. Jangan tak bersemangat begitu!" Derrick menarik tangan Vesa yang hanya bisa pasrah. Dia berpikir tak ada salahnya membuat Derrick senang, toh dia bisa sampai ke Indonesia juga berkat sahabatnya itu."Di sini sangat bagus. Pencahayaan yang sangat pas, Derrick." Lucas berdir
Derrick White begitu penasaran hingga tak bisa tidur karena memikirkan ayah Vesa yang belum bisa mereka temukan keberadaannya.Rasanya ada sesuatu yang salah di sini. Tidak mungkin seseorang tidak bisa ditemukan di zaman modern seperti ini. Semuanya semakin maju, seharusnya lebih mudah untuk menemukan orang."Apa iya dia tak ada di internet?" gumam Derrick sendirian.Teman-temannya sudah terlelap dan mendengkur semuanya. Dia mulai jengkel saat ketiga orang yang tidur seperti orang mati itu semakin berisik dengan dengkurannya.Dengan sangat terpaksa, pemuda yang saat ini mengenakan celana pendek selutut itu bangkir dari tempat tidurnya. Dia memutuskan untuk keluar dari kamarnya dan berjalan-jalan sendirian.Sesungguhnya Derrick tak nyaman harus sendirian di tempat asing, tapi karena rasa bosan telah hampir membuatnya ingin terjun dari lantai atas itu, dia memilih untuk membuang rasa tidak nyamannya itu.Dia berjalan menelusuri lorong di hotel
"Maaf, Anda harus tanda tangan terlebih dulu jika ingin meminjam majalah itu," ucap pegawai perpustakaan itu.Derrick terbengong-bengong. Dia melirik ke tangan kanannya yang saat ini memang sedang memegang majalah bisnis itu. Dia pun tersenyum penuh maaf dan akhirnya mengikuti pegawai itu dan mengisi daftar pinjam serta membubuhkan tanda tangan."Apakah sudah?" tanya Derrick yang sudah tak sabar ingin berlari ke kamar tempatnya menginap."Sudah. Anda harus mengembalikannya sebelum Anda check out," ucap petugas kaku itu dan Derrick dengan cepat mengangguk."Terima kasih," ucap pemuda itu.Dia langsung melesat begitu saja usai mengucapkan selamat tinggal pada petugas yang hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah pemuda yang menurutnya sangat aneh itu.Derrick dengan tidak sabar memencet tombol lift sambil sesekali melirik lagi majalah yang dipegang kuat-kuat seolah-olah majalah itu adalah majalah yang sangat berharga untuknya."Ah,
"Baiklah, tak ada cara lain. Aku rasa hanya itu yang bisa kita lakukan sekarang ini," ucap Vesa."Tapi, Vesa. Kenapa kau tidak jujur saja pada ayahmu? Bagaimana jika kau katakan saja kepadanya kalau kau sekarang ada di Indonesia? Aku yakin ayahmu tidak mungkin menolak untuk menemuimu," ujar Lucas.Vesa menggigit bibir bawahnya."Aku tidak tahu apakah itu ide yang bagus," balas Vesa."Kenapa memangnya? Bukankah malah lebih enak jika kau tanya langsung padanya jadi kita tak perlu ke sana ke mari untuk mencarinya?"Vesa menggelengkan kepalanya, "Hanya saja aku merasa ayahku akan marah setelah aku menyusulnya ke sini."Lay ikut berbicara, "Tapi Vesa, bukankah sama nanti akan ketahuan. Besok juga kau akan bertemu dengannya, kau ke sana untuk mencarinya dan bertanya kepadanya kan? Jadi untuk apa menutupinya lagi?"Derrick White yang melihat Vesa terlihat bingung akhirnya bersuara kembali, "Sebenarnya menurutku tak ada salahnya kau langsung
Halo, readers. Kita ketemu lagi di sini. Akhirnya selesai juga season kedua ini. Lega sekali rasanya bisa menyelesaikan cerita ini. Zila ucapkan banyak terima kasih yang sudah antusias membaca kisah Vesa Araya, anak dari Valentino Araya ini dan mengikutinya sampai akhir. Semoga ceritanya tidak mengecewakan ya dan kalian puas dengan cerita ini. Endingnya semoga juga memuaskan bagi para readers ya dan nggak ada yang kecewa. Zila harap kisah Vesa Araya ini semoga bisa diingat oleh para pembaca. Akhir kata, Zila harap bisa membuat cerita lain yang juga disukai para pembaca. Salam hangat dari Zila Aicha, sampai ketemu di karya Zila berikutnya.
