Doni Hermawan adalah seorang yang sangat ahli dalam membunuh orang dengan pisau. Dia adalah pria bertubuh kekar dengan mata gelap dan tatapannya menggambarkan seorang yang kejam, tetapi hari ini dia berusaha bersikap sopan dan ramah. Ada permintaan penting yang ingin dia ajukan, itulah sebabnya dia meminta pertemuan dengan Freddy Kurniawan ini.
“Ketua Freddy," dia tersenyum hangat. “Saya ingin meminta bantuan Anda. Saya membutuhkan uang untuk membantu saya memulai bisnis baru di bidang narkoba,” katanya. “Jika Anda mau memberikan saya uang satu milyar, saya bisa menjanjikan antara tiga dan empat milyar di tahun pertama sebagai bagian Anda. Setelah itu, saya pastikan Anda akan mendapatkan lebih banyak lagi.”
Freddy tidak mengatakan apa-apa pada awalnya. Dia sepertinya sedang berpikir. Dia melihat ke sekeliling ruangan, pada Jhony dan Tommy, dan pada Jack dan Beni, dua teman tertuanya. Mereka semua mengawasinya dengan tenang dengan wajah serius, menunggu untuk mendengar jawabannya. Akhirnya, dia kembali menatap ke arah Doni. “Mengapa kamu datang kepadaku?” dia bertanya dengan bisikan kasar seperti biasanya.
“Aku membutuhkan seorang pria yang mempunyai teman penting,” kata Doni, menunduk hormat ke arah sang Ketua.
“Dan bagaimana dengan keluarga Dicky? Berapa banyak yang akan mereka dapatkan?”
Doni tampak terkejut. Dia tidak tahu bahwa Freddy mengetahui bahwa dia bekerja dengan keluarga Dicky Surya Negara. Dia menganggukkan kepala sebagai ucapan selamatnya ke arah Jack, yang jelas-jelas telah menyelesaikan pekerjaan rumahnya, dan kembali ke Freddy. “Jangan khawatir,” katanya. "Aku akan membayar Dicky dari uang bagianku sendiri.”
Freddy tidak menjawab. Dia berdiri perlahan, mengambil sebotol anggur dari meja dan dengan sopan menawarkan kepada Doni lagi. Doni memperhatikan dengan pandangan khawatir saat sang Ketua duduk di sebelahnya.
Akhirnya, Freddy berbicara. "Saya mengatakan bahwa saya akan melihat Anda karena saya mendengar Anda adalah pria yang serius. Anda adalah pria yang harus saya hormati. Tetapi saya harus menolak tawaran Anda. Saya akan memberikan alasan saya. Memang benar saya punya banyak teman penting di Pemerintahan dan Hukum. Tapi mereka tidak akan menjadi teman saya jika mereka tahu bisnis saya adalah narkoba. Narkoba adalah bisnis kotor.”
"Tapi tak seorang pun akan tahu," kata Doni. “Aku berjanji, keluarga Dicky pun akan memastikan tidak ada yang tahu tentang masalah ini.”
Freddy membuka mulutnya untuk menjawab, tapi sebelum dia sempat berbicara, Jhony berkata: “Apakah Anda mengatakan bahwa Dicky dapat berjanji bahwa mereka akan...?”
Dia tidak menyelesaikan pertanyaannya. Dia melihat tatapan dingin dari mata ayahnya dan langsung berhenti berbicara. Freddy kembali ke Doni. "Saya minta maaf untuk anak-anak saya," katanya. “Mereka berbicara ketika mereka seharusnya mendengarkan. Tapi Doni, penolakan saya adalah final. Saya mengucapkan selamat atas bisnis baru Anda, dan semoga Anda beruntung. Bisnis Anda berbeda dengan bisnis saya. Kita tidak harus menjadi musuh. Terima kasih.”
Freddy berdiri, dan semua orang juga berdiri. Doni merasa sangat marah, tapi dia menyembunyikan perasaannya dari yang lain. Dia dengan sopan menjabat tangan Freddy dan berjalan keluar ruangan.
Freddy memerintahkan Jack, Beni dan Tommy meninggalkan ruangan, tetapi menahan Jhony untuk tetap tinggal. Dia menatap mata putranya sejenak, lalu berkata dengan bisikan marah, “Ada apa denganmu? Apakah otakmu menjadi lunak?”
