Evan mengajak Renata pergi keluar hanya berdua. Mereka mencari penjual rujak yang diinginkan Renata.“Sepertinya sudah pada tutup, Re.” Evan mengamati sepanjang jalan yang dikatakan pembantu biasanya ada penjual rujak, tapi sudah mencari cukup jauh tetap tidak menemukan penjual yang diinginkan Renata.“Aku ga mau pulang kalau ga dapat.” Renata masih kekeh ingin makan rujak. Dia mengamati jalan dengan seksama, siapa tahu melihat penjual rujak.Evan terkejut mendengar Renata tidak mau pulang jika tidak mendapat yang diinginkan. Akhirnya membuat Evan harus berusaha keras mencarikan rujak untuk sang istri.“Kalau yang jual sudah pada pulang, bagaimana kalau beli buah sendiri nanti Simbok di rumah yang suruh bikin sambalnya?” Evan mencoba memberi penawaran, daripada mereka berputar-putar tidak jelas mencari tukang rujak.“Nggak mau, nanti rasa sambelnya beda.” Renata tetap menolak tawaran Evan.Evan mengembuskan napas frustasi, hari hampi malam, mana mungkin ada penjual rujak yang masih be
Evan baru saja bangun saat matahari sudah menyelinap masuk ke celah jendela. Saat membuka mata, Evan tidak melihat Renata di kamar, membuatnya buru-buru bangun karena berpikir Renata muntah di kamar mandi lagi.Namun, sang istri tidak ada di kamar mandi, membuat Evan akhirnya memilih keluar kamar hanya masih memakai piyama. Dia turun ke lantai bawah, di sana pun sepi tidak ada satu pun orang, kecuali pembantu yang sedang bersih-bersih.“Di mana Renata?” tanya Evan.“Non Rena sama anak-anak dan Nyonya jalan-jalan pagi,” jawab pembantu, “Anda mau saya buatkan kopi, Tuan?” tanya pembantu itu kemudian. Biasanya yang membuat Renata, tapi karena wanita itu sedang keluar, membuat pembantu berinisiatif menawari.“Ya, buatkan saja,” jawab Evan.Pembantu itu permisi ke dapur, sedangkan Evan berjalan keluar rumah untuk melihat apakah Renata dan yang lain sudah kembali.Evan berdiri di teras, memandang ke gerbang rumah hingga beberapa saat kemudian melihat Dhira dan Dharu yang berjalan dengan ria
Renata, Evan, dan anak-anak hari itu pergi menghadiri acara pernikahan Dean dan Kasih. Margaret dan Edward juga ikut serta sebagai keluarga dari pihak Dean.Renata menemui Kasih di ruang ganti khusus wanita. Di sana sahabat juga tutornya itu sedang dirias dan baru saja selesai memakai gaun pengantin.“Kak Kasih.” Renata menatap kagum ke Kasih.Kasih menoleh dan mengulas senyum melihat Renata. Dia senang melihat calon adik sepupu iparnya itu datang.“Kupikir kamu tidak akan datang,” ucap Kasih terlihat senang melihat kedatangan Renata.Renata mendekat, memandang gaun Kasih yang terlihat begitu mewah.Perias sudah selesai melakukan pekerjaan, kini meninggalkan Kasih bersama Renata.“Aku terlalu tua ya untuk mengadakan pesta pernikahan?” tanya Kasih sedikit berkecil hati. Diusianya yang sudah 30 tahun, baru akan menikah.“Siapa bilang? Memang menikah harus mandang umur?” Tentu saja Renata menyanggah ucapan Kasih.“Mau berapa pun usianya, lagi pula kapan orang akan menikah dan tidak, buka
Evan menghadiri rapat tahunan perusahaan rekan bisnis yang bekerjasama dengan perusahaannya. Sebagai salah satu pemegang saham di sana, tentunya Evan pun memiliki hak untuk hadir di sana.Semua orang sudah hadir dalam rapat itu, termasuk Keysha yang juga menghadiri karena memiliki saham di perusahaan itu.“Lama tidak berjumpa denganmu,” ucap Keysha sambil mengulurkan tangan ke Evan.Keysha tahu jika Evan tidak mungkin menolak jabat tangannya sebab akan banyak mata yang melihat.“Bertemu denganmu juga bukan harapanku,” balas Evan sambil menjabat tangan Keysha meski sedikit terpaksa.Keysha tersenyum masam mendengar balasan Evan. Dia memang tidak lagi memiliki muka untuk malu berhadapan dengan Evan. Keysha beruntung Evan tidak melaporkannya ke kantor polisi perihal hampir menjebak Evan agar tidur dengannya, sebab Evan tidak memiliki bukti kuat.Namun, hal itu tak lantas membuat Keysha mundur begitu saja. Kini bukan lagi obsesi yang menguasainya, tapi amarah, cemburu, juga iri yang meray