Tubuh Gea terlihat begitu mengerikan. Dadanya tertancap pisau dan mulutnya mengeluarkan busa serta matanya pun terbuka.Vesa langsung memerintah, "Hubungi polisi sekarang."Inka menutup wajahnya karena tak sanggup melihatnya. Vesa langsung saja memeluk gadis itu agar Inka tak merasa takut."Siapa yang membunuhnya? Itu terlalu kejam, Vesa. Sungguh mengerikan," ujar gadis itu dengan suara bergetar."Kita akan segera tahu, biarkan polisi yang menanganinya," ujar Vesa.Tak lama kemudian polisi datang dan langsung saja memeriksa kasus itu."Apakah Anda berdua bisa ikut kami ke kantor polisi untuk memberi kesaksian?" tanya petugas polisi itu."Ya," jawab Vesa.Vesa pun mengajak Inka untuk ikut ketua polisi itu.Vesa dan Inka harus berada di kantor polisi setidaknya selama dua jam lamanya guna memberi kesaksian mereka. Dan saat dia telah selesai dan keluar dari ruang interogasi, dia melihat Lara, anak Gea itu datang ke kantor polisi dengan raut wajah yang penuh air mata."Apa Anda sudah mene
"Aku tidak membencimu, Alea. Hanya saja kau sudah keterlaluan," ucap Vesa. Dia lalu menggandeng Lara pergi dari sana.Alea berteriak, "Vesa."Vesa tak memperdulikannya. Alea hanya bisa menggigit bibir bawahnya dengan perasaan getir. Vesa sudah tak mau berhubungan lagi dengannya. Pria muda itu pastilah sudah begitu jijik padanya.Alea menjambak rambutnya sendiri lalu pergi dari kampus itu karena tak tahan melihat para mahasiswa yang menatapnya dengan tatapan aneh.Di sisi lain, Vesa berujar pelan, "Maafkan aku. Gara-gara aku, kamu jadi...""Tak apa. Well, omong-omong aku harus pergi sekarang, aku rasa temanku sudah datang," ujar Lara kemudian.Vesa mengangguk pelan, masih merasa begitu bersalah. Begitu gadis itu pergi, dia memilih untuk mengubah rencananya. Dia tak mungkin memanfaatkan Lara untuk menjebak Gea. Gadis itu tak tahu apa-apa. Entah kenapa, dia merasa jika Lara memang gadis polos. Maka dari itu dia memutuskan untuk menyerang Gea tanpa melibatkan Lara. Sore itu dia kembali
Hanya dalam waktu tak kurang dari tiga puluh detik saja, Stefan sudah mengirimkan sebuah photo begitu Vesa mematikan sambungan teleponnya.Vesa dengan tenang membuka pesan itu dan tersenyum miring begitu dia melihat photo itu.Kena kau, Gea. Vesa membatin.Segera dia mengantongi kembali ponselnya dan berjalan mendekati Lara sambil tersenyum cerah."Sudah selesai menghubungimu?" tanya Vesa yng jauh lebih ramah dari pada sebelumnya."Sudah. Mau berkeliling sekarang?" tanya Lara balik."Ya, langsung saja. Aku tak akan mengambil waktumu banyak-banyak," ucap Vesa.Lara mengangguk dan kemudian mulai bertindak sebagai seorang tour guide di sana. Meskipun baru meninggalkan kampus itu selama tujuh bulan lamanya, tapi kampus itu sudah cukup banyak berubah.Vesa mengenang masa-masa di kampusnya itu. Walaupun memang banyak kenangan buruk di sana, dia tetap masih sedikit kenangan baik hingga sekarang dia cukup merasa kecewa lagi ketika teringat masa-masa awal pertemanannya dengan Derrick.Derrick
Lara Serafin tergesa-gesa masuk ke dalam kampusnya, Greenwich University. Dia telah berjanji pada Gemma Jones semalam untuk menemani gadis itu ke perpustakaan.Saat dia melangkahkan kakinya menuju tempat itu, dia harus melewati segerombolan mahasiswa dari fakultas lain yang terlihat sedang berbincang-bincang santai.Lara begitu menikmati kehidupan barunya di kampus itu. Meskipun pada awalnya dia merasa banyak sekali hal yang begitu janggal seperti alasan yang tidak jelas sang ibu yang memilih negara ini. Di samping itu, ibunya yang sekarang ini memilih untuk bekerja dari rumah tentu membuatnya semakin bertanya-tanya.Ibunya, Gea Raharjo beralasan jika bekerja dari rumah berarti membuatnya memiliki waktu yang lebih banyak dengannya. Dikarenakan hal itu juga, Lara tak pernah bisa memprotes ataupun bertanya lebih banyak mengenai alasan utama ibunya itu.Dan ketika Lara bertanya tentang pekerjaan ibunya itu, ibunya hanya akan menjawab jika dia bergelut dengan saham. Entah saham yang seper
