"Anak saya baru berusia enam belas tahun, dan dia hamil! Saya minta pertanggungjawaban nak Diaz!" Seorang lelaki berumur kisaran empat puluh tahun terduduk dengan wajah kusut dan tatapan penuh luka juga kecewa. Karena anak gadisnya yang selama ini dia jaga telah terenggut kesuciannya oleh kakak kelas di sekolahnya. "Anak saya menghamili putri, Anda?" Ibu dari Diaz tersenyum smrik dengan tatapan meremehkan. Dia tidak akan menyangkal, sebelumnya Diaz memang sudah mengakui kesalahannya yang menodai seorang gadis demi taruhan bersama teman-temannya. Ibu Diaz menatap gadis muda yang terduduk dengan kedua tangan gemetar, saling mengait dan bertumpu di paha. wajahnya kusut dengan mata sembab. Penampilannya begitu sederhana, memakai kaus pendek dengan bawahan rok selutut. Rambutnya sebahu yang tergerai semrawut, namun tidak mengurangi aura cantik dan manisnya. "Baik, kami akan bertanggung jawab!" Ibu Diaz mengambil sebuah amplop dari dalam tas yang sudah dia siapkan. "Amplop ini berisi uang dengan jumlah yang tidak sedikit. Saya memberikannya secara cuma-cuma, terserah kalian akan gunakan untuk biaya menggugurkan kandungan atau untuk melahirkan anak itu! Yang jelas, Diaz tidak akan menikahi anak Anda!" tegas Ibu Diaz. "A--apa? Bagaimana mungkin Anda tega melakukan ini? Bagaimana pun benih yang anak saya kandung adalah cucu, Anda!" "Hey, Orang Miskin! Kamu pikir saya tidak tahu? Kalian menuntut tanggung jawab agar anak saya menikahi dia demi keuntungan kan? Jangan mimpi bisa hidup enak karena menjebak orang kaya untuk menikahi anakmu! Sekarang pergi!" usir wanita itu dengan wajah garang dia bahkan menyuruh seorang satpam untuk menyeret si gadis dan bapaknya keluar rumah. "Pergi!" titah satpam dengan mendorong mereka sampai terjatuh di pelataran rumah. "Bapak? Ba--pak, kenapa, Pak?" Gadis itu menangis histeris ketika melihat bapaknya tiba-tiba sesak napas lalu tak sadarkan diri. "Bapaaak!" * Sepuluh tahun kemudian. . . Seorang wanita bernama Amna Zakiah begitu telaten merawat wanita seusia enam puluhan yang menderita strok. Sekali pun dia hanya seorang pengasuh lansia, namun ketulusan yang dia beri layaknya kasih sayang seorang anak yang merawat ibunya. "Amnaaa!" panggil seorang lelaki dengan suara berat dari arah kamar di depan kamar wanita strok itu. Dengan tergesa, Amna berjalan ke sumber suara setelah memastikan keadaan Yasmin aman dan tenang. "Iya, Den? Ada yang perlu kubantu?" Amna berdiri di depan pintu. "Kamu taruh di mana baju-baju saya?" Elvis membuka pintu lalu berdiri tepat di hadapan Amna yang kini kaget. Amna kaget karena Elvis bertelanjang dada dan hanya memakai handuk yang dililitkan ke pinggang. Merasa canggung Amna langsung menunduk. "Ba--baju Den El ada di keranjang!" "Maksudmu, baju saya belum kamu setrika?" tanya Elvis dengan wajah memerah, tentu emosinya terpancing. Amna mengangguk pelan. "Iya, Bi Karti kan sedang cuti dua hari ini. Jadi, tidak ada yang menyetrika baju Den El." "Lalu, apa gunanya kamu?" Jari telunjuk Elvis mengacung tepat ke hidung Amna. "A--ku? Bukannya Den El yang bilang kalo Den El alergi padaku? Den El melarangku untuk menyentuh barang-barang milikmu? Jadi aku membiarkannya, tanganku tidak menyentuh bajumu. Bahkan saat di jemuran sekali pun." Elvis mengernyit dengan bibir terbuka, tidak habis pikir dengan kepolosan ... ah tidak, lebih tepatnya dengan kebodohan pembantu satu ini. "Kalau kamu tidak menyentuh, lalu bagaimana kamu menagngkatnya dari jemuran?" "Aku memakai tongkat untuk mengangkat baju dan memasukkanya ke keranjang," jawab Amna dengan