"Memang apa yang salah dengan hal itu? Bukankah kita memang satu kelas? Berarti kita semua memang berteman kan?" ucap Derrick dengan santainya.
Alea terbelalak kaget. Dia mengatupkan mulutnya rapat-rapat, tak tahu bagaimana mengomentari ucapan Derrick.
Alea tidak mungkin berani membantah Derrick karena status sosial Derrick yang sama dengannya. Dia tidak ingin membuat masalah dengan pria muda itu karena dia tak ingin nama besar keluarganya ikut terseret.
Maka dari itu Alea hanya bisa menghentakkan kakinya dengan kesal sebelum melangkah pergi dari area itu.
Derrick menghela napasnya dengan lega usai gadis itu akhirnya tak terlihat.
Pria dengan rambut pirang itu menoleh ke arah Vesa, "Vesa, aku antar kau pulang. Aku akan telepon orang bengkel untuk mengurus mobilmu. Kalau sudah beres, akan langsung diantar ke rumah kamu."
Vesa terkejut karena ini menurutnya sangat aneh. Seorang Derrick White mau berbicara dengannya itu sudah sebuah hal yang langka, pasalnya putra dari keluarga kaya itu hampir tak pernah mau berbicara dengan orang dari kalangan bawah seperti dirinya. Akan tetapi, kali ini Derrick tidak hanya berbicara dengannya, namun juga mau mengantar dia pulang.
Apakah dia sedang bermimpi? Atau Derrick sedang berpikir tidak waras sehingga melakukan hal yang tidak sesuai dengan dirinya? Vesa mulai bertanya-tanya sendiri.
Dia kemudian berujar, "Derrick. Apakah kau melakukan ini karena arloji kamu itu? Well, aku tak masalah. Kau tahu, kau tidak perlu melakukan apapun. Aku hanya melakukan apa yang bisa aku lakukan saja."
Derrick mengangguk, "Aku tahu. Tapi aku hanya ingin mencoba berbuat baik. Apakah itu salah?"
Derrick lalu mengajak Vesa menuju mobilnya.
Vesa hanya bisa berdecak kagum saat melihat mobil mewah yang tentunya limited edition itu. Mobil berwarna hitam yang memiliki desain unik.
"Naiklah," ucap Derrick.
Vesa berkedip, "Serius? Aku boleh naik?"
Derrick tahu Vesa terkejut jadi dia lalu berkata, "Iya. Kan tadi aku sudah bilang kalau aku mau mengantar kamu? Kau pikir aku bercanda?"
Vesa masih terdiam.
Derrick mengulangi, "Naiklah!"
Vesa dengan agak gugup naik ke mobil itu dan duduk di samping Derrick.
Derrick mulai menyalakan mesin mobilnya. Vesa merasa agak tak nyaman tapi dia berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri.
"Di mana alamatmu?" tanya Derrick.
"Wilmslow," jawab Vesa.
Derrick terlihat berpikir sejenak, "Dekat Didsbury Medical Center?"
"Benar," jawab Vesa lagi.
Derrick mengangguk dan tetap menyetir hingga sampai ke rumah Vesa.
Derrick ikut turun dari mobil itu ketika sampai di rumah Vesa.
"Terima kasih. Maaf sudah merepotkan kamu," ucap Vesa.
Derrick tidak tahu bagaimana harus menanggapi ucapan itu karena sebenarnya dialah yang harus berterima kasih pada pemuda itu. Jadi Derrick hanya tersenyum tipis sebelum kemudian pulang dari rumah itu.
Vesa menggelengkan kepalanya seakan baru saja mendapatkan sebuah jackpot. Dia tidak pernah menyangka bahwa pemuda seperti Derrick mau mengantarkan dirinya sampai ke rumah.
"Vesa, di mana mobilmu? Kenapa kau malah pulang diantar teman kamu? Dan kenapa teman kamu tidak mampir dulu?" Thomas Miller memberondong cucunya itu dengan banyak pertanyaan sekaligus.
"Opa, biarkan aku menjelaskannya pelan-pelan oke?"
Vesa kemudian ikut duduk di ruang tamu bersama dengan kakeknya yang sedang terlihat meminum kopinya di tengah malam itu. Vesa tidak bertanya kepada sang anak yang masih belum tidur, karena sudah jelas kakeknya itu pasti sedang menunggu dirinya pulang.
