“Nenek sudah jahat sama Mama, Dhira, juga Dharu. Bahkan tangan Dhira masih sakit. Kalau Dhira maafin, apa nenek janji ga akan jahat lagi?” Semua orang saling pandang mendengar ucapan Dhira, tentu saja hal itu bisa dimaklumi, apalagi bisa dibilang Dhira memiliki trauma karena perlakuan Margaret sebelumnya. Margaret merasa sangat bersalah karena sudah menorehkan trauma di dalam hati gadis kecil itu. Dia merutuki diri sendiri, kenapa bisa sejahat itu, hanya karena mementingkan egonya. “Iya, jangan panggil nenek, panggil oma. Oma minta maaf, maaf dengan tulus, karena sudah jahat sama Dhira, Dharu, juga Mama. Oma janji ga akan jahat lagi, asal Dhira maafin oma, ya.” Margaret berusaha kembali membujuk agar Dhira memaafkannya. Evan dan Renata saling tatap, mereka hanya bisa memantau, karena yang paling berhak memberi keputusan hanya Dhira. Dhira terlihat berpikir, kemudian kembali menatap Margaret yang berjongkok di depan Renata, menatapnya dengan seulas senyum. “Janji, ya.” Dhira melan
Renata dan Evan saling diam, keduanya berdiri bersisian dan menatap ke arah yang sama.“Aku akan tidur di sofa luar saja,” kata Evan bersiap ingin keluar dari kamar Renata.Kamar di apartemen Evan dipakai Edward dan Margaret, sedangkan kamar satunya belum dirapikan karena dijadikan gudang sehingga tidak bisa ditiduri.Sekarang Evan dan Renata malah bingung bagaimana caranya beristirahat, terlebih Renata yang menawari secara spontan agar Evan tidur di tempatnya. Kini hasilnya mereka bingung satu sama lain.“Jangan.” Renata langsung mencegah Evan yang hendak keluar.Evan berhenti melangkah, lantas menatap Renata yang menahan lengannya.“Kondisimu belum pulih sepenuhnya, meski dokter berkata kamu sudah sehat, tapi masih dipantau. Kalau tidur di luar, nanti kamu sakit bagaimana?” Renata tidak mungkin membiarkan Evan tidur di sofa dengan kondisinya yang rentan seperti sekarang.Pasca operasi, Evan masih dipantau selama dua puluh hari, kondisi tubuhnya juga tidak seperti sebelumnya. Bahkan
Dhira membuka pintu kamar Renata karena saat bangun belum melihat sang mama bangun. Dia masuk sambil mengucek mata agar bisa melihat dengan jelas, hingga Dhira berhenti melangkah saat melihat Evan dan Renata tidur satu ranjang.“Kok, Papa tidurnya di sini?’ Dhira menatap kedua orangtuanya itu secara bergantian.Renata tidur berbantal lengan Evan, satu tangan memeluk pria itu, sedangkan Evan pun tidur dengan nyenyak dengan dagu menyentuh kepala Dhira. Hingga Dhira akhirnya masuk dan melihat kedua orangtuanya yang seperti sedang berpelukan.Renata menggerakkan kelopak mata mendengar suara Dhira, masih setengah sadar samar-samar membuka mata dan melihat Dhira di depan ranjang.“Dhira, kamu sudah bangun.” Renata mengucek mata, masih tidak sadar jika dirinya baru saja memeluk Evan.“Mama dan Papa, kenapa tidur bareng?” tanya Dhira lagi.Renata membuka kelopak matanya lebar mendengar pertanyaan Dhira, hingga menoleh ke samping, menyadari jika ternyata Evan yang dipeluk bukan guling.Evan ba
“Keysha.”Margaret cukup terkejut melihat Keysha di sana, tapi kemudian mencoba tersenyum.“Key, sedang nyari apa?” tanya Margaret tidak menjawab pertanyaan Keysha.“Tadi sih rencana mau pesan gaun, Tan. Tapi aku lihat Tante dan dengar sedang bahas pernikahan, siapa yang mau menikah?”Margaret gelagapan mendengar pertanyaan Keysha. Dia merasa bersalah karena ingin menjodohkan Keysha dengan Evan, tapi sekarang malah setuju Evan menikahi Renata. Akhirnya Margaret pun mengajak Keysha pergi ke kafe untuk bicara berdua.Margaret menatap Keysha yang terlihat tenang, hingga kemudian mulai bicara.“Key.”Keysha menatap Margaret dan tersenyum ke wanita itu.“Iya Tan, gimana?” Keysha masih bicara lemah lembut ke Margaret.Margaret semakin merasa tidak enak hati karena Keysha bersikap tenang, lembut, dan baik. Namun, dia pun harus menyampaikan keputusan yang diambilnya, agar kelak tidak terjadi permasalahan.Keysha mengaduk jus dengan sedotan, menatap dan menunggu Margaret bicara.“Key, tante pe