gigi meringis. "What?" Elvis memincing tidak percaya. "Kamu memperlakukan baju saya seperti najis? Amna, kamu mamang ...." Gigi Elvis gemertak, dia sangat geregetan dengan tingkah satu wanita di depannya. "Kamu saya pecat!" Elvis membalikkan badannya, sementara Amna terbengong tidak percaya. "Pe--cat? Den El, tunggu!" cegah Amna. "Den El tidak bisa memecatku sembarangan! Lagian tugasku bukan menjadi pembantu di sini, tapi pengasuhnya Ibu! Ibu Den El yang sudah strok selama dua tahun! Kaki Ibu belum bisa bergerak, apalagi berdiri dan aku yang selalu mendorong beliau ke mana-mana. Ibu tidak bisa makan sendiri, Ibu tidak bisa mandi sendiri, pake baju sendiri, cebok sendiri, bahkan untuk tidur juga Ibu selalu menunggu aku bercerita. Ibu juga tidak terbiasa dengan orang baru, apa menurut Den El akan mudah mencari penggantiku?" cecar Amna dengan sedikit ancaman. Bibir Elvis terbuka dan membulat, dia tidak menyangka wanita rendahan itu bisa begitu mudah mengancamnya. "Bagaimana, Den El? Masih mau memecatku?" "Kamu ...." Elvis membalik badan lagi dengan tatapan tajam dan telunjuk terangkat, namun dia tidak bisa melakukan apa pun selain meremas angin. Sementara Amna tersenyum penuh kemenangan. "Shit!" umpat Elvis menyugar rambutnya dan memilih beringsut masuk. "Oiya satu lagi, Den! Jangan terlalu galak begitu! Ingat sudah berumur, gadis mana yang akan mau sama lelaki tukang marah!" "Amnaaa!" Tangan Elvis mengepal, dia mendengkus dan sekarang Amna dengan tak tahu diri berlari terbirit ke kamar ibu Elvis dan menutup pintu rapat-rapat. "Sialan wanita itu! Ibu terlalu memanjakannya sampai tak sadar posisi!" * Amna berjalan tergesa melewati gang-gang sempit. Dia memakai gamis berwarna coklat dengan kerudung segiempat. Langkahnya lincah untuk sampai ke kontrakan yang dia tuju. Waktunya tidak banyak, jadi dia harus segera bertemu dengan Fifin dan dua anak kembarnya. "Bu Fifin!" Amna mengetuk pintu kontrakan. Dia berdiri sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling yang tampak sepi, padahal hari minggu. "Amna?" Suara decit pintu terbuka bersamaan dengan suara Fifin yang menyambut Amna dengan senyum lebar. "Bi Fifin?" Amna memeluk wanita paruh baya yang sudah dia anggap seperti saudaranya sendiri. "Di mana Lio dan Lia?" Mata Amna menelisik ke dalam kontrakan. "Mamaaah!" Baru saja Amna menacari-cari Adelio dan Adelia datang dari arah belakang, mereka langsung menghambur kepelukan Amna. Dua bocah kembar berusia sembilan tahun itu memeluk erat ibunya seakan begitu rindu. Mereka lalu duduk di sofa dan bercengkrama sejenak, sementara Fifin ke dalam membuatkan teh untuk Amna. "Amna, diminum dulu!" Fifin meletakan cangkir teh di meja. "Kalian makan dulu sana," bisik Amna pada kedua anaknya yang sangat senang dengan oleh-oleh makanan yang dibawakan Amna. Sementara Amna dan Fifin duduk bersama di sofa. "Bu Fifin, aku sangat berterima kasih Ibu mau menjaga anak-anakku. Ini gajiku bulan ini." Amna meletakan amplop yang cukup tebal ke telapak tangan Fifin berisi tiga juta. Dengan senyum semringah Finfin menerimanya, ini sudah biasa setiap bulan memang Amna selalu menyetorkan gajiannya pada Fifin untuk biaya anak-anaknya selama tinggal bersama Fifin dan bersekolah. Sementara Amna sendiri paling menyisakan lima ratus ribu untuk dirinya sendiri. "Makasih, loh, Am. Kemarin-kemarin di sekolah si kembar banyak kegiatan jadi banyak pengeluarn mendadak juga! Kadang uang yang kamu beri enggak cukup buat satu bulan. Soalnya anak-anakmu kalau jajan juga banyak. Tapi enggak papa, Ibu bisa talangin