Vesa tahu betapa besar kasih sayang kakek neneknya itu terhadapnya jadi dia pun memaklumi bagaimana mereka begitu mencemaskan dirinya.
"Opa, mobilku mogok. Aku menyalakannya jadi aku tinggalkan saja mobil itu di di gedung tadi lalu temanku mengantarku pulang. Opa tidak perlu khawatir karena temanku sudah janji akan memperbaiki mobil itu dan mengembalikannya ke sini besok," jelas Vesa.
Thomas Miller membalas, "Kau punya teman sebaik itu? Tidakkah kau bilang semua teman-temanmu selalu mem-bullymu?"
Vesa mengangguk.
"Dia bukan teman seperti yang kau maksud, Opa. Dia hanya teman biasa dan bukan seperti teman baikku. Dia juga dulu pernah memberiku dan bahkan menghina aku tapi yah Opa tahu tadi dia berbuat baik kepadaku," ucap Vesa.
Vesa tidak berbohong karena memang Derrick beberapa kali juga ikut membully dirinya dan bahkan menghina statusnya sebagai salah satu penerima beasiswa di University of Greenwich.
Thomas menatap cucunya itu dengan sorot mata khawatir karena takut jika cucunya tersebut akan dilukai.
"Jangan terlalu percaya pada orang lain karena bisa saja dia hanya berpura-pura baik kepadamu untuk membullymu lagi. Dia..."
Vesa sepertinya tahu apa yang sedang dipikirkan oleh kakeknya itu jadi dia berujar, "Opa, aku tahu. Aku tahu betul. Derrick hanya sedang membalas budi saja kepadaku dan aku yakin besok dia pasti akan kembali seperti biasanya. Tenang, Opa. Aku tidak akan terlalu memikirkannya dan tetap waspada seperti biasanya."
Vesa lalu naik ke atas dan masuk ke dalam kamarnya. Pria muda itu melepas jasnya dan kemudian melempar dirinya ke atas tempat tidurnya.
Vesa bohong sekali kalau dia tidak memikirkan kebaikan Derrick. Kalau dia ingin jujur dia tadinya sedikit berharap jika Derrick benar-benar akan menganggapnya seperti temannya. Ini karena Vesa benar-benar tidak memiliki teman di kelasnya. Dia selalu sendirian selama menginjakkan kakinya ke kampus itu.
Dia memang memiliki beberapa teman yang berkuliah di fakultas yang berbeda tapi mereka tidak terlalu dekat. Tapi perkataan kakeknya semakin membuatnya tersadar karena tidak mungkin seorang anak dari keturunan keluarga kaya seperti Derrick White mau berteman dengannya.
Tiba-tiba dia penasaran apakah ayahnya dulu juga ikut merasakan seperti apa dia rasakan. Vesa benar-benar ingin tahu mengenai kehidupan sang ayah yang sama sekali tidak pernah dia ketahui itu.
"Ayah, sebenarnya bagaimana hidup ayah dulu? Kenapa kau tidak pernah bicarakan kehidupanmu? Aku ini anakmu, kan? Kenapa aku sama sekali tak mengetahui banyak hal tentangmu?" gumam Vesa.
Pria itu kemudian terlelap.
Pagi harinya, dia berangkat ke kampus seperti biasanya menggunakan bis. Pria itu tiba di kampusnya dan langsung saja menuju ruang kuliahnya. Dia selalu menyapa semua dosen yang dia temui di jalan dan itulah yang membuat banyak sekali dosen menyukai pemuda itu.
Karena selain memiliki otak yang sangat cerdas sehingga membuatnya mendapatkan nilai tertinggi di setiap mata kuliah yang diambil, Vesa dikenal sebagai mahasiswa yang memiliki attitude yang baik. Sayangnya, hal itu jugalah yang membuat banyak sekali mahasiswa yang tidak menyukainya.
Mereka bahkan menuduh pemuda itu hanya mencari muka di depan para dosen.
Vesa kemudian menemukan ruangannya untuk mata kuliah pertamanya dan membuka pintunya. Dia begitu kaget ketika langsung saja didorong Sebastian Wright hingga dia jatuh terjerembab.
Suara tawa langsung saja memenuhi ruang kelas itu.
"Well, inilah pahlawan kita yang sudah menyelamatkan arloji milik Derrick," ujar Sebastian dengan suaranya yang cukup kencang hingga membuat semua orang bisa mendengar ucapannya dengan sangat jelas.
