“Rumah Oma jauh, ya?” Dhira duduk diam sambil menatap sang mama yang berkemas.“Ya, lumayan. Harus naik pesawat kalau mau cepat atau kereta,” jawab Renata sambil memasukkan pakaian Dharu dan Dhira ke koper.Renata dan Evan sudah berkonsultasi ke dokter, setelah mendapat izin pergi ke luar kota, mereka pun sepakat untuk mengunjungi Margaret dan Edward. Tentu saja sekalian ingin membahas soal pernikahan mereka.“Hm … begitu.” Dhira mengangguk-angguk.“Kalian mau bawa apa lagi, biar sekalian mama kemas,” kata Renata sambil menatap Dhira dan Dharu bergantian.Dhira dan Dharu menggelengkan kepala bersamaan, kedua anak kembar itu memang selalu kompak.“Apa perlu bantuan?” tanya Evan ketika masuk dan melihat Renata masih berkemas.“Tidak, ini sudah hampir selesai,” jawab Renata kemudian memasukkan barang terakhir yang dibutuhkan Dhira ke koper.Dhira turun dari ranjang, menghampiri Evan bahkan langsung meminta gendong ke sang papa.“Apa rumah Oma besar?” tanya Dhira.“Biasa, ga besar juga,”
Renata mengamati jalanan yang dilalui bersama Evan. Tujuh tahun tidak pernah menginjakkan kaki di kota kelahirannya, semuanya sudah berbeda..Hari itu Evan dan Renata memutuskan pergi menggunakan mobil, karena jarak yang ditempuh juga tidak terlalu jauh. Evan juga ingin sekalian menciptakan momen kebersamaan dengan Renata.“Kamu mau istirahat dulu?” tanya Evan saat mereka hampir sampai di rest area.“Kamu lelah?” Renata malah melempar balik pertanyaan ke Evan.“Tidak juga,” jawab Evan sambil mengedikkan kedua bahu.“Kalau begitu, bisa kita langsung saja ke makam dulu?” tanya Renata setelah mendapat jawaban dari Evan.Evan menatap sekilas ke Renata, mungkin Renata sudah terlalu rindu karena lama tidak mengunjungi makam orangtuanya. Akhirnya Evan pun terus melajukan mobil tanpa beristirahat.Setelah beberapa jam perjalanan, mereka akhirnya sampai di pemakaman. Evan dan Renata pergi ke makam, memandang dua batu nisan yang bersisian dengan nama ayah dan ibu Renata.Di sana Renata membersi
“Bagaimana kabarmu?” tanya Veronica.Setelah diam cukup lama, akhirnya Veronica yang membuka percakapan di antara mereka, karena Renata hanya diam.Renata menatap Veronica yang baginya masih saja marah dan membenci dirinya karena sudah melakukan kesalahan, semua itu dikarenakan ekspresi wajah Veronica yang sangat tegas dan seolah tidak rindu kepadanya.“Sangat baik, jauh lebih baik dari sebelumnya,” jawab Renata menegakkan badan, mencoba terlihat kuat meski kedua kakinya gemetar.Evan sendiri hanya diam, mendengarkan serta menjadi pendukung untuk Renata.Veronica mengangguk-angguk kecil mendengar jawaban Renata.“Jadi, kamu akhirnya menggugurkannya?” tanya Veronica karena tidak melihat Renata membawa anak yang dikandung tujuh tahun lalu.Renata cukup terkejut mendengar pertanyaan Veronica. Dia malah berpikir jika sang oma memang masih berharap dia menggugurkan Dhira dan Dharu.“Tentu saja tidak, hanya saja aku memang tidak membawa mereka ke sini. Aku takut mereka kecewa, jika mengetah
Renata mematung menatap isi yang ada di ruangan itu. Kakinya melangkah pelan, sebelum akhirnya berhenti tepat di tengah ruangan.“Kamu yakin tidak masalah? Aku akan tidur di hotel jika memang kamu kurang nyaman,” ucap Evan sambil menatap Renata yang diam.Renata setuju menginap karena tawaran Veronica. Dia meminta Evan sekamar dengannya karena merasa lebih aman bersama pria itu.“Jika kamu pergi, aku malah tidak akan nyaman di sini,” ucap Renata sambil memutar badan. Ditatapnya Evan yang awalnya berdiri di belakangnya.Evan mengangguk paham akan ucapan Renata.“Ini kamarmu?” tanya Evan kemudian. Dia menebak karena melihat ada foto Renata di meja belajar yang terdapat di sana.“Ya,” jawab Renata.Renata berjalan menuju meja belajarnya. Dia menyentuh meja itu, bersih tanpa debu menandakan jika meja itu bahkan kamar itu dibersihkan setiap hari.“Ternyata tidak ada yang berubah,” gumam Renata sambil memandangi seluruh kamarnya.Kamar itu masih sama dengan tujuh tahun lalu saat Renata meni
“Re!”Renata menoleh karena ada yang memanggil. Kevin yang terkejut lantas menarik tangannya dan urung mendorong Renata.Ternyata Evan keluar dari kamar. Dia langsung memanggil Renata agar menoleh ketika melihat Kevin yang hendak mendorongnya.Evan berjalan dengan langkah penuh wibawa. Tatapannya tajam, tapi ada senyum yang ditujukan ke Renata.Kevin terkejut melihat Evan, lantas memperhatikan pria itu dari ujung kaki hingga kepala. Sampai akhirnya melirik Renata, ternyata keponakannya itu berbohong jika pria yang akan menikahinya seorang pria tua.“Ada apa? Aku baru mau mengambil pesanan bajumu,” kata Renata sambil menunjuk ke lantai bawah.“Aku bosan di kamar, jadi keluar saja,” balas Evan, lantas melirik Kevin yang terlihat kesal.“Hm … ayo.” Renata mengajak Evan turun.Sebelum turun, Evan menatap tajam Kevin, tentu saja dia melihat apa yang hendak dilakukan Kevin. Dari tatapan matanya seolah mengisyaratkan jika dia sedang mencoba memperingatkan Kevin agar tidak menyentuh Renata.R
Beberapa tahun yang lalu.“Apa karena kamu sudah menikah, jadi kamu berhak menguasai perusahaan!” Suara Kevin begitu lantang ketika berdebat dengan Kenzi—ayah Renata.“Bukan seperti itu, Kev. Dengar penjelasanku dulu.” Kenzi mencoba bersikap sabar menghadapi adiknya itu.“Apa? Jangan hanya karena Mama memberikan kedudukan tinggi kepadamu, lalu kamu bisa seenaknya saja menginjak harga diriku!” amuk Kevin lagi.Kenzi memijat kepala yang pusing karena amukan sang adik. Hanya karena posisi jabatan di perusahaan, bisa membuat sang adik semurka ini.“Jika kamu sudah layak menduduki posisi itu, aku akan memberikannya kepadamu. Kamu jangan banyak berpikir, apalagi merasa aku menginjakmu,” ujar Kenzi menjelaskan.Kevin tersenyum miring, tentu saja dia tidak akan percaya begitu saja dengan sang kakak yang dianggap saingan olehnya.“Apa kamu pikir aku akan percaya? Kamu memang menginginkan posisi itu untuk mendepakku bukan? Jangan munafik, kamu merayu Mama agar mendapatkan posisi itu, aku tahu i
“Anda jangan sering marah-marah, Tuan. Nanti semakin cepat tua.” Pembantu itu memijit kedua pundak Kevin yang baru saja selesai makan.“Bagaimana aku tidak marah, jika Renata mendadak datang bahkan menginap dan mengambil perhatian Mama,” geram Kevin.“Iya, saya tahu. Tapi dia bilang tidak ada niat kembali, paling besok sudah pergi. Anda jangan cemas lagi,” ujar pembantu itu membujuk.Kevin tetap marah, baginya kehadiran Renata adalah sebuah masalah.Pembantu itu melirik Kevin yang masih marah. Selama ini dia memang bisa bertahan dan betah karena mendapat perlakukan khusus dari Kevin, apalagi Kevin juga menginginkannya.“Tuan, ibu saya di kampung sakit-sakitan. Saya butuh uang, apa Anda bisa memberi saya, tidak banyak kok.” Pembantu itu mulai merayu, apalagi tadi memberikan informasi yang penting untuk Kevin.Kevin melirik pembantu itu, hingga kemudian tersenyum miring.“Aku sedang kesal dan butuh hiburan. Layani aku dulu nanti aku beri uang yang kamu minta,” kata Kevin yang selama ini
Renata naik ke lantai dua setelah pembantu rumah tangga yang dilihatnya tadi masuk ke dapur. Mungkin untuk kembali ke kamarnya. Saat sampai di lantai atas, Renata menghentikan langkah karena melihat Kevin keluar dari kamar.Renata menyipitkan mata saat melihat Kevin yang terlihat sangat bahagia, padahal tadi terus marah-marah. Dia pun mencoba mengabaikan sang paman, berjalan menuju kamar tapi langkah terhenti saat sang paman menegurnya.“Dari mana kamu?” tanya Kevin sedikit ketus.Renata menoleh sambil memasang wajah malas, ditatapnya Kevin yang memandangnya benci.“Tentu saja dari ….” Renata ingin berkata dari kamar Veronica, tapi ingat pesan sang oma, membuat Renata urung mengatakannya. “Ambil minum di dapur, kenapa? Ga boleh?”Renata pun bicara tak kalah ketus ke Kevin.Kevin geram mendengar Renata yang berani kepadanya, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena ada Evan di rumah itu.“Ini bukan rumahmu, jadi berhenti bertingkah seolah kamu masih anggota keluarga ini. Ingat, saat
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Kasih melahirkan dengan cara cesar. Kini Kasih sudah dipindah ke ruang inap, tapi bayinya masih dalam pemantauan dokter di ruangan khusus perawatan bayi. “Syukurlah semua berjalan dengan lancar,” ucap Liliana penuh kelegaan melihat Kasih baik-baik saja. “Kita akhirnya punya cucu.” Jefrine merangkul istrinya, terlihat tatapan penuh kebahagiaan di mata pria itu. Dean melihat tatapan berbeda dari sang papa ke sang mama. Tatapan yang dianggapnya sudah lenyap sejak bertahun-tahun lamanya. “Kamu sudah menghubungi ibunya Kasih?” tanya Liliana yang ingat ke besannya itu. “Sudah, Ma. Ibu bilang akan datang secepatnya naik kereta, jadi butuh waktu ke sini,” jawab Dean. “Iya ga papa, terpenting kamu sudah mengabarinya,” ujar Liliana. Renata dan Evan senang melihat kebahagiaan Dean. Akhirnya bisa melihat pria itu bisa tersenyum penuh kelegaan dan bahagia. “Kami pulang dulu, kalau nanti Kak Kasih bangun dan tanya, katakan kami akan datang besok,” ujar R
“Benarkah? Ini berita yang sangat bagus.”Renata begitu senang mendengar Kasih dan Dean akhirnya berbaikan dengan Jefrine.Malam itu Kasih dan Dean mengajak makan malam Evan juga Renata, tentu saja untuk merayakan kebahagiaan keduanya yang kini sudah berbaikan dengan orang tua Dean.“Ya, kami pun tak menyangka. Kupikir bertemu dengan Papa akan membuat kami kembali bertengkar hebat. Namun, siapa sangka jika kemarin malam adalah malam yang benar-benar di luar dugaanku,” ujar Dean menjelaskan.Renata paham maksud Dean, hingga kemudian membalas, “Terkadang kita terlalu takut akan pemikiran kita sendiri. Kita merasa jika orang yang membenci kita, benar-benar akan terus membenci kita selamanya. Tapi siapa sangka jika ketakutan itu tidak benar, nyatanya papamu mau meminta maaf dulu.”“Benar, sama seperti Mama saat dulu tak suka Renata. Tiba-tiba saja datang dan meminta maaf, lalu menerima hubungan kami. Bukankah terkadang kita yang terlalu takut untuk memperbaiki kesalahan, hingga menunggu o
