“Apa yang sebenarnya terjadi, hm?”Stef sudah sampai di kantor Renata setelah sebelumnya menghubungi sahabatnya itu. Dia langsung menghampiri Mely yang duduk di sofa.Mely menggelengkan kepala, merasa jika semua yang terjadi begitu mengejutkan untuknya.Renata memandang Stef yang begitu mencemaskan Mely. Evan kebetulan di sana dan kini berdiri di samping Renata.“Kalian bicaralah, kami keluar dulu beli makan siang,” ucap Renata mengajak pergi Evan, agar Stef bisa bicara berdua dengan Mely.Stef hanya mengangguk ke Renata, kemudian kembali menatap Mely.“Apa keluargamu menekanmu?” tanya Stef setelah Renata pergi bersama Evan.“Katakan sesuatu, aku ganti pertanyaan. Apa kamu meminta adikmu untuk menikah denganku?” tanya Stef mengganti pertanyaan untuk tahu apa yang terjadi dengan Mely.Mely sangat terkejut mendengar pertanyaan Stef, tatapan matanya tidak bisa berbohong jika memang sedang dalam kondisi tidak baik.“Siapa yang mengatakan itu?” tanya balik Mely.“Jawab dulu pertanyaanku.”
Renata berada di kamar bersama Evan. Dia duduk bersila di atas tempat tidur, sedangkan Evan berbaring menggunakan paha Renata untuk bantal.“Aku kasihan kepada Mely. Dia sudah mati-matian kerja sendiri, apa-apa sendiri. Tapi malah keluarganya seperti itu. Apalagi itu ayahnya sendiri, aku sampai tidak habis pikir,” ujar Renata sambil menyisir rambut Evan menggunakan jemari.“Begitulah manusia, kadang keserakahan membuat mereka tidak bisa membedakan mana yang baik dan tidak, sampai tidak berpikir apakah yang dilakukan akan menyakiti orang-orang sekitar atau tidak,” balas Evan.Renata menghela napas kasar, hingga kemudian menunduk dan menatap Evan yang sedang memandang dirinya.“Apa Dean mengabarimu? Kak Kasih menghubungi, mengatakan pesta resepsi pernikahan mereka dua minggu lagi,” kata Renata, “kita tidak mungkin tidak datang, kan?”“Dean tidak menghubungiku, mungkin karena tahu aku sibuk mengurus perusahaan juga sedang fokus memperbaiki infrastruktur perusahaanku dan Paman yang berant
Renata menemui Veronica setelah Evan kembali ke kotanya untuk mengurus perusahaan. Dia sudah memantapkan hati untuk melepas jabatannya.Sejak awal, Renata sendiri tidak pernah sama sekali berkeinginan untuk berada di perusahaan itu. Jiwanya menentang darah pebisnis yang mengalir di tubuhnya. Dia lebih memilih menjadi pemusik sesuai hati nuraninya.“Apa ada masalah?” tanya Veronica saat Renata datang menemui di ruang kerjanya.Renata tersenyum simpul mendengar pertanyaan sang oma. Dia pun memilih duduk di kursi yang berada di depan meja Veronica.“Tidak ada masalah, Oma. Aku hanya ingin membahas sedikit tentang hal pribadi,” ucap Renata menjawab pertanyaan Veronica.Wanita tua itu melepas kacamata yang digunakan, lantas memandang ke Renata yang masih terus memulas senyum.“Oma, apa yang akan aku katakan sekarang, mungkin akan menyinggung perasaan Oma. Namun, aku pun mengatakan ini agar tidak ada kesenjangan nantinya. Kuharap Oma paham dan tidak marah,” ujar Renata sebelum membicarakan
Renata baru saja selesai mandi. Dia baru saja keluar dari kamar mandi sambil mengusap rambutnya yang basah, hingga merasa perutnya bergejolak tidak nyaman.“Hmp ….” Renata menutup permukaan bibir ketika mual dan ingin sekali muntah.Berharap mualnya mereda jika ditahan, hal itu malah membuat Renata semakin ingin muntah. Dia kembali masuk kamar mandi, lantas berjongkok di depan closet dan mengeluarkan seluruh isi lambung yang diisinya beberapa jam lalu ketika makan siang.Saat Renata sedang muntah, Dhira ternyata masuk kamar ingin memanggil sang mama makan malam. Dia mendengar sang mama yang muntah, membuat Dhira cemas.“Mama sakit?” Dhira mengetuk pintu sambil menanyakan kondisi sang mama.Tidak ada jawaban dari dalam. Dhira masih terus mendengar Renata cemas hingga akhirnya membuat gadis kecil itu semakin cemas.Dhira berjalan ke ranjang. Mengambil ponsel sang mama dan menghubungi Evan.“Halo.” Suara Evan terdengar dari seberang panggilan.“Papa, Mama sakit. Dia muntah-muntah, Dhira