Mereka semua menertawakan Vesa.
Vesa bangkit dan kemudian dia menatap Sebastian dengan malas.
"Heh, kau menantangku? Kau berani?" ucap Sebastian yang mendelik ke arah Vesa.
Vesa menggelengkan kepalanya.
"Apakah kau tidak bisa membedakan ekspresi seseorang?" ucap Vesa dan menatap malas lagi pada Sebastian.
"Apa maksudmu?" Sebastian tak lagi menahan amarahnya dan membentaknya.
"Maksudku adalah aku tidak menantang dirimu tapi aku memberikan sebuah tatapan malas atas apa yang baru saja kau lakukan," jawab Vesa santai dan dia melewati pemuda yang semakin berang itu menuju salah satu bangku yang masih kosong.
"Heh, berhenti!" teriak Sebastian.
Vesa tetap berjalan dan kemudian malah duduk di salah satu bangku. Dia mengabaikan Sebastian sepenuhnya hingga membuat Sebastian berteriak, "Apa maumu, hah? Berani kau mengabaikan aku? Kau pikir kau siapa, hah?"
Dengan tenang Vesa menjawab, "Astaga, kau masa tidak tahu siapa aku? Aku Vesa Araya, salah satu mahasiswa di sini."
Wajah Sebastian langsung saja memerah karena terlalu marah hingga kemudian dia mencengkeram leher Vesa tapi lagi-lagi Vesa masih menatapnya dengan sangat malas.
"Kau mau mati ya?" Sebastian berteriak di depan wajah Vesa.
Vesa hanya memejamkan matanya.
"Hentikan, Sebastian!" teriak Derrick yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Sebastian."Kenapa aku harus berhenti?" ucap Sebastian. Dia tidak melonggarkan cengkeraman tangannya pada leher Vesa."Lepaskan dia atau aku ..."Suara Derrick dipenuhi dengan tekanan yang terdengar seperti sebuah ancaman. Sayangnya, Sebastian tidak mendengarkan dan malah semakin mencekik leher Vesa.Vesa berusaha melepaskan dirinya tapi tentu saja gagal, Sebastian mencengkeramnya begitu kuat hingga pria muda itu kesulitan untuk bernapas.Alea yang menyaksikan itu tiba-tiba saja merinding. Dia memang membenci Vesa tapi dia tak ingin Vesa mati."Sebastian Wright, lepaskan dia!" teriak Derrick.Sebastian masih mengacuhkannya. Derrick melihat wajah Vesa yang memerah, Derrick lalu menarik jaket Hoodie yang dikenakan Sebastian berbarengan dengan Alea yang ternyata mendorong Sebastian.Sebastian terjatuh dengan agak keras akibat dorongan itu. Alea terkejut
Vesa telah melepaskan Sebastian dan pria itu sudah menghilang dari hadapan mereka. Saat ini beberapa teman sekelas Vesa memandang dirinya dengan tatapan aneh yang tidak Vesa mengerti. Vesa memutar tubuhnya menghadap Derrick. Dia mengembuskan napasnya pelan. Habislah sekarang dia. Dia baru saja ingin memberi kesan baik pada Derrick dengan melawan Sebastian tapi sepertinya yang terjadi adalah sebaliknya. Dia telah memberi kesan buruk pada Derrick dan juga teman-temannya tentang dirinya yang lepas kontrol. "Aku tidak apa-apa," jawab Vesa. Pria itu sedikit menunduk. Dia rasa dia akan kehilangan teman yang bahkan belum benar-benar resmi menjadi temannya itu. "Baguslah kalau begitu. Mau ke kantin saja dulu? Kau sepertinya butuh minum," ajak Derrick. "Hah!?" Vesa mengangkat kepalanya kaget. Eh, dia tidak salah dengar kan? Derrick White mengajaknya ke kantin? pikir Vesa bingung. "Kenapa masih diam saja? Ayo, ke kantin dulu!" ajak Derrick lagi.