Jhony membuang muka, tidak mampu menatap mata ayahnya.
“Ayah tahu kamu berpikir bisnis narkoba ini adalah ide yang bagus. Ayah tahu kamu berpikir ini adalah bisnis masa depan, dan kamu berpikir ayah hanyalah pria kuno yang bodoh. Tapi jangan pernah memberi tahu siapa pun di luar keluarga apa yang kamu pikirkan lagi.”
Sonny tampak terkejut pada awalnya, lalu sedikit marah. Tapi dia terlalu takut pada ayahnya untuk berdebat dengannya. Dia menundukkan kepalanya dengan hormat, berbalik dan meninggalkan ruangan.
Freddy segera menelepon Jack: "Datanglah ke ruanganku Jack" katanya.
Jack duduk berdua di kantor bersama Freddy. Dia memiliki wajah pembunuh yang mengerikan dan menakutkan, tubuh besar yang tampak seperti terbuat dari batu. Tapi, saat dia memandang Freddy, matanya yang gelap namun tampak lembut. Dia sangat menghormati teman seperjuanganya. Dan Freddy, bisa merasakan hal itu. Dia selalu memercayai Jack lebih dari siapa pun yang dikenalnya.
"Aku mengkhawatirkan Doni," kata Freddy. “Aku ingin kau mencari tahu apa yang dia sembunyikan, apa yang ada di bawah rencananya. Apakah kamu mengerti? Pergilah ke Dicky. Berpura-puralah bahwa kamu tidak bahagia dengan keluarga kami dan Anda ingin bekerja untuk mereka. Lalu katakan padaku apa yang kamu temukan disana."
Jack tidak bertanya. Dia mengangguk sekali, mengangkat tubuhnya yang besar bergunung-gunung, dan berjalan keluar ruangan, dengan bangga melakukan apa pun yang diperintahkan ‘Ketua’nya.
Selama beberapa minggu berikutnya, Jack secara teratur pergi ke tempat hiburan malam yang dikendalikan oleh keluarga Dicky. Dia membuat kontak dengan Rendy Surya Negara, putra bungsu dan manajer club malam itu. Dia memberi tahu Rendy bahwa dia tidak puas dengan keluarga Freddy.Selama sebulan penuh, tidak ada hal penting yang terjadi. Kemudian suatu malam, beberapa hari sebelum Natal, Rendy memberi tahu Jack bahwa dia memiliki seorang teman yang ingin bertemu secara pribadi dengannya. “Siapa dia?” Jack ingin tahu.“Hanya seorang teman lama,” kata Rendy. "Dia ingin menawarkan sesuatu padamu. Bisakah kamu menemuinya di sini, setelah klub tutup? Pukul empat besok pagi?”Jack kembali ke kamarnya dan bersiap-siap. Dia berpikir sejenak untuk menelepon Freddy untuk memberitahunya tentang pertemuan itu, tetapi memutuskan untuk tidak melakukannya. Freddy tidak pernah berbicara urusan serius melalui
Sore itu juga, tanpa mengetahui bahwa Doni telah membunuh Jack dan menculik Tommy, Freddy menyelesaikan pekerjaannya di kantor perusahaannya. Dia mengenakan jasnya dan berkata kepada Yuna, sekertarisnya yang terlihat sedang sibuk menatap komputernya: “Beri tahu Heri untuk menyiapkan mobil, saya ingin pulang ke rumah.”“Saya yang akan menyiapkan mobil Anda, tuan," jawab Yuna. “Heri tidak bekerja, dia sakit hari ini.”Freddy tampak kesal mendengarnya. “Itu yang ketiga kalinya di bulan ini. Katakan padanya untuk menemuiku saat dia masuk. Mungkin lebih baik kamu segera mencari orang lain sebagai penggantinya untuk pekerjaan itu."Yuna segera berdiri. “Baik tuan, nanti saya akan mengurusnya.” Katanya kemudian bergegas meninggalkan ruangan.Freddy menunggu di dalam pintu sampai dia melihat Yuna memarkir mobil di luar. Gerimis mulai turun dan hari mulai gelap. Dia melangkah keluar dan
Begitu Jhony meletakkan telepon, ada sesorang yang mengetuk pintu rumahnya."Mereka bilang dia sudah mati, Jhon," kata Beni saat dia masuk. Jhoni menarik kerah bajunya dengan kasar dan mendorongnya ke dinding."Tenanglah Jhon," seru Beni.Jhoni menarik napas dalam-dalam dan melepaskan tangannya. “Maaf,” katanya.Dan kemudian bertanya: “Bagaimana dengan Heri Saputra?”“Heri tidak ada di sana. Dia sakit.”“Maksud kamu apa? Sudah berapa kali dia sakit?”“Aku tidak tahu, Jhon," kata Beni, setengah takut, setengah bingung. "Tiga, mungkin empat kali dalam bulan ini."“Dengarkan! Aku tidak peduli seberapa sakit dia. Aku ingin kau membawanya ke rumah ayahku sekarang. Sebagai kepala pengawal pribadi ayah seharusnya dia bertanggung jawab dengan semua ini. Apakah kamu mengerti?”Setelah Beni pergi, Jhony menatap C
Saat sedang membicarakan yang akan mereka rencanakan selanjutnya, mereka mendengar suara keras dari luar pintu, dan suara orang tertawa. Jhony, Gerry dan Beni bergegas keluar ruangan dan melihat Tommy berdiri di pintu depan, memeluk Angela, istrinya dan tersenyum.Jhony, Tommy dan Beni duduk di kantor Freddy. Mereka berencana membunuh Doni, bertanya-tanya di mana Jack, memikirkan apa yang harus dilakukan jika Freddy benar-benar meninggal.Gerry duduk di sofa, mendengarkan percakapan mereka, tetapi tidak diizinkan untuk berbicara. Ada ketukan di pintu, dan mereka mengetahui itu adalah Heri setelah membuka pintu. Dia menutup hidung dan mulutnya menggunakan masker, dan tampak sangat sakit."Ada seorang pria di gerbang menunggumu," kata Heri sambil memandang Jhony. "Dia bilang punya sesuatu untukmu."Jhony memerintahkan Beni untuk melihat siapa dan apa itu. Lalu dia tersenyum pada Heri.“Apakah kamu baik-baik saja, Heri?&r
Tidak ada seorang pun di luar kamar ayahnya. Gerry membuka pintu dengan panik dan berjalan masuk. Dia menghela nafas lega melihat ayahnya sedang berbaring di tempat tidur, infus tergantung di sebelahnya. Saat Gerry berdiri di samping tempat tidur dan menatap ayahnya yang masih tertutup kedua matanya, dia mendengar suara seseorang membuka pintu di belakangnya .Dia berbalik dengan cepat. Itu hanya seorang perawat yang sedang berdiri menatapnya di ambang pintu.“Apa yang kamu lakukan di sini?” dia berbisik dengan nada marah.“Saya Gerry Kurniawan, ini ayahku. Kenapa tidak ada orang di sini. Apa yang terjadi dengan keluargaku dan para penjaga?”“Ayahmu memiliki terlalu banyak pengunjung hari ini. Polisi datang dan menyuruh mereka semua pergi lima belas menit yang lalu.”Gerry berpikir cepat. Dia mengangkat telepon di samping tempat tidur dan menelepon Jhony. Dia menyuruhnya mengir
Tommy dengan sekelompok pria datang untuk menjaga ‘Ketua’. Tommy melihat wajah Gerry berlumuran darah dan berkata, “Apakah kamu ingin melaporkan ini?” Gerry kesulitan berbicara, tetapi dia berhasil berkata, “Tidak apa-apa, Tom. Itu adalah sebuah kecelakaan.” Saat dia berbicara, dia tidak mengalihkan pandangan dari kapten polisi. Dia mencoba tersenyum. Dia tidak ingin menunjukkan kepada siapa pun bagaimana perasaannya yang sebenarnya saat itu. Benih balas dendam tumbuh di hatinya yang dingin. *** Pintu masuk ke jalan pribadi tempat keluarga Freddy tinggal penuh sesak dengan mobil dan pria bersenjata. Ketika Gerry turun dari mobil dan berjalan masuk, Beni datang menemuinya. “Kenapa semua bersenjata?” Gerry bertanya. “Kita akan membutuhkannya,” kata Beni. “Setelah Doni mencoba membunuh sang Ketua di rumah sakit, Jhony menjadi marah. Kami membunuh Rendy Surya Negara pada pukul empat pagi ini.”
