Hari di mana Renata, Evan, dan anak-anak pergi berlibur pun tiba. Semua persiapan sudah dilakukan, termasuk sebelumnya berkonsultasi ke dokter soal kesehatan Renata sebelum mereka pergi.“Ingat, jaga makanan kalian. Kalau ada apa-apa hubungi kami,” ujar Margaret saat Renata berpamitan untuk liburan.“Mama tenang saja. Kami akan bersenang-senang dan mengingat pesan Mama,” ucap Renata agar mertuanya tenang.Margaret memeluk Renata sejenak meski terhalang perut menantunya yang sudah mulai besar.“Jaga Renata dan anak-anak dengan baik ya, Van.” Margaret pun tak lupa mengingat putranya.“Mama jangan cemas, di sana kami akan menikmati liburan tanpa gangguan,” ujar Evan meyakinkan sang mama.Margaret dan Edward mengantar sampai depan rumah. Dhira dan Dharu terlihat sangat senang karena akan liburan bersama keluarga.“Kami pergi dulu.” Evan berpamitan sebelum masuk mobil.Margaret mengangguk dan melambai ke anak-anak yang sudah duduk di kursi belakang.Evan dan Renata akan menempuh perjalanan
Semua orang bahagia melihat Renata di sana. Sampai-sampai mereka tidak memperhatikan perut Renata yang besar, apalagi wanita itu memakai pakaian over size karena lebih nyaman.“Re, dia siapa?” tanya salah satu ibu.Renata menoleh Evan, melihat suaminya itu mengangguk sopan untuk memberi hormat ke wanita-wanita paruh baya itu.“Itu suamiku, Bi. Lihat ini.” Renata memperlihatkan perutnya yang besar.“Oh … astaga, kenapa kami tidak sadar karena terlalu senang.” Ibu-ibu itu terkejut bersamaan tapi juga senang.Renata memberi isyarat agar Evan mendekat. Dia memperkenalkan suaminya itu.“Ya ampun, suamimu tampan sekali. Kok mirip Dharu, ya?” Salah satu ibu itu menyadari kemiripan Evan dan Dharu.Renata menahan tawa, lantas menoleh Evan yang salah tingkah.“Dia ayah kandung Dhira dan Dharu, Bi.” Renata menjelaskan dan semua para wanita itu terkejut.“Nanti kujelaskan, sekarang aku capek, Bi. Kakiku pegal.” Renata mengeluh manja ke para wanita yang sangat baik kepadanya itu.“Ya Gusti, kita i
Malam itu, depan rumah yang ditempati Renata dan Evan cukup ramai. Para warga berkumpul di sana untuk menyambut kedatangan Evan dan Renata. Mereka berkumpul sambil membakar jagung, singkong, bahkan ikan hasil tangkapan dari sungai.“Apa di kota masih ngajar biola?” tanya salah satu warga sambil memberikan jagung bakar ke Renata.“Sudah tidak,” jawab Renata.“Oh … suamimu kerja apa?” tanya wanita itu kemudian.Renata menoleh Evan, melihat suaminya yang sedang membaur dengan para pria yang berkumpul di sana. Meski Evan sulit berbaur dengan orang banyak, tapi Renata bangga karena Evan mau berusaha agar tidak menyinggung warga.“Dia mengelola sebuah bisnis, Bi.” Renata menjawab kemudian memakan jagung bakar yang tadi diberi wanita itu.“Bisnis apa? Kalau dilihat-lihat, sepertinya dia juga bukan orang biasa,” ujar wanita lain.“Betul, penampilannya saja sudah beda ga kayak kita,” timpal yang lain.Renata mengulum senyum dan kembali menoleh Evan, sebelum akhirnya menatap para ibu yang bersa
Evan masih memeluk selimut. Udara pagi semakin dingin, semalam tidur terlambat membuatnya enggan bangun di pagi hari.Suara berisik di luar rumah terdengar, Evan semakin memeluk selimut sambil meringkuk untuk menghindari hawa dingin semakin menusuk kulit.“Re.” Evan meraba sisi ranjang, tapi tidak mendapati Renata di sisinya.Dia mencoba membuka kelopak mata meski rasanya berat. Evan tak melihat Renata di ranjang, membuatnya bangun dan mengedarkan pandangan di seluruh ruangan.“Re.” Evan kembali memanggil tapi tak mendengar balasan dari Renata.Evan pun mencoba bangun meski rasanya berat karena hawa dingin yang membuatnya mengantuk. Namun, dia tidak bisa tidur jika tak tahu istrinya di mana.Dia keluar kamar, lantas masuk kamar anak-anak. Evan tidak mendapati anak-anak di kamarnya, menandakan jika Renata dan yang lain sudah bangun lebih awal.“Eh … kamu sudah bangun. Mau kopi?” Renata baru saja datang bersama Dhira dan Dharu. Dia melihat Evan yang sedang menengok ke kamar anak-anak.“
Setelah beberapa hari berada di kampung tempat Dhira dan Dharu lahir. Renata dan Evan pun memutuskan kembali karena jatah Evan libur sudah habis.“Kalau ada waktu lagi, datang kemari ya, Re.” Nenek pemilik rumah berpamitan dengan Renata.“Iya, pasti akan ke sini lagi,” balas Renata sambil mengusap punggung sang nenek yang sedikit memeluknya.“Jaga kesehatan. Semoga nanti lahirannya lancar seperti Dhira dan Dharu,” ujar salah satu ibu.Renata mengangguk-angguk mendengar setiap doa yang diucapkan para ibu di sana secara bergantian.Selain berpamitan dengan Renata dan Evan, para ibu itu juga merasa berat berpisah dengan Dhira dan Dharu. Bagaimanapun mereka dulu ambil andil dalam menjaga anak kembar itu.“Kalau liburan sekolah main ke sini.”“Iya, terus kalau besok besar juga jangan lupa sama nenek-nenek di sini,” timpal yang lain.Dhira mengangguk mantap mendengarkan ucapan para nenek, sedangkan Dharu mengangguk pelan.“Nenek jangan cemas. Dhira ga akan lupa kok sama nenek semua. Dhira ‘
“Evan tidak jemput?” tanya Margaret saat Renata pamit ingin ke rumah sakit untuk kontrol.“Ga, Ma. Dia masih ada pekerjaan, jadi aku pergi sendiri,” jawab Renata yang siap pergi.Hari itu Renata harus kontrol sesuai dengan jadwal. Evan sudah menghubungi jika tidak bisa datang, membuat Renata memutuskan pergi sendiri.“Mau mama antar?” tanya Margaret tidak tega melihat Renata pergi sendiri.“Dhira dan Dharu jam setengah 2 pulang, Ma. Bantu jemput mereka saja, aku bisa kok pergi sendiri. Mama jangan cemas,” jawab Renata yang tak ingin menambah beban sang mama lebih banyak.“Kamu yakin?” tanya Margaret memastikan.“Iya, Ma. Aku ga masalah kok. Mama tenang saja, ya.”Renata pun pergi setelah meyakinkan Margaret. Dia diantar sopir rumah menuju rumah sakit.Sopir mengemudikan mobil dengan hati-hati, sesuai instruksi Evan yang meminta agar menjaga Renata dengan baik dan tidak kebut-kebutan saat menuju ke rumah sakit demi keselamatan.“Pak, bisa mampir beli rujak? Ini masih satu jam lagi, dok
Evan benar-benar panik dan takut terjadi sesuatu ke Renata. Dia lantas memilih masuk ke IGD bersama Albert untuk mencari keberadaan Renata.“Di mana dia?” Evan mencari sambil terus berdoa dalam hati agar tidak terjadi apa-apa dengan Renata.Di IGD, hanya ada seorang pria yang sedang diobati bagian kepala. Evan menghentikan langkah, kecemasan merayap di hatinya karena pikiran buruk kembali menguasai kepala.“Maaf, apa ada wanita hamil besar yang jadi korban kecelakaan mobil siang ini?” tanya Albert ke perawat yang baru saja keluar dari ruang pemeriksaan.“Wanita hamil? Tidak ada,” jawab perawat itu.Evan dan Albert terkejut, tapi tentunya senang karena tidak ada wanita hamil yang menjadi korban kecelakaan.“Tapi saya dengar korban wanitanya meninggal,’” ucap Albert mengorek informasi.“Oh … itu. Iya memang ada korban wanita yang meninggal, tapi tidak sedang hamil. Wanita itu mengalami serangan jantung dadakan, lantas menabrak pengemudi lain hingga terjadi tabrakan. Wanita itu meninggal
Hari-hari dilalui Renata penuh dengan kesabaran. Usia kandungan yang sudah besar, membuatnya kesulitan melakukan aktivitas seperti biasa. Dia mulai sudah duduk, sekalinya duduk susah berdiri. Bahkan ingin berjalan pun sekarang malas karena mudah lelah. “Mama, kapan dedeknya keluar?” tanya Dhira yang sore itu menemani Renata di halaman samping. Dhira duduk di samping Renata, satu tangan mengelus perut sang mama yang besar. “Bentar lagi. Kak Dhira sudah ga sabar ya mau lihat adek?” tanya Renata setelah menjawab. Dia menggoda putrinya dengan sebutan ‘Kak’. “Iya. ‘kan Dhira mau jadi kakak, biar kayak Dharu. Masa Dharu aja yang jadi kakak.” Dhira masih saja tidak terima jadi adik dan Dharu kakaknya. “Udah, ga usah iri lagi. Nanti kalau adik keluar, jadi kakak juga,” balas Dharu yang ada di samping Renata juga. “Makanya, Dhira ga sabar lihat adik. Biar cepet-cepet dipanggil kakak. Iyakan, Ma?” Dhira menatap Renata sambil mengedip-ngedip manja. Renata tertawa kecil mendengar ucapan Dhi