Ujian akhir semester telah berakhir, sudah saatnya Vesa melakukan rencana yang sudah dia susun sejak lama. Dia sudah lama menanti-nanti hari ini. Dia akan segera mencari pekerjaan guna mendapatkan uang untuk biaya perjalanannya ke Indonesia.Setahu Vesa, di masa liburan banyak toko yang membuka lowongan pekerjaan part time atau sementara. Dia tahu tak mudah mendapat pekerjaan dengan ijazah sekolah menengah tapi dia tetap akan mencobanya.Pria muda itu melangkahkan kakinya dengan riang keluar gedung kampusnya.Vesa sendirian kali ini. Derrick White yang telah menjadi sahabat baiknya hampir satu bulan lamanya itu pulang terlebih dulu. Derrick diajak ayahnya untuk menjenguk sanak saudaranya yang sedang dirawat di Fulham.Vesa berjalan sambil bermain ponselnya menuju halte bis yang tak jauh dari kampus. Akan tetapi sepertinya hari ini adalah hari yang sial baginya karena tiba-tiba saja, saat dia hendak menyeberang, dirinya ditarik oleh dua orang yang tak dike
Vesa Araya benar-benar mengirim dua makhluk tidak berguna itu pada bos yang telah menyuruh mereka.Mereka dengan tangan gemetar membunyikan bel rumah keluarga Wright dan langsung saja mendapatkan jawaban dari satpam yang bertugas menjaga rumah itu."Selamat pagi, saya ingin mengantar paket untuk Tuan Muda Wright," ucap si pirang yang berbicara dengan gugup."Oh, baiklah. Sebentar, akan saya bukakan," ucap satpam itu."Maaf, tapi harus Tuan Muda Wright sendiri yang mengambil paket ini," sambung si rambut hitam yang sudah berkeringat dingin. Dia sesekali menengok ke arah belakang dan langsung saja mengumpat dalam hati karena pria miskin itu ternyata masih berdiri di dekat sana sambil mengawasi mereka dengan tatapan dinginnya."Tunggu sebentar! Paket ini dari siapa?" tanya satpam itu curiga dan dia tetap belum membukakan pintu untuk orang-orang yang mengantar paket itu."Oh, ini dari Tuan White, maksud saya Tuan Muda White, sahabat Tuan Muda Wr
Vesa Araya sedang menatap bengong pada Derrick White yang tengah tersenyum tanpa merasa bersalah kepadanya."Derrick, sudah kukatakan ini bukan liburan. Kenapa kau malah mengajak orang-orang?" ucap Vesa sedikit sebal."Aku tidak mengajak orang-orang. Aku hanya mengajak dua teman baikku. Ini Lucas dan yang ini Lay, mereka kembar," ucap Derrick yang lagi-lagi menampilkan wajah tanpa dosanya saat memperkenalkan mereka.Vesa memutar bolanya malas. Tentu saja dia langsung tahu kedua teman Derrick itu kembar. Bagaimana tidak jika keduanya sangat mirip sekali bagai pinang dibelah dua. Mereka juga memakai pakaian yang sama persis bahkan warnanya sama. Aksesoris juga sama, ditambah lagi koper mereka juga sama.Vesa heran sekali, kenapa ada dua orang manusia dewasa yang masih mau berdandan dengan mirip begitu? Oh, ayolah. Mereka memang kembar, tapi apakah perlu harus memakai pakaian yang sama seperti itu?Yah memang anak kembar selalu lucu di mata Vesa, tapi
