Renata berdiri di depan cermin besar, memandang perutnya yang berbalut gaun sedikit longgar, hingga memperhatikan seluruh tubuh ingin menilai apakah gaun yang dikenakan cocok untuknya.“Kamu belum siap?” tanya Evan saat melihat Renata masih bercermin.Renata menoleh Evan yang berdiri di ambang pintu, lantas dia mengusap perut.“Apa ini terlihat besar?” tanya Renata yang cemas jika penampilannya akan jadi bahan cemoohan rekan bisnis Evan.Evan tertawa kecil mendengar pertanyaan Renata. Dia pun mendekat, kemudian menyingkirkan tangan Renata dari perut. Evan pun memandang dengan seksama perut Renata, lantas menggelengkan kepala.“Tidak, tidak terlihat,” jawab Evan, “kenapa kamu sangat mencemaskan penampilanmu, bukankah biasanya kamu juga tidak peduli dan tidak pernah memperhatikan apakah yang kamu kenakan layak atau tidak?” tanya Evan kemudian keheranan.“Bukan begitu. Kita pergi ke pesta rekan bisnismu, aku tidak ingin berpenampilan buruk yang bisa mengundang cemooh orang terhadapmu,” j
“Tidak kusangka akhirnya bertemu denganmu di sini.”Renata sangat terkejut melihat pria yang kini berdiri di hadapannya.“Pak Elang.” Renata mencoba tersenyum meski sedikit dipaksakan.“Kamu mengenalnya?” tanya Sheila ke Renata.“Em … ya,” jawab Renata.“Kalau begitu mengobrollah, aku akan menemui tamu lain,” kata Sheila kemudian pergi meninggalkan Renata bersama pria yang dipanggil Elang itu.Renata sebenarnya tidak mau ditinggal berdua, tapi karena Sheila sudah pergi duluan, membuat dia tidak bisa berbuat apa-apa.“Bukankah sudah sepakat jika tidak akan memanggil dengan sebutan pak? Kenapa memanggilku dengan kata pak lagi?” tanya pria itu dengan senyum manis terus tertuju ke Renata.“Ah … ya, maaf. Lama tidak bertemu, rasanya tidak sopan aku langsung memanggil namamu,” ujar Renata sedikit canggung.“Kenapa harus tidak sopan. Aku lebih nyaman saat kamu memanggil namaku saja,” balas pria itu.Renata mengangguk-angguk karena bingung harus membalas apa atau mengajak bicara apa.“Kamu ti
“Van.” Renata menatap cemas ke suaminya.Sejak keluar dari rumah rekan bisnisnya, hingga kini sampai rumah, Evan tidak bicara sama sekali.“Van, kamu marah?” tanya Renata memastikan. Dia mencoba memandang suaminya yang berdiri memunggungi.Evan baru saja melepas jas dan meletakkan sembarangan, kemudian melepas dasi dengan kasar saat mendengar pertanyaan Renata.Evan akhirnya membalikkan badan, memandang istrinya yang sudah menatap.“Apa kamu mengenalnya karena memang dia orang tua muridmu dulu?” tanya Evan yang masih tidak percaya dengan pengakuan itu.Renata terkejut mendengar pertanyaan Evan, hingga kemudian kembali meyakinkan.“Tentu saja. Aku yang mengajari anaknya bermain biola,” jawab Renata meyakinkan. Dia melihat kemarahan dan kecemburuan dalam tatapan mata suaminya itu.“Dia masih memiliki istri, kan?” tanya Evan dengan tatapan menelisik.Renata terkejut Evan bertanya demikian. Dia sampai menggigit bibir bawahnya, seolah tahu ke mana arah pembahasan sang suami.“Istrinya meni
“Van, Evan. Ini sudah pagi, kamu tidak bangun dan pergi ke kantor?” tanya Renata sambil menyentuh rambut bagian depan Evan. Dia menatap lekat wajah sang suami, setelah dirinya berpura merajuk akhirnya Evan melupakan masalah kehadiran Elang. Lagi pula Renata yakin jika Elang tidak akan menganggu hidupnya, apalagi tahu jika Renata sudah bersuami. “Van, ini sudah jam enam. Kalau kamu tidak bangun sekarang, kamu bisa terlambat ke kantor,” bisik Renata dengan wajah yang begitu dekat dengan Evan. Siapa sangka, Evan langsung memeluk Renata, membawa istrinya itu ke dalam pelukan dan menguncinya agar tidak bisa bergerak. “Van!” Renata sangat terkejut dengan tingkah suaminya. Evan masih memejamkan mata, tapi kedua tangan memeluk posesif istrinya. “Aku masih ngantuk. Temani aku tidur lagi,” bisik Evan semakin mempererat pelukan. Renata menghela napas pelan, lantas mengusap lengan suaminya yang melingkar begitu nyaman. “Tapi kamu harus ke kantor. Jika tidak bangun sekarang, kamu pasti akan
