Renata sangat terkejut mendengar tuduhan Evan, tapi meski begitu tidak langsung marah, sebab tahu jika suaminya curiga karena memang takut kehilangannya.Renata pun menghela napas kasar, lantas duduk di tepian ranjang sambil menatap begitu dalam ke Evan.Tentu saja Evan malah salah tingkah ditatap Renata seperti itu, semakin merasa aneh tapi juga berusaha untuk tidak emosi berlebih.“Apa? Kamu harus menjelaskan sesuatu kepadaku,” ucap Evan menurunkan nada bicaranya.“Kamu ini terkadang seperti anak kecil, kadang aku tidak yakin kalau umurmu sudah tiga puluhan tahun,” ledek Renata menanggapi kecurigaan Evan.Tentu saja apa yang dikatakan Renata, membuat Evan membulatkan bola mata lebar.“Aku akan memberitahumu, tapi janji jangan bereaksi berlebih,” ucap Renata terlebih dahulu untuk memegang kendali.“Jika ini masalah hubungan kita, wajar jika aku beraksi berlebih,” balas Evan tanpa mau berjanji terlebih dahulu.Renata membuang napas kasar, kemudian melepas ikatan scarf di leher. Evan s
“Demi keselamatanmu, lebih baik kamu tidak usah pergi ke perusahaan untuk sementara waktu. Kamu bisa mengerjakannya tanpa masuk kantor. Oma tidak mau jika sampai suatu hal menimpamu lagi.”Veronica memberi keputusan tegas demi keselamatan cucunya.Renata terkejut mendengar keputusan Veronia.“Oma, kalau aku tidak ke kantor, lalu bagaimana nanti tanggapan para petinggi tentangku atau Oma, mereka pasti akan berpikir jika aku tidak kompeten, serta menganggap jika keputusan Oma salah dengan memilihku,” ujar Renata cemas jika tidak hadir di perusahaan, akan mempengaruhi kondisi di perusahaan.Veronica mengulas senyum, hingga kemudian menepuk dan mengelus punggung tangan Renata.“Kamu tenang saja, urusan itu serahkan ke oma. Yang terpenting sekarang keselamatan kamu dan Evan, tidak usah terlalu memikirkan penilaian orang, cukup perlihatkan prestasimu, soal proses biar dirimu sendiri saja yang tahu,” ujar Veronica menasihati karena tahu jika Renata memang terlalu memikirkan perasaan orang la
Veronica menatap Adam, mengamati wajah bocah kecil itu yang ternyata memang sangat mirip Kevin ketika masih kecil.“Kamu mau tinggal di sini? Kalau mau, aku bisa memberimu banyak cokelat dan makanan yang kamu inginkan,” ucap Veronica ke Adam.Adam menatap Veronica, bocah berumur dua tahun itu memandang dengan mulut penuh cokelat, hingga kemudian menganggukkan kepala tanda setuju.Veronica tersenyum tipis melihat anggukan kepala Adam. Bocah itu sangat senang dengan makanan manis itu, membuat Veronica bertanya-tanya, apakah Adam selama ini tidak mendapat kehidupan yang layak.Meski Veronica berpikiran demikian, tapi ketika mengingat ucapan Zahra, membuatnya menepis pikiran negatif itu. Zahra berkata jika Kevin sering mendatangi Adam tanpa sepengetahuan Sandra, memberi pakaian baru, mainan, juga makanan enak. Kini banyak sekali pertanyaan di kepala Veronica setelah mendengar cerita Zahra.“Adam mau tidur sama oma?” tanya Veronica kemudian.Veronica tahu jika Kevin sangat kejam, tapi Adam
“Evan! Kenapa kamu tidak menjawab! Mama mau melakukan panggilan video!” bentak Margaret yang begitu emosi, terdengar meledak dari seberang panggilan.“Iya, bentar. Aku pakai baju dulu.” Evan buru-buru meletakkan ponsel di kasur, lantas meminta Renata untuk memberikan piyamanya.Renata pun ikut bingung karena Evan panik, apalagi sempat mendengar suara Margaret yang begitu keras.Evan mengambil ponsel yang tadi diletakkan, lantas menyalakan kameranya.“Kamu benar-benar di rumah sakit! Jadi kamu bohongi mama jika baik-baik saja!” Suara Margaret menggelegar setelah melihat Evan benar-benar ada di rumah sakit.Evan sampai meringis melihat sang mama marah. Renata sendiri ikut panik karena Margaret memang mengerikan saat marah.“Ma, dengarkan penjelasanku dulu,” ucap Evan mencoba menenangkan sang mama.“Jelaskan! Jelaskan pada mama, bagaimana bisa kamu mengalami kecelakaan sampai masuk berita, tapi tidak memberitahu mama atau Papa!” amuk Margaret geram karena sedih melihat putranya terluka.