"Kapan kau pensiun, Ruslan?" tanya Valentino."Saya tidak akan pernah pensiun. Apa Anda tidak bosan menanyakan hal itu ribuan kali?" tanya Ruslan balik.Valentino menghela napasnya.Ruslan hanya diam berdiri di belakang Tuan Mudanya yang telah dia layani selama lebih dari dua puluh lima tahun itu."Aku hanya ingin kau istirahat, Ruslan. Kau sudah tidak muda lagi. Kau butuh waktu untuk dirimu sendiri," ucap Valentino belum ingin menyerah."Usia saya memang sudah hampir enam puluh tahun tapi kemampuan saya tak menurun, Tuan Muda. Anda juga pasti tahu akan hal itu," ujar Ruslan keras kepala."Kau... Hah, kapan kau berhenti mengkhawatirkan aku? Banyak bodyguard lain yang bisa melindungi aku. Kau tak boleh memaksakan dirimu lagi. Kau sudah terlalu melakukan hal banyak untukku," ucap Valentino. Wajahnya terlihat sedih."Tuan Muda, sudah saya katakan jika saya tidak akan pernah pensiun. Saya akan menjaga Tuan Muda sampai saya mati. Saya suda
Pada akhirnya Derrick memesan satu kamar ukuran besar dengan dua tempat tidur. Dia dengan puas memotretnya dan mengirimkannya pada ayahnya.Ah, akhirnya Vesa paham. Kenapa dia tak berpikir lebih banyak? Tentu saja, seorang Derrick White tidak akan mungkin mau menempati hotel murah. Karena itu pasti membuat harga diri temannya itu jatuh. Lagi pula, menginap di hotel berbintang tujuh selama berbulan-bulan juga, uang keluarga White tidak akan habis.Derrick tak berhenti memotret setiap bagian kamar itu dan kemudian berkata, "Ayo, bersama-sama!"Vesa memutar bola matanya malas. Dia juga baru ingat, Derrick suka sekali memamerkan apapun ke dalam media sosial pribadinya."Vesa, ayolah. Jangan tak bersemangat begitu!" Derrick menarik tangan Vesa yang hanya bisa pasrah. Dia berpikir tak ada salahnya membuat Derrick senang, toh dia bisa sampai ke Indonesia juga berkat sahabatnya itu."Di sini sangat bagus. Pencahayaan yang sangat pas, Derrick." Lucas berdir
Derrick White begitu penasaran hingga tak bisa tidur karena memikirkan ayah Vesa yang belum bisa mereka temukan keberadaannya.Rasanya ada sesuatu yang salah di sini. Tidak mungkin seseorang tidak bisa ditemukan di zaman modern seperti ini. Semuanya semakin maju, seharusnya lebih mudah untuk menemukan orang."Apa iya dia tak ada di internet?" gumam Derrick sendirian.Teman-temannya sudah terlelap dan mendengkur semuanya. Dia mulai jengkel saat ketiga orang yang tidur seperti orang mati itu semakin berisik dengan dengkurannya.Dengan sangat terpaksa, pemuda yang saat ini mengenakan celana pendek selutut itu bangkir dari tempat tidurnya. Dia memutuskan untuk keluar dari kamarnya dan berjalan-jalan sendirian.Sesungguhnya Derrick tak nyaman harus sendirian di tempat asing, tapi karena rasa bosan telah hampir membuatnya ingin terjun dari lantai atas itu, dia memilih untuk membuang rasa tidak nyamannya itu.Dia berjalan menelusuri lorong di hotel
Halo, readers. Kita ketemu lagi di sini. Akhirnya selesai juga season kedua ini. Lega sekali rasanya bisa menyelesaikan cerita ini. Zila ucapkan banyak terima kasih yang sudah antusias membaca kisah Vesa Araya, anak dari Valentino Araya ini dan mengikutinya sampai akhir. Semoga ceritanya tidak mengecewakan ya dan kalian puas dengan cerita ini. Endingnya semoga juga memuaskan bagi para readers ya dan nggak ada yang kecewa. Zila harap kisah Vesa Araya ini semoga bisa diingat oleh para pembaca. Akhir kata, Zila harap bisa membuat cerita lain yang juga disukai para pembaca. Salam hangat dari Zila Aicha, sampai ketemu di karya Zila berikutnya.
