Halo teman-teman. Saya harap sampai di bab ini kalian masih menikmati karya yang saya sajikan. Jika memang ada kritik dan saran, saya sangat menghargai jika kalian mau menuangkan di komentar. Jangan lupa juga beri bintang dan ulasan di halaman depan. Agar saya semakin bersemangat membuat cerita yang menarik untuk kalian. Terima kasih
Renata pergi ke tempat janji bertemu dengan Elang. Meski tidak yakin, tapi Renata sudah terlanjur mengiakan. Dia menunggu di sana beberapa saat, hingga Elang datang dan langsung menghampiri meja Renata.“Maaf lama, ternyata jarak hotel ke sini cukup lama,” ucap Elang sambil menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Renata.“Tidak masalah,” jawab Renata dengan senyum tipis.“Kamu tidak memesan sesuatu?” tanya Elang karena melihat meja di hadapan Renata kosong. “Mau aku pesankan kopi?” tanya Elang kemudian.“Aku minum air putih saja,” jawab Renata.Elang cukup terkejut mendengar jawaban Renata, tapi kemudian memilih mengiakan saja apa yang ingin diminum wanita itu.“Bagaimana kabarmu?” tanya Elang setelah memesan minuman.“Seperti yang kamu lihat, aku sangat baik,” jawab Renata.Elang mengamati Renata dengan seksama, tentu saja tidak percaya karena terpengaruh ucapan Keysha.“Kamu yakin?” tanya Elang lagi.Renata mengerutkan alis mendengar pertanyaan dari Elang, hingga dia mengangguk un
“Sudah selesai makan?” tanya Renata yang melihat piring Elang sudah kosong. Elang sedang mengelap mulut dengan tisu ketika mendengar pertanyaan Renata. Dia pun mengangguk pelan menjawab pertanyaan itu. “Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu,” ucap Renata sambil meraih tas yang diletakkan di kursi sampingnya. Renata pun berpamitan ingin pergi, tapi Elang kembali mengucapkan sesuatu ke Renata. “Jika kamu butuh sesuatu atau bantuan dariku, aku akan dengan senang hati membantumu, Re.” Renata menatap Elang, hingga kemudian membalas, “Terima kasih atas tawaranmu, aku baik-baik saja, suamiku sangat baik. Aku yakin semua akan terkendali.” Renata tersenyum tipis setelah mengatakan itu, lantas bersiap pergi. “Semoga kita bisa tetap bertemu lagi, Re.” Renata kembali menghentikan langkah mendengar ucapan Elang, tapi kemudian memilih melanjutkan langkah tanpa menoleh lagi ke pria itu. Renata sudah masuk mobil. Dia bersiap pergi hingga mendengar ponselnya berdering. Renata mengeluarkan ponse
“Re.”Evan begitu panik melihat Renata terduduk di lantai. Dia langsung menghampiri dan meraih tubuh Renata ke pelukan.“Re, mana yang sakit?” tanya Evan saat melihat Renata merintih.“Perutku sakit, Van.” Renata mencengkram erat lengan Evan untuk menahan kram perut yang semakin menjadi-jadi.Evan langsung meraup tubuh Renata, mengangkat dalam gendongan dan membuka pintu untuk membawa Renata ke rumah sakit.Di luar kamar, Margaret dan Edward panik mendengar pertengkaran Evan dengan Renata, hingga mereka melihat pintu terbuka. Margaret terkejut melihat Evan menggendong Renata.“Apa yang terjadi?” tanya Margaret panik karena Renata kesakitan dan keduanya baru saja bertengkar.“Kita harus membawa Renata ke rumah sakit, Ma.” Evan hendak melangkah tapi ditahan Margaret.“Kamu mabuk?” tanya Margaret yang bisa mencium aroma alkohol dari napas putranya itu.“Ma, Renata kesakitan. Bisakah kita membawanya ke rumah sakit dulu!” Evan bicara dengan nada tinggi karena panik melihat istrinya kesakit
