Renata mematung menatap isi yang ada di ruangan itu. Kakinya melangkah pelan, sebelum akhirnya berhenti tepat di tengah ruangan.“Kamu yakin tidak masalah? Aku akan tidur di hotel jika memang kamu kurang nyaman,” ucap Evan sambil menatap Renata yang diam.Renata setuju menginap karena tawaran Veronica. Dia meminta Evan sekamar dengannya karena merasa lebih aman bersama pria itu.“Jika kamu pergi, aku malah tidak akan nyaman di sini,” ucap Renata sambil memutar badan. Ditatapnya Evan yang awalnya berdiri di belakangnya.Evan mengangguk paham akan ucapan Renata.“Ini kamarmu?” tanya Evan kemudian. Dia menebak karena melihat ada foto Renata di meja belajar yang terdapat di sana.“Ya,” jawab Renata.Renata berjalan menuju meja belajarnya. Dia menyentuh meja itu, bersih tanpa debu menandakan jika meja itu bahkan kamar itu dibersihkan setiap hari.“Ternyata tidak ada yang berubah,” gumam Renata sambil memandangi seluruh kamarnya.Kamar itu masih sama dengan tujuh tahun lalu saat Renata meni
“Re!”Renata menoleh karena ada yang memanggil. Kevin yang terkejut lantas menarik tangannya dan urung mendorong Renata.Ternyata Evan keluar dari kamar. Dia langsung memanggil Renata agar menoleh ketika melihat Kevin yang hendak mendorongnya.Evan berjalan dengan langkah penuh wibawa. Tatapannya tajam, tapi ada senyum yang ditujukan ke Renata.Kevin terkejut melihat Evan, lantas memperhatikan pria itu dari ujung kaki hingga kepala. Sampai akhirnya melirik Renata, ternyata keponakannya itu berbohong jika pria yang akan menikahinya seorang pria tua.“Ada apa? Aku baru mau mengambil pesanan bajumu,” kata Renata sambil menunjuk ke lantai bawah.“Aku bosan di kamar, jadi keluar saja,” balas Evan, lantas melirik Kevin yang terlihat kesal.“Hm … ayo.” Renata mengajak Evan turun.Sebelum turun, Evan menatap tajam Kevin, tentu saja dia melihat apa yang hendak dilakukan Kevin. Dari tatapan matanya seolah mengisyaratkan jika dia sedang mencoba memperingatkan Kevin agar tidak menyentuh Renata.R
Beberapa tahun yang lalu.“Apa karena kamu sudah menikah, jadi kamu berhak menguasai perusahaan!” Suara Kevin begitu lantang ketika berdebat dengan Kenzi—ayah Renata.“Bukan seperti itu, Kev. Dengar penjelasanku dulu.” Kenzi mencoba bersikap sabar menghadapi adiknya itu.“Apa? Jangan hanya karena Mama memberikan kedudukan tinggi kepadamu, lalu kamu bisa seenaknya saja menginjak harga diriku!” amuk Kevin lagi.Kenzi memijat kepala yang pusing karena amukan sang adik. Hanya karena posisi jabatan di perusahaan, bisa membuat sang adik semurka ini.“Jika kamu sudah layak menduduki posisi itu, aku akan memberikannya kepadamu. Kamu jangan banyak berpikir, apalagi merasa aku menginjakmu,” ujar Kenzi menjelaskan.Kevin tersenyum miring, tentu saja dia tidak akan percaya begitu saja dengan sang kakak yang dianggap saingan olehnya.“Apa kamu pikir aku akan percaya? Kamu memang menginginkan posisi itu untuk mendepakku bukan? Jangan munafik, kamu merayu Mama agar mendapatkan posisi itu, aku tahu i
“Anda jangan sering marah-marah, Tuan. Nanti semakin cepat tua.” Pembantu itu memijit kedua pundak Kevin yang baru saja selesai makan.“Bagaimana aku tidak marah, jika Renata mendadak datang bahkan menginap dan mengambil perhatian Mama,” geram Kevin.“Iya, saya tahu. Tapi dia bilang tidak ada niat kembali, paling besok sudah pergi. Anda jangan cemas lagi,” ujar pembantu itu membujuk.Kevin tetap marah, baginya kehadiran Renata adalah sebuah masalah.Pembantu itu melirik Kevin yang masih marah. Selama ini dia memang bisa bertahan dan betah karena mendapat perlakukan khusus dari Kevin, apalagi Kevin juga menginginkannya.“Tuan, ibu saya di kampung sakit-sakitan. Saya butuh uang, apa Anda bisa memberi saya, tidak banyak kok.” Pembantu itu mulai merayu, apalagi tadi memberikan informasi yang penting untuk Kevin.Kevin melirik pembantu itu, hingga kemudian tersenyum miring.“Aku sedang kesal dan butuh hiburan. Layani aku dulu nanti aku beri uang yang kamu minta,” kata Kevin yang selama ini
