Halo, jangan lupa komennya ya. yang belum kasih ulasan, boleh dong bintang lima dan kesan tentang cerita ini. terima kasih
“Mama boleh ga Dhira sama Dharu tinggal di sini?” tanya Dhira saat berada di kamar bersama Renata.Renata terkejut dan menatap Dhira dengan dahi berkerut halus dan tampak jelas ekspresi wajahnya menunjukkan sedang bingung.“Memangnya kenapa Dhira tiba-tiba ingin di sini?” tanya Renata.“Tadi Oma nawarin, apa kami mau di sini. Karena di sini juga ada Oma da Opa, jadi kalau Mama kerja, kami ada yang jaga,” jawab Dharu.Renata menoleh ke Dharu sekilas, sebelum kembali menatap Dhira.“Dhira suka di sini, Ma. Di sini enak, rumahnya luas buat Dhira kalau mau main. Terus Oma ternyata baik dan sayang sama kami,” timpal Dhira.Renata terlihat berpikir sejenak, hingga kemudian mengusap rambut Dhira dengan lembut.“Nanti kita bahas ini sama Papa. Kalian sekarang istirahat dulu, ya.”Renata tidak ingin mengambil keputusan yang gegabah, karena banyak yang harus dipertimbangkan.**Renata keluar dari kamar anak-anak setelah keduanya tidur. Saat akan kembali ke kamarnya, dia bertemu dengan Margaret.
“Mama pergi menemui pengacara?”Pagi itu, Kevin langsung melontarkan pertanyaan itu ke Veronica, saat mereka sedang sarapan bersama.“Apa tidak boleh? Mama hanya mengajaknya makan siang,” balas Veronica yang masih bersikap tenang.“Setelah Renata pulang, Mama tiba-tiba menemui pengacara. Apa yang sebenarnya Mama rencanakan?” tanya Kevin menatap curiga.Veronica menatap Kevin yang terlihat tidak senang. Dia sendiri tidak terkejut Kevin mengetahui, karena yakin putranya itu pasti mengawasi dirinya.“Tidak ada yang mama rencanakan. Ambisimu yang berlebih, membuatmu selalu berpikiran negatif,” balas Veronica dengan tatapan tajam ke Kevin.Kevin mengepalkan telapak tangan. Dia curiga dan tidak akan menepis kecurigaan itu karena ketakutannya akan kehadiran Renata.**Renata dan Margaret ke butik bersama anak-anak saat siang hari. Dhira dan Dharu sangat senang karena kedua orangtua mereka akhirnya akan menikah, sesuai dengan keinginan mereka, dan merasa jika misi mereka berhasil.“Apa Dhira
Margaret terlihat tidak senang, tapi juga tidak bisa menghindar begitu saja. Renata memperhatikan wanita yang baru datang itu, kemudian menyadari jika Margaret terlihat tidak nyaman.“Lama sekali kamu tidak berkunjung ke rumah?” tanya wanita itu lagi.Margaret malas membalas pertanyaan yang terlontar karena wanita itu tahu jelas alasannya.Renata pun penasaran, siapa sebenarnya wanita itu dan kenapa Margaret tidak senang.Wanita itu mengamati Renata kemudian Dhira dan Dharu, bahkan tanpa permisi langsung duduk di kursi kosong sebelah Renata.“Kamu siapa? Perkenalkan, aku Firda. Kakak iparnya Margaret,” kata wanita bernama Firda itu.Renata terkejut dan bingung, kemudian mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri.“Renata,” balas Renata kemudian melirik Margaret.“Kamu. Anak temannya Margaret?” tanya Firda, “apa mereka anak-anakmu, lucu-lucu sekali.” Firda memandang Dhira dan Dharu yang menggemaskan.Dhira melebarkan senyum disebut lucu, sedangkan Dharu mengangguk sopan.“Saya--” Renat