“Kamu mau makan sesuatu?” tanya Evan yang masih membujuk istrinya agar mau bicara.Renata sudah dipindah di ruang inap. Kini Evan menjaga Renata sendiri di ruang inap, sambil terus berusaha meminta maaf dan ingin memperbaiki hubungan atas kesalahan yang dilakukannya.Renata menatap Evan, hingga bola matanya kembali berkaca. Dia pun menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan Evan.“Re, aku benar-benar mintaa maaf karena sudah bertindak di luar kendali. Jangan mendiamkanku, bicaralah. Kumohon.” Evan sampai memelas, dia tidak bisa jika terus didiamkan istrinya.Renata mengusap bulir kristal yang menetes di pelupuk mata. Mencoba menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskan napas perlahan untuk menahan gejolak emosinya.“Aku hanya masih syok, Van.” Setelah sejak tadi diam, akhirnya Renata pun bicara.Renata sendiri tidak bermaksud mendiamkan. hanya saja dia merasa lelah dan kesal dengan sikap suaminya.“Maaf.” Evan bangkit dari posisi duduk. Dia berdiri dan sedikit menunduk, lantas
Renata bangun saat pagi hari. Dia melihat matahari yang sudah meninggi dan kini sinarnya menembus kaca jendela rumah sakit.Renata menoleh ke kanan, hingga melihat suaminya yang tidur dengan posisi duduk. Bahkan Evan menyandarkan kepala di tepian ranjang.Renata mengulurkan tangan ingin menyentuh kepala Evan, tapi urung dilakukan karena takut mengganggu suaminya tidur. Dia yakin jika Evan pasti semalaman mencemaskan dirinya.Renata membuka selimut yang menutupi kaki karena ingin ke kamar mandi. Namun, ternyata pergerakannya membuat Evan bangun.Evan terkejut dan melihat Renata yang baru saja menyibakkan selimut.“Kamu mau ke mana?” tanya Evan dengan suara parau.“Mau ke kamar kecil,” jawab Renata bersiap turun dari ranjang.“Tunggu!” Evan langsung berdiri saat Renata mau turun ranjang.Renata terkejut dan langsung menoleh Evan. Suaminya itu berjalan memutari ranjang lantas menghampirinya.“Ada apa?” tanya Renata bingung.“Dokter bilang kamu tidak boleh banyak bergerak. Biar aku gendon
Wanita paruh baya yang bertemu dengan Evan dan Albert tiba-tiba berlutut sambil menangkupkan kedua telapak tangan seolah ingin memohon. Wanita itu bahkan terlihat sangat ketakutan.Tentu saja Evan dan Albert bingung, belum juga menyampaikan maksud kedatangan ke sana, tapi wanita itu sudah panik duluan.“Saya mohon, jangan jebloskan putra saya ke penjara. Dia memang suka menipu, tapi semua demi keluarga kami yang miskin,” ujar wanita itu memelas.Evan dan Albert saling tatap, bingung dengan maksud ucapan wanita itu.“Maaf, kami ke sini tidak untuk menangkap siapapun, hanya ingin bertanya sesuatu ke Adib,” kata Albert menjelaskan.Wanita itu mendongak masih dalam posisi berlutut. Dia menatap Evan dan Albert bergantian.“Kalian tidak akan menangkapnya?” tanya wanita itu memastikan.“Tidak, kami bukan polisi atau orang yang terkena tipu,” jawab Evan yang masih keheranan, tapi juga menebak jika pria yang dicari pasti penipu ulung.Wanita itu pun buru-buru bangun, kemudian kembali menatap E
Renata duduk dengan cemas, hampir satu jam Evan pergi tapi belum juga kembali. Di sana memang ada Margaret dan Edward juga anak-anak, tapi tetap saja Renata mencemaskan Evan.“Makanmu tidak dihabisin?” tanya Margaret karena menu yang diberi rumah sakit masih banyak.“Sudah kenyang, Ma.” Renata membalas dengan seulas senyum.Margaret paham jika tidak mudah mengembalikan mood setelah pertengkaran, tapi tetap saja Renata harus makan demi janinnya.“Tapi kamu harus makan dan memenuhi asupan gizi agar janinmu sehat. Jangan sampai kamu tidak sehat lalu kurang mencukupi gizi, membuatmu lama pulihnya,” ujar Margaret lantas mengambil alih sendok dari tempat makan.Renata pun terkejut melihat yang dilakukan Margaret.“Sini, mama suapi biar kamu nafsu makan,” kata Margaret mulai menyuapi Renata.Renata bingung harus menerima apa tidak, tapi kemudian memilih membuka mulut karena tidak ingin mengecewakan mertuanya.Margaret senang Renata mau makan, benar dugaannya jika Renata berhenti makan bukan