dulu," kata Fifin dengan gamblang. Amna tersenyum sungkan, dia tahu sudah sangat merepotkan Fifin selama ini. "Maaf ya, Bu. Aku merepotkan Ibu ...." "Ah tidak masalah! Jangan kamu pikirkan, aku ikhlas, kok!" Mata Fifin melirik ke dalam amplop yang berisi lembaran merah, dalam benaknya sudah tersusun banyak daftar barang yang ingin dia beli. Semenjak bapak Amna meninggal karena serangan jantung sepuluh tahun lalu dan ibunya menyusul beberapa tahun kemudian, Amna menjadi yatim-piatu di kampung. Hidup menjadi single parent di usia belia tidaklah mudah, apalagi dua anak kembar yang harus dia hidupi. Hidup serba kesulitan di kampung, Amna memutuskan untuk mencari peruntungan di kota. Di sinilah dia bertemu dengan Fifin yang awalnya tetangga satu kontrakan, sekarang Amna menitipkan kedua anaknya pada Fifin karena dia sendiri harus tinggal di rumah majikannya. Biasanya dua minggu atau satu bulan sekali Amna akan datang menjenguk. "Mamah, ayo makan dulu!" Adelia mendekat lagi dengan membawa potongan kue dan menyuapi Amna. Di waktu yang singkat itu dia gunakan untuk membersamai anak-anaknya. Tak terasa sudah tengah hari. "Bu Fifin aku titip mereka lagi. Hari ini cuma bisa libur setengah hari karena anak sulung dan cucunya Nyonya Yasmin akan datang dari luar negri. Jadi, aku harus membantu Bi Karti." "Oh begitu, tidak papa. Tenang saja aku akan menjaga anak-anak dengan baik!" Amna pamit, kedua anaknya mengiring kepergiannya di ambang pintu dengan tatapan sendu karena harus berpisah lagi dengan ibunya. Sorot mata sedih yang terpancar dari dua anaknya, Amna pikir mungkin karena rindu. Dia tahu anaknya sangat ingin tinggal bersama, tapi Amna tidak bisa. Majikannya pasti tidak mengizinkannya membawa anak. Seiring langkah yang menjauh, kini tubuh Amna tak lagi terlihat. "Sudah siang, cepat kalian pergi ngamen!" titah Fifin dengan nada ketus pada dua anak kembar yang sekarang saling tatap. "Tapi ... bukannya Mamah baru saja kasih uang? Kenapa kita harus ngamen lagi?" bantah Adelia dengan wajah kesal. "Memangnya uang yang mamahmu beri banyak? Uang itu cuma cukup buat biaya kalian sekolah, sementara air, lisitrik, makan, juga uang jajan kalian ... kalian pikir dari mana? Sudah sana pergi!" Fifin mengambil ukulele dan melemparnya pada Adelio dan Adelia membawa bekas bungkus permen untuk mengantongi uangnya. "Cepat sana!" usir Fifin langsung menutup pintu rapat-rapat. Tidak bisa membantah lagi, ini sudah lama terjadi. Dua anak itu selalu dijadikan ladang mendapat uang tambahan untuk Fifin. Keahlian Adelio bermain ukulele dan suara merdu Adelia dimanfaat oleh Fifin. Mereka disuruh mengamen di lampu merah setiap pulang sekolah atau saat hari libur. Tentu saja tanpa sepengetahuan Amna "Lio, andai kita punya ayah. Pasti tidak perlu ngamen. Mamah juga tidak perlu capek-capek kerja," keluh Adelia dengan jalan menunduk. Matanya berkaca-kaca. Adelio menghela napas. "Jangan sedih, Lia. Yang punya ayah juga belum tentu enggak capek. Kalo kamu capek nanti aku ajah yang ngamen," ujar Adelio yang selalu optimis penuh semangat. Dengan tatapan haru, Adelia menghentikan langkahnya lalu memeluk adik kembarnya yang lahir beda lima belas menit darinya. Adelio menepuk-nepuk punggung Adelia. "Tenang, sekali pun tidak ada ayah, ada Lio yang bisa Lia andalkan. Kamu istirahat dulu di trotoar!" Adelia menggeleng. "Tapi suaramu jelek! Tidak akan ada yang kasih uang kalo kamu ngamen sendiri!" Adelia berjalan mendahului dengan senyum tipis diiringi gelak tawa dari Adelio. Dia tidak mungkin membiarkan Adelio mengamen sendirian. Apa