“Kita mau ke mana?” tanya Renata bingung.Siang tadi Evan meminta Renata memilih gaun, lalu malamnya mengajak keluar menggunakan itu, tanpa memberitahu ke mana tujuan mereka.“Ke pesta perusahaan Keysha,” jawab Evan sambil terus menyetir.Renata tentu saja terkejut, kenapa Evan mengajaknya ke pesta perusahaan.“Kenapa kamu mengajakku?” tanya Renata yang sebenarnya tidak ingin bertemu Keysha yang tidak menyukai dirinya.“Kamu calon istriku, kalau bukan mengajakmu, lalu aku suruh mengajak siapa?” Evan membalikkan pertanyaan Renata.Renata membuka suara untuk membalas, tapi urung karena apa yang dikatakan Evan memang benar.“Aku tidak mau pergi sendiri, atau Keysha akan mencoba mendekatiku. Di pesta seperti itu, akan sulit untukku menghindar,” ujar Evan menjelaskan.Renata merasa ucapan Evan ada benarnya juga. Dia menatap jalanan yang mereka lewati, hingga kembali bicara.“Aku hanya tidak suka melihat tatapannya yang seolah merendahkanku,” ucap Renata mengemukakan alasan tidak ingin bert
“Kupikir kamu marah kepadaku. Kamu pergi tanpa pamit, tidak membalas pesanku.” Renata menatap Stef yang kini sedang berdansa dengannya.Stef tersenyum getir mendengar ucapan Renata. Tentu saja dia marah karena Renata lebih memilih Evan. Dia berusaha memutus kontak dengan maksud bisa melupakan Renata, tapi malah melihat malam lagi malam ini, membuat Stef tidak bisa menahan diri.“Aku hanya sedang sibuk,” ucap Stef membalas Renata. Dia tersenyum hangat ke Renata, menatap lekat dari jarak yang sangat dekat.Renata terdiam, dia tahu bukan hanya itu alasan Stef mengabaikan pesannya. Namun, karena tidak ingin memicu masalah jika bertanya lebih dalam, membuat Renata memilih tidak bertanya lagi.“Hubunganmu dengan Evan sangat dekat sekali, bahkan kamu sampai jauh-jauh datang ke sini menemaninya ke pesta,” ucap Stef karena belum tahu jika Renata akan menikah dengan Evan.“Stef.” Renata menatap Stef yang merengkuhnya, tapi saat akan bicara, Stef memutar tubuh Renata sebagai salah satu gerakan d
Keysha kesal karena pelayan tadi tidak kunjung membawa Evan ke kamar yang sudah dipesannya. Akhirnya dia berpikir untuk melihat ke tempat pesta apakah pelayan tadi sudah melaksanakan tugasnya.Keysha pergi ke ballroom, di sana masih banyak tamu yang hadir dan Keysha malah tadi meninggalkan karena ingin menjebak Evan. Dia mengedarkan pandangan tapi tidak melihat Evan di ballroom itu.“Di mana dia?” Keysha mengedarkan pandangan tapi tidak mendapati Evan atau Renata di sana. “Sial, apa Renata tahu dan menggagalkan rencanaku?”Keysha geram dan kesal karena rencananya gagal, akhirnya dia membaur dengan para tamu lagi karena ada yang menyapanya.Sama halnya dengan Keysha, Stef pun mencari keberadaan Renata. Sahabatnya itu tiba-tiba hilang begitu saja tanpa pamit, bersamaan dengan kakak sepupunya yang tidak terlihat di sana.**Renata berada di kamar. Tubuhnya lelah dan terasa sakit karena perlakuan Evan yang sedikit kasar. Napasnya masih tersengal, bahkan dada sampai naik turun tak beratura
Margaret dan Edward menemui tamu yang dimaksud, hingga keduanya terkejut melihat siapa yang datang.“Maaf kalau datang sepagi ini, entah kenapa aku tiba-tiba ingin datang dan menyapa kalian,” ucap Damar dengan senyum palsunya.Margaret langsung memasang wajah masam melihat sang kakak datang ke sana, setelah bertahun-tahun tidak pernah berinteraksi, kini sang kakak datang ke sana, dan tentunya Margaret bisa menebak, jika Damar ke sana dengan suatu maksud.“Tidak masalah, kami juga tidak terlalu repot,” balas Edward yang tahu jika istrinya pasti malas menyapa Damar.Mereka duduk bersama, Margaret menunjukkan rasa tidak senangnya ke Damar.“Di mana Evan? Jam segini dia belum berangkat bekerja, bukan?” tanya Damar berbasa-basi.Margaret langsung memicingkan mata mendengar sang kakak menyebut nama Evan.“Untuk apa kamu menanyakannya? Bukankah sejak dulu juga kamu tidak suka dia? Dia lahir saja kamu tidak datang, sekarang kamu mau sok perhatian dengannya!” amuk Margaret kesal.Edward langsu
Margaret duduk di tepian ranjang dengan ekspresi wajah cemas. Kedatangan Damar ke rumah memang membuat hubungan antara Damar dan Margaret kembali menegang.“Sudah, jangan pikirkan kedatangan kakakmu tadi,” kata Edward mencoba menenangkan.Edward sampai tidak berangkat ke kantor, karena mencemaskan Margaret jika ditinggal sendiri.“Bagaimana tidak memikirkan? Papa tahu sendiri, setiap dia datang, buntutnya pasti akan ada masalah,” kata Margaret sambil mengusap wajahnya kasar.Edward tidak bisa membantah hal itu. Keserakahan Damar membawa kehancuran antar saudara.“Evan!” Margaret tiba-tiba teringat dengan Evan.“Bagaimana kalau dia menyakiti Evan, makanya Evan dan Renata belum pulang?” Margaret tiba-tiba berpikiran buruk akan hal itu.Edward terkejut mendengar ucapan Margaret, saat hendak membalas, ponsel Margaret berdering dan nama Evan terpampang di sana.“Syukurlah, dia menghubungi.” Margaret buru-buru menjawab panggilan itu.“Van, kamu di mana? Kenapa semalaman tidak pulang? Apa ka
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Kasih melahirkan dengan cara cesar. Kini Kasih sudah dipindah ke ruang inap, tapi bayinya masih dalam pemantauan dokter di ruangan khusus perawatan bayi. “Syukurlah semua berjalan dengan lancar,” ucap Liliana penuh kelegaan melihat Kasih baik-baik saja. “Kita akhirnya punya cucu.” Jefrine merangkul istrinya, terlihat tatapan penuh kebahagiaan di mata pria itu. Dean melihat tatapan berbeda dari sang papa ke sang mama. Tatapan yang dianggapnya sudah lenyap sejak bertahun-tahun lamanya. “Kamu sudah menghubungi ibunya Kasih?” tanya Liliana yang ingat ke besannya itu. “Sudah, Ma. Ibu bilang akan datang secepatnya naik kereta, jadi butuh waktu ke sini,” jawab Dean. “Iya ga papa, terpenting kamu sudah mengabarinya,” ujar Liliana. Renata dan Evan senang melihat kebahagiaan Dean. Akhirnya bisa melihat pria itu bisa tersenyum penuh kelegaan dan bahagia. “Kami pulang dulu, kalau nanti Kak Kasih bangun dan tanya, katakan kami akan datang besok,” ujar R
“Benarkah? Ini berita yang sangat bagus.”Renata begitu senang mendengar Kasih dan Dean akhirnya berbaikan dengan Jefrine.Malam itu Kasih dan Dean mengajak makan malam Evan juga Renata, tentu saja untuk merayakan kebahagiaan keduanya yang kini sudah berbaikan dengan orang tua Dean.“Ya, kami pun tak menyangka. Kupikir bertemu dengan Papa akan membuat kami kembali bertengkar hebat. Namun, siapa sangka jika kemarin malam adalah malam yang benar-benar di luar dugaanku,” ujar Dean menjelaskan.Renata paham maksud Dean, hingga kemudian membalas, “Terkadang kita terlalu takut akan pemikiran kita sendiri. Kita merasa jika orang yang membenci kita, benar-benar akan terus membenci kita selamanya. Tapi siapa sangka jika ketakutan itu tidak benar, nyatanya papamu mau meminta maaf dulu.”“Benar, sama seperti Mama saat dulu tak suka Renata. Tiba-tiba saja datang dan meminta maaf, lalu menerima hubungan kami. Bukankah terkadang kita yang terlalu takut untuk memperbaiki kesalahan, hingga menunggu o
