Derap langkah kedua kaki Naufal mendekati wanita hamil yang sedang memasak di dapur, dengan memakai celemek mampu menyihir penglihatan Naufal. Elina bertambah cantik sekian kali lipat ketika mengandung.
"Hai." Sentuhan telapak tangan Naufal di bahunya membuat Elina menjerit terkejut.
Elina menyingkirkan tangan besar Naufal dan sedikit menggeserkan diri. Pria itu menggeram.
"Kamu kaget??" tanyanya.
"Tidak. Tapi kurang sopan ngobrol berdua maupun saling bersentuhan." Elina menjelaskan dengan sopan. Sedangkan Naufal merasa tersinggung dengan penolakan Elina. Untuk pertama kalinya, dirinya ditolak seorang wanita. Apalagi ini Elina, wanita biasa dan tidak sebanding dengannya.
Semua wanita selalu Naufal berhasil taklukan. Bahkan mereka dengan senang hati menyerahkan semuanya untuknya. Namun yang Naufal nikahkan hanya keluarga dari kalangan atas. Salah satu putri Maheswara dan penguasa nomor satu di daerah ini.
"Tidak perlu canggung dengan saya Elina. Bahkan kita bisa berkomunikasi dengan bebas di luar rumah."
Elina mengerutkan alisnya bingung. Dirinya tidak salah mendengarkan apa yang diucapkan pria ini. Apa pria ini tengah mengajaknya berkencan.
"Maaf!! Tidak baik bagi ibu hamil seperti saya berkeliaran di luar rumah."
Setelah mengatakan hal itu. Elina pergi meninggalkan dapur. Ada rasa takut menggerogoti hatinya mendengar secara terang-terangan Naufal mengajaknya bertemu. Sepertinya pria itu terlihat ambisius. Terlihat jelas matanya bergerak menelitinya dengan menggoda.
Sedangkan Naufal tersenyum melihat punggung mungil Elina menjauhinya dengan langkah tergesa-gesa. Naufal berhasil membuat istri dari Aldinata Maheswara salah tingkah.
Elina segera mengunci pintu kamarnya. Ipar adalah musuh yang nyata. Elina bergerak gelisah menetralkan detak jantungnya yang menggila. Mertua dan kedua adik iparnya, siang ini biasanya pergi ke luar untuk menghabiskan uang bulanan.
****
"Ada perlu apa Anda memanggil saya Dokter Shanika??" suara berat Aldi seakan menusuk langsung hati Shanika yang tengah menunggu kedatangan Aldi di cafe dekat dengan kantor Maheswara Group.
"Kemarin istri anda bertemu dengan saya. Membicarakan tentang...."
"Saya yang menyuruhnya." Aldi langsung memotong perkataan Shanika.
"Kenapa??" tanya Shanika penasaran dengan alasan Aldi.
"Agar tidak ada penghancur dalam rumah tangga saya dan Elina."
Shanika terdiam mendengar sindiran halus dari bibir Aldi. Dengan sangatlah nyata Aldi tidak lagi menganggapnya orang yang berarti dalam kehidupan pria itu.
"Kita teman Aldi." Shanika mencoba membantahnya. Ingin sekali Shanika seperti dulu, bebas bermain dan menyembunyikan perasaannya dalam diam. Sekarang Aldi telah memiliki seorang istri.
"Saya bukan seorang pria yang berteman dengan wanita. Walaupun Dokter teman kecil saya. Kehidupan kita telah berjalan lancar, jangan memperumitnya dengan alasan itu."
"Tapi saya sayang sama kamu Aldi." Akhirnya Shanika mengungkapkan perasaannya. Bertahun-tahun lamanya, dirinya tersiksa dengan cinta sepihak.
Ada raut terkejut terlihat jelas dari wajah tampan Aldi mendengar semuanya. Selama ini dugaan Aldi benar adanya. Ternyata Dokter Shanika memiliki perasaan padanya.
"Sejak kapan dokter Shanika?" tanya Aldi mengeram.
"Pertemuan pertama kita. Saya langsung jatuh cinta pandangan pertama dengan Anda Tuan Aldinata Maheswara."
Fakta yang sebenarnya. Dulu Aldi pernah memiliki perasaan pada wanita ini. Namun, dia yakin itu bukan perasaan cinta tapi hanya kekaguman.
Mendengar pengakuan Dokter Shanika. Ada rasa bahagia secuil di sudut hatinya yang paling dalam. Ternyata wanita yang selama ini dia kagumi karena profesinya menjadi Dokter. Memiliki perasaan pada nya.
"Hilangkan perasaan anda Dokter!!" tegas Aldi langsung. Dia telah memiliki seorang istri yang sangat cantik dan baik. Tidak sebanding dengan dokter Shanika. Hampir semua bongkahan hatinya dipenuhi nama Elina dan Elina seorang.
"Saya mengerti. Saya hanya menyampaikan apa yang perlu disampaikan, agar hati saya lega."
Aldi menunduk melihat jam tangan yang melekat di tangan kekarnya. Dirinya harus segera kembali ke kantor.
"Saya pamit." Aldi mengambil selembar uang di dompetnya dan menaruhnya di atas meja. Walaupun Shanika sempat menolak dengan gerakan di bibirnya. Namun Aldi tidak memperdulikan hal itu. Berbicara dengan Shanika membuang waktu Aldi tiga puluh menit.
Shanika menatap punggung Aldi keluar dari pintu cafe. Dengan wajah sendu Shanika menunduk lesu.
"Apa aku menerima saja tawaran dari tante Tamara...." Shanika bergumam lirih.
****
"Non kenapa sendirian di luar?" tanya bibi Minah melihat majikannya duduk di salah satu kursi memanjang di taman.
Bibi Minah tengah membersihkan dedaunan di atas kolam menggunakan sapu panjang. Tidak sengaja menatap punggung mungil Elina yang terlihat lesu.
"Eh, Bibi. Elina hanya bosan di dalam kamar," kata Elina memutar tubuhnya berhadapan dengan bibi Minah.
"Cerita sama Bibi, Non." Bibi Minah ikut duduk di dekat Elina. Wanita hamil itu semakin menggeser dirinya agar lebih dekat dengan wanita tua itu.
"Sebenarnya ada rasa takut dalam diri Elina Bi. Naufal, tadi mengganggu Elina." Suara Elina terdengar ketakutan dan gelisah. Bukan karena dirinya risih, namun dirinya takut ini akan menjadi masalah dalam rumah tangga Elina.
"Sudah berapa kali Tuan Naufal mengganggu Non Elina??"
"Kalau ada kesempatan. Naufