"Be--benar, Den? Maaf, tadi hanya bercanda saja. Tangan Den El kan baik-baik saja, kenapa harus disuapi?" Amna jadi salah tingkah sendiri. Niatnya meledek malah jadi senjata makan tuan. "Kenapa? Memang harus kena strok dulu baru boleh disuapi? Tadi kamu sendiri yang menawarkan, Amna! Jangan permainkan saya! Kamu kira saya--""Baik-baik, Den. Aku suapi, ya ...." Buru-buru Amna mengambil sendok dan menyendokkan nasi dengan lauk. Elvis pendiam, kalau sudah ngomong panjang kebiasaan suka ngancem pake potong gaji. Amna sudah paham betul dan dia tidak mau. Tidak mau gajinya dipotong bulan ini karena ada banyak keperluan."Ayo, Den El, aaa ...." Amna membungkukan badannya, begitu dekat dengan El, wajahnya mendongak pada lelaki itu dengan seulas senyum seperti memperlakukan batita saja. Elvis terpaku sejenak, bukannya buka mulut dia malah buka mata lebar-lebar. Jantungnya berdetak tak karuan, lama-lama malah pengen loncat dan pindah ke piring saking antusiasnya berdetak. "Den!" tegur Amna
"Lain kali jika ada yang memerintahmu selain saya, jangan mau!" kata Elvis ketika mereka sudah ada dalam rumah dan berjalan ke dapur. "Memangnya kenapa, Den?" "Karena saya yang bayar kamu!" jawab Elvis singkat. Amna mengangguk-angguk, dia tidak banyak tanya lagi dan bergegas mengambilkan piring juga sendok untuk Yasmin, dia bersiap menyuapinya. Elvis duduk di tempat biasa, di kursi paling ujung. Dia diam saja, menunggu Amna berinisiastif melayaninya juga. Kalau biasanya memang tidak pernah. Elvis yang dulu menolak dilayani Amna. Tapi semenjak malam tadi kan Elvis sudah memperbolehkan Amna menyentuh barang-barang yang akan dipakai Elvis. Masa iya enggak peka juga?Amna masih sibuk dengan Yasmin, dan Elvis juga tidak ada niatan untuk sarapan sebelum Amna mengambilkannya. Merasa diperhatikan dan tuannya hanya diam saja, Amna menoleh. Dia gugup ditatap tajam begitu oleh Elvis. "Den El, tidak sarapan?" tanya Amna merasa kikuk. "Saya nunggu kamu ambilkan!" Kedua tangan Elvis bertumpu
"Den? Kamu kenapa?" Amna mengulang ucapannya, dia mulai khawatir dengan wajah Elvis yang terlihat sangat syok. "Ah? Ti--tidak. Saya tidak apa-apa!" Elvis berusaha mengendalikan dirinya lagi. "Kamu tadi minta izin libur?" "Ya, Den. Boleh, ya? Please?" pinta Amna dengan mata berbinar penuh harap. Elvis ingin menolaknya mentah-mentah, apa-apaan Elvis di sini merasakan hatinya remuk dan patah lalu harus mengizinkan Amna merayakan ultah dengan anak dan suaminya? Bukankah itu sangat kejam? Tapi melihat binar di mata Amna membuat Elvis tidak tega. "Baik, tapi jam empat harus sudah sampai rumah kalau tidak ...." "Siap, Den! Aku tidak akan telat!" kata Amna bersemangat sebelum Elvis melanjutkan ucapannya dengan ancaman potong gaji.Rasanya masih syok, tapi mau bagaimana lagi? Elvis tidak mungkin juga meraung-raung. Elvis beringsut pergi, namun langkahnya terhenti ketika mengingat ucapan konyolnya pada Amna. Elvis menoleh ke belakang, menatap Amna yang masih berdiri di tempat."Oiya, yang
Amna mengusap pipi anak-anaknya bergantian, berminyak dan berdebu, jauh dari kata bersih."Kalian jadi item begini, dekil sekali, abis main di mana, hm?" Amna coba tersenyum dengan mata berkaca-kaca, perih melihat kedua anaknya seakan tidak terawat. Fifin maju, dia berdiri di dekat Adelia."Ah, mereka pasti abis main di jalanan sama temen-temen. Kalian ngejer-ngejer bus besar lagi?" Fifin memberi kode agar dua anak itu tidak membocorkan rahasia. "Mereka senang sekali mendengar bunyi klakson mobil-mobil besar itu, Am," kilah Fifin. Amna menatap lekat pada kedua anaknya. Ada pikiran aneh yang mulai terbesit di otak Amna, dia menolak untuk memaklumi ini. Hanya saja Amna pun tidak mungkin menuduh yang tidak-tidak tanpa bukti."Iya, Mah. Kita abis main, kok!""Kalian main di jalan sama siapa? Kenapa bawa ukulele begini?" tanya Amna curiga. "Sebelum main kan mereka kerja kelompok. Kalian disuruh bermain alat musik di sekolah, ya? Adelia dan Adelio pasti habis latihan bersama teman-teman,
"Anak saya baru berusia enam belas tahun, dan dia hamil! Saya minta pertanggungjawaban nak Diaz!" Seorang lelaki berumur kisaran empat puluh tahun terduduk dengan wajah kusut dan tatapan penuh luka juga kecewa. Karena anak gadisnya yang selama ini dia jaga telah terenggut kesuciannya oleh kakak kelas di sekolahnya."Anak saya menghamili putri, Anda?" Ibu dari Diaz tersenyum smrik dengan tatapan meremehkan. Dia tidak akan menyangkal, sebelumnya Diaz memang sudah mengakui kesalahannya yang menodai seorang gadis demi taruhan bersama teman-temannya.Ibu Diaz menatap gadis muda yang terduduk dengan kedua tangan gemetar, saling mengait dan bertumpu di paha. wajahnya kusut dengan mata sembab. Penampilannya begitu sederhana, memakai kaus pendek dengan bawahan rok selutut. Rambutnya sebahu yang tergerai semrawut, namun tidak mengurangi aura cantik dan manisnya. "Baik, kami akan bertanggung jawab!" Ibu Diaz mengambil sebuah amplop dari dalam tas yang sudah dia siapkan. "Amplop ini berisi uan
"Kamu tidak apa-apa?" Diaz berjongkok, membantu Adelia yang tadi tergeletak setelah terserempet motor namun kini sudah terduduk. Lutut dan sikutnya lecet sedikit."Ayah, tepikan dulu mobilnya!" pinta Diaz pada ayahnya agar mengambil alih kemudi.Diez lalu menoleh pada pengendara motor yang memakai jaket Gojek dan sekarang berhenti menepikan sepeda motornya juga."Lia, tidak apa-apa, Kak. Cuma lecet." Diaz melihat luka Lia lalu menuntun bocah itu ketepian. Saat jatuh tadi, tidak ada benturan yang keras cuma Adelia terhuyung dan lehernya berbunyi krak. Setelahnya Diaz dengan si pengendara motor tadi meruntutkan kronologi kejadian, bagaimana kecelakaan itu terjadi saat Adelia masih berdiri di samping kanan mobil Diaz sementara lampu hijau sudah menyala. Si pengendara menyalip mobil di depannya, dia tidak tahu jika di depan ada Adelia yang berdiri. Adelio duduk meniupi luka saudara kembarnya. "Maaf, sekali lagi saya minta maaf. Soalnya buru-buru takut penumpang saya cancel pesanan," uc
Elvis sudah bersiap, dia memakai kemeja seperempat lengan berwarna coklat tua. Wajahnya terlihat lebih segar apalagi rambutnya yang sudah rapi makin membuat Elvis tampil gagah. Dia keluar dari kamarnya bertepatan dengan Amna yang mendorong kursi roda ibunya. Mereka bertemu tepat di depan pintu yang berhadapan. Elvis terpaku melihat penampilan Amna yang tampak anggun dan cantik memakai gamis berwarna coklat tua juga dengan kerudung berwarna lebih terang. Lain Elvis, Amna justru terbengong melihat baju yang Elvis pakai. Meski tampak cocok untuk lelaki berwajah tegas dengan sorot mata tajam itu, tapi sungguh membuat Amna jadi kikuk. Amna menoleh ke bawah melihat gamis yang dia pakai lalu kembali menatap pada Elvis. 'Lah, kok, malah jadi kayak orang couple-an? Hadeh!' batin Amna merasa sungkan.Elvis mendekat, niatnya ingin membantu mendorong kursi roda ibunya. "Sebentar, Den! Aku mau ganti gamis dulu!" ujar Amna melangkah mundur lalu ingin balik ke kamar. Tidak mengerti dengan jal