Dean dan yang lain terkejut saat melihat siapa yang kini berdiri memandang mereka, bahkan Liliana langsung berdiri karena panik.Dean langsung memalingkan wajah, seolah tak sudi melihat pria yang kini berdiri memandang dirinya.Kasih sendiri mengalihkan pandangan ke Dean, melihat suaminya yang terlihat tidak senang dan tidak nyaman.“Kamu sudah pulang. Kupikir kamu akan pulang minggu depan,” ujar Liliana dengan wajah panik.Jefrine—ayah Dean, menatap istrinya yang sudah berdiri dengan sikap kebingungan.“Mumpung kamu di sini, ada yang ingin kubicarakan denganmu,” ujar Jefrine sambil menatap Dean.Kasih langsung memandang suaminya, terlihat jelas jika Dean benar-benar tertekan.Jefrine menunggu Dean bicara, hingga sekilas melirik ke Kasih.“Hanya sebentar,” ucap pria itu kemudian.Dean menghela napas kasar, hingga akhirnya berdiri lantas memandang ke arah Jefrine.“Aku juga merasa perlu menyelesaikan sesuatu denganmu,” ucap Dean yang tak mau bersikap sopan ke pria yang dianggapnya buru
Dean akhirnya setuju pergi makan malam ke rumah orang tuanya. Dia dan Kasih kini berada di mobil menuju rumah Liliana.Kasih menoleh Dean, melihat suaminya terlihat serius menyetir. Sebelumnya Dean tidak memberi keputusan apakah mau datang makan malam di rumah orang tuanya, tapi tiba-tiba saja sore ini Dean meminta Kasih bersiap.“De, kamu tidak apa-apa, kan? Kalau memang masih tidak bisa, kita tidak usah datang. Mama juga pasti maklum kalau dijelaskan,” ujar Kasih yang tidak tega memaksa suaminya pulang.Kasih tahu bagaimana suaminya itu berjuang melawan sang papa. Dia sendiri tidak pernah menyalahkan sikap Dean yang membenci ayahnya, semua tak terlepas dari perbuatan ayah Dean di masa lalu, yang membuat Dean memilih membenci sang ayah.Deon menoleh Kasih, melihat istrinya itu terlihat cemas.“Aku tidak apa-apa. Sejak kita menikah, aku juga belum pernah melihat Mama. Ya, aku sadar jika membenci Papa, tapi Mama tidak salah sama sekali, jadi kupikir tidak ada salahnya berkunjung, selam
“Kamu benar-benar tidak apa, kan? Bagaimana calon bayi kita? Dia tidak kaget, kan?”Dean sangat mencemaskan kondisi Kasih. Bahkan kembali memastikan saat sudah sampai apartemen.“Aku baik-baik saja, De. Serius.” Kasih mencoba meyakinkan jika dirinya baik-baik saja.Dean memandang Kasih. Dia sedih karena sang istri mendapat perlakukan tidak baik berulang kali.“Apa kita pindah saja. Kita ke tempat Ibu saja,” ujar Dean. Dia tidak bisa terus menerus panik karena istrinya beberapa kali hampir celaka.Kasih terkejut mendengar ucapan Dean. Jarak rumah ibu Kasih dan kota tempat mereka tinggal cukup jauh. Kasih tidak tega jika Dean harus bolak-balik menempuh jarak yang jauh.“Tidak apa, De. Aku janji akan hati-hati lagi. Lagian aku kalau pergi pasti bersama Renata, jadi ada yang melindungiku. Tadi saja memang mengalami kejadian tak terduga, tapi serius aku baik-baik saja,” balas Kasih mencoba meyakinkan.Dean menatap sendu. Dia sibuk bekerja sampai tidak bisa menemani istrinya pergi atau seka
Dean berjalan cepat menuju ke ruang guru begitu sampai di sekolah Dhira dan Dharu. Renata memang menghubungi Dean, agar pria itu bisa melindungi Kasih, serta tahu apa yang dilakukan Kanaya ke Kasih.Dean masuk ke ruang guru, lantas secepat kilat menghampiri Kasih yang duduk dengan ekspresi wajah terkejut menatapnya.“Kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?” tanya Dean yang sangat panik. Dia mengecek tubuh sang istri apakah ada luka.“Aku baik-baik saja, De.” Kasih mencoba menenangkan istrinya.Kanaya terkejut melihat Dean di sana. Dia tidak pernah tahu jika Dean menikah dengan Kasih, karena pernikahan keduanya dilakukan secara tertutup dan hanya orang tertentu saja yang diundang.Renata melihat wajah panik Kanaya, lantas memberi isyarat ke Dean untuk menoleh ke pelaku yang mencoba menabrak Kasih.Dean menoleh ke Kanaya, tatapan tidak senang tersirat jelas dari sorot mata pria itu saat melihat Kanaya.Hingga beberapa saat kemudian, seorang pria masuk ke ruang guru, membuat semua ora