pun yang terjadi mereka akan lalui bersama. * Laju mobil melambat ketika di depan terlihat lampu merah menyala. Lelaki muda yang menyetirnya menginjak rem dengan cekatakan ketika mobil di depannya berhenti. "Ibu dan Elvis pasti sudah menunggu. Hampir tiga tahun kalian tidak ikut Ayah pulang!" "Namanya juga sibuk, Yah. Tapi sekarang kan saya sudah free dan akan menetap di sini, jadi bisa sering-sering ketemu Nenek." "Hem, kamu tempatin rumah yang ada di depan rumah nenekmu, Diaz. Ayah dan Ibu juga Ghea dan Ghina akan tinggal di apartemen yang dekat dengan kantor Ayah." "Siap!" jawab lelaki berkemeja biru muda dengan semangat. "Cita-citaku menjadi orang kaya Dulu kususah sekarang alhamdulillah Bersyukurlah pada Yang Maha Kuasa Memberi jalan untukku semua ...." Lagu Pengamen Jalanan yang dinyanyikan oleh dua bocah kembar meriuhkan suasana pemberhentaian di lampu merah. Adelia mengetuk kaca mobil berwarna silver. "Ck! Heh, kalian ini ya mengotor-ngotori kota saja. Sepet mata saya lihat gembel kaya kalian!" Bukannya memberi receh, Adelia justri dicerca. "Ibu, sudahlah. Jangan memerahi mereka!" Diaz menoleh ke belakang lalu memanggil dua pengamen itu. "Ini untuk kalian!" Diaz mengacungkan selembar uang lima puluhan. "Ini untuk kita, Kak?" Mata Adelia berbinar, dia menatap lelaki di balik kemudi yang tampak sangat gagah dan dermawan. Diaz menoleh, melihat wajah dua anak kecil itu entah kenapa rasa iba langsung menjalar dan membuat dadanya sesak. "Ya. Apa kurang?" "Ah, tidak-tidak. Ini terlalu banyak. Terima kasih!" Adelia menundukkan kepala dan tersenyum lebar, lalu bocah itu berganti ke pengendaran lain. "Anak itu sepertinya kembar. Wajah mereka sekali pun dekil tapi terlihat berkarisma, mungkin besar nanti bisa jadi bintang!" celetuk Ghea yang duduk sambil melongok ke arah jendela. "Rambut ikal merahnya mirip Bang Diaz!" Ghina tertawa mengejek. Namun, tidak bisa disangkal. "Iya bener juga, kok, bisa mirip gitu ya? Hidung mereka saja ...." Ghea ingin menimpali tapi keburu mendapat ancaman dari Diaz. "Heh! Ghea, Ghina! Kalian sedang meledek Abang? Nakal sekali!" Diaz melempar kotak tisu ke belakang membuat dua remaja kembar itu makin ngakak. Diaz terdiam sejenak, mengamati dari balik kaca dua bocah kembar fraternal itu. Seulas senyum yang terlukis dari wajah polos mereka mengingatkan Diaz akan seorang gadis. Entah kenapa tiba-tiba dia terbayang kembali senyum gadis desa yang hidupnya Diaz hancurkan. "Bocah!" panggil Diaz kembali ketika Adelia dan Adelio hendak beranjak. "Iya, Kak?" Adelia berdiri lagi di dekat jendela mobil. Diaz menatap lekat-lekat bocah itu, sementara tangannya meraih botol minuman dan roti. "Ini untuk kalian. Apa kalian sering mengamen di sini?" "Wah, terima kasih banyak, Kak!" Adelia menerima dengan suka cita. "Iya. Hampir setiap hari kita ngamen di sini." "Kalian tinggal di sekitaran sini?" "Iya, kami tinggal di sana!" Adelia menunjuk ke arah selatan." Arah mata Diaz mengekori telunjuk Adelia, lalu mengangguk paham. "Siapa nama kalian?" "Aku Lia, ini Lio. Kami kembar!" jawab Adelia lagi. "Kalian tidak punya orang tua?" "Kami masih punya mamah. Tapi, Mamah sedang kerja!" "Siapa nama Mamah kalian?" Entah kenapa Diaz jadi merasa sangat kepo. "Mamahku namanya Amna--" Tiiin! "Lia, awaaas!" Adelio menarik tangan Adelia, sayangnya kalah cepat karena tubuh kecil Adelia tidak bisa menghindar dan terserempet motor yang melaju kencang ketika lampu hijau menyala. "Liaaa?" Diaz kaget, buru-buru dia keluar dari mobil dan menghampiri tubuh kecil yang tergeletak di jalanan.