Renata berjalan di koridor rumah sakit sambil menenteng plastik berisi makanan yang baru saja dibelinya. Saat baru saja akan sampai di ruang inap Evan, dia menyipitkan mata melihat seorang pria sedang mengintai di depan pintu.Renata pun mendekat, hingga langsung melontarkan pertanyaan yang membuat pria itu terkejut.“Apa yang Anda lakukan di sini?” tanya Renata mengulang pertanyaan, sebab pria itu tidak menjawab.“Oh, saya sedang mencari kamar inap milik kakak saya, namanya Herman. Apa benar ini kamarnya?” tanya pria itu asal-asalan karena takut ketahuan.Renata membentuk huruf O dengan bibir, sebelum kemudian menjawab, “Bukan, ini kamar inap suami saya dan dia bukan bernama Herman.”Pria suruhan Damar itu mengangguk-anggukan kepala, lantas pergi dan berpura-pura mengecek kamar lain.Renata masih memperhatikan pria itu, hingga saat sudah jauh, dia pun masuk ke kamar.Evan melihat istrinya datang, lantas melontarkan pertanyaan.“Kamu bicara dengan siapa? Aku mendengarmu bicara dengan
Siang itu, Veronica ke rumah sakit untuk menjenguk Evan, sekalian untuk mendengarkan polisi yang akan menyampaikan soal perkembangan kasus kecelakaan yang menimpa Evan dan Renata.“Jadi hasil penyelidikannya sudah keluar?” tanya Renata ke Veronica.“Ya, dan polisi akan ke sini langsung untuk menyampaikannya,” jawab Veronica.Renata mengangguk paham, lantas menatap Veronica yang terlihat tenang.“Oma, baik-baik saja?” tanya Renata yang cemas.Bagaimanapun Veronica pasti mengalami tekanan batin atas kelakuan Kevin. Meski Veronica terus berkata baik-baik saja, tapi Renata yakin jika Veronica sebenarnya memendam kesedihan sendirian.“Tentu saja baik, kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya Veronica menatap Renata.“Hanya ingin memastikan,” jawab Renata sambil tersenyum. “Jika benar Paman yang melakukannya, apa Oma tidak masalah kalau Paman sampai dipenjara?”Veronica mengembuskan napas pelan, lantas menatap Renata yang terlihat cemas.“Jika memang itu harus. Oma tidak akan mencegah atau
Renata dan Evan pulang ke rumah. Saat akan turun dari mobil, Evan dibantu sopir dan penjaga kebun, sebab belum bisa berjalan dan harus menggunakan tongkat.“Awas kepalamu,” ucap Renata sambil meletakkan telapak tangan di atas kepala Evan, agar tidak membentur tepian mobil.Evan berjalan dengan tongkat. Renata di samping kanan membantu berjalan, sedangkan sopir di sisi kiri berjaga-jaga jika Evan berjalan dengan tidak seimbang.Saat baru saja masuk rumah, Renata dan Evan melihat anak laki-laki sedang bermain di ruang keluarga bersama seorang wanita yang tak lain Zahra.“Siang, Nona.” Zahra tampaknya sudah tahu siapa Renata. Dia berdiri dan langsung menyapa Renata.“Siang,” balas Renata sopan.Renata mengalihkan tatapan ke Adam yang sedang bermain mobil.“Itu anak Sandra?” tanya Renata yang enggan menyebut sebagai anak Kevin.Zahra mengangguk menjawab pertanyaan Renata.“Dia tampan,” ucap Renata, “semoga nanti jika besar tidak seperti ayahnya,” imbuhnya kemudian yang memang kecewa denga