Renata berada di kamar makan mangga muda seperti biasa. Dia tidak akan bisa makan nasi jika tidak makan mangga terlebih dahulu.Saat sedang bersantai, pintu kamar terbuka dan terlihat Evan yang baru saja masuk kemudian menutup pintu.“Kamu sudah pulang.”Renata buru-buru meletakkan piring yang ada di pangkuan, kemudian berjalan menghampiri Evan.Evan merasa begitu lelah seharian ini, hingga istrinya tiba-tiba memeluk erat, membuat lelah itu tiba-tiba saja menghilang.“Ada apa, hm? Kenapa tiba-tiba memeluk?” tanya Evan keheranan. Dia membalas pelukan bahkan mengusap punggung istrinya dengan lembut.“Bayi kita kangen,” bisik Renata yang menjawab pertanyaan Evan dengan candaan.Evan tergelak mendengar bisikan Renata. Dia melepas pelukan, kemudian menangkup kedua pipi istrinya dan mendaratkan sebuah kecupan di kening Renata.“Bayinya atau kamu, hm?”Renata melebarkan senyum mendengar pertanyaan Evan, hingga kemudian membalas, “Mungkin dua-duanya.”Renata memandang wajah lelah suaminya. Di
Renata berdiri di depan cermin besar, memandang perutnya yang berbalut gaun sedikit longgar, hingga memperhatikan seluruh tubuh ingin menilai apakah gaun yang dikenakan cocok untuknya.“Kamu belum siap?” tanya Evan saat melihat Renata masih bercermin.Renata menoleh Evan yang berdiri di ambang pintu, lantas dia mengusap perut.“Apa ini terlihat besar?” tanya Renata yang cemas jika penampilannya akan jadi bahan cemoohan rekan bisnis Evan.Evan tertawa kecil mendengar pertanyaan Renata. Dia pun mendekat, kemudian menyingkirkan tangan Renata dari perut. Evan pun memandang dengan seksama perut Renata, lantas menggelengkan kepala.“Tidak, tidak terlihat,” jawab Evan, “kenapa kamu sangat mencemaskan penampilanmu, bukankah biasanya kamu juga tidak peduli dan tidak pernah memperhatikan apakah yang kamu kenakan layak atau tidak?” tanya Evan kemudian keheranan.“Bukan begitu. Kita pergi ke pesta rekan bisnismu, aku tidak ingin berpenampilan buruk yang bisa mengundang cemooh orang terhadapmu,” j
“Tidak kusangka akhirnya bertemu denganmu di sini.”Renata sangat terkejut melihat pria yang kini berdiri di hadapannya.“Pak Elang.” Renata mencoba tersenyum meski sedikit dipaksakan.“Kamu mengenalnya?” tanya Sheila ke Renata.“Em … ya,” jawab Renata.“Kalau begitu mengobrollah, aku akan menemui tamu lain,” kata Sheila kemudian pergi meninggalkan Renata bersama pria yang dipanggil Elang itu.Renata sebenarnya tidak mau ditinggal berdua, tapi karena Sheila sudah pergi duluan, membuat dia tidak bisa berbuat apa-apa.“Bukankah sudah sepakat jika tidak akan memanggil dengan sebutan pak? Kenapa memanggilku dengan kata pak lagi?” tanya pria itu dengan senyum manis terus tertuju ke Renata.“Ah … ya, maaf. Lama tidak bertemu, rasanya tidak sopan aku langsung memanggil namamu,” ujar Renata sedikit canggung.“Kenapa harus tidak sopan. Aku lebih nyaman saat kamu memanggil namaku saja,” balas pria itu.Renata mengangguk-angguk karena bingung harus membalas apa atau mengajak bicara apa.“Kamu ti
“Van.” Renata menatap cemas ke suaminya.Sejak keluar dari rumah rekan bisnisnya, hingga kini sampai rumah, Evan tidak bicara sama sekali.“Van, kamu marah?” tanya Renata memastikan. Dia mencoba memandang suaminya yang berdiri memunggungi.Evan baru saja melepas jas dan meletakkan sembarangan, kemudian melepas dasi dengan kasar saat mendengar pertanyaan Renata.Evan akhirnya membalikkan badan, memandang istrinya yang sudah menatap.“Apa kamu mengenalnya karena memang dia orang tua muridmu dulu?” tanya Evan yang masih tidak percaya dengan pengakuan itu.Renata terkejut mendengar pertanyaan Evan, hingga kemudian kembali meyakinkan.“Tentu saja. Aku yang mengajari anaknya bermain biola,” jawab Renata meyakinkan. Dia melihat kemarahan dan kecemburuan dalam tatapan mata suaminya itu.“Dia masih memiliki istri, kan?” tanya Evan dengan tatapan menelisik.Renata terkejut Evan bertanya demikian. Dia sampai menggigit bibir bawahnya, seolah tahu ke mana arah pembahasan sang suami.“Istrinya meni