'Pernah dengar di mana nama itu? Sepertinya saya tidak asing,' pikir Diaz mulai mengingat-ingat. Sampai akhirnya ingatannya pada kejadian siang tadi kembali muncul. 'Ah iya, mamahnya Lia, bocah kembar itu. Bukankah bilang kalau mamahnya bernama Amna? Tapi nama Amna di dunia ini pasti tidak cuma satu. Jadi, kemungkinan wanita itu mamahnya si kembar hanya satu banding sembilan,' batin Diaz lagi."Bisa kerja enggak, sih? Punya mata itu dipake, jangan cuma jadi tempelan doang!" tegur Zila dengan nada ketus."Maaf, saya tidak sengaja!" Buru-buru Amna mengambil lap dan mengelap meja yang sedikit basah karena air. "Orang kek gini kok kamu pekerjaan sih, El? Gimana dengan Ibu? Pantas Ibu enggak sembuh-sembuh, pengasuhnya saja seceroboh ini!" Ucapan Zila masih sama pedasnya seperti dulu. Dia tidak berubah, masih bermulut arogan dan judes. "Kak! Amna hanya sedang tidak fit. Dia hari ini sakit, makanya kurang fokus!" bela Elvis tidak ingin Amna terus disudutkan. "Amna, kamu boleh istirahat
Amna mengusap pipi anak-anaknya bergantian, berminyak dan berdebu, jauh dari kata bersih."Kalian jadi item begini, dekil sekali, abis main di mana, hm?" Amna coba tersenyum dengan mata berkaca-kaca, perih melihat kedua anaknya seakan tidak terawat. Fifin maju, dia berdiri di dekat Adelia."Ah, mereka pasti abis main di jalanan sama temen-temen. Kalian ngejer-ngejer bus besar lagi?" Fifin memberi kode agar dua anak itu tidak membocorkan rahasia. "Mereka senang sekali mendengar bunyi klakson mobil-mobil besar itu, Am," kilah Fifin. Amna menatap lekat pada kedua anaknya. Ada pikiran aneh yang mulai terbesit di otak Amna, dia menolak untuk memaklumi ini. Hanya saja Amna pun tidak mungkin menuduh yang tidak-tidak tanpa bukti."Iya, Mah. Kita abis main, kok!""Kalian main di jalan sama siapa? Kenapa bawa ukulele begini?" tanya Amna curiga. "Sebelum main kan mereka kerja kelompok. Kalian disuruh bermain alat musik di sekolah, ya? Adelia dan Adelio pasti habis latihan bersama teman-teman,
"Den? Kamu kenapa?" Amna mengulang ucapannya, dia mulai khawatir dengan wajah Elvis yang terlihat sangat syok. "Ah? Ti--tidak. Saya tidak apa-apa!" Elvis berusaha mengendalikan dirinya lagi. "Kamu tadi minta izin libur?" "Ya, Den. Boleh, ya? Please?" pinta Amna dengan mata berbinar penuh harap. Elvis ingin menolaknya mentah-mentah, apa-apaan Elvis di sini merasakan hatinya remuk dan patah lalu harus mengizinkan Amna merayakan ultah dengan anak dan suaminya? Bukankah itu sangat kejam? Tapi melihat binar di mata Amna membuat Elvis tidak tega. "Baik, tapi jam empat harus sudah sampai rumah kalau tidak ...." "Siap, Den! Aku tidak akan telat!" kata Amna bersemangat sebelum Elvis melanjutkan ucapannya dengan ancaman potong gaji.Rasanya masih syok, tapi mau bagaimana lagi? Elvis tidak mungkin juga meraung-raung. Elvis beringsut pergi, namun langkahnya terhenti ketika mengingat ucapan konyolnya pada Amna. Elvis menoleh ke belakang, menatap Amna yang masih berdiri di tempat."Oiya, yang