Margaret masuk kamar setelah memastikan anak-anak tidur. Saat baru saja masuk, dia melihat Edward yang belum tidur dan masih memandang tablet pintar yang dipegang.“Kenapa Papa belum tidur?” tanya Margaret sambil naik ke ranjang.Edward langsung mengunci layar tablet itu saat Margaret hendak melihat.“Kenapa langsung dikunci. Papa sedang lihat apa?” tanya Margaret dengan rasa penasaran dan curiga.“Bukan apa-apa,” jawab Edward sambil ingin mengembalikan tablet pintar ke nakas, tapi langsung dicegah Margaret.Margaret mengambil paksa tablet itu, membuat Edward panik.“Aku penasaran, apa yang sebenarnya sedang Papa lakukan?” Margaret membuka tablet pintar itu, hendak mengecek apa yang sebenarnya tadi dilihat suaminya.Edward terlihat cemas, tapi tidak bisa mengelak.Margaret pun akhirnya menyapukan jari di layar tablet pintar, hingga melihat grafik saham di tablet suaminya.“Apa ini?” Margaret terkejut saat melihat harga saham perusahaan Evan anjlok.Edward menggosok kening karena akhir
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Kasih melahirkan dengan cara cesar. Kini Kasih sudah dipindah ke ruang inap, tapi bayinya masih dalam pemantauan dokter di ruangan khusus perawatan bayi. “Syukurlah semua berjalan dengan lancar,” ucap Liliana penuh kelegaan melihat Kasih baik-baik saja. “Kita akhirnya punya cucu.” Jefrine merangkul istrinya, terlihat tatapan penuh kebahagiaan di mata pria itu. Dean melihat tatapan berbeda dari sang papa ke sang mama. Tatapan yang dianggapnya sudah lenyap sejak bertahun-tahun lamanya. “Kamu sudah menghubungi ibunya Kasih?” tanya Liliana yang ingat ke besannya itu. “Sudah, Ma. Ibu bilang akan datang secepatnya naik kereta, jadi butuh waktu ke sini,” jawab Dean. “Iya ga papa, terpenting kamu sudah mengabarinya,” ujar Liliana. Renata dan Evan senang melihat kebahagiaan Dean. Akhirnya bisa melihat pria itu bisa tersenyum penuh kelegaan dan bahagia. “Kami pulang dulu, kalau nanti Kak Kasih bangun dan tanya, katakan kami akan datang besok,” ujar R
“Benarkah? Ini berita yang sangat bagus.”Renata begitu senang mendengar Kasih dan Dean akhirnya berbaikan dengan Jefrine.Malam itu Kasih dan Dean mengajak makan malam Evan juga Renata, tentu saja untuk merayakan kebahagiaan keduanya yang kini sudah berbaikan dengan orang tua Dean.“Ya, kami pun tak menyangka. Kupikir bertemu dengan Papa akan membuat kami kembali bertengkar hebat. Namun, siapa sangka jika kemarin malam adalah malam yang benar-benar di luar dugaanku,” ujar Dean menjelaskan.Renata paham maksud Dean, hingga kemudian membalas, “Terkadang kita terlalu takut akan pemikiran kita sendiri. Kita merasa jika orang yang membenci kita, benar-benar akan terus membenci kita selamanya. Tapi siapa sangka jika ketakutan itu tidak benar, nyatanya papamu mau meminta maaf dulu.”“Benar, sama seperti Mama saat dulu tak suka Renata. Tiba-tiba saja datang dan meminta maaf, lalu menerima hubungan kami. Bukankah terkadang kita yang terlalu takut untuk memperbaiki kesalahan, hingga menunggu o
Dean dan yang lain terkejut saat melihat siapa yang kini berdiri memandang mereka, bahkan Liliana langsung berdiri karena panik.Dean langsung memalingkan wajah, seolah tak sudi melihat pria yang kini berdiri memandang dirinya.Kasih sendiri mengalihkan pandangan ke Dean, melihat suaminya yang terlihat tidak senang dan tidak nyaman.“Kamu sudah pulang. Kupikir kamu akan pulang minggu depan,” ujar Liliana dengan wajah panik.Jefrine—ayah Dean, menatap istrinya yang sudah berdiri dengan sikap kebingungan.“Mumpung kamu di sini, ada yang ingin kubicarakan denganmu,” ujar Jefrine sambil menatap Dean.Kasih langsung memandang suaminya, terlihat jelas jika Dean benar-benar tertekan.Jefrine menunggu Dean bicara, hingga sekilas melirik ke Kasih.“Hanya sebentar,” ucap pria itu kemudian.Dean menghela napas kasar, hingga akhirnya berdiri lantas memandang ke arah Jefrine.“Aku juga merasa perlu menyelesaikan sesuatu denganmu,” ucap Dean yang tak mau bersikap sopan ke pria yang dianggapnya buru
Dean akhirnya setuju pergi makan malam ke rumah orang tuanya. Dia dan Kasih kini berada di mobil menuju rumah Liliana.Kasih menoleh Dean, melihat suaminya terlihat serius menyetir. Sebelumnya Dean tidak memberi keputusan apakah mau datang makan malam di rumah orang tuanya, tapi tiba-tiba saja sore ini Dean meminta Kasih bersiap.“De, kamu tidak apa-apa, kan? Kalau memang masih tidak bisa, kita tidak usah datang. Mama juga pasti maklum kalau dijelaskan,” ujar Kasih yang tidak tega memaksa suaminya pulang.Kasih tahu bagaimana suaminya itu berjuang melawan sang papa. Dia sendiri tidak pernah menyalahkan sikap Dean yang membenci ayahnya, semua tak terlepas dari perbuatan ayah Dean di masa lalu, yang membuat Dean memilih membenci sang ayah.Deon menoleh Kasih, melihat istrinya itu terlihat cemas.“Aku tidak apa-apa. Sejak kita menikah, aku juga belum pernah melihat Mama. Ya, aku sadar jika membenci Papa, tapi Mama tidak salah sama sekali, jadi kupikir tidak ada salahnya berkunjung, selam
“Kamu benar-benar tidak apa, kan? Bagaimana calon bayi kita? Dia tidak kaget, kan?”Dean sangat mencemaskan kondisi Kasih. Bahkan kembali memastikan saat sudah sampai apartemen.“Aku baik-baik saja, De. Serius.” Kasih mencoba meyakinkan jika dirinya baik-baik saja.Dean memandang Kasih. Dia sedih karena sang istri mendapat perlakukan tidak baik berulang kali.“Apa kita pindah saja. Kita ke tempat Ibu saja,” ujar Dean. Dia tidak bisa terus menerus panik karena istrinya beberapa kali hampir celaka.Kasih terkejut mendengar ucapan Dean. Jarak rumah ibu Kasih dan kota tempat mereka tinggal cukup jauh. Kasih tidak tega jika Dean harus bolak-balik menempuh jarak yang jauh.“Tidak apa, De. Aku janji akan hati-hati lagi. Lagian aku kalau pergi pasti bersama Renata, jadi ada yang melindungiku. Tadi saja memang mengalami kejadian tak terduga, tapi serius aku baik-baik saja,” balas Kasih mencoba meyakinkan.Dean menatap sendu. Dia sibuk bekerja sampai tidak bisa menemani istrinya pergi atau seka
Dean berjalan cepat menuju ke ruang guru begitu sampai di sekolah Dhira dan Dharu. Renata memang menghubungi Dean, agar pria itu bisa melindungi Kasih, serta tahu apa yang dilakukan Kanaya ke Kasih.Dean masuk ke ruang guru, lantas secepat kilat menghampiri Kasih yang duduk dengan ekspresi wajah terkejut menatapnya.“Kamu baik-baik saja? Apa ada yang terluka?” tanya Dean yang sangat panik. Dia mengecek tubuh sang istri apakah ada luka.“Aku baik-baik saja, De.” Kasih mencoba menenangkan istrinya.Kanaya terkejut melihat Dean di sana. Dia tidak pernah tahu jika Dean menikah dengan Kasih, karena pernikahan keduanya dilakukan secara tertutup dan hanya orang tertentu saja yang diundang.Renata melihat wajah panik Kanaya, lantas memberi isyarat ke Dean untuk menoleh ke pelaku yang mencoba menabrak Kasih.Dean menoleh ke Kanaya, tatapan tidak senang tersirat jelas dari sorot mata pria itu saat melihat Kanaya.Hingga beberapa saat kemudian, seorang pria masuk ke ruang guru, membuat semua ora
Renata benar-benar geram melihat siapa yang keluar dari mobil. Sungguh tak paham dengan pemikiran seperti manusia itu.“Matamu sudah buta, hah! Ini lingkungan sekolah, bukan area balapan yang bisa kamu jadikan tempat ajang ugal-ugalan!”Renata mengamuk, membuat banyak orang akhirnya kini memperhatikan dirinya.Kasih mendekat lantas mencoba menarik Renata agar tidak terlibat masalah.“Sudah, Re. Aku juga baik-baik saja, tidak apa.” Kasih mencoba menjauhkan Renata.“Tidak bisa, Kak. Dia sengaja melakukannya!” Renata tetap saja tidak terima.Kanaya tersenyum miring melihat Renata marah, lantas melirik ke Kasih yang mencoba mengajak pergi Renata.“Tolong! Apa anaknya sekolah di sini? Apakah begini adab di dalam sekolah!” Renata berteriak keras, meminta pendapat para orang tua di sana.“Jika manusia seperti ini, berkeliaran dan ugal-ugalan di area sekolah, kemudian menabrak salah satu dari anak kalian, apa kalian akan terima?” Renata menatap satu persatu orang tua yang ada di sana.Para or
“Maaf ya, Re. Aku sekarang jadi sering merepotkanmu.” Kasih menatap tak enak hati karena terus meminta bantuan Renata untuk menemaninya.“Tidak apa. Seperti kayak siapa saja. Dulu aku sering sekali merepotkan Kakak, sekarang anggap saja aku sedang membalasnya,” balas Renata tidak masalah jika sering menemani Kasih.Kasih terharu mendengar balasan Renata, lantas merangkul tangan ibu tiga anak itu untuk jalan.“Kamu tidak dimarahi Bibi karena sering meninggalkan Aldric, kan?” tanya Kasih sambil berjalan.Kasih ingin jalan-jalan karena bosan di apartemen, tapi tidak berani pergi sendiri, sehingga mengajak Renata.“Bukan marah, yang ada Mama malah senang karena Aldric aku tinggalkan sama Mama. Katanya kalau aku di rumah, Aldric akan banyak bersamaku,” jawab Renata diakhiri tawa kecil.Kasih ikut tertawa mendengar jawaban Renata.“Oh ya, tapi nanti siang aku jemput anak-anak sekalian ga apa-apa, kan?” tanya Renata kemudian.“Tentu saja, aku malah senang bisa ikut menjemput mereka,” balas K
“Tampaknya Kasih hanya dekat denganmu di sini.” Renata menoleh ketika mendengar Margaret bicara. Dia melihat mertuanya itu berjalan masuk kamar menghampiri dirinya. “Iya, Ma. Karena kata Evan, Kak Kasih memang tidak memiliki teman di sini,” ujar Renata menjelaskan. Renata sedang menyusui Aldric, lantas menatap Margaret yang duduk di tepian ranjang memperhatikan dirinya. “Hm … ya, Mama jadi ingat saat pertama kali melihatnya. Dia pendiam bahkan mama lihat tidak pernah bergaul dengan mahasiswa lain,” ujar Margaret karena memang dulu pernah menyelidiki siapa Kasih, sebab Evan berkata menyukainya. Margaret tiba-tiba menatap Renata dengan cepat, hingga kemudian kembali berkata, “Kamu jangan salah paham. Mama bicara begini bukan apa-apa, hanya ingin bicara sesuatu yang mama tahu.” Renata tertawa kecil melihat mertuanya salah tingkah. Dia pun kemudian membalas, “Tenang saja, Ma. Baik aku atau Evan, sama-sama sudah menganggap itu masa lalu. Lagi pula hubungan kami baik, jadi Mama jangan