Akhirnya, setelah banyak persiapan yang dilakukan, pertemuan antara Gerry dan Doni diatur. Pada menit terakhir, Jhony dapat menemukan di mana itu akan terjadi. Sebuah restoran keluarga kecil di pinggiran kota.Gerry menunggu sendirian, seperti yang disepakati dengan Doni, di luar restoran. Beberapa saat sebuah mobil hitam besar berhenti di depannya, dan Gerry naik ke kursi penumpang bagian tengah. Di kursi belakang duduk Doni dan Kapten Jarot, meskipun malam ini polisi itu tidak berseragam.Doni meletakkan tangannya dengan ramah di bahu Gerry dan berkata: “Saya senang Anda datang, Gerry. Kita akan menyelesaikan semua masalah kita malam ini.”"Hentikan omong kosongmu. Aku hanya tidak ingin ada orang yang mencoba menyakiti ayahku lagi.” jawab Gerry dengan suara yang tenang dan dingin."Jangan khawatir," kata Doni hangat. “Dia akan aman. Aku berjanji. Tapi tolong tetap berpikiran terbuka ketika kita berbi
Sejak dua puluh tahun yang lalu, ada tiga keluarga yang secara terang-terangan bersaing dalam berbagai hal untuk menguasai bisnis, baik itu legal maupun bisnis gelap. Mereka adalah Dicky Surya Negara, Johan Baskara dan Robertus Franky.Dicky dan Johan merupakan musuh sejak lama, karena sebagian besar bisnis mereka berada di wilayah yang sama. Jadi perseteruan mereka sangat sering terjadi. Hal itu sedikit berbeda dengan Franky.Namun sejak Johan meninggal, kepemimpinan beralih kepada Freddy Kurniawan. Semenjak saat itu kekuatan mereka jauh meningkat di atas keluarga Dicky. Itulah yang membuat Dicky lebih mengontrol diri dalam melakukan tindakannya.Sekarang, setelah penembakan Kapten Jarot, polisi mencoba membalas dendam pada kedua keluarga yang paling berpengaruh. Menyebabkan perang kedua Keluarga tersebut di awal tahun 2016 telah dimulai.Tapi ketika itu terjadi, Gerry tidak ada di sana. Dia sudah disembunyikan di sebuah tem
DING DING Ponsel Tommy di atas meja berbunyi, layarnya menyala menampilkan sebuah nama yang meneleponnya. “Jenny.” Gumam Tommy menatap layar ponselnya mengenali identitas si penelepon. Tommy mengangkat ponsel dan mendekatkan ke telinganya setelah menerima panggilan telepon itu. Dia mengangkat salah satu tangannya sebagai instruksi agar orang-orang di sekitarnya diam. Suasana menjadi hening dalam sekejap. Meskipun berada di dalam area night club, ruang VIP itu hampir sepenuhnya terisolasi dari kebisingan luar karena diselimuti peredam suara. “Apa kabar, Jen?” sapa Tommy dengan lembut. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan Helen, Tom?” tanya Jenny terdengar lirih dari ponsel Tommy. Tommy sejenak terdiam tanpa ekspresi mendengar pertanyaan Jenny yang tanpa basa-basi. “Jawab aku, Tom.” Jenny mendesak Tommy. “Kau sudah mengetahui beritanya, Jen?” Tommy balik bertanya. “Apa maksudmu berbalik menanyaiku?” Jenny mulai terdengar marah. “Semua saluran berita menyiarkan ke
Gatot sedang rebahan dia atas sofa panjang sambil menonton televisi di ruang keluarga rumahnya ketika hari menjelang gelap. Tiba-tiba dia terperanjat duduk. Matanya terbelalak menatap tajam ke arah televisi yang menayangkan siaran berita tentang kecelakaan. Tanpa dia sadari tubuhnya mulai bergetar saat matanya fokus memperhatikan dua gambar potret wajah orang yang sepertinya dia kenali. Itu adalah dua foto wajah Jordi dan Helen, keponakan Gatot. “Tidak mungkin.” Bisiknya lirih kepada dirinya sendiri seolah dia belum bisa menerima kebenaran dari kabar siaran berita yang ditontonnya. Beberapa saat Gatot terpaku menyaksikan siaran televisi dengan tidak percaya. “Kakak ipar!” teriak Gatot yang masih duduk tercengang menatap televisinya. “Kakak ipar! Kakak ipar!” Gatot terus berteriak memanggil Luciana dengan panik karena tidak segera mendapatkan respons. Luciana keluar dari dalam kamarnya yang tidak jauh dari tempat Gatot berada. “Ada apa, Gatot? Kau berisik sekali” kata Luciana