Tubuh Gea terlihat begitu mengerikan. Dadanya tertancap pisau dan mulutnya mengeluarkan busa serta matanya pun terbuka.Vesa langsung memerintah, "Hubungi polisi sekarang."Inka menutup wajahnya karena tak sanggup melihatnya. Vesa langsung saja memeluk gadis itu agar Inka tak merasa takut."Siapa yang membunuhnya? Itu terlalu kejam, Vesa. Sungguh mengerikan," ujar gadis itu dengan suara bergetar."Kita akan segera tahu, biarkan polisi yang menanganinya," ujar Vesa.Tak lama kemudian polisi datang dan langsung saja memeriksa kasus itu."Apakah Anda berdua bisa ikut kami ke kantor polisi untuk memberi kesaksian?" tanya petugas polisi itu."Ya," jawab Vesa.Vesa pun mengajak Inka untuk ikut ketua polisi itu.Vesa dan Inka harus berada di kantor polisi setidaknya selama dua jam lamanya guna memberi kesaksian mereka. Dan saat dia telah selesai dan keluar dari ruang interogasi, dia melihat Lara, anak Gea itu datang ke kantor polisi dengan raut wajah yang penuh air mata."Apa Anda sudah mene
"Aku tidak membencimu, Alea. Hanya saja kau sudah keterlaluan," ucap Vesa. Dia lalu menggandeng Lara pergi dari sana.Alea berteriak, "Vesa."Vesa tak memperdulikannya. Alea hanya bisa menggigit bibir bawahnya dengan perasaan getir. Vesa sudah tak mau berhubungan lagi dengannya. Pria muda itu pastilah sudah begitu jijik padanya.Alea menjambak rambutnya sendiri lalu pergi dari kampus itu karena tak tahan melihat para mahasiswa yang menatapnya dengan tatapan aneh.Di sisi lain, Vesa berujar pelan, "Maafkan aku. Gara-gara aku, kamu jadi...""Tak apa. Well, omong-omong aku harus pergi sekarang, aku rasa temanku sudah datang," ujar Lara kemudian.Vesa mengangguk pelan, masih merasa begitu bersalah. Begitu gadis itu pergi, dia memilih untuk mengubah rencananya. Dia tak mungkin memanfaatkan Lara untuk menjebak Gea. Gadis itu tak tahu apa-apa. Entah kenapa, dia merasa jika Lara memang gadis polos. Maka dari itu dia memutuskan untuk menyerang Gea tanpa melibatkan Lara. Sore itu dia kembali
Hanya dalam waktu tak kurang dari tiga puluh detik saja, Stefan sudah mengirimkan sebuah photo begitu Vesa mematikan sambungan teleponnya.Vesa dengan tenang membuka pesan itu dan tersenyum miring begitu dia melihat photo itu.Kena kau, Gea. Vesa membatin.Segera dia mengantongi kembali ponselnya dan berjalan mendekati Lara sambil tersenyum cerah."Sudah selesai menghubungimu?" tanya Vesa yng jauh lebih ramah dari pada sebelumnya."Sudah. Mau berkeliling sekarang?" tanya Lara balik."Ya, langsung saja. Aku tak akan mengambil waktumu banyak-banyak," ucap Vesa.Lara mengangguk dan kemudian mulai bertindak sebagai seorang tour guide di sana. Meskipun baru meninggalkan kampus itu selama tujuh bulan lamanya, tapi kampus itu sudah cukup banyak berubah.Vesa mengenang masa-masa di kampusnya itu. Walaupun memang banyak kenangan buruk di sana, dia tetap masih sedikit kenangan baik hingga sekarang dia cukup merasa kecewa lagi ketika teringat masa-masa awal pertemanannya dengan Derrick.Derrick
Lara Serafin tergesa-gesa masuk ke dalam kampusnya, Greenwich University. Dia telah berjanji pada Gemma Jones semalam untuk menemani gadis itu ke perpustakaan.Saat dia melangkahkan kakinya menuju tempat itu, dia harus melewati segerombolan mahasiswa dari fakultas lain yang terlihat sedang berbincang-bincang santai.Lara begitu menikmati kehidupan barunya di kampus itu. Meskipun pada awalnya dia merasa banyak sekali hal yang begitu janggal seperti alasan yang tidak jelas sang ibu yang memilih negara ini. Di samping itu, ibunya yang sekarang ini memilih untuk bekerja dari rumah tentu membuatnya semakin bertanya-tanya.Ibunya, Gea Raharjo beralasan jika bekerja dari rumah berarti membuatnya memiliki waktu yang lebih banyak dengannya. Dikarenakan hal itu juga, Lara tak pernah bisa memprotes ataupun bertanya lebih banyak mengenai alasan utama ibunya itu.Dan ketika Lara bertanya tentang pekerjaan ibunya itu, ibunya hanya akan menjawab jika dia bergelut dengan saham. Entah saham yang seper