Evan menggendong Renata dari kamar mandi. Dia selalu siap siaga saat Renata membutuhkannya, tidak akan membiarkan Renata banyak bergerak atau jalan sampai benar-benar sembuh, sesuai dengan instruksi dari dokter.“Kamu mau makan apa sore ini? Barangkali bosan dengan makanan rumah sakit?” tanya Evan setelah menurunkan Renata di ranjang.“Aku mau menghabiskan mangga mudaku dulu,” jawab Renata yang masih tidak bosan makan mangga muda. Dia sangat senang karena Evan membelikannya mangga muda lumayan banyak.“Mangga muda lagi? Tahu gini aku belikan sebiji saja.” Evan menyesal membeli banyak. Awalnya berpikir untuk stok andai Renata minta lagi agar dia tidak kesulitan mencari penjual mangga muda, tapi ternyata Renata malah makan banyak dalam sekali konsumsi.Renata tertawa mendengar keterkejutan suaminya. Dia tidak peduli dengan larangan Evan karena baginya yang terpenting bisa makan mangga.Renata mengambil tempat makan berisi potongan mangga muda dan mulai memakannya.Evan benar-benar gelen
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Kasih melahirkan dengan cara cesar. Kini Kasih sudah dipindah ke ruang inap, tapi bayinya masih dalam pemantauan dokter di ruangan khusus perawatan bayi. “Syukurlah semua berjalan dengan lancar,” ucap Liliana penuh kelegaan melihat Kasih baik-baik saja. “Kita akhirnya punya cucu.” Jefrine merangkul istrinya, terlihat tatapan penuh kebahagiaan di mata pria itu. Dean melihat tatapan berbeda dari sang papa ke sang mama. Tatapan yang dianggapnya sudah lenyap sejak bertahun-tahun lamanya. “Kamu sudah menghubungi ibunya Kasih?” tanya Liliana yang ingat ke besannya itu. “Sudah, Ma. Ibu bilang akan datang secepatnya naik kereta, jadi butuh waktu ke sini,” jawab Dean. “Iya ga papa, terpenting kamu sudah mengabarinya,” ujar Liliana. Renata dan Evan senang melihat kebahagiaan Dean. Akhirnya bisa melihat pria itu bisa tersenyum penuh kelegaan dan bahagia. “Kami pulang dulu, kalau nanti Kak Kasih bangun dan tanya, katakan kami akan datang besok,” ujar R
“Benarkah? Ini berita yang sangat bagus.”Renata begitu senang mendengar Kasih dan Dean akhirnya berbaikan dengan Jefrine.Malam itu Kasih dan Dean mengajak makan malam Evan juga Renata, tentu saja untuk merayakan kebahagiaan keduanya yang kini sudah berbaikan dengan orang tua Dean.“Ya, kami pun tak menyangka. Kupikir bertemu dengan Papa akan membuat kami kembali bertengkar hebat. Namun, siapa sangka jika kemarin malam adalah malam yang benar-benar di luar dugaanku,” ujar Dean menjelaskan.Renata paham maksud Dean, hingga kemudian membalas, “Terkadang kita terlalu takut akan pemikiran kita sendiri. Kita merasa jika orang yang membenci kita, benar-benar akan terus membenci kita selamanya. Tapi siapa sangka jika ketakutan itu tidak benar, nyatanya papamu mau meminta maaf dulu.”“Benar, sama seperti Mama saat dulu tak suka Renata. Tiba-tiba saja datang dan meminta maaf, lalu menerima hubungan kami. Bukankah terkadang kita yang terlalu takut untuk memperbaiki kesalahan, hingga menunggu o
Dean dan yang lain terkejut saat melihat siapa yang kini berdiri memandang mereka, bahkan Liliana langsung berdiri karena panik.Dean langsung memalingkan wajah, seolah tak sudi melihat pria yang kini berdiri memandang dirinya.Kasih sendiri mengalihkan pandangan ke Dean, melihat suaminya yang terlihat tidak senang dan tidak nyaman.“Kamu sudah pulang. Kupikir kamu akan pulang minggu depan,” ujar Liliana dengan wajah panik.Jefrine—ayah Dean, menatap istrinya yang sudah berdiri dengan sikap kebingungan.“Mumpung kamu di sini, ada yang ingin kubicarakan denganmu,” ujar Jefrine sambil menatap Dean.Kasih langsung memandang suaminya, terlihat jelas jika Dean benar-benar tertekan.Jefrine menunggu Dean bicara, hingga sekilas melirik ke Kasih.“Hanya sebentar,” ucap pria itu kemudian.Dean menghela napas kasar, hingga akhirnya berdiri lantas memandang ke arah Jefrine.“Aku juga merasa perlu menyelesaikan sesuatu denganmu,” ucap Dean yang tak mau bersikap sopan ke pria yang dianggapnya buru
Dean akhirnya setuju pergi makan malam ke rumah orang tuanya. Dia dan Kasih kini berada di mobil menuju rumah Liliana.Kasih menoleh Dean, melihat suaminya terlihat serius menyetir. Sebelumnya Dean tidak memberi keputusan apakah mau datang makan malam di rumah orang tuanya, tapi tiba-tiba saja sore ini Dean meminta Kasih bersiap.“De, kamu tidak apa-apa, kan? Kalau memang masih tidak bisa, kita tidak usah datang. Mama juga pasti maklum kalau dijelaskan,” ujar Kasih yang tidak tega memaksa suaminya pulang.Kasih tahu bagaimana suaminya itu berjuang melawan sang papa. Dia sendiri tidak pernah menyalahkan sikap Dean yang membenci ayahnya, semua tak terlepas dari perbuatan ayah Dean di masa lalu, yang membuat Dean memilih membenci sang ayah.Deon menoleh Kasih, melihat istrinya itu terlihat cemas.“Aku tidak apa-apa. Sejak kita menikah, aku juga belum pernah melihat Mama. Ya, aku sadar jika membenci Papa, tapi Mama tidak salah sama sekali, jadi kupikir tidak ada salahnya berkunjung, selam
“Kamu benar-benar tidak apa, kan? Bagaimana calon bayi kita? Dia tidak kaget, kan?”Dean sangat mencemaskan kondisi Kasih. Bahkan kembali memastikan saat sudah sampai apartemen.“Aku baik-baik saja, De. Serius.” Kasih mencoba meyakinkan jika dirinya baik-baik saja.Dean memandang Kasih. Dia sedih karena sang istri mendapat perlakukan tidak baik berulang kali.“Apa kita pindah saja. Kita ke tempat Ibu saja,” ujar Dean. Dia tidak bisa terus menerus panik karena istrinya beberapa kali hampir celaka.Kasih terkejut mendengar ucapan Dean. Jarak rumah ibu Kasih dan kota tempat mereka tinggal cukup jauh. Kasih tidak tega jika Dean harus bolak-balik menempuh jarak yang jauh.“Tidak apa, De. Aku janji akan hati-hati lagi. Lagian aku kalau pergi pasti bersama Renata, jadi ada yang melindungiku. Tadi saja memang mengalami kejadian tak terduga, tapi serius aku baik-baik saja,” balas Kasih mencoba meyakinkan.Dean menatap sendu. Dia sibuk bekerja sampai tidak bisa menemani istrinya pergi atau seka
Dean berjalan cepat menuju ke ruang guru begitu sampai di sekolah Dhira dan Dharu. Renata memang menghubungi Dean, agar pria itu bisa melindungi Kasih, serta tahu apa yang dilakukan Kanaya ke Kasih.Dean masuk ke ruang guru, lantas secepat kilat menghampiri Kasih yang duduk dengan ekspresi wajah terkejut menatapnya.“Kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?” tanya Dean yang sangat panik. Dia mengecek tubuh sang istri apakah ada luka.“Aku baik-baik saja, De.” Kasih mencoba menenangkan istrinya.Kanaya terkejut melihat Dean di sana. Dia tidak pernah tahu jika Dean menikah dengan Kasih, karena pernikahan keduanya dilakukan secara tertutup dan hanya orang tertentu saja yang diundang.Renata melihat wajah panik Kanaya, lantas memberi isyarat ke Dean untuk menoleh ke pelaku yang mencoba menabrak Kasih.Dean menoleh ke Kanaya, tatapan tidak senang tersirat jelas dari sorot mata pria itu saat melihat Kanaya.Hingga beberapa saat kemudian, seorang pria masuk ke ruang guru, membuat semua ora