Dean dan yang lain terkejut saat melihat siapa yang kini berdiri memandang mereka, bahkan Liliana langsung berdiri karena panik.Dean langsung memalingkan wajah, seolah tak sudi melihat pria yang kini berdiri memandang dirinya.Kasih sendiri mengalihkan pandangan ke Dean, melihat suaminya yang terlihat tidak senang dan tidak nyaman.“Kamu sudah pulang. Kupikir kamu akan pulang minggu depan,” ujar Liliana dengan wajah panik.Jefrine—ayah Dean, menatap istrinya yang sudah berdiri dengan sikap kebingungan.“Mumpung kamu di sini, ada yang ingin kubicarakan denganmu,” ujar Jefrine sambil menatap Dean.Kasih langsung memandang suaminya, terlihat jelas jika Dean benar-benar tertekan.Jefrine menunggu Dean bicara, hingga sekilas melirik ke Kasih.“Hanya sebentar,” ucap pria itu kemudian.Dean menghela napas kasar, hingga akhirnya berdiri lantas memandang ke arah Jefrine.“Aku juga merasa perlu menyelesaikan sesuatu denganmu,” ucap Dean yang tak mau bersikap sopan ke pria yang dianggapnya buru
Dean akhirnya setuju pergi makan malam ke rumah orang tuanya. Dia dan Kasih kini berada di mobil menuju rumah Liliana.Kasih menoleh Dean, melihat suaminya terlihat serius menyetir. Sebelumnya Dean tidak memberi keputusan apakah mau datang makan malam di rumah orang tuanya, tapi tiba-tiba saja sore ini Dean meminta Kasih bersiap.“De, kamu tidak apa-apa, kan? Kalau memang masih tidak bisa, kita tidak usah datang. Mama juga pasti maklum kalau dijelaskan,” ujar Kasih yang tidak tega memaksa suaminya pulang.Kasih tahu bagaimana suaminya itu berjuang melawan sang papa. Dia sendiri tidak pernah menyalahkan sikap Dean yang membenci ayahnya, semua tak terlepas dari perbuatan ayah Dean di masa lalu, yang membuat Dean memilih membenci sang ayah.Deon menoleh Kasih, melihat istrinya itu terlihat cemas.“Aku tidak apa-apa. Sejak kita menikah, aku juga belum pernah melihat Mama. Ya, aku sadar jika membenci Papa, tapi Mama tidak salah sama sekali, jadi kupikir tidak ada salahnya berkunjung, selam
“Kamu benar-benar tidak apa, kan? Bagaimana calon bayi kita? Dia tidak kaget, kan?”Dean sangat mencemaskan kondisi Kasih. Bahkan kembali memastikan saat sudah sampai apartemen.“Aku baik-baik saja, De. Serius.” Kasih mencoba meyakinkan jika dirinya baik-baik saja.Dean memandang Kasih. Dia sedih karena sang istri mendapat perlakukan tidak baik berulang kali.“Apa kita pindah saja. Kita ke tempat Ibu saja,” ujar Dean. Dia tidak bisa terus menerus panik karena istrinya beberapa kali hampir celaka.Kasih terkejut mendengar ucapan Dean. Jarak rumah ibu Kasih dan kota tempat mereka tinggal cukup jauh. Kasih tidak tega jika Dean harus bolak-balik menempuh jarak yang jauh.“Tidak apa, De. Aku janji akan hati-hati lagi. Lagian aku kalau pergi pasti bersama Renata, jadi ada yang melindungiku. Tadi saja memang mengalami kejadian tak terduga, tapi serius aku baik-baik saja,” balas Kasih mencoba meyakinkan.Dean menatap sendu. Dia sibuk bekerja sampai tidak bisa menemani istrinya pergi atau seka
Dean berjalan cepat menuju ke ruang guru begitu sampai di sekolah Dhira dan Dharu. Renata memang menghubungi Dean, agar pria itu bisa melindungi Kasih, serta tahu apa yang dilakukan Kanaya ke Kasih.Dean masuk ke ruang guru, lantas secepat kilat menghampiri Kasih yang duduk dengan ekspresi wajah terkejut menatapnya.“Kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?” tanya Dean yang sangat panik. Dia mengecek tubuh sang istri apakah ada luka.“Aku baik-baik saja, De.” Kasih mencoba menenangkan istrinya.Kanaya terkejut melihat Dean di sana. Dia tidak pernah tahu jika Dean menikah dengan Kasih, karena pernikahan keduanya dilakukan secara tertutup dan hanya orang tertentu saja yang diundang.Renata melihat wajah panik Kanaya, lantas memberi isyarat ke Dean untuk menoleh ke pelaku yang mencoba menabrak Kasih.Dean menoleh ke Kanaya, tatapan tidak senang tersirat jelas dari sorot mata pria itu saat melihat Kanaya.Hingga beberapa saat kemudian, seorang pria masuk ke ruang guru, membuat semua ora
