“Apa menurutmu rencana Stef menikahi Mely akan berjalan mulus?” tanya Renata ketika sudah di rumah bersama Evan.“Kenapa tidak?” Evan malah heran mendengar pertanyaan renata. “Apa karena sikap keluarganya?” tanya Evan kemudian.“Ya, itu salah satunya. Entah kenapa aku merasa jika kedatangan kita ke sana tadi, akan menyebabkan masalah,” ujar Renata sambil bersandar di dada Evan.Keduanya sedang berada di kamar, duduk di atas ranjang bercengkrama bersama.“Kenapa kamu berkata seperti itu?” tanya Evan benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang diucapkan Renata.“Entahlah, aku merasa tidak enak saja. Terutama karena sikap ayah Mely juga adik tirinya,” jawab Renata.Evan mengembuskan napas sedikit kasar, kemudan memeluk erat Renata.“Semoga ini hanya pikiranmu saja.”**Stef berdiri di depan kamar Mely. Dia mengetuk dua kali dan menunggu wanita itu membuka pintu.Stef belum memberitahu Mely atau orang tuanya jika baru saja menemui ayah Mely. Dia memang berencana untuk bicara dengan tena
“Istirahatlah dan jangan memikirkan atau mencemaskan apa yang kita bicarakan tadi. Percayalah jika aku akan mengurus semuanya,” ujar Stef saat baru saja mengantar Mely ke kamar.Mely mengangguk mendengar ucapan Stef. Dia memercayai apa pun yang dikatakan dan dilakukan oleh pria itu. Bukankah sampai sekarang hidupnya terjamin karena semua keputusan yang diambil Stef.Stef mengusap lembut pipi Mely, sebelum kemudian pergi meninggalkan wanita itu.Mely memandang punggung Stef yang sedang berjalan menaiki anak tangga. Dia bersyukur dicintai pria seperti Stef yang tidak memandang status. Namun, Mely juga selalu cemas karena hidupnya tak sebaik Stef.Mely pun masuk untuk beristirahat, hingga saat baru saja menutup pintu, kembali terdengar suara ketukan pintu, membuat Mely berpikir jika Stef melupakan sesuatu.Mely membuka pintu, terkejut saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya.“Sudah mau tidur?” tanya Hellen yang menemui Mely.“Belum, Bibi.” Mely menjawab sambil menggelengkan kepala.
Mely turun ke lobi untuk menemui pria yang dimaksud resepsionis. Renata sendiri memilih ikut karena cemas jika sampai pria yang yang menemui Mely hendak berbuat jahat.Hingga saat baru saja menginjakkan kaki di depan ruang tunggu lobi. Renata dan Mely terkejut melihat siapa yang menunggu di sana.“Mel.” Ayah Mely berdiri menatap wanita itu.Renata memiliki firasat buruk, kenapa ayah yang tidak pernah menanyakan kabar serta memedulikan anaknya, kini malah mendatangai. Apalagi sebelumnya saat Renata datang bersama Stef dan Evan ke rumah, pria itu tampak tak acuh.“Ada apa Ayah ke sini?” tanya Mely yang terlihat waspada. Perasaannya ikut tidak enak karena kedatangan pria itu.Ayah Mely tersenyum penuh arti mendengar pertanyaan Mely, hingga tatapan pria itu tertuju ke Renata.“Apa kita bisa bicara berdua saja? Ada yang ingn Ayah bicarakan denganmu,” kata pria itu sekali lagi melirik Renata.Renata terlihat tidak senang, apalagi pria itu sangat mencurigakan.Mely menoleh Renata, tidak mung
Renata memantau Mely dari ruang security. Dia terus memantau, hingga mendengar apa yang dikatakan oleh ayah Mely.“Dia ini seorang ayah bukan? Bagaimana bisa mengatakan itu ke anaknya sendiri?”Renata geram sendiri, hingga memutuskan keluar dari ruang security, lantas pergi ke ruang rapat. Dia tidak akan membiarkan pria itu menekan Mely.Di ruang rapat. Mely menatap ayahnya dengan rasa tidak percaya, bagaimana bisa pria itu memintanya mengalah untuk adik tirinya. Selama ini dia cukup mengalah, hingga membuatnya menderita.“Mengalah? Ayah ingin aku mengalah?” Mely menatap kecewa ke sang ayahnya.“Apa salahnya kamu mengalah untuk adikmu?” Ayah Mely masih saja memaksa.Mely membuang napas dengan mulut, tertawa sumbang mendengar ucapan sang ayah. Jika dia dulu terus mengalah, sekarang tidak akan lagi, apalagi ini menyangkut tentang perasaan kepada pria yang mencintai dan dicintai.“Adik? Ayah bilang adik? Aku tidak punya adik yang selalu menjelekkan diriku! Aku tidak punya adik yang selal
