Renata, Evan, dan anak-anak hari itu pergi menghadiri acara pernikahan Dean dan Kasih. Margaret dan Edward juga ikut serta sebagai keluarga dari pihak Dean.Renata menemui Kasih di ruang ganti khusus wanita. Di sana sahabat juga tutornya itu sedang dirias dan baru saja selesai memakai gaun pengantin.“Kak Kasih.” Renata menatap kagum ke Kasih.Kasih menoleh dan mengulas senyum melihat Renata. Dia senang melihat calon adik sepupu iparnya itu datang.“Kupikir kamu tidak akan datang,” ucap Kasih terlihat senang melihat kedatangan Renata.Renata mendekat, memandang gaun Kasih yang terlihat begitu mewah.Perias sudah selesai melakukan pekerjaan, kini meninggalkan Kasih bersama Renata.“Aku terlalu tua ya untuk mengadakan pesta pernikahan?” tanya Kasih sedikit berkecil hati. Diusianya yang sudah 30 tahun, baru akan menikah.“Siapa bilang? Memang menikah harus mandang umur?” Tentu saja Renata menyanggah ucapan Kasih.“Mau berapa pun usianya, lagi pula kapan orang akan menikah dan tidak, buka
Evan menghadiri rapat tahunan perusahaan rekan bisnis yang bekerjasama dengan perusahaannya. Sebagai salah satu pemegang saham di sana, tentunya Evan pun memiliki hak untuk hadir di sana.Semua orang sudah hadir dalam rapat itu, termasuk Keysha yang juga menghadiri karena memiliki saham di perusahaan itu.“Lama tidak berjumpa denganmu,” ucap Keysha sambil mengulurkan tangan ke Evan.Keysha tahu jika Evan tidak mungkin menolak jabat tangannya sebab akan banyak mata yang melihat.“Bertemu denganmu juga bukan harapanku,” balas Evan sambil menjabat tangan Keysha meski sedikit terpaksa.Keysha tersenyum masam mendengar balasan Evan. Dia memang tidak lagi memiliki muka untuk malu berhadapan dengan Evan. Keysha beruntung Evan tidak melaporkannya ke kantor polisi perihal hampir menjebak Evan agar tidur dengannya, sebab Evan tidak memiliki bukti kuat.Namun, hal itu tak lantas membuat Keysha mundur begitu saja. Kini bukan lagi obsesi yang menguasainya, tapi amarah, cemburu, juga iri yang meray
Renata berada di kamar makan mangga muda seperti biasa. Dia tidak akan bisa makan nasi jika tidak makan mangga terlebih dahulu.Saat sedang bersantai, pintu kamar terbuka dan terlihat Evan yang baru saja masuk kemudian menutup pintu.“Kamu sudah pulang.”Renata buru-buru meletakkan piring yang ada di pangkuan, kemudian berjalan menghampiri Evan.Evan merasa begitu lelah seharian ini, hingga istrinya tiba-tiba memeluk erat, membuat lelah itu tiba-tiba saja menghilang.“Ada apa, hm? Kenapa tiba-tiba memeluk?” tanya Evan keheranan. Dia membalas pelukan bahkan mengusap punggung istrinya dengan lembut.“Bayi kita kangen,” bisik Renata yang menjawab pertanyaan Evan dengan candaan.Evan tergelak mendengar bisikan Renata. Dia melepas pelukan, kemudian menangkup kedua pipi istrinya dan mendaratkan sebuah kecupan di kening Renata.“Bayinya atau kamu, hm?”Renata melebarkan senyum mendengar pertanyaan Evan, hingga kemudian membalas, “Mungkin dua-duanya.”Renata memandang wajah lelah suaminya. Di
Renata berdiri di depan cermin besar, memandang perutnya yang berbalut gaun sedikit longgar, hingga memperhatikan seluruh tubuh ingin menilai apakah gaun yang dikenakan cocok untuknya.“Kamu belum siap?” tanya Evan saat melihat Renata masih bercermin.Renata menoleh Evan yang berdiri di ambang pintu, lantas dia mengusap perut.“Apa ini terlihat besar?” tanya Renata yang cemas jika penampilannya akan jadi bahan cemoohan rekan bisnis Evan.Evan tertawa kecil mendengar pertanyaan Renata. Dia pun mendekat, kemudian menyingkirkan tangan Renata dari perut. Evan pun memandang dengan seksama perut Renata, lantas menggelengkan kepala.“Tidak, tidak terlihat,” jawab Evan, “kenapa kamu sangat mencemaskan penampilanmu, bukankah biasanya kamu juga tidak peduli dan tidak pernah memperhatikan apakah yang kamu kenakan layak atau tidak?” tanya Evan kemudian keheranan.“Bukan begitu. Kita pergi ke pesta rekan bisnismu, aku tidak ingin berpenampilan buruk yang bisa mengundang cemooh orang terhadapmu,” j
