Renata masih terlelap dalam tidur, larut dalam buaian mimpi setelah seharian merasakan kesal yang bercokol di dada. Dia benar-benar tidur nyenyak, sampai tidak menyadari jika kini ada seseorang yang masuk kamarnya, berjalan mengendap ke ranjang hingga sekarang duduk di tepian ranjang, tepai di samping Renata berbaring.Pencahayaan yang remang karena hanya menyalakan lampu tidur, membuat orang yang masuk kamar tidak terlihat wajahnya. Orang itu mendekatkan wajah ke arah Renata, menatap lamat-lamat wajah Renat.“Selamat ulang tahun, Re.”Orang itu ternyata Evan. Pria itu masuk di tengah malam, mengendap tanpa menyalakan lampu dan kini berbisik mesra mengucapkan selamat ulang tahun di hari kelahiran sang istri.“Re.” Evan kembali berbisik agar Renata bangun.Renata sedikit menggerakkan kelopak mata ketika mendengar suara seseorang berbisik di telinga, belum lagi ada udara hangat yang menerpa leher, membuat bulu kuduknya berdiri.“Re.” Evan kembali menyebut nama Renata dengan lembut, saat
Evan masih terus memagut bibir Renata. Menyesap berulang kali bibir tak bertulang milik istrinya itu. Bahkan kini mendorong pelan tubuh Renata, membuat wanita itu berbaring terlentang dengan dirinya di atas.Mereka masih saling memagut, bahkan napas mereka terdengar memburu satu sama lain. Evan melepas pagutan bibir untuk mengambil oksigen sebanyak-banyaknya, begitu juga dengan Renata.Renata menatap Evan dengan dada naik turun tak beraturan sebab paru-paru sempat kehabisan oksigen. Dia menatap Evan yang ada di atas tubuhnya, melihat betapa tampannya suami yang sangat dirindukan.“Aku juga sangat merindukanmu, Re.” Evan bicara dengan napas yang tersengal, belum lagi gairah kini memuncak saat tubuh mereka saling bersentuhan.Evan memandang Renata yang mengulas senyum. Satu tangan menyingkirkan helaian rambut yang sedikit menutup wajah Renata.“Kalau begitu, obati rasa rindu ini agar tidak terus menyiksa dan membuatku ingin uring-uringan,” ucap Renata menyelipkan sedikit nada candaan di
“Kita sebenarnya mau ke mana?” tanya Renata keheranan.Evan benar-benar mengajak Renata pergi tanpa anak-anak. Bermaksud menghabiskan waktu berdua setelah lama keduanya sibuk dengan urusan masing-masing.“Ikut saja dan lihat kejutan yang sudah aku siapkan,” jawab Evan sambil terus mengemudi.Renata menatap suaminya yang menyetir sambil tersenyum, benar-benar tidak tahu kejutan apa yang sudah disiapkan suaminya. Evan pun masih tidak mau memberitahu meski Renata memaksa, bahkan memberi alasan ke anak-anak jika mereka harus mengurus bisnis, padahal mau liburan.“Aku cemas anak-anak akan kesepian di rumah,” ucap Renata sambil memperhatikan jalan yang mereka lewati.“Ada Sandra dan Oma, sekarang mereka juga sedang senang bersama Adam. Aku yakin jika mereka tidak akan kesepian,” balas Evan santai.“Dari mana kamu tahu?” tanya Renata sambil menatap Evan dengan kepala sedikit dimiringkan.“Ya, pasti tahu. Dhira sendiri yang bilang betah di sana karena ada Adam,” jawab Evan sambil menoleh seki
Evan mengajak Renata masuk ke kabin kamar mereka. Saat pintu dibuka, Renata benar-benar terkejut dengan isi kamar itu.Bagaimana tidak terkejut, kamar itu dihias sedemikian rupa. Bunga bertabur di atas ranjang yang dipasang sprei putih. Lilin terapi dengan aroma lavender menyeruak di hidung tatkala baru saja menginjakkan kaki di kamar. Ada ember berisi sampanye juga hidangan yang sudah tersaji di atas meja berbentuk bulat di dekat jendela.“Kamu yang meminta untuk menyiapkan ini semua?” tanya Renata terkagum-kagum.“Tentu saja,” jawab Evan sambil mengunci pintu.Renata masih menatap takjub tak percaya, hingga merasakan dua lengan kekar melingkar di perut, bahkan Evan menyandarkan kepala di pundak Renata.“Anggap ini ganti bulan madu kita. Setelah menikah, aku belum bisa mengajakmu berlibur, jadi anggap ini gantinya, hm ….” Evan mengecup pipi Renata setelah selesai bicara.Renata tersenyum mendapat perlakuan manis dan banyak kejutan dalam sekali waktu dari Evan. Dia memeluk kedua lenga
