“Masih belum ketemu?” tanya Renata yang melihat Evan masih duduk di ruang tamu sambil mengutak-atik ponselnya.Evan menoleh ke arah Renata datang, lantas mengangguk dan kembali melihat ke ponsel.Renata duduk di samping Evan, melihat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.“Ini sudah larut, mungkin mamamu hanya sedang menenangkan diri dan tidak ingin diganggu. Kamu tahu kalau dia mungkin saja banyak pikiran, karena kesal denganku, merasa tidak dianggap, bertengkar dengan papamu,” ujar Renata.Evan meletakkan ponsel di meja, hingga mengusap wajah kasar. Dia bingung ke mana sang mama, sebab teman dan saudara tidak ada yang tahu keberadaannya.“Apa nomor ponselnya masih tidak bisa dihubungi?” tanya Renata sambil menatap Evan yang begitu cemas.“Belum, Papa juga belum menemukannya,” jawab Evan dengan suara berat dan helaan napas frustasi.“Mungkin dia hanya sedang ingin sendiri, Van.” Renata mencoba menenangkan perasaan Evan.Evan menyandarkan kepala di pundak Renata, tentu saja hal it
Renata buru-buru menyeberang jalan saat melihat siapa yang ada di seberang jalan sana. Dengan wajah cemas Renata melangkah sampai akhirnya sampai di seberang jalan.“Kenapa Anda di sini?” tanya Renata saat sudah berhadapan dengan Margaret.Ya, benar. Orang yan dilihat Renata adalah Margaret. Renata sendiri tidak mengerti, kenapa wanita itu ada di seberang sekolah musiknya.Margaret hanya menatap Renata, tentu saja hal itu semakin membuat Renata bingung dibuatnya.“Evan dan suami Anda mencari ke mana-mana karena mencemaskan Anda. Kenapa pergi tidak memberi kabar?” Renata terus saja bertanya, sedangkan Margaret masih diam menatap Renata.Renata benar-benar bingung, kenapa Margaret di sana kemudian hanya diam saja tanpa kata.“Saya akan bawa Anda ke apartemen Evan, bagaimana? Dia sangat mencemaskan Anda, bahkan semalam sampai tidak bisa tidur karena memikirkan Anda,” kata Renata lagi.Namun, bukannya menjawab pertanyaan Renata, Margaret malah menangis, membuat Renata begitu terkejut dan
Evan bingung, tapi membiarkan dulu Margaret menangis sepuasnya, sebelum dia menanyakan dari mana sang mama karena sudah menghilang selama seharian. Dia juga butuh penjelasan, kenapa sang mama meminta maaf.Setelah beberapa menit, akhirnya Margaret berhenti menangis. Renata pun buru-buru mengambil cangkir di meja, memberikan ke Evan untuk membantu Margaret minum.“Minum dulu, Ma.” Evan memberikan minum ke Margaret agar sedikit tenang.Wanita paruh baya itu sendiri meminum sedikit, masih sesenggukan hingga menatap Renata yang duduk berseberangan dengannya. Renata sedikit bingung karena ditatap seperti itu, tapi mencoba untuk tersenyum meski sedikit canggung dan terpaksa.“Mama baik-baik saja, ‘kan? Tidak ada yang nyakitin Mama?” tanya Evan penuh perhatian. Meski mereka berselisih, tapi tetap saja Evan sangat menyayangi dan perhatian ke sang mama.Margaret menggelengkan kepala, membuat Evan begitu lega.“Mama dari mana saja? Kenapa tidak memberi kabar dan juga tidak bisa dihubungi?” tany
"Nenek jahat jangan di sini, nanti mukul Mama lagi!" Dhira langsung emosi melihat Margaret di apartemen, saat baru saja pulang.Renata dan Evan terkejut, begitu juga denga Margaret, tapi wanita tua itu memahami jika Dhira tidak menyukainya, karena memang bersalah ke gadis kecil itu.Renata pun buru-buru bangun, menghampiri Dhira dan mencoba menjelaskan."Dhira ga boleh ngomong gitu. Dhira ganti baju dulu, terus nanti mama jelaskan."Dhira menatap benci ke Margaret, sedangkan wanita tua itu hanya diam dan merasa bersalah.“Dhira ga mau ada nenek itu, nanti jahatin Mama dan Dhira lagi.” Dhira masih marah dan tidak terima.Dharu datang menghampiri sang adik, hingga kemudian menggandeng tangan Dhira.“Dhira ke kamar dulu sama Dharu, nanti Dharu ceritain,” kata Dharu, kemudian menarik tangan sang adik masuk.Renata bernapas lega melihat Dhira yang mau menuruti ucapan Dharu,“Mbak Rena, saya pamit dulu,” kata Bibi Santi.“Iya, Bi. Makasih sudah dibantu jemput Dhira, hari ini ga usah jaga me
“Nenek sudah jahat sama Mama, Dhira, juga Dharu. Bahkan tangan Dhira masih sakit. Kalau Dhira maafin, apa nenek janji ga akan jahat lagi?” Semua orang saling pandang mendengar ucapan Dhira, tentu saja hal itu bisa dimaklumi, apalagi bisa dibilang Dhira memiliki trauma karena perlakuan Margaret sebelumnya. Margaret merasa sangat bersalah karena sudah menorehkan trauma di dalam hati gadis kecil itu. Dia merutuki diri sendiri, kenapa bisa sejahat itu, hanya karena mementingkan egonya. “Iya, jangan panggil nenek, panggil oma. Oma minta maaf, maaf dengan tulus, karena sudah jahat sama Dhira, Dharu, juga Mama. Oma janji ga akan jahat lagi, asal Dhira maafin oma, ya.” Margaret berusaha kembali membujuk agar Dhira memaafkannya. Evan dan Renata saling tatap, mereka hanya bisa memantau, karena yang paling berhak memberi keputusan hanya Dhira. Dhira terlihat berpikir, kemudian kembali menatap Margaret yang berjongkok di depan Renata, menatapnya dengan seulas senyum. “Janji, ya.” Dhira melan
Renata dan Evan saling diam, keduanya berdiri bersisian dan menatap ke arah yang sama.“Aku akan tidur di sofa luar saja,” kata Evan bersiap ingin keluar dari kamar Renata.Kamar di apartemen Evan dipakai Edward dan Margaret, sedangkan kamar satunya belum dirapikan karena dijadikan gudang sehingga tidak bisa ditiduri.Sekarang Evan dan Renata malah bingung bagaimana caranya beristirahat, terlebih Renata yang menawari secara spontan agar Evan tidur di tempatnya. Kini hasilnya mereka bingung satu sama lain.“Jangan.” Renata langsung mencegah Evan yang hendak keluar.Evan berhenti melangkah, lantas menatap Renata yang menahan lengannya.“Kondisimu belum pulih sepenuhnya, meski dokter berkata kamu sudah sehat, tapi masih dipantau. Kalau tidur di luar, nanti kamu sakit bagaimana?” Renata tidak mungkin membiarkan Evan tidur di sofa dengan kondisinya yang rentan seperti sekarang.Pasca operasi, Evan masih dipantau selama dua puluh hari, kondisi tubuhnya juga tidak seperti sebelumnya. Bahkan
Dhira membuka pintu kamar Renata karena saat bangun belum melihat sang mama bangun. Dia masuk sambil mengucek mata agar bisa melihat dengan jelas, hingga Dhira berhenti melangkah saat melihat Evan dan Renata tidur satu ranjang.“Kok, Papa tidurnya di sini?’ Dhira menatap kedua orangtuanya itu secara bergantian.Renata tidur berbantal lengan Evan, satu tangan memeluk pria itu, sedangkan Evan pun tidur dengan nyenyak dengan dagu menyentuh kepala Dhira. Hingga Dhira akhirnya masuk dan melihat kedua orangtuanya yang seperti sedang berpelukan.Renata menggerakkan kelopak mata mendengar suara Dhira, masih setengah sadar samar-samar membuka mata dan melihat Dhira di depan ranjang.“Dhira, kamu sudah bangun.” Renata mengucek mata, masih tidak sadar jika dirinya baru saja memeluk Evan.“Mama dan Papa, kenapa tidur bareng?” tanya Dhira lagi.Renata membuka kelopak matanya lebar mendengar pertanyaan Dhira, hingga menoleh ke samping, menyadari jika ternyata Evan yang dipeluk bukan guling.Evan ba
“Keysha.”Margaret cukup terkejut melihat Keysha di sana, tapi kemudian mencoba tersenyum.“Key, sedang nyari apa?” tanya Margaret tidak menjawab pertanyaan Keysha.“Tadi sih rencana mau pesan gaun, Tan. Tapi aku lihat Tante dan dengar sedang bahas pernikahan, siapa yang mau menikah?”Margaret gelagapan mendengar pertanyaan Keysha. Dia merasa bersalah karena ingin menjodohkan Keysha dengan Evan, tapi sekarang malah setuju Evan menikahi Renata. Akhirnya Margaret pun mengajak Keysha pergi ke kafe untuk bicara berdua.Margaret menatap Keysha yang terlihat tenang, hingga kemudian mulai bicara.“Key.”Keysha menatap Margaret dan tersenyum ke wanita itu.“Iya Tan, gimana?” Keysha masih bicara lemah lembut ke Margaret.Margaret semakin merasa tidak enak hati karena Keysha bersikap tenang, lembut, dan baik. Namun, dia pun harus menyampaikan keputusan yang diambilnya, agar kelak tidak terjadi permasalahan.Keysha mengaduk jus dengan sedotan, menatap dan menunggu Margaret bicara.“Key, tante pe