Stef pergi ke lobi untuk menemui orang yang mencarinya. Dia mencoba menghubungi Mely, berpikir jika kekasihnya itu yang datang. Namun, sayangnya Mely tidak menjawab panggilan darinya, membuat Stef memilih melihat sendiri siapa yang datang.Pria itu baru saja keluar dari lift, berjalan ke bagian respsionis dan langsung ditunjukkan keberadaan wanita yang mencari.“Dia menunggu di ruang tunggu, Pak.” Resepsionis menjawab pertanyaan Stef sambil menunjuk ke ruang tunggu yang ada di bagian depan lobi.Stef mengangguk berterima kasih, kemudian berjalan menuju ke ruang tunggu. Dia memperlambat langkah saat melihat punggung yang tidak dikenalnya.“Maaf, Anda mencariku?” tanya Stef begitu sampai di ruang tunggu.Wanita yang mencari Stef menoleh, hingga membuat pria itu tahu siapa yang mencarinya.“Kamu?” Stef terkejut karena adik Mely datang ke perusahaan.“Hai, apa kita bisa bicara sebentar?”Stef mengerutkan alis mendengar pertanyaan wanita itu, belum lagi adik Mely itu terus tersenyum kepada
“Apa yang sebenarnya terjadi, hm?”Stef sudah sampai di kantor Renata setelah sebelumnya menghubungi sahabatnya itu. Dia langsung menghampiri Mely yang duduk di sofa.Mely menggelengkan kepala, merasa jika semua yang terjadi begitu mengejutkan untuknya.Renata memandang Stef yang begitu mencemaskan Mely. Evan kebetulan di sana dan kini berdiri di samping Renata.“Kalian bicaralah, kami keluar dulu beli makan siang,” ucap Renata mengajak pergi Evan, agar Stef bisa bicara berdua dengan Mely.Stef hanya mengangguk ke Renata, kemudian kembali menatap Mely.“Apa keluargamu menekanmu?” tanya Stef setelah Renata pergi bersama Evan.“Katakan sesuatu, aku ganti pertanyaan. Apa kamu meminta adikmu untuk menikah denganku?” tanya Stef mengganti pertanyaan untuk tahu apa yang terjadi dengan Mely.Mely sangat terkejut mendengar pertanyaan Stef, tatapan matanya tidak bisa berbohong jika memang sedang dalam kondisi tidak baik.“Siapa yang mengatakan itu?” tanya balik Mely.“Jawab dulu pertanyaanku.”
Renata berada di kamar bersama Evan. Dia duduk bersila di atas tempat tidur, sedangkan Evan berbaring menggunakan paha Renata untuk bantal.“Aku kasihan kepada Mely. Dia sudah mati-matian kerja sendiri, apa-apa sendiri. Tapi malah keluarganya seperti itu. Apalagi itu ayahnya sendiri, aku sampai tidak habis pikir,” ujar Renata sambil menyisir rambut Evan menggunakan jemari.“Begitulah manusia, kadang keserakahan membuat mereka tidak bisa membedakan mana yang baik dan tidak, sampai tidak berpikir apakah yang dilakukan akan menyakiti orang-orang sekitar atau tidak,” balas Evan.Renata menghela napas kasar, hingga kemudian menunduk dan menatap Evan yang sedang memandang dirinya.“Apa Dean mengabarimu? Kak Kasih menghubungi, mengatakan pesta resepsi pernikahan mereka dua minggu lagi,” kata Renata, “kita tidak mungkin tidak datang, kan?”“Dean tidak menghubungiku, mungkin karena tahu aku sibuk mengurus perusahaan juga sedang fokus memperbaiki infrastruktur perusahaanku dan Paman yang berant
Renata menemui Veronica setelah Evan kembali ke kotanya untuk mengurus perusahaan. Dia sudah memantapkan hati untuk melepas jabatannya.Sejak awal, Renata sendiri tidak pernah sama sekali berkeinginan untuk berada di perusahaan itu. Jiwanya menentang darah pebisnis yang mengalir di tubuhnya. Dia lebih memilih menjadi pemusik sesuai hati nuraninya.“Apa ada masalah?” tanya Veronica saat Renata datang menemui di ruang kerjanya.Renata tersenyum simpul mendengar pertanyaan sang oma. Dia pun memilih duduk di kursi yang berada di depan meja Veronica.“Tidak ada masalah, Oma. Aku hanya ingin membahas sedikit tentang hal pribadi,” ucap Renata menjawab pertanyaan Veronica.Wanita tua itu melepas kacamata yang digunakan, lantas memandang ke Renata yang masih terus memulas senyum.“Oma, apa yang akan aku katakan sekarang, mungkin akan menyinggung perasaan Oma. Namun, aku pun mengatakan ini agar tidak ada kesenjangan nantinya. Kuharap Oma paham dan tidak marah,” ujar Renata sebelum membicarakan