Renata benar-benar geram melihat siapa yang keluar dari mobil. Sungguh tak paham dengan pemikiran seperti manusia itu.“Matamu sudah buta, hah! Ini lingkungan sekolah, bukan area balapan yang bisa kamu jadikan tempat ajang ugal-ugalan!”Renata mengamuk, membuat banyak orang akhirnya kini memperhatikan dirinya.Kasih mendekat lantas mencoba menarik Renata agar tidak terlibat masalah.“Sudah, Re. Aku juga baik-baik saja, tidak apa.” Kasih mencoba menjauhkan Renata.“Tidak bisa, Kak. Dia sengaja melakukannya!” Renata tetap saja tidak terima.Kanaya tersenyum miring melihat Renata marah, lantas melirik ke Kasih yang mencoba mengajak pergi Renata.“Tolong! Apa anaknya sekolah di sini? Apakah begini adab di dalam sekolah!” Renata berteriak keras, meminta pendapat para orang tua di sana.“Jika manusia seperti ini, berkeliaran dan ugal-ugalan di area sekolah, kemudian menabrak salah satu dari anak kalian, apa kalian akan terima?” Renata menatap satu persatu orang tua yang ada di sana.Para or
“Maaf ya, Re. Aku sekarang jadi sering merepotkanmu.” Kasih menatap tak enak hati karena terus meminta bantuan Renata untuk menemaninya.“Tidak apa. Seperti kayak siapa saja. Dulu aku sering sekali merepotkan Kakak, sekarang anggap saja aku sedang membalasnya,” balas Renata tidak masalah jika sering menemani Kasih.Kasih terharu mendengar balasan Renata, lantas merangkul tangan ibu tiga anak itu untuk jalan.“Kamu tidak dimarahi Bibi karena sering meninggalkan Aldric, kan?” tanya Kasih sambil berjalan.Kasih ingin jalan-jalan karena bosan di apartemen, tapi tidak berani pergi sendiri, sehingga mengajak Renata.“Bukan marah, yang ada Mama malah senang karena Aldric aku tinggalkan sama Mama. Katanya kalau aku di rumah, Aldric akan banyak bersamaku,” jawab Renata diakhiri tawa kecil.Kasih ikut tertawa mendengar jawaban Renata.“Oh ya, tapi nanti siang aku jemput anak-anak sekalian ga apa-apa, kan?” tanya Renata kemudian.“Tentu saja, aku malah senang bisa ikut menjemput mereka,” balas K
“Tampaknya Kasih hanya dekat denganmu di sini.” Renata menoleh ketika mendengar Margaret bicara. Dia melihat mertuanya itu berjalan masuk kamar menghampiri dirinya. “Iya, Ma. Karena kata Evan, Kak Kasih memang tidak memiliki teman di sini,” ujar Renata menjelaskan. Renata sedang menyusui Aldric, lantas menatap Margaret yang duduk di tepian ranjang memperhatikan dirinya. “Hm … ya, Mama jadi ingat saat pertama kali melihatnya. Dia pendiam bahkan mama lihat tidak pernah bergaul dengan mahasiswa lain,” ujar Margaret karena memang dulu pernah menyelidiki siapa Kasih, sebab Evan berkata menyukainya. Margaret tiba-tiba menatap Renata dengan cepat, hingga kemudian kembali berkata, “Kamu jangan salah paham. Mama bicara begini bukan apa-apa, hanya ingin bicara sesuatu yang mama tahu.” Renata tertawa kecil melihat mertuanya salah tingkah. Dia pun kemudian membalas, “Tenang saja, Ma. Baik aku atau Evan, sama-sama sudah menganggap itu masa lalu. Lagi pula hubungan kami baik, jadi Mama jangan