Derrick hanya bisa terdiam kala melihat sahabat baiknya pergi dari rumahnya. Dia melirik Alea sekilas, ingin sekali dia merengkuh tubuh Alea tapi di saat dia mendekat, Alea mundur ke belakang.Dengan wajah yang sudah basah karena air mata, Alea berkata dengan terisak-isak pelan, "Ini semua salahku. Salahku, Derrick."Derrick menggeleng, "Tidak. Ini salahku, Alea. Kau tidak salah. Aku yang membuat semuanya berantakan.""Aku yang datang padamu, aku yang paling bersalah," ujar Alea lagi."Aku yang memintamu datang, aku, Derrick," lanjut Alea.Derrick menyambar, "Dan aku juga mau datang ke sini. Oke, baiklah. Kita sama-sama bersalah. Kita berdua sama-sama bersalah."Alea jatuh terduduk di lantai halaman rumah Derrick, "Vesa pasti membenciku. Padahal kami baik-baik saja. Dia tidak pernah menyakitiku. Tapi kenapa aku? Derrick, aku hanya kesal karena dia tak pernah mau mengunjungiku ke sini. Padahal kan jelas uang bukan masalah baginya. Tapi dia lebih mementingkan perusahaannya itu. Aku hany
London masih menjadi salah satu kota terpadat yang Vesa datangi. Pemandangan malam kota ini selalu berhasil membuat Vesa rindu. Semenjak kematian kakek dan neneknya sekitar tujuh bulan yang lalu, Vesa Araya belum pernah mendatangi kota itu. Hal ini bukan karena dia yang tak ingin pergi menengok kakek dan neneknya, melainkan karena kesibukannya yang cukup menyita waktu.Dalam enam bulan belakang, selain Vesa harus mengejar gelar pendidikanya, dia harus kembali mengurus perusahaan peninggalan sang ayah. Dirinya yang mungkin menjadi anak miliarder terkaya di Indonesia itu pun hampir tak memiliki waktu senggang sedikit pun.Hingga mungkin, bisa dikatakan jika hidup Vesa hanyalah berkutat pada dunia bisnis, pendidika sekaligus melacak keberadaan Gea yang sampai sekarang belum juga dia ketahui.Namun, Vesa bukanlah orang yang mudah menyerah apalagi Gea menjadi salah satu penyebab segala ketidakberuntungan yang menghinggapinya. Vesa tidak sedikitpun menghentikan pencarian dan malah semakin m
"Kau tidak mau menyelidikinya?" tanya Inka kemudian.Vesa terkejut mendengar perkataan Inka, "Menyelidiki? Kau mengatakannya seolah Derrick telah melakukan sesuatu yang aneh-aneh saja."Inka tergelak, "Vesa, bukan begitu maksudku. Yah, kita tidak tahu apa yang terjadi di sana. Kan bisa jadi dia memang sedang menghadapi masalah yang besar."Inka melihat kening Vesa mengerut. Pria muda itu sedang berpikir."Beberapa waktu aku mengenal Derrick, dia tidak sepertimu. Kau selalu mengatakan apapun. Tapi tidak dengan Derrick. Kalian memang berteman dekat, namun aku rasa dia masih menyimpan rahasia atau bisa dibilang tak selalu mengatakan apapun kepadamu," jelas Inka."Itu aku tahu, Inka. Kan tadi sudah aku katakan. Dia memang tak selalu mengatakan segalanya dan aku tak pernah memaksanya untuk mengatakannya. Aku menghargai privasinya," sahut Vesa."Nah, itu dia, Vesa. Kenapa kau tidak coba selidiki. Siapa tahu sebenarnya dia membutuhkan bantuanmu tapi tak mengatakannya," ucap Inka.Vesa berpik
Gea tersenyum sekilas sebelum menjawab pertanyaan putrinya itu, "Karena Inggris itu negara impian Ibu."Lara bingung tapi berusaha tersenyum, tak ingin mengerecoki ibunya dengan pertanyaan-pertanyaan dirinya lagi yang mungkin saja malah membuat Sang Ibu bersedih."Kau pasti akan suka nanti, Sayang. Kau bisa masuk ke Greenwich University nanti," ujar Gea.Lara mengangguk dan setelah itu makanan datang. Gadis muda yang telah menyelesaikan pendidikan sekolah menengahnya itu mulai berkonsentrasi pada makanan yang ada di depannya."Makanlah dulu, Ibu tidur sebentar ya? Jika perlu apa-apa, kau bisa bangunkan Ibu," ucap Gea lagi.Lara menjawab, "Ya, Ibu tenang saja. Setelah makan, aku akan ikut tidur.""Anak baik," puji Lara sambil mengusap lembut rambut Sang Putri.Tak lama setelah itu, Gea benar-benar terpejam. Sayangnya, meskipun Lara dari luar tampak menikmati makanannya, sayang sekali pikirannya sedang berkelana ke mana-mana.Lara memang masih sangat muda, di usianya yang baru saja meng