Derrick hanya bisa terdiam kala melihat sahabat baiknya pergi dari rumahnya. Dia melirik Alea sekilas, ingin sekali dia merengkuh tubuh Alea tapi di saat dia mendekat, Alea mundur ke belakang.Dengan wajah yang sudah basah karena air mata, Alea berkata dengan terisak-isak pelan, "Ini semua salahku. Salahku, Derrick."Derrick menggeleng, "Tidak. Ini salahku, Alea. Kau tidak salah. Aku yang membuat semuanya berantakan.""Aku yang datang padamu, aku yang paling bersalah," ujar Alea lagi."Aku yang memintamu datang, aku, Derrick," lanjut Alea.Derrick menyambar, "Dan aku juga mau datang ke sini. Oke, baiklah. Kita sama-sama bersalah. Kita berdua sama-sama bersalah."Alea jatuh terduduk di lantai halaman rumah Derrick, "Vesa pasti membenciku. Padahal kami baik-baik saja. Dia tidak pernah menyakitiku. Tapi kenapa aku? Derrick, aku hanya kesal karena dia tak pernah mau mengunjungiku ke sini. Padahal kan jelas uang bukan masalah baginya. Tapi dia lebih mementingkan perusahaannya itu. Aku hany
London masih menjadi salah satu kota terpadat yang Vesa datangi. Pemandangan malam kota ini selalu berhasil membuat Vesa rindu. Semenjak kematian kakek dan neneknya sekitar tujuh bulan yang lalu, Vesa Araya belum pernah mendatangi kota itu. Hal ini bukan karena dia yang tak ingin pergi menengok kakek dan neneknya, melainkan karena kesibukannya yang cukup menyita waktu.Dalam enam bulan belakang, selain Vesa harus mengejar gelar pendidikanya, dia harus kembali mengurus perusahaan peninggalan sang ayah. Dirinya yang mungkin menjadi anak miliarder terkaya di Indonesia itu pun hampir tak memiliki waktu senggang sedikit pun.Hingga mungkin, bisa dikatakan jika hidup Vesa hanyalah berkutat pada dunia bisnis, pendidika sekaligus melacak keberadaan Gea yang sampai sekarang belum juga dia ketahui.Namun, Vesa bukanlah orang yang mudah menyerah apalagi Gea menjadi salah satu penyebab segala ketidakberuntungan yang menghinggapinya. Vesa tidak sedikitpun menghentikan pencarian dan malah semakin m
"Kau tidak mau menyelidikinya?" tanya Inka kemudian.Vesa terkejut mendengar perkataan Inka, "Menyelidiki? Kau mengatakannya seolah Derrick telah melakukan sesuatu yang aneh-aneh saja."Inka tergelak, "Vesa, bukan begitu maksudku. Yah, kita tidak tahu apa yang terjadi di sana. Kan bisa jadi dia memang sedang menghadapi masalah yang besar."Inka melihat kening Vesa mengerut. Pria muda itu sedang berpikir."Beberapa waktu aku mengenal Derrick, dia tidak sepertimu. Kau selalu mengatakan apapun. Tapi tidak dengan Derrick. Kalian memang berteman dekat, namun aku rasa dia masih menyimpan rahasia atau bisa dibilang tak selalu mengatakan apapun kepadamu," jelas Inka."Itu aku tahu, Inka. Kan tadi sudah aku katakan. Dia memang tak selalu mengatakan segalanya dan aku tak pernah memaksanya untuk mengatakannya. Aku menghargai privasinya," sahut Vesa."Nah, itu dia, Vesa. Kenapa kau tidak coba selidiki. Siapa tahu sebenarnya dia membutuhkan bantuanmu tapi tak mengatakannya," ucap Inka.Vesa berpik
Gea tersenyum sekilas sebelum menjawab pertanyaan putrinya itu, "Karena Inggris itu negara impian Ibu."Lara bingung tapi berusaha tersenyum, tak ingin mengerecoki ibunya dengan pertanyaan-pertanyaan dirinya lagi yang mungkin saja malah membuat Sang Ibu bersedih."Kau pasti akan suka nanti, Sayang. Kau bisa masuk ke Greenwich University nanti," ujar Gea.Lara mengangguk dan setelah itu makanan datang. Gadis muda yang telah menyelesaikan pendidikan sekolah menengahnya itu mulai berkonsentrasi pada makanan yang ada di depannya."Makanlah dulu, Ibu tidur sebentar ya? Jika perlu apa-apa, kau bisa bangunkan Ibu," ucap Gea lagi.Lara menjawab, "Ya, Ibu tenang saja. Setelah makan, aku akan ikut tidur.""Anak baik," puji Lara sambil mengusap lembut rambut Sang Putri.Tak lama setelah itu, Gea benar-benar terpejam. Sayangnya, meskipun Lara dari luar tampak menikmati makanannya, sayang sekali pikirannya sedang berkelana ke mana-mana.Lara memang masih sangat muda, di usianya yang baru saja meng