Evan buru-buru pulang ke rumah Veronica setelah mendapat kabar jika Renata sakit. Dia semakin cemas karena istrinya itu tidak bisa dihubungi, membuatnya berpikir jika Renata benar-benar sakit.Pukul delapan malam Evan baru sampai di rumah Veronica. Begitu masuk rumah bertemu dengan Sandra yang baru saja dari dapur.“Di mana Renata? Bagaimana kondisinya?” tanya Evan mencari tahu tentang kondisi sang istri agar menyiapkan hati jika memang Renata sakit atau yang lainnya.Sandra terkejut karena langsung diberondong pertanyaan, hingga menebak jika Evan belum tahu yang terjadi.“Dia baik-baik saja,” jawab Sandra. Tidak ingin langsung mengatakan yang terjadi, sebab yang berhak memberitahu pertama adalah Renata.“Kamu yakin? Tapi kenapa Dhira berkata kalau Renata muntah-muntah?” tanya Evan masih dengan kepanikan dan kecemasannya.“Kenapa tidak lihat sendiri? Aku yakin Renata pun senang melihatmu,” ucap Sandra kemudian.Evan akhirnya pamit naik ke lantai dua. Dia masuk dan melihat kamar dengan
Evan mengantar Renata ke rumah sakit di hari berikutnya. Tentu saja karena ingin memastikan bagaimana kondisi janin di kandungan sang istri.Tentu saja Dhira dan Dharu juga ikut. Keduanya sangat antusias ingin melihat seperti apa calon adik mereka.“Kalau ada adiknya, kenapa perut Mama kecil? Memangnya muat di sana?” tanya Dhira dengan polosnya. Dia sedang mengamati perut Renata, membayangkan jika tidak mungkin misal bayi akan muat di perut sang mama.Mereka berada di depan poliklinik menunggu antrian. Dharu geleng-geleng kepala mendengar pertanyaan Dhira, sedangkan Evan dan Renata menahan senyum.“Bayi tidak langsung besar, Dhira. Dia akan kecil dulu, terus nanti lama-lama besar sesuai dengan usianya. Seperti kamu dan Dharu, dulu hanya sekecil ini, kemudian besar dan lahir, lalu sebesar ini.” Renata menceritakan sambil membuat bentuk kecil dengan telunjuk dan jempol, lantas menepuk pucuk kepala saat berkata tentang Dhira besar.“Iyakah begitu?” tanya Dhira masih tidak percaya.Renata
“Pastikan kamarnya bersih. Lalu stok buah dan makanan kesukaan Renata juga disiapkan. Mereka akan pulang bersama calon anak mereka. Ya Tuhan, ini masih seperti mimpi.”Margaret begitu senang mendapat panggilan dari Evan. Apalagi putranya itu berkata jika Renata hamil dan mereka akan pulang.Renata dan Evan memutuskan untuk tinggal di rumah Margaret sampai memiliki rumah sendiri, apalagi Renata hamil dan butuh banyak perhatian.“Ada apa, Ma? Kenapa Mama sangat heboh?” tanya Edward yang baru saja pulang dan melihat istrinya sedang memerintah pelayan ke sana-kemari.Margaret menoleh suaminya yang baru saja pulang. Terlihat jelas raut kebahagiaan yang terpancar di wajah dan tidak bisa disembunyikan.“Sini duduk dulu, Pa. Mama punya kabar yang membahagiakan,” kata Margaret tak menghilangkan senyum di wajah.Edward pun duduk sambil memandang sang istri yang begitu bahagia, menunggu apa yang akan dibicarakan oleh istrinya itu.“Anak-anak dan Renata akan pulang, mereka akan tinggal lagi bersa
“Mama.”Dhira mengusap-usap pipi Renata agar sang mama bangun. Dia sangat cemas mengetahui Renata pingsan.Renata pingsan karena syok. Takut jika sampai Evan ikut menjadi korban kecelakaan beruntun seperti yang diberitakan di televisi.“Mama bangun.” Dhira terlihat begitu sedih melihat kondisi Renata yang seperti ini.Setelah memanggil beberapa kali, Renata akhirnya menggerakkan kelopak mata. Samar-samar mendengar suara Dhira memanggi, juga suara Margaret yang bicara ke seseorang.Kepala Renata terasa berdengung, suara-suara seolah memenuhi kepalanya. Dia berusaha membuka kelopak mata tapi begitu berat.“Kamu sudah sadar, Re.” Magaret duduk di tepian sofa, mengusap punggung tangan Renata agar merespon ucapannya.Renata masih berusaha membuka kelopak mata. Dhira terus bertanya apakah kondisi sang mama baik-baik saja.“Di mana Evan dan Dharu, mereka baik-baik saja ‘kan, Ma?” Renata langsung menanyakan dua orang tercintanya itu begitu membuka mata.Margaret tersenyum mendengar pertanyaan