Stef datang ke sebuah restoran saat siang hari untuk menemui Renata sesuai janji. Namun, saat sampai di sana dia terlihat tidak senang karena ternyata Renata menunggu bersama Evan.Renata langsung berdiri begitu melihat Stef. Bahkan dia langsung tersenyum untuk menyambut, sampai membuat Evan kesal.“Stef.” Renata melambaikan tangan agar Stef mendekat.Stef sendiri sebenarnya sedikit malas, tapi tidak punya pilihan hingga akhirnya memilih mendekat dengan wajah masam.“Aku senang melihatmu, duduklah.” Renata mempersilakan Stef duduk.Stef duduk berhadapan dengan Renata. Dia seharusnya sudah bisa menebak jika Renata pasti bersama Evan. Stef terlalu besar kepala karena berpikir Renata menghubungi sebab ingin bertemu hanya berdua dengannya.“Aku sudah memesan minuman dan makanan yang kamu suka, tapi tidak tahu apa seleramu sudah berubah,” ucap Renata sambil menunjuk makanan yang ada di meja.Evan terkejut mendengar ucapan Renata, jadi makanan itu adalah kesukaan Stef, membuat Evan cemburu
“Bagaimana bisa dia seegois itu, mengatakan jika aku tidak akan mampu. Dia pikir aku lemah? Hanya karena dulu aku tidak berminat pada bisnis, lalu dia pikir aku tidak tahu apa-apa? Dia pikir aku bodoh dan akan kalah jika perang!”Renata begitu kesal, geram, dan marah karena ucapan Stef yang seolah merendahkan dirinya. Dia berjalan mondar-mandir di kamar hotel, tidak bisa melupakan kekesalannya karena sikap Stef yang dianggapnya berubah.“Aku pikir dia masih sama seperti dulu, ternyata sudah berubah,” geram Renata belum berhenti mengumpat karena kesal.Evan melihat Renata yang berjalan mondar-mandir tidak jelas. Dia sampai menghela napas kasar, tidak menyangka jika istrinya bisa sampai seperti itu ketika kesal.“Re, dengan kamu mondar-mandir seperti itu, tidak akan membuatmu mendapatkan apa yang kamu inginkan,” ucap Evan yang pusing sendiri.Renata menghentikan langkah, menoleh sang suami kemudian menghampiri dan duduk di samping Evan. Dia memasang wajah kesal sambil melipat kedua tang
“Boleh ya, ya, Evan.” Renata masih mencoba membujuk Evan agar mengizinkan pergi. Evan melepas kedua tangan Renata yang memeluknya. Dia lantas menatap Renata yang sudah memandangnya. Istrinya menatap penuh harap kepadanya. “Baiklah, jangan memasang wajah itu,” ucap Evan yang tidak mau melihat ekspresi wajah Renata saat merayu, atau dia akan menjadi gemas ke istrinya. “Kamu ngizinin?” tanya Renata memastikan. “Ya, dengan catatan benar-benar di kafe, tidak ada alasan pindah tempat lain atau apa,” jawab Evan setengah ikhlas. Renata mengembangkan senyum, hingga secara iseng mengecup pipi suaminya untuk berterima kasih. “Terima kasih, aku akan langsung kembali begitu urusannya selesai,” ucap Renata penuh semangat. Evan benar-benar gemas tapi juga kesal karena Renata begitu semangat ingin bertemu Stef. “Tunggu!” Saat Renata baru saja akan menuju pintu, Evan memanggil dan membuat Renata berhenti melangkah. Renata membalikkan badan, hingga terkejut dengan yang dilakukan Evan. Sang sua
Renata sangat terkejut karena ada yang membekap menariknya menjauh dari jalan. Merasa dalam bahaya, Renata pun berusaha menginjak kaki seseorang yang menariknya.“Dasar psikopat!” Renata mengayunkan tas ketika sudah terlepas, menghantamkan tas itu ke wajah pria yang menariknya.“Agh! Re!”Renata terkejut mendengar suara yang menyebut namanya, hingga memperhatikan dan baru menyadari siapa yang menariknya.“Van, apa yang kamu lakukan?” Renata benar-benar tidak habis pikir dengan yang dilakukan suaminya itu.Evan mengusap pipinya yang sakit terkena gampar tas Renata, belum lagi kakinya yang diinjak oleh istrinya itu.“Iseng,” ucap Evan.Renata melongo mendengar jawaban suaminya. Bisa-bisanya Evan berkata kalau iseng, padahal dia sudah takut setengah mati.“Ngapain iseng? Untung aku ga teriak, atau kamu akan digebuki masa. Lagian kenapa kamu di sini?” tanya Renata bertubi karena heran.“Mau nyari makan, lihat kamu jadi iseng ngerjain. Lagi pula, kenapa tidak menghubungiku untuk menjemput
Evan dan Renata pergi ke rumah sakit setelah keduanya baru saja menikmati kebersamaan mereka. Keduanya sengaja datang saat malam hari, untuk meminimalisir bertemu dengan Kevin.“Bagaimana keadaan oma?” tanya Renata saat bertemu Murni.“Dalam kondisi baik seperti kemarin,” jawab Murni, “tadi tuan datang dan menanyakan kondisi nyonya,” ucap Murni kemudian.Renata sudah menebak jika Kevin pasti akan datang dan memantau kondisi Veronica.“Apa dia masuk dan melihat kondisi oma secara langsung?” tanya Renata penasaran, untung saja tidak datang saat siang hari, atau dia mungkin bertemu Kevin dan rencananya akan gagal.“Tidak, mana mau tuan masuk ke ICU. Sudah betul nyonya berpura dirawat intensif agar tuan tidak melihatnya,” ucap Murni.Renata mengangguk paham, hingga pamit masuk untuk bertemu Veronica.“Kenapa kalian ke sini malam-malam?” tanya Veronica yang sudah bersiap tidur, tapi urung karena melihat Evan dan Renata datang.“Hanya ingin memastikan kondisi oma saja,” jawab Renata.Veroni
“Ingat, kamu sudah setuju jika akan mengiakan semua ucapanku,” bisik Stef saat melihat Renata yang ingin protes.Renata tidak bisa berkutik, kalah telak karena sudah mengiakan semua syarat yang Stef berikan.“Oh, benarkah? Kenapa aku tidak tahu? Kamu juga, kenapa tidak pernah memperkenalkannya dari dulu?” Wanita itu terlihat senang mendengar Stef memiliki kekasih.Renata hanya tersenyum canggung, merasa berbohong bukanlah hal yang baik untuk mendapatkan sesuatu. Takut jika suatu saat status sebenarnya diketahui, maka orang-orang itu akan kecewa.“Dia tinggal di luar negeri selama ini dan baru pulang,” ujar Stef menjelaskan dengan sangat luwes, bahkan tidak akan ada yang bisa menebak jika semua ucapannya dusta.“Hai, aku Grace. Kupikir Stef masih lajang, hampir saja aku memintanya menikahi putriku,” seloroh wanita itu sambil memperkenalkan diri ke Renata.Renata mengulurkan tangan untuk membalas jabat tangan wanita itu dan balik memperkenalkan diri. “Saya Renata.”“Jangan bicara terlal
“Kenapa kamu di sini?” Ternyata yang menarik tangan Renata adalah Evan. Renata sendiri juga bingung kenapa Evan di sana. “Kenapa kamu juga di sini?” tanya Renata balik. “Jangan balik tanya.” Evan terlihat kesal, apalagi tadi melihat Stef yang memeluk istrinya. “Aku bisa jelaskan,” kata Renata karena melihat Evan marah. Evan menatap tidak senang ke Stef, hingga kemudian memilih menarik tangan Renata. Stef ingin mencegah, tapi tidak memiliki hak dan takut membuat suasana semakin keruh, lantas memilih membiarkan saja Evan membawa Renata. ** Evan mengajak Renata keluar dari hotel menuju mobil. Dia kesal karena Renata tidak mengatakan jika pergi ke hotel itu bersama Stef. “Apa yang kamu pikirkan? Bisa-bisanya kamu pergi ke pesta di hotel bersama pria lain. Bagaimana jika terjadi sesuatu denganmu?” Evan menggerutu sepanjang jalan menuju mobil. “Maaf, bukannya aku tidak mau memberitahu. Aku pun tidak tahu jika Stef akan mengajakku ke sini,” ujar Renata menjelaskan. Evan menghentika
Rapat itu terhenti sejenak karena kedatangan Renata dan Evan, juga adanya perkenalan singkat dari keduanya. Renata sendiri benar-benar masih bingung, sejak kapan Evan memiliki saham perusahaan Veronica. “Apa kita bisa mulai rapatnya?” tanya staf yang berdiri di mimbar. Semua orang mengangguk. Renata mengambil kursi yang berhadapan dengan Stef, sekilas menyapa Grace dan pria yang pernah ditemuinya dengan seulas senyum. Rapat itu dimulai dengan membahas kinerja perusahaan, proges, juga keuntungan perusahaan selama setahun terakhir. Hingga akhirnya sampailah di acara penilaian kinerja jabatan presiden direktur, serta pengambilan suara untuk mempertahankan posisi itu. “Seperti tahun sebelumnya, hanya Pak Kevin yang layak menduduki jabatan itu, serta beliau memiliki kinerja yang bagus. Kami selaku pemegang saham, akan mendukung Pak Kevin menjadi presiden direktur seperti tahun-tahun sebelumnya,” ujar salah satu pemegang saham yang mendukung Kevin. Kevin tersenyum puas, sangat yakin mes
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Kasih melahirkan dengan cara cesar. Kini Kasih sudah dipindah ke ruang inap, tapi bayinya masih dalam pemantauan dokter di ruangan khusus perawatan bayi. “Syukurlah semua berjalan dengan lancar,” ucap Liliana penuh kelegaan melihat Kasih baik-baik saja. “Kita akhirnya punya cucu.” Jefrine merangkul istrinya, terlihat tatapan penuh kebahagiaan di mata pria itu. Dean melihat tatapan berbeda dari sang papa ke sang mama. Tatapan yang dianggapnya sudah lenyap sejak bertahun-tahun lamanya. “Kamu sudah menghubungi ibunya Kasih?” tanya Liliana yang ingat ke besannya itu. “Sudah, Ma. Ibu bilang akan datang secepatnya naik kereta, jadi butuh waktu ke sini,” jawab Dean. “Iya ga papa, terpenting kamu sudah mengabarinya,” ujar Liliana. Renata dan Evan senang melihat kebahagiaan Dean. Akhirnya bisa melihat pria itu bisa tersenyum penuh kelegaan dan bahagia. “Kami pulang dulu, kalau nanti Kak Kasih bangun dan tanya, katakan kami akan datang besok,” ujar R
“Benarkah? Ini berita yang sangat bagus.”Renata begitu senang mendengar Kasih dan Dean akhirnya berbaikan dengan Jefrine.Malam itu Kasih dan Dean mengajak makan malam Evan juga Renata, tentu saja untuk merayakan kebahagiaan keduanya yang kini sudah berbaikan dengan orang tua Dean.“Ya, kami pun tak menyangka. Kupikir bertemu dengan Papa akan membuat kami kembali bertengkar hebat. Namun, siapa sangka jika kemarin malam adalah malam yang benar-benar di luar dugaanku,” ujar Dean menjelaskan.Renata paham maksud Dean, hingga kemudian membalas, “Terkadang kita terlalu takut akan pemikiran kita sendiri. Kita merasa jika orang yang membenci kita, benar-benar akan terus membenci kita selamanya. Tapi siapa sangka jika ketakutan itu tidak benar, nyatanya papamu mau meminta maaf dulu.”“Benar, sama seperti Mama saat dulu tak suka Renata. Tiba-tiba saja datang dan meminta maaf, lalu menerima hubungan kami. Bukankah terkadang kita yang terlalu takut untuk memperbaiki kesalahan, hingga menunggu o
Dean dan yang lain terkejut saat melihat siapa yang kini berdiri memandang mereka, bahkan Liliana langsung berdiri karena panik.Dean langsung memalingkan wajah, seolah tak sudi melihat pria yang kini berdiri memandang dirinya.Kasih sendiri mengalihkan pandangan ke Dean, melihat suaminya yang terlihat tidak senang dan tidak nyaman.“Kamu sudah pulang. Kupikir kamu akan pulang minggu depan,” ujar Liliana dengan wajah panik.Jefrine—ayah Dean, menatap istrinya yang sudah berdiri dengan sikap kebingungan.“Mumpung kamu di sini, ada yang ingin kubicarakan denganmu,” ujar Jefrine sambil menatap Dean.Kasih langsung memandang suaminya, terlihat jelas jika Dean benar-benar tertekan.Jefrine menunggu Dean bicara, hingga sekilas melirik ke Kasih.“Hanya sebentar,” ucap pria itu kemudian.Dean menghela napas kasar, hingga akhirnya berdiri lantas memandang ke arah Jefrine.“Aku juga merasa perlu menyelesaikan sesuatu denganmu,” ucap Dean yang tak mau bersikap sopan ke pria yang dianggapnya buru
Dean akhirnya setuju pergi makan malam ke rumah orang tuanya. Dia dan Kasih kini berada di mobil menuju rumah Liliana.Kasih menoleh Dean, melihat suaminya terlihat serius menyetir. Sebelumnya Dean tidak memberi keputusan apakah mau datang makan malam di rumah orang tuanya, tapi tiba-tiba saja sore ini Dean meminta Kasih bersiap.“De, kamu tidak apa-apa, kan? Kalau memang masih tidak bisa, kita tidak usah datang. Mama juga pasti maklum kalau dijelaskan,” ujar Kasih yang tidak tega memaksa suaminya pulang.Kasih tahu bagaimana suaminya itu berjuang melawan sang papa. Dia sendiri tidak pernah menyalahkan sikap Dean yang membenci ayahnya, semua tak terlepas dari perbuatan ayah Dean di masa lalu, yang membuat Dean memilih membenci sang ayah.Deon menoleh Kasih, melihat istrinya itu terlihat cemas.“Aku tidak apa-apa. Sejak kita menikah, aku juga belum pernah melihat Mama. Ya, aku sadar jika membenci Papa, tapi Mama tidak salah sama sekali, jadi kupikir tidak ada salahnya berkunjung, selam
“Kamu benar-benar tidak apa, kan? Bagaimana calon bayi kita? Dia tidak kaget, kan?”Dean sangat mencemaskan kondisi Kasih. Bahkan kembali memastikan saat sudah sampai apartemen.“Aku baik-baik saja, De. Serius.” Kasih mencoba meyakinkan jika dirinya baik-baik saja.Dean memandang Kasih. Dia sedih karena sang istri mendapat perlakukan tidak baik berulang kali.“Apa kita pindah saja. Kita ke tempat Ibu saja,” ujar Dean. Dia tidak bisa terus menerus panik karena istrinya beberapa kali hampir celaka.Kasih terkejut mendengar ucapan Dean. Jarak rumah ibu Kasih dan kota tempat mereka tinggal cukup jauh. Kasih tidak tega jika Dean harus bolak-balik menempuh jarak yang jauh.“Tidak apa, De. Aku janji akan hati-hati lagi. Lagian aku kalau pergi pasti bersama Renata, jadi ada yang melindungiku. Tadi saja memang mengalami kejadian tak terduga, tapi serius aku baik-baik saja,” balas Kasih mencoba meyakinkan.Dean menatap sendu. Dia sibuk bekerja sampai tidak bisa menemani istrinya pergi atau seka
Dean berjalan cepat menuju ke ruang guru begitu sampai di sekolah Dhira dan Dharu. Renata memang menghubungi Dean, agar pria itu bisa melindungi Kasih, serta tahu apa yang dilakukan Kanaya ke Kasih.Dean masuk ke ruang guru, lantas secepat kilat menghampiri Kasih yang duduk dengan ekspresi wajah terkejut menatapnya.“Kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?” tanya Dean yang sangat panik. Dia mengecek tubuh sang istri apakah ada luka.“Aku baik-baik saja, De.” Kasih mencoba menenangkan istrinya.Kanaya terkejut melihat Dean di sana. Dia tidak pernah tahu jika Dean menikah dengan Kasih, karena pernikahan keduanya dilakukan secara tertutup dan hanya orang tertentu saja yang diundang.Renata melihat wajah panik Kanaya, lantas memberi isyarat ke Dean untuk menoleh ke pelaku yang mencoba menabrak Kasih.Dean menoleh ke Kanaya, tatapan tidak senang tersirat jelas dari sorot mata pria itu saat melihat Kanaya.Hingga beberapa saat kemudian, seorang pria masuk ke ruang guru, membuat semua ora
Renata benar-benar geram melihat siapa yang keluar dari mobil. Sungguh tak paham dengan pemikiran seperti manusia itu.“Matamu sudah buta, hah! Ini lingkungan sekolah, bukan area balapan yang bisa kamu jadikan tempat ajang ugal-ugalan!”Renata mengamuk, membuat banyak orang akhirnya kini memperhatikan dirinya.Kasih mendekat lantas mencoba menarik Renata agar tidak terlibat masalah.“Sudah, Re. Aku juga baik-baik saja, tidak apa.” Kasih mencoba menjauhkan Renata.“Tidak bisa, Kak. Dia sengaja melakukannya!” Renata tetap saja tidak terima.Kanaya tersenyum miring melihat Renata marah, lantas melirik ke Kasih yang mencoba mengajak pergi Renata.“Tolong! Apa anaknya sekolah di sini? Apakah begini adab di dalam sekolah!” Renata berteriak keras, meminta pendapat para orang tua di sana.“Jika manusia seperti ini, berkeliaran dan ugal-ugalan di area sekolah, kemudian menabrak salah satu dari anak kalian, apa kalian akan terima?” Renata menatap satu persatu orang tua yang ada di sana.Para or
“Maaf ya, Re. Aku sekarang jadi sering merepotkanmu.” Kasih menatap tak enak hati karena terus meminta bantuan Renata untuk menemaninya.“Tidak apa. Seperti kayak siapa saja. Dulu aku sering sekali merepotkan Kakak, sekarang anggap saja aku sedang membalasnya,” balas Renata tidak masalah jika sering menemani Kasih.Kasih terharu mendengar balasan Renata, lantas merangkul tangan ibu tiga anak itu untuk jalan.“Kamu tidak dimarahi Bibi karena sering meninggalkan Aldric, kan?” tanya Kasih sambil berjalan.Kasih ingin jalan-jalan karena bosan di apartemen, tapi tidak berani pergi sendiri, sehingga mengajak Renata.“Bukan marah, yang ada Mama malah senang karena Aldric aku tinggalkan sama Mama. Katanya kalau aku di rumah, Aldric akan banyak bersamaku,” jawab Renata diakhiri tawa kecil.Kasih ikut tertawa mendengar jawaban Renata.“Oh ya, tapi nanti siang aku jemput anak-anak sekalian ga apa-apa, kan?” tanya Renata kemudian.“Tentu saja, aku malah senang bisa ikut menjemput mereka,” balas K
“Tampaknya Kasih hanya dekat denganmu di sini.” Renata menoleh ketika mendengar Margaret bicara. Dia melihat mertuanya itu berjalan masuk kamar menghampiri dirinya. “Iya, Ma. Karena kata Evan, Kak Kasih memang tidak memiliki teman di sini,” ujar Renata menjelaskan. Renata sedang menyusui Aldric, lantas menatap Margaret yang duduk di tepian ranjang memperhatikan dirinya. “Hm … ya, Mama jadi ingat saat pertama kali melihatnya. Dia pendiam bahkan mama lihat tidak pernah bergaul dengan mahasiswa lain,” ujar Margaret karena memang dulu pernah menyelidiki siapa Kasih, sebab Evan berkata menyukainya. Margaret tiba-tiba menatap Renata dengan cepat, hingga kemudian kembali berkata, “Kamu jangan salah paham. Mama bicara begini bukan apa-apa, hanya ingin bicara sesuatu yang mama tahu.” Renata tertawa kecil melihat mertuanya salah tingkah. Dia pun kemudian membalas, “Tenang saja, Ma. Baik aku atau Evan, sama-sama sudah menganggap itu masa lalu. Lagi pula hubungan kami baik, jadi Mama jangan