"Kamu tidak apa-apa?" Diaz berjongkok, membantu Adelia yang tadi tergeletak setelah terserempet motor namun kini sudah terduduk. Lutut dan sikutnya lecet sedikit."Ayah, tepikan dulu mobilnya!" pinta Diaz pada ayahnya agar mengambil alih kemudi.Diez lalu menoleh pada pengendara motor yang memakai jaket Gojek dan sekarang berhenti menepikan sepeda motornya juga."Lia, tidak apa-apa, Kak. Cuma lecet." Diaz melihat luka Lia lalu menuntun bocah itu ketepian. Saat jatuh tadi, tidak ada benturan yang keras cuma Adelia terhuyung dan lehernya berbunyi krak. Setelahnya Diaz dengan si pengendara motor tadi meruntutkan kronologi kejadian, bagaimana kecelakaan itu terjadi saat Adelia masih berdiri di samping kanan mobil Diaz sementara lampu hijau sudah menyala. Si pengendara menyalip mobil di depannya, dia tidak tahu jika di depan ada Adelia yang berdiri. Adelio duduk meniupi luka saudara kembarnya. "Maaf, sekali lagi saya minta maaf. Soalnya buru-buru takut penumpang saya cancel pesanan," uc
Elvis sudah bersiap, dia memakai kemeja seperempat lengan berwarna coklat tua. Wajahnya terlihat lebih segar apalagi rambutnya yang sudah rapi makin membuat Elvis tampil gagah. Dia keluar dari kamarnya bertepatan dengan Amna yang mendorong kursi roda ibunya. Mereka bertemu tepat di depan pintu yang berhadapan. Elvis terpaku melihat penampilan Amna yang tampak anggun dan cantik memakai gamis berwarna coklat tua juga dengan kerudung berwarna lebih terang. Lain Elvis, Amna justru terbengong melihat baju yang Elvis pakai. Meski tampak cocok untuk lelaki berwajah tegas dengan sorot mata tajam itu, tapi sungguh membuat Amna jadi kikuk. Amna menoleh ke bawah melihat gamis yang dia pakai lalu kembali menatap pada Elvis. 'Lah, kok, malah jadi kayak orang couple-an? Hadeh!' batin Amna merasa sungkan.Elvis mendekat, niatnya ingin membantu mendorong kursi roda ibunya. "Sebentar, Den! Aku mau ganti gamis dulu!" ujar Amna melangkah mundur lalu ingin balik ke kamar. Tidak mengerti dengan jal
'Pernah dengar di mana nama itu? Sepertinya saya tidak asing,' pikir Diaz mulai mengingat-ingat. Sampai akhirnya ingatannya pada kejadian siang tadi kembali muncul. 'Ah iya, mamahnya Lia, bocah kembar itu. Bukankah bilang kalau mamahnya bernama Amna? Tapi nama Amna di dunia ini pasti tidak cuma satu. Jadi, kemungkinan wanita itu mamahnya si kembar hanya satu banding sembilan,' batin Diaz lagi."Bisa kerja enggak, sih? Punya mata itu dipake, jangan cuma jadi tempelan doang!" tegur Zila dengan nada ketus."Maaf, saya tidak sengaja!" Buru-buru Amna mengambil lap dan mengelap meja yang sedikit basah karena air. "Orang kek gini kok kamu pekerjaan sih, El? Gimana dengan Ibu? Pantas Ibu enggak sembuh-sembuh, pengasuhnya saja seceroboh ini!" Ucapan Zila masih sama pedasnya seperti dulu. Dia tidak berubah, masih bermulut arogan dan judes. "Kak! Amna hanya sedang tidak fit. Dia hari ini sakit, makanya kurang fokus!" bela Elvis tidak ingin Amna terus disudutkan. "Amna, kamu boleh istirahat