Renata pergi ke tempat janji bertemu dengan Elang. Meski tidak yakin, tapi Renata sudah terlanjur mengiakan. Dia menunggu di sana beberapa saat, hingga Elang datang dan langsung menghampiri meja Renata.“Maaf lama, ternyata jarak hotel ke sini cukup lama,” ucap Elang sambil menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Renata.“Tidak masalah,” jawab Renata dengan senyum tipis.“Kamu tidak memesan sesuatu?” tanya Elang karena melihat meja di hadapan Renata kosong. “Mau aku pesankan kopi?” tanya Elang kemudian.“Aku minum air putih saja,” jawab Renata.Elang cukup terkejut mendengar jawaban Renata, tapi kemudian memilih mengiakan saja apa yang ingin diminum wanita itu.“Bagaimana kabarmu?” tanya Elang setelah memesan minuman.“Seperti yang kamu lihat, aku sangat baik,” jawab Renata.Elang mengamati Renata dengan seksama, tentu saja tidak percaya karena terpengaruh ucapan Keysha.“Kamu yakin?” tanya Elang lagi.Renata mengerutkan alis mendengar pertanyaan dari Elang, hingga dia mengangguk un
“Sudah selesai makan?” tanya Renata yang melihat piring Elang sudah kosong. Elang sedang mengelap mulut dengan tisu ketika mendengar pertanyaan Renata. Dia pun mengangguk pelan menjawab pertanyaan itu. “Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu,” ucap Renata sambil meraih tas yang diletakkan di kursi sampingnya. Renata pun berpamitan ingin pergi, tapi Elang kembali mengucapkan sesuatu ke Renata. “Jika kamu butuh sesuatu atau bantuan dariku, aku akan dengan senang hati membantumu, Re.” Renata menatap Elang, hingga kemudian membalas, “Terima kasih atas tawaranmu, aku baik-baik saja, suamiku sangat baik. Aku yakin semua akan terkendali.” Renata tersenyum tipis setelah mengatakan itu, lantas bersiap pergi. “Semoga kita bisa tetap bertemu lagi, Re.” Renata kembali menghentikan langkah mendengar ucapan Elang, tapi kemudian memilih melanjutkan langkah tanpa menoleh lagi ke pria itu. Renata sudah masuk mobil. Dia bersiap pergi hingga mendengar ponselnya berdering. Renata mengeluarkan ponse
“Re.”Evan begitu panik melihat Renata terduduk di lantai. Dia langsung menghampiri dan meraih tubuh Renata ke pelukan.“Re, mana yang sakit?” tanya Evan saat melihat Renata merintih.“Perutku sakit, Van.” Renata mencengkram erat lengan Evan untuk menahan kram perut yang semakin menjadi-jadi.Evan langsung meraup tubuh Renata, mengangkat dalam gendongan dan membuka pintu untuk membawa Renata ke rumah sakit.Di luar kamar, Margaret dan Edward panik mendengar pertengkaran Evan dengan Renata, hingga mereka melihat pintu terbuka. Margaret terkejut melihat Evan menggendong Renata.“Apa yang terjadi?” tanya Margaret panik karena Renata kesakitan dan keduanya baru saja bertengkar.“Kita harus membawa Renata ke rumah sakit, Ma.” Evan hendak melangkah tapi ditahan Margaret.“Kamu mabuk?” tanya Margaret yang bisa mencium aroma alkohol dari napas putranya itu.“Ma, Renata kesakitan. Bisakah kita membawanya ke rumah sakit dulu!” Evan bicara dengan nada tinggi karena panik melihat istrinya kesakit
“Kamu mau makan sesuatu?” tanya Evan yang masih membujuk istrinya agar mau bicara.Renata sudah dipindah di ruang inap. Kini Evan menjaga Renata sendiri di ruang inap, sambil terus berusaha meminta maaf dan ingin memperbaiki hubungan atas kesalahan yang dilakukannya.Renata menatap Evan, hingga bola matanya kembali berkaca. Dia pun menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan Evan.“Re, aku benar-benar mintaa maaf karena sudah bertindak di luar kendali. Jangan mendiamkanku, bicaralah. Kumohon.” Evan sampai memelas, dia tidak bisa jika terus didiamkan istrinya.Renata mengusap bulir kristal yang menetes di pelupuk mata. Mencoba menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskan napas perlahan untuk menahan gejolak emosinya.“Aku hanya masih syok, Van.” Setelah sejak tadi diam, akhirnya Renata pun bicara.Renata sendiri tidak bermaksud mendiamkan. hanya saja dia merasa lelah dan kesal dengan sikap suaminya.“Maaf.” Evan bangkit dari posisi duduk. Dia berdiri dan sedikit menunduk, lantas