Renata benar-benar geram melihat siapa yang keluar dari mobil. Sungguh tak paham dengan pemikiran seperti manusia itu.“Matamu sudah buta, hah! Ini lingkungan sekolah, bukan area balapan yang bisa kamu jadikan tempat ajang ugal-ugalan!”Renata mengamuk, membuat banyak orang akhirnya kini memperhatikan dirinya.Kasih mendekat lantas mencoba menarik Renata agar tidak terlibat masalah.“Sudah, Re. Aku juga baik-baik saja, tidak apa.” Kasih mencoba menjauhkan Renata.“Tidak bisa, Kak. Dia sengaja melakukannya!” Renata tetap saja tidak terima.Kanaya tersenyum miring melihat Renata marah, lantas melirik ke Kasih yang mencoba mengajak pergi Renata.“Tolong! Apa anaknya sekolah di sini? Apakah begini adab di dalam sekolah!” Renata berteriak keras, meminta pendapat para orang tua di sana.“Jika manusia seperti ini, berkeliaran dan ugal-ugalan di area sekolah, kemudian menabrak salah satu dari anak kalian, apa kalian akan terima?” Renata menatap satu persatu orang tua yang ada di sana.Para or
“Maaf ya, Re. Aku sekarang jadi sering merepotkanmu.” Kasih menatap tak enak hati karena terus meminta bantuan Renata untuk menemaninya.“Tidak apa. Seperti kayak siapa saja. Dulu aku sering sekali merepotkan Kakak, sekarang anggap saja aku sedang membalasnya,” balas Renata tidak masalah jika sering menemani Kasih.Kasih terharu mendengar balasan Renata, lantas merangkul tangan ibu tiga anak itu untuk jalan.“Kamu tidak dimarahi Bibi karena sering meninggalkan Aldric, kan?” tanya Kasih sambil berjalan.Kasih ingin jalan-jalan karena bosan di apartemen, tapi tidak berani pergi sendiri, sehingga mengajak Renata.“Bukan marah, yang ada Mama malah senang karena Aldric aku tinggalkan sama Mama. Katanya kalau aku di rumah, Aldric akan banyak bersamaku,” jawab Renata diakhiri tawa kecil.Kasih ikut tertawa mendengar jawaban Renata.“Oh ya, tapi nanti siang aku jemput anak-anak sekalian ga apa-apa, kan?” tanya Renata kemudian.“Tentu saja, aku malah senang bisa ikut menjemput mereka,” balas K
“Tampaknya Kasih hanya dekat denganmu di sini.” Renata menoleh ketika mendengar Margaret bicara. Dia melihat mertuanya itu berjalan masuk kamar menghampiri dirinya. “Iya, Ma. Karena kata Evan, Kak Kasih memang tidak memiliki teman di sini,” ujar Renata menjelaskan. Renata sedang menyusui Aldric, lantas menatap Margaret yang duduk di tepian ranjang memperhatikan dirinya. “Hm … ya, Mama jadi ingat saat pertama kali melihatnya. Dia pendiam bahkan mama lihat tidak pernah bergaul dengan mahasiswa lain,” ujar Margaret karena memang dulu pernah menyelidiki siapa Kasih, sebab Evan berkata menyukainya. Margaret tiba-tiba menatap Renata dengan cepat, hingga kemudian kembali berkata, “Kamu jangan salah paham. Mama bicara begini bukan apa-apa, hanya ingin bicara sesuatu yang mama tahu.” Renata tertawa kecil melihat mertuanya salah tingkah. Dia pun kemudian membalas, “Tenang saja, Ma. Baik aku atau Evan, sama-sama sudah menganggap itu masa lalu. Lagi pula hubungan kami baik, jadi Mama jangan