“Tidak kusangka akhirnya bertemu denganmu di sini.”Renata sangat terkejut melihat pria yang kini berdiri di hadapannya.“Pak Elang.” Renata mencoba tersenyum meski sedikit dipaksakan.“Kamu mengenalnya?” tanya Sheila ke Renata.“Em … ya,” jawab Renata.“Kalau begitu mengobrollah, aku akan menemui tamu lain,” kata Sheila kemudian pergi meninggalkan Renata bersama pria yang dipanggil Elang itu.Renata sebenarnya tidak mau ditinggal berdua, tapi karena Sheila sudah pergi duluan, membuat dia tidak bisa berbuat apa-apa.“Bukankah sudah sepakat jika tidak akan memanggil dengan sebutan pak? Kenapa memanggilku dengan kata pak lagi?” tanya pria itu dengan senyum manis terus tertuju ke Renata.“Ah … ya, maaf. Lama tidak bertemu, rasanya tidak sopan aku langsung memanggil namamu,” ujar Renata sedikit canggung.“Kenapa harus tidak sopan. Aku lebih nyaman saat kamu memanggil namaku saja,” balas pria itu.Renata mengangguk-angguk karena bingung harus membalas apa atau mengajak bicara apa.“Kamu ti
“Van.” Renata menatap cemas ke suaminya.Sejak keluar dari rumah rekan bisnisnya, hingga kini sampai rumah, Evan tidak bicara sama sekali.“Van, kamu marah?” tanya Renata memastikan. Dia mencoba memandang suaminya yang berdiri memunggungi.Evan baru saja melepas jas dan meletakkan sembarangan, kemudian melepas dasi dengan kasar saat mendengar pertanyaan Renata.Evan akhirnya membalikkan badan, memandang istrinya yang sudah menatap.“Apa kamu mengenalnya karena memang dia orang tua muridmu dulu?” tanya Evan yang masih tidak percaya dengan pengakuan itu.Renata terkejut mendengar pertanyaan Evan, hingga kemudian kembali meyakinkan.“Tentu saja. Aku yang mengajari anaknya bermain biola,” jawab Renata meyakinkan. Dia melihat kemarahan dan kecemburuan dalam tatapan mata suaminya itu.“Dia masih memiliki istri, kan?” tanya Evan dengan tatapan menelisik.Renata terkejut Evan bertanya demikian. Dia sampai menggigit bibir bawahnya, seolah tahu ke mana arah pembahasan sang suami.“Istrinya meni
“Van, Evan. Ini sudah pagi, kamu tidak bangun dan pergi ke kantor?” tanya Renata sambil menyentuh rambut bagian depan Evan. Dia menatap lekat wajah sang suami, setelah dirinya berpura merajuk akhirnya Evan melupakan masalah kehadiran Elang. Lagi pula Renata yakin jika Elang tidak akan menganggu hidupnya, apalagi tahu jika Renata sudah bersuami. “Van, ini sudah jam enam. Kalau kamu tidak bangun sekarang, kamu bisa terlambat ke kantor,” bisik Renata dengan wajah yang begitu dekat dengan Evan. Siapa sangka, Evan langsung memeluk Renata, membawa istrinya itu ke dalam pelukan dan menguncinya agar tidak bisa bergerak. “Van!” Renata sangat terkejut dengan tingkah suaminya. Evan masih memejamkan mata, tapi kedua tangan memeluk posesif istrinya. “Aku masih ngantuk. Temani aku tidur lagi,” bisik Evan semakin mempererat pelukan. Renata menghela napas pelan, lantas mengusap lengan suaminya yang melingkar begitu nyaman. “Tapi kamu harus ke kantor. Jika tidak bangun sekarang, kamu pasti akan
Renata pergi ke tempat janji bertemu dengan Elang. Meski tidak yakin, tapi Renata sudah terlanjur mengiakan. Dia menunggu di sana beberapa saat, hingga Elang datang dan langsung menghampiri meja Renata.“Maaf lama, ternyata jarak hotel ke sini cukup lama,” ucap Elang sambil menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Renata.“Tidak masalah,” jawab Renata dengan senyum tipis.“Kamu tidak memesan sesuatu?” tanya Elang karena melihat meja di hadapan Renata kosong. “Mau aku pesankan kopi?” tanya Elang kemudian.“Aku minum air putih saja,” jawab Renata.Elang cukup terkejut mendengar jawaban Renata, tapi kemudian memilih mengiakan saja apa yang ingin diminum wanita itu.“Bagaimana kabarmu?” tanya Elang setelah memesan minuman.“Seperti yang kamu lihat, aku sangat baik,” jawab Renata.Elang mengamati Renata dengan seksama, tentu saja tidak percaya karena terpengaruh ucapan Keysha.“Kamu yakin?” tanya Elang lagi.Renata mengerutkan alis mendengar pertanyaan dari Elang, hingga dia mengangguk un