Buru-buru Amna berjongkok dan memunguti serpihan vas keramik yang pecah. Dia makin menunduk ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. 'Apeees! Apes! Nanti dikira aku lagi nguping lagi? Padahal demi Allah, aku enggak denger apa pun!' Amna gusar sendiri."Amna, a--pa yang kamu lakukan?" tanya Elvis kaget. Dia tidak menyangka jika Amna belum tidur dan sekarang berada di dekat ruang tamu. Dia jadi berpikir, apa tadi Amna mendengar semuanya? "Maaf, Den. Aku tidak sengaja menyenggol vas bunga. Soalnya di sini gelap, niatnya tadi mau ke dapur ambil minum. Minumnya Ibuk habis." Amna masih berjongkok, dia beralasan. Sebenarnya dia ingin makan malam karena tadi belum sempat makan."Ck, lain kali hati-hati. Kenapa tidak nyalakan lampunya dulu?" Elvis berdecak. Di rumah ini memang biasa keadaan malam hari begitu temaram. Selain warna cat yang gelap, juga penerangan yang sengaja Elvis redupkan. "Ada apa, Paman?" Diaz menyusul, dilihatnya Amna yang sedang memunguti pecahan vas bunga. Tanpa d
Buru-buru Amna berjongkok dan memunguti serpihan vas keramik yang pecah. Dia makin menunduk ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. 'Apeees! Apes! Nanti dikira aku lagi nguping lagi? Padahal demi Allah, aku enggak denger apa pun!' Amna gusar sendiri."Amna, a--pa yang kamu lakukan?" tanya Elvis kaget. Dia tidak menyangka jika Amna belum tidur dan sekarang berada di dekat ruang tamu. Dia jadi berpikir, apa tadi Amna mendengar semuanya? "Maaf, Den. Aku tidak sengaja menyenggol vas bunga. Soalnya di sini gelap, niatnya tadi mau ke dapur ambil minum. Minumnya Ibuk habis." Amna masih berjongkok, dia beralasan. Sebenarnya dia ingin makan malam karena tadi belum sempat makan."Ck, lain kali hati-hati. Kenapa tidak nyalakan lampunya dulu?" Elvis berdecak. Di rumah ini memang biasa keadaan malam hari begitu temaram. Selain warna cat yang gelap, juga penerangan yang sengaja Elvis redupkan. "Ada apa, Paman?" Diaz menyusul, dilihatnya Amna yang sedang memunguti pecahan vas bunga. Tanpa d
'Pernah dengar di mana nama itu? Sepertinya saya tidak asing,' pikir Diaz mulai mengingat-ingat. Sampai akhirnya ingatannya pada kejadian siang tadi kembali muncul. 'Ah iya, mamahnya Lia, bocah kembar itu. Bukankah bilang kalau mamahnya bernama Amna? Tapi nama Amna di dunia ini pasti tidak cuma satu. Jadi, kemungkinan wanita itu mamahnya si kembar hanya satu banding sembilan,' batin Diaz lagi."Bisa kerja enggak, sih? Punya mata itu dipake, jangan cuma jadi tempelan doang!" tegur Zila dengan nada ketus."Maaf, saya tidak sengaja!" Buru-buru Amna mengambil lap dan mengelap meja yang sedikit basah karena air. "Orang kek gini kok kamu pekerjaan sih, El? Gimana dengan Ibu? Pantas Ibu enggak sembuh-sembuh, pengasuhnya saja seceroboh ini!" Ucapan Zila masih sama pedasnya seperti dulu. Dia tidak berubah, masih bermulut arogan dan judes. "Kak! Amna hanya sedang tidak fit. Dia hari ini sakit, makanya kurang fokus!" bela Elvis tidak ingin Amna terus disudutkan. "Amna, kamu boleh istirahat