Renata naik ke lantai dua setelah pembantu rumah tangga yang dilihatnya tadi masuk ke dapur. Mungkin untuk kembali ke kamarnya. Saat sampai di lantai atas, Renata menghentikan langkah karena melihat Kevin keluar dari kamar.Renata menyipitkan mata saat melihat Kevin yang terlihat sangat bahagia, padahal tadi terus marah-marah. Dia pun mencoba mengabaikan sang paman, berjalan menuju kamar tapi langkah terhenti saat sang paman menegurnya.“Dari mana kamu?” tanya Kevin sedikit ketus.Renata menoleh sambil memasang wajah malas, ditatapnya Kevin yang memandangnya benci.“Tentu saja dari ….” Renata ingin berkata dari kamar Veronica, tapi ingat pesan sang oma, membuat Renata urung mengatakannya. “Ambil minum di dapur, kenapa? Ga boleh?”Renata pun bicara tak kalah ketus ke Kevin.Kevin geram mendengar Renata yang berani kepadanya, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena ada Evan di rumah itu.“Ini bukan rumahmu, jadi berhenti bertingkah seolah kamu masih anggota keluarga ini. Ingat, saat
“Sudah siap?” tanya Evan ketika mereka baru saja bersiap untuk pergi.Renata masih memandangi kamar itu. Dia menarik napas panjang dan menghela perlahan, lantas menoleh Evan yang menunggunya.“Sudah.”Renata dan Evan keluar dari kamar bersamaan, hingga saat akan turun ke bawah, mereka berpapasan dengan Kevin yang baru keluar dari kamar.Kevin menatap benci ke Renata, hingga kemudian melontarkan pertanyaan. “Kapan kamu mau pergi, kamu tidak diterima di rumah ini!”“Ini rumah Oma, aku tidak butuh pendapatmu untuk berada di sini. Jika Oma tidak mengizinkan aku datang, saat itu aku tidak akan menginjakkan kaki di rumah ini,” ketus Renata untuk membalas ucapan Kevin.“Kamu semakin berani bicara, hah!” Kevin geram karena Renata membantah.“Tentu saja, aku bukan anak kecil yang bisa kamu tindas. Aku mengalah dengan pergi dari rumah, tapi tidak kali ini,” balas Renata kemudian menggandeng tangan Evan dan mengajak turun.Kevin benar-benar geram, merasa jika Renata berani karena memiliki penduk
Veronica pergi ke sebuah restoran bintang lima bersama orang kepercayaannya. Siang itu dia datang ke sana karena sudah membuat janji untuk bertemu dengan seseorang. Veronica menunggu dengan sabar, sebab tahu jika orang yang ingin ditemuinya memiliki banyak pekerjaan. Sepuluh menit menunggu, akhirnya orang yang semalam dihubungi Veronica datang. Pria berpakaian formal dengan koper di tangannya langsung membungkuk memberi hormat ke Veronica. “Maaf saya terlambat, Nyonya. Tadi harus menyiapkan berkas dulu, karena semalam Anda menghubungi sangat mendadak,” ucap pria itu yang ternyata seorang pengacar. “Tidak masalah, aku juga baru saja datang. Silakan duduk.” Veronica mempersilakan pengacara kepercayaannya itu untuk duduk. Pria itu duduk berhadapan dengan Veronica, membuka koper dan mengeluarkan berkas kemudian meletakkan di meja. “Apa aku bisa merekamnya juga? Sebagai bukti atas apa yang akan aku ucapkan dan agar kamu tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk mengubah isi pesan yang aku
“Mama boleh ga Dhira sama Dharu tinggal di sini?” tanya Dhira saat berada di kamar bersama Renata.Renata terkejut dan menatap Dhira dengan dahi berkerut halus dan tampak jelas ekspresi wajahnya menunjukkan sedang bingung.“Memangnya kenapa Dhira tiba-tiba ingin di sini?” tanya Renata.“Tadi Oma nawarin, apa kami mau di sini. Karena di sini juga ada Oma da Opa, jadi kalau Mama kerja, kami ada yang jaga,” jawab Dharu.Renata menoleh ke Dharu sekilas, sebelum kembali menatap Dhira.“Dhira suka di sini, Ma. Di sini enak, rumahnya luas buat Dhira kalau mau main. Terus Oma ternyata baik dan sayang sama kami,” timpal Dhira.Renata terlihat berpikir sejenak, hingga kemudian mengusap rambut Dhira dengan lembut.“Nanti kita bahas ini sama Papa. Kalian sekarang istirahat dulu, ya.”Renata tidak ingin mengambil keputusan yang gegabah, karena banyak yang harus dipertimbangkan.**Renata keluar dari kamar anak-anak setelah keduanya tidur. Saat akan kembali ke kamarnya, dia bertemu dengan Margaret.