Renata benar-benar geram melihat siapa yang keluar dari mobil. Sungguh tak paham dengan pemikiran seperti manusia itu.“Matamu sudah buta, hah! Ini lingkungan sekolah, bukan area balapan yang bisa kamu jadikan tempat ajang ugal-ugalan!”Renata mengamuk, membuat banyak orang akhirnya kini memperhatikan dirinya.Kasih mendekat lantas mencoba menarik Renata agar tidak terlibat masalah.“Sudah, Re. Aku juga baik-baik saja, tidak apa.” Kasih mencoba menjauhkan Renata.“Tidak bisa, Kak. Dia sengaja melakukannya!” Renata tetap saja tidak terima.Kanaya tersenyum miring melihat Renata marah, lantas melirik ke Kasih yang mencoba mengajak pergi Renata.“Tolong! Apa anaknya sekolah di sini? Apakah begini adab di dalam sekolah!” Renata berteriak keras, meminta pendapat para orang tua di sana.“Jika manusia seperti ini, berkeliaran dan ugal-ugalan di area sekolah, kemudian menabrak salah satu dari anak kalian, apa kalian akan terima?” Renata menatap satu persatu orang tua yang ada di sana.Para or
“Maaf ya, Re. Aku sekarang jadi sering merepotkanmu.” Kasih menatap tak enak hati karena terus meminta bantuan Renata untuk menemaninya.“Tidak apa. Seperti kayak siapa saja. Dulu aku sering sekali merepotkan Kakak, sekarang anggap saja aku sedang membalasnya,” balas Renata tidak masalah jika sering menemani Kasih.Kasih terharu mendengar balasan Renata, lantas merangkul tangan ibu tiga anak itu untuk jalan.“Kamu tidak dimarahi Bibi karena sering meninggalkan Aldric, kan?” tanya Kasih sambil berjalan.Kasih ingin jalan-jalan karena bosan di apartemen, tapi tidak berani pergi sendiri, sehingga mengajak Renata.“Bukan marah, yang ada Mama malah senang karena Aldric aku tinggalkan sama Mama. Katanya kalau aku di rumah, Aldric akan banyak bersamaku,” jawab Renata diakhiri tawa kecil.Kasih ikut tertawa mendengar jawaban Renata.“Oh ya, tapi nanti siang aku jemput anak-anak sekalian ga apa-apa, kan?” tanya Renata kemudian.“Tentu saja, aku malah senang bisa ikut menjemput mereka,” balas K
“Tampaknya Kasih hanya dekat denganmu di sini.” Renata menoleh ketika mendengar Margaret bicara. Dia melihat mertuanya itu berjalan masuk kamar menghampiri dirinya. “Iya, Ma. Karena kata Evan, Kak Kasih memang tidak memiliki teman di sini,” ujar Renata menjelaskan. Renata sedang menyusui Aldric, lantas menatap Margaret yang duduk di tepian ranjang memperhatikan dirinya. “Hm … ya, Mama jadi ingat saat pertama kali melihatnya. Dia pendiam bahkan mama lihat tidak pernah bergaul dengan mahasiswa lain,” ujar Margaret karena memang dulu pernah menyelidiki siapa Kasih, sebab Evan berkata menyukainya. Margaret tiba-tiba menatap Renata dengan cepat, hingga kemudian kembali berkata, “Kamu jangan salah paham. Mama bicara begini bukan apa-apa, hanya ingin bicara sesuatu yang mama tahu.” Renata tertawa kecil melihat mertuanya salah tingkah. Dia pun kemudian membalas, “Tenang saja, Ma. Baik aku atau Evan, sama-sama sudah menganggap itu masa lalu. Lagi pula hubungan kami baik, jadi Mama jangan