Elvis sudah bersiap, dia memakai kemeja seperempat lengan berwarna coklat tua. Wajahnya terlihat lebih segar apalagi rambutnya yang sudah rapi makin membuat Elvis tampil gagah. Dia keluar dari kamarnya bertepatan dengan Amna yang mendorong kursi roda ibunya. Mereka bertemu tepat di depan pintu yang berhadapan. Elvis terpaku melihat penampilan Amna yang tampak anggun dan cantik memakai gamis berwarna coklat tua juga dengan kerudung berwarna lebih terang. Lain Elvis, Amna justru terbengong melihat baju yang Elvis pakai. Meski tampak cocok untuk lelaki berwajah tegas dengan sorot mata tajam itu, tapi sungguh membuat Amna jadi kikuk. Amna menoleh ke bawah melihat gamis yang dia pakai lalu kembali menatap pada Elvis. 'Lah, kok, malah jadi kayak orang couple-an? Hadeh!' batin Amna merasa sungkan.Elvis mendekat, niatnya ingin membantu mendorong kursi roda ibunya. "Sebentar, Den! Aku mau ganti gamis dulu!" ujar Amna melangkah mundur lalu ingin balik ke kamar. Tidak mengerti dengan jal
"Kamu tidak apa-apa?" Diaz berjongkok, membantu Adelia yang tadi tergeletak setelah terserempet motor namun kini sudah terduduk. Lutut dan sikutnya lecet sedikit."Ayah, tepikan dulu mobilnya!" pinta Diaz pada ayahnya agar mengambil alih kemudi.Diez lalu menoleh pada pengendara motor yang memakai jaket Gojek dan sekarang berhenti menepikan sepeda motornya juga."Lia, tidak apa-apa, Kak. Cuma lecet." Diaz melihat luka Lia lalu menuntun bocah itu ketepian. Saat jatuh tadi, tidak ada benturan yang keras cuma Adelia terhuyung dan lehernya berbunyi krak. Setelahnya Diaz dengan si pengendara motor tadi meruntutkan kronologi kejadian, bagaimana kecelakaan itu terjadi saat Adelia masih berdiri di samping kanan mobil Diaz sementara lampu hijau sudah menyala. Si pengendara menyalip mobil di depannya, dia tidak tahu jika di depan ada Adelia yang berdiri. Adelio duduk meniupi luka saudara kembarnya. "Maaf, sekali lagi saya minta maaf. Soalnya buru-buru takut penumpang saya cancel pesanan," uc
"Anak saya baru berusia enam belas tahun, dan dia hamil! Saya minta pertanggungjawaban nak Diaz!" Seorang lelaki berumur kisaran empat puluh tahun terduduk dengan wajah kusut dan tatapan penuh luka juga kecewa. Karena anak gadisnya yang selama ini dia jaga telah terenggut kesuciannya oleh kakak kelas di sekolahnya."Anak saya menghamili putri, Anda?" Ibu dari Diaz tersenyum smrik dengan tatapan meremehkan. Dia tidak akan menyangkal, sebelumnya Diaz memang sudah mengakui kesalahannya yang menodai seorang gadis demi taruhan bersama teman-temannya.Ibu Diaz menatap gadis muda yang terduduk dengan kedua tangan gemetar, saling mengait dan bertumpu di paha. wajahnya kusut dengan mata sembab. Penampilannya begitu sederhana, memakai kaus pendek dengan bawahan rok selutut. Rambutnya sebahu yang tergerai semrawut, namun tidak mengurangi aura cantik dan manisnya. "Baik, kami akan bertanggung jawab!" Ibu Diaz mengambil sebuah amplop dari dalam tas yang sudah dia siapkan. "Amplop ini berisi uan