"Lain kali jika ada yang memerintahmu selain saya, jangan mau!" kata Elvis ketika mereka sudah ada dalam rumah dan berjalan ke dapur. "Memangnya kenapa, Den?" "Karena saya yang bayar kamu!" jawab Elvis singkat. Amna mengangguk-angguk, dia tidak banyak tanya lagi dan bergegas mengambilkan piring juga sendok untuk Yasmin, dia bersiap menyuapinya. Elvis duduk di tempat biasa, di kursi paling ujung. Dia diam saja, menunggu Amna berinisiastif melayaninya juga. Kalau biasanya memang tidak pernah. Elvis yang dulu menolak dilayani Amna. Tapi semenjak malam tadi kan Elvis sudah memperbolehkan Amna menyentuh barang-barang yang akan dipakai Elvis. Masa iya enggak peka juga?Amna masih sibuk dengan Yasmin, dan Elvis juga tidak ada niatan untuk sarapan sebelum Amna mengambilkannya. Merasa diperhatikan dan tuannya hanya diam saja, Amna menoleh. Dia gugup ditatap tajam begitu oleh Elvis. "Den El, tidak sarapan?" tanya Amna merasa kikuk. "Saya nunggu kamu ambilkan!" Kedua tangan Elvis bertumpu
"Be--benar, Den? Maaf, tadi hanya bercanda saja. Tangan Den El kan baik-baik saja, kenapa harus disuapi?" Amna jadi salah tingkah sendiri. Niatnya meledek malah jadi senjata makan tuan. "Kenapa? Memang harus kena strok dulu baru boleh disuapi? Tadi kamu sendiri yang menawarkan, Amna! Jangan permainkan saya! Kamu kira saya--""Baik-baik, Den. Aku suapi, ya ...." Buru-buru Amna mengambil sendok dan menyendokkan nasi dengan lauk. Elvis pendiam, kalau sudah ngomong panjang kebiasaan suka ngancem pake potong gaji. Amna sudah paham betul dan dia tidak mau. Tidak mau gajinya dipotong bulan ini karena ada banyak keperluan."Ayo, Den El, aaa ...." Amna membungkukan badannya, begitu dekat dengan El, wajahnya mendongak pada lelaki itu dengan seulas senyum seperti memperlakukan batita saja. Elvis terpaku sejenak, bukannya buka mulut dia malah buka mata lebar-lebar. Jantungnya berdetak tak karuan, lama-lama malah pengen loncat dan pindah ke piring saking antusiasnya berdetak. "Den!" tegur Amna
"Ini untuk kalian!" Diaz memberikan es krim itu pada si kembar. Kebetulan jam makan siang, niatnya dia ingin cari makan di resto tapi begitu melewati perempatan lampu merah dia teringat dengan dua bocah kembar. Diaz berjanji untuk menemui mereka lagi, baru sekarang bisa terlaksana karena sejak kemarin dia mulai sibuk kerja. "Makasih, Kak Diaz!" Adelio menerimanya dengan senyum lebar.Adelia mengusap wajahnya yang masih basah karena air mata. "Kamu kenapa, Cantik?" Diaz membungkuk dan mengusap kepala Adelia. Adelia menggeleng. "Tidak apa-apa, Kak Diaz. Tadi Lio berantem sama Arkan, tapi ayahnya Arkan menjewer Lio. Lia jadi sedih ...." "Arkan mulai dulu, dia sengaja membuatku tersandung. Tentu saja aku tidak terima!" sahut Adelio yang masih menunjukkan sikap marahnya. "Aku ingin mengejar dan membela diri, Lia malah menahanku dan menangis!" "Aku menahanmu karena tidak ingin kita terlibat masalah!"Kedua bocah itu kembali ribut, Diaz tersenyum kecil melihat pertengkaran mereka. "Oh
Buru-buru Amna berjongkok dan memunguti serpihan vas keramik yang pecah. Dia makin menunduk ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. 'Apeees! Apes! Nanti dikira aku lagi nguping lagi? Padahal demi Allah, aku enggak denger apa pun!' Amna gusar sendiri."Amna, a--pa yang kamu lakukan?" tanya Elvis kaget. Dia tidak menyangka jika Amna belum tidur dan sekarang berada di dekat ruang tamu. Dia jadi berpikir, apa tadi Amna mendengar semuanya? "Maaf, Den. Aku tidak sengaja menyenggol vas bunga. Soalnya di sini gelap, niatnya tadi mau ke dapur ambil minum. Minumnya Ibuk habis." Amna masih berjongkok, dia beralasan. Sebenarnya dia ingin makan malam karena tadi belum sempat makan."Ck, lain kali hati-hati. Kenapa tidak nyalakan lampunya dulu?" Elvis berdecak. Di rumah ini memang biasa keadaan malam hari begitu temaram. Selain warna cat yang gelap, juga penerangan yang sengaja Elvis redupkan. "Ada apa, Paman?" Diaz menyusul, dilihatnya Amna yang sedang memunguti pecahan vas bunga. Tanpa d