Jordi mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang melaju di tengah padatnya jalanan. Di dalam mobil suasana tampak canggung. Jordi dan Helen tidak berbicara satu sama lain. Sunyi. Hanya terdengar deru suara mesin kendaraan yang melaju di jalanan. Helen diam bersandar pada jok dan menatap keluar melalui kaca jendela mobil. Banyak hal yang sedang dia pikirkan. Jordi fokus menyetir sambil sesekali melirik ke arah Helen. Dia masih menganalisis sikap istrinya itu yang berbeda setelah bertemu dengan Albert. Jordi merasa seolah tidak mengenal dengan sosok cantik yang duduk di sampingnya. Ding Ding Ponsel Jordi berbunyi memecah keheningan. Rangkaian nomor terpampang di layar. Itu sebuah panggilan telepon dari nomor yang tidak dikenanya. Helen seketika melirik layar ponsel suaminya dengan ekspresi penuh selidik. “Kenapa tidak diterima?” tanya Helen saat melihat Jordi yang hanya menatap layar ponselnya. “Oh. Hanya sebuah nomor, aku tidak mengenalnya.” Jawab Jordi ragu-ragu. “Mungkin
Jordi dan Helen memasuki sebuah rumah mewah yang terletak di pusat kota ketika hari menjelang siang. Itu adalah rumah Albert. Albert yang sudah menunggu kedatangan mereka sedang duduk di ruang tamu rumahnya. Beberapa pria berdiri di belakang Albert. Albert bangkit dan tersenyum menyambut Jordi dan Helen. Jordi membalas senyuman itu saat menjabat tangan Albert. Mereka terlihat sangat akrab. Sedangkan Helen tampak canggung melihat pemandangan itu. Dia awalnya merasa biasa saja, namun sekarang dia merasa ada yang aneh. Jordi sebelumnya bilang tidak mengenal pria paruh baya itu. Namun, ketika Helen memperhatikan lebih lama Jordi dan Albert, mereka tampak mirip. ‘Siapa pria ini?’ ‘Apa hubungan dia dengan Jordi?’ “Jadi kamu Helen?” pertanyaan Albert membuyarkan pikiran Helen. Helena memaksakan senyumnya. “Betul.” Jawabnya singkat. Mereka berjabat tangan sejenak. Albert menatap lekat mengenali Helen. Secara naluriah dia mengagumi sosok cantik dan tenang yang diperlihatkan oleh
Jam di pergelangan tangan Dedi menunjukkan pukul dua lewat empat puluh lima menit dini hari, ketika dia dan Dodi selesai mengemasi barang-barang bawaannya. Dedi dan Dodi sudah menggendong ransel masing-masing dan bersiap untuk pergi dari rumah Jhony. “Kami sudah siap berangkat, paman.” Kata Dedi hendak berpamitan kepada Jack. “Apakah Anda yakin akan tetap di sini?” Tanyanya untuk memastikan kembali keputusan Jack. “Pergilah! Jaga diri kalian baik-baik. Dan kalian tidak perlu mengkhawatirkanku.” Jawab Jack meyakinkan si kembar. “Baiklah, paman. Anda juga harus menjaga diri.” Kata Dodi tersenyum kepada Jack. “Jika terjadi sesuatu, Anda bisa menghubungi nomor saya, paman.” Kata Dedi mengingatkan Jack. “Kami akan segera membicarakannya dengan Gerry sesampainya di sana.” Jack tersenyum kepada si kembar. “Berhati-hatilah!” katanya dengan singkat sesaat sebelum akhirnya Dedi dan Dodi pergi menin