“Apa ada masalah? Sampai-sampai kami harus menghubungimu saat baru saja kembali?” tanya Evan sambil menatap Stef yang duduk berhadapan dengannya.“Ya, ga langsung menghubungi juga. Besok juga ga papa, aku mau menghubungi takut mengganggu, yang ada nanti terkena amukanmu,” balas Stef dengan santainya.Tentu saja ucapan Stef membuat Evan mendelik kesal. Bisa-bisanya sepupunya berkata dengan santai, sedangkan dia dan Renata sudah cemas terjadi sesuatu.“Kamu ini! Kami mencemaskanmu, tapi jawabanmu membuat kesal!” geram Evan yang hampir saja melempar serbet ke muka Stef.Renata menggenggam telapak tangan agar sabar, sungguh kakak dan adik sepupu ini kalau bertemu selalu saja bertengkar.“Aku sudah baik tidak menghubungi kalian karena tidak mau mengganggu liburan kalian. Bukankah wajar jika aku menitip pesan, karena memang ada yang ingin aku bahas. Ya, meski tidak harus langsung saat kalian baru datang juga,” ujar Stef menjelaskan.Evan benar-benar kesal dengan tingkah Stef, sepupunya itu
Renata dan Evan mengantar Stef di hari yang sudah ditentukan. Ternyata Stef ingin menemui keluarga ayah Mely terlebih dahulu sebelum mengajak orang tuanya ke sana.Stef hanya tidak ingin jika sampai orang tuanya terkejut, misal terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.“Apa kamu yakin ke sini tanpa Mely?” tanya Renata sedikit ragu. Dia hanya cemas jika keluarga Mely tidak berkenan.“Ya, aku hanya mengantisipasi, Re. Jika nanti orang tuanya mengatakan atau melakukan sesuatu yang tidak berkenan, setidaknya Mely tidak akan mendengar dan melihatnya,” jawab Stef penuh keyakinan.Apa yang dilakukan Stef sekarang bukan semata-mata tanpa dasar. Dia melakukan semua ini sebab Mely berkata hubungannya dengan keluarga sang ayah pun tidak baik-baik saja.“Ya sudah kalau kamu memang yakin ingin melakukan ini,” ujar Renata pada akhirnya.“Semoga semua berjalan dengan lancar, sesuai dengan yang diharapkan,” timpal Evan.Stef pun mengangguk, setelah mereka berdiskusi sejenak, ketiganya pun keluar dari mo
“Apa menurutmu rencana Stef menikahi Mely akan berjalan mulus?” tanya Renata ketika sudah di rumah bersama Evan.“Kenapa tidak?” Evan malah heran mendengar pertanyaan renata. “Apa karena sikap keluarganya?” tanya Evan kemudian.“Ya, itu salah satunya. Entah kenapa aku merasa jika kedatangan kita ke sana tadi, akan menyebabkan masalah,” ujar Renata sambil bersandar di dada Evan.Keduanya sedang berada di kamar, duduk di atas ranjang bercengkrama bersama.“Kenapa kamu berkata seperti itu?” tanya Evan benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang diucapkan Renata.“Entahlah, aku merasa tidak enak saja. Terutama karena sikap ayah Mely juga adik tirinya,” jawab Renata.Evan mengembuskan napas sedikit kasar, kemudan memeluk erat Renata.“Semoga ini hanya pikiranmu saja.”**Stef berdiri di depan kamar Mely. Dia mengetuk dua kali dan menunggu wanita itu membuka pintu.Stef belum memberitahu Mely atau orang tuanya jika baru saja menemui ayah Mely. Dia memang berencana untuk bicara dengan tena
“Istirahatlah dan jangan memikirkan atau mencemaskan apa yang kita bicarakan tadi. Percayalah jika aku akan mengurus semuanya,” ujar Stef saat baru saja mengantar Mely ke kamar.Mely mengangguk mendengar ucapan Stef. Dia memercayai apa pun yang dikatakan dan dilakukan oleh pria itu. Bukankah sampai sekarang hidupnya terjamin karena semua keputusan yang diambil Stef.Stef mengusap lembut pipi Mely, sebelum kemudian pergi meninggalkan wanita itu.Mely memandang punggung Stef yang sedang berjalan menaiki anak tangga. Dia bersyukur dicintai pria seperti Stef yang tidak memandang status. Namun, Mely juga selalu cemas karena hidupnya tak sebaik Stef.Mely pun masuk untuk beristirahat, hingga saat baru saja menutup pintu, kembali terdengar suara ketukan pintu, membuat Mely berpikir jika Stef melupakan sesuatu.Mely membuka pintu, terkejut saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya.“Sudah mau tidur?” tanya Hellen yang menemui Mely.“Belum, Bibi.” Mely menjawab sambil menggelengkan kepala.