“Rumah Oma jauh, ya?” Dhira duduk diam sambil menatap sang mama yang berkemas.“Ya, lumayan. Harus naik pesawat kalau mau cepat atau kereta,” jawab Renata sambil memasukkan pakaian Dharu dan Dhira ke koper.Renata dan Evan sudah berkonsultasi ke dokter, setelah mendapat izin pergi ke luar kota, mereka pun sepakat untuk mengunjungi Margaret dan Edward. Tentu saja sekalian ingin membahas soal pernikahan mereka.“Hm … begitu.” Dhira mengangguk-angguk.“Kalian mau bawa apa lagi, biar sekalian mama kemas,” kata Renata sambil menatap Dhira dan Dharu bergantian.Dhira dan Dharu menggelengkan kepala bersamaan, kedua anak kembar itu memang selalu kompak.“Apa perlu bantuan?” tanya Evan ketika masuk dan melihat Renata masih berkemas.“Tidak, ini sudah hampir selesai,” jawab Renata kemudian memasukkan barang terakhir yang dibutuhkan Dhira ke koper.Dhira turun dari ranjang, menghampiri Evan bahkan langsung meminta gendong ke sang papa.“Apa rumah Oma besar?” tanya Dhira.“Biasa, ga besar juga,”
Renata mengamati jalanan yang dilalui bersama Evan. Tujuh tahun tidak pernah menginjakkan kaki di kota kelahirannya, semuanya sudah berbeda..Hari itu Evan dan Renata memutuskan pergi menggunakan mobil, karena jarak yang ditempuh juga tidak terlalu jauh. Evan juga ingin sekalian menciptakan momen kebersamaan dengan Renata.“Kamu mau istirahat dulu?” tanya Evan saat mereka hampir sampai di rest area.“Kamu lelah?” Renata malah melempar balik pertanyaan ke Evan.“Tidak juga,” jawab Evan sambil mengedikkan kedua bahu.“Kalau begitu, bisa kita langsung saja ke makam dulu?” tanya Renata setelah mendapat jawaban dari Evan.Evan menatap sekilas ke Renata, mungkin Renata sudah terlalu rindu karena lama tidak mengunjungi makam orangtuanya. Akhirnya Evan pun terus melajukan mobil tanpa beristirahat.Setelah beberapa jam perjalanan, mereka akhirnya sampai di pemakaman. Evan dan Renata pergi ke makam, memandang dua batu nisan yang bersisian dengan nama ayah dan ibu Renata.Di sana Renata membersi
“Bagaimana kabarmu?” tanya Veronica.Setelah diam cukup lama, akhirnya Veronica yang membuka percakapan di antara mereka, karena Renata hanya diam.Renata menatap Veronica yang baginya masih saja marah dan membenci dirinya karena sudah melakukan kesalahan, semua itu dikarenakan ekspresi wajah Veronica yang sangat tegas dan seolah tidak rindu kepadanya.“Sangat baik, jauh lebih baik dari sebelumnya,” jawab Renata menegakkan badan, mencoba terlihat kuat meski kedua kakinya gemetar.Evan sendiri hanya diam, mendengarkan serta menjadi pendukung untuk Renata.Veronica mengangguk-angguk kecil mendengar jawaban Renata.“Jadi, kamu akhirnya menggugurkannya?” tanya Veronica karena tidak melihat Renata membawa anak yang dikandung tujuh tahun lalu.Renata cukup terkejut mendengar pertanyaan Veronica. Dia malah berpikir jika sang oma memang masih berharap dia menggugurkan Dhira dan Dharu.“Tentu saja tidak, hanya saja aku memang tidak membawa mereka ke sini. Aku takut mereka kecewa, jika mengetah
Renata mematung menatap isi yang ada di ruangan itu. Kakinya melangkah pelan, sebelum akhirnya berhenti tepat di tengah ruangan.“Kamu yakin tidak masalah? Aku akan tidur di hotel jika memang kamu kurang nyaman,” ucap Evan sambil menatap Renata yang diam.Renata setuju menginap karena tawaran Veronica. Dia meminta Evan sekamar dengannya karena merasa lebih aman bersama pria itu.“Jika kamu pergi, aku malah tidak akan nyaman di sini,” ucap Renata sambil memutar badan. Ditatapnya Evan yang awalnya berdiri di belakangnya.Evan mengangguk paham akan ucapan Renata.“Ini kamarmu?” tanya Evan kemudian. Dia menebak karena melihat ada foto Renata di meja belajar yang terdapat di sana.“Ya,” jawab Renata.Renata berjalan menuju meja belajarnya. Dia menyentuh meja itu, bersih tanpa debu menandakan jika meja itu bahkan kamar itu dibersihkan setiap hari.“Ternyata tidak ada yang berubah,” gumam Renata sambil memandangi seluruh kamarnya.Kamar itu masih sama dengan tujuh tahun lalu saat Renata meni