Setelah Tommy dan anak buahnya pergi, terlihat jelas sekali Jack menampilkan ekspresi wajah yang tidak senang. Dia merasa tidak puas atas perlakuan Tommy kepadanya. Begitu juga dengan Dedi dan Dodi. Namun, mereka tidak memikirkan tentang terbongkarnya persembunyiannya dari Tommy, melainkan mereka lebih memikirkan semua ucapan Tommy sebelum dia pergi. Untuk beberapa waktu mereka bertiga hanya duduk dalam keheningan di dalam ruangan itu. Mereka terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing. “Apa yang harus kita lakukan selanjutnya, paman?” tanya Dedi yang memecah keheningan meminta pendapat dari Jack. Pertanyaan dari Dedi seketika menyadarkan Jack dari lamunannya. “Aku juga sedang memikirkannya.” Jawab Jack yang masih terlihat kebingungan. “Aku masih memikirkan perkataan Tommy. Entah kenapa aku merasa dia orang yang bersih.” Kata Dedi menyampaikan asumsinya. “Ya. Aku juga.” Dodi menimpali untuk mene
Jack tidak menjawab pertanyaan dari Tommy. Dia membiarkan Tommy meluapkan segala bentuk emosinya. Dia berpikir dengan cara itu mungkin Tommy akan dapat menenangkan dirinya sendiri. Jadi Jack hanya tetap diam. Namun, apa yang dilakukan Jack adalah sebuah kesalahan. Tommy terlalu sakit hati menerima kenyataan. Dan sakit hati yang dia rasakan tidak dapat terobati semudah yang dipikirkan oleh Jack. Bahkan tidak hanya hatinya, tapi egonya juga terluka. “Kenapa kau tidak menjawabku? Apa kau mencoba mempermainkanku?” Tommy terus berteriak kepada Jack berharap mendapatkan penjelasan untuk memberi makan emosinya. “Kau tahu? Aku semalaman berkendara mengelilingi kota sambil menangis saat mendapatkan kabar kematianmu.” Kata Tommy sambil menunjuk ke arah Jack. “Ternyata aku salah. Kau hanya menganggapku seperti orang bodoh.” Tommy semakin brutal. Setelah selesai mengucapkan kalimatnya, dia memukul Jack dengan sekuat tenaga tepat
Jack dan si kembar yang masih berbincang di dalam rumah Jhony tidak menyadari bahwa sekelompok orang sedang berjalan menghampiri mereka. Tommy menyadari ada sesuatu yang tidak beres di dalam rumah Jhony ketika dia mendapati pintu utama rumah itu dalam keadaan tidak terkunci. Perlahan Tommy membuka pintu rumah. Dia memicingkan kedua matanya menatap tajam ke arah dalam rumah. Tidak ada tanda-tanda aktivitas seorang pun, bahkan tidak ada suara yang terdengar dari dalam rumah. Suasana rumah itu begitu gelap dan hening. Namun itu tidak menyurutkan rasa kecurigaan Tommy. “Sepertinya apa yang kau katakan benar, Rey.” Kata Tommy berbisik-bisik. “Ada seseorang yang memasuki rumah ini.” “Apakah mungkin itu maling atau perampok, bos?” Tanya Rey berbisik kepada Tommy untuk memastikan dugaannya. Tommy menatap tajam ke arah Rey. “Sejak kapan kau menjadi bodoh, Rey?” Tanya Tommy dengan suara pelan namun teras
Jack menemui Dedi dan Dodi sesuai kesepakatan mereka. Sesaat sebelum tengah malam, Jack sudah memasuki rumah Jhony. Sebuah rumah mewah, namun tampak menyeramkan jika dilihat dari luar saat malam hari. Begitu gelap tanpa penerangan lampu, seolah tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Disalah satu ruangan di dalam rumah itu, Jack bersama Dedi dan Dodi sedang bertemu. Mereka bertiga tengah duduk dan berbincang di ruangan bekas tempat kerja Jhony. “Hal penting apa yang ingin Anda bicarakan dengan kami, paman?” tanya Dodi tanpa berbasa-basi sesaat setelah mereka saling berbicara tentang kabar masing-masing. Jack tersenyum sebagai tanggapan atas pertanyaan Dodi. “Sebelum kita membicarakan hal itu, aku ingin mengetahui apa yang Gerry perintahkan kepada kalian?” kata Jack balik bertanya. Dodi mengalihkan tatapannya ke arah Dedi, sebagai tanda agar saudara kembarnya itu yang memberikan jawaban ata