'Pernah dengar di mana nama itu? Sepertinya saya tidak asing,' pikir Diaz mulai mengingat-ingat. Sampai akhirnya ingatannya pada kejadian siang tadi kembali muncul. 'Ah iya, mamahnya Lia, bocah kembar itu. Bukankah bilang kalau mamahnya bernama Amna? Tapi nama Amna di dunia ini pasti tidak cuma satu. Jadi, kemungkinan wanita itu mamahnya si kembar hanya satu banding sembilan,' batin Diaz lagi."Bisa kerja enggak, sih? Punya mata itu dipake, jangan cuma jadi tempelan doang!" tegur Zila dengan nada ketus."Maaf, saya tidak sengaja!" Buru-buru Amna mengambil lap dan mengelap meja yang sedikit basah karena air. "Orang kek gini kok kamu pekerjaan sih, El? Gimana dengan Ibu? Pantas Ibu enggak sembuh-sembuh, pengasuhnya saja seceroboh ini!" Ucapan Zila masih sama pedasnya seperti dulu. Dia tidak berubah, masih bermulut arogan dan judes. "Kak! Amna hanya sedang tidak fit. Dia hari ini sakit, makanya kurang fokus!" bela Elvis tidak ingin Amna terus disudutkan. "Amna, kamu boleh istirahat
Elvis sudah bersiap, dia memakai kemeja seperempat lengan berwarna coklat tua. Wajahnya terlihat lebih segar apalagi rambutnya yang sudah rapi makin membuat Elvis tampil gagah. Dia keluar dari kamarnya bertepatan dengan Amna yang mendorong kursi roda ibunya. Mereka bertemu tepat di depan pintu yang berhadapan. Elvis terpaku melihat penampilan Amna yang tampak anggun dan cantik memakai gamis berwarna coklat tua juga dengan kerudung berwarna lebih terang. Lain Elvis, Amna justru terbengong melihat baju yang Elvis pakai. Meski tampak cocok untuk lelaki berwajah tegas dengan sorot mata tajam itu, tapi sungguh membuat Amna jadi kikuk. Amna menoleh ke bawah melihat gamis yang dia pakai lalu kembali menatap pada Elvis. 'Lah, kok, malah jadi kayak orang couple-an? Hadeh!' batin Amna merasa sungkan.Elvis mendekat, niatnya ingin membantu mendorong kursi roda ibunya. "Sebentar, Den! Aku mau ganti gamis dulu!" ujar Amna melangkah mundur lalu ingin balik ke kamar. Tidak mengerti dengan jal
"Kamu tidak apa-apa?" Diaz berjongkok, membantu Adelia yang tadi tergeletak setelah terserempet motor namun kini sudah terduduk. Lutut dan sikutnya lecet sedikit."Ayah, tepikan dulu mobilnya!" pinta Diaz pada ayahnya agar mengambil alih kemudi.Diez lalu menoleh pada pengendara motor yang memakai jaket Gojek dan sekarang berhenti menepikan sepeda motornya juga."Lia, tidak apa-apa, Kak. Cuma lecet." Diaz melihat luka Lia lalu menuntun bocah itu ketepian. Saat jatuh tadi, tidak ada benturan yang keras cuma Adelia terhuyung dan lehernya berbunyi krak. Setelahnya Diaz dengan si pengendara motor tadi meruntutkan kronologi kejadian, bagaimana kecelakaan itu terjadi saat Adelia masih berdiri di samping kanan mobil Diaz sementara lampu hijau sudah menyala. Si pengendara menyalip mobil di depannya, dia tidak tahu jika di depan ada Adelia yang berdiri. Adelio duduk meniupi luka saudara kembarnya. "Maaf, sekali lagi saya minta maaf. Soalnya buru-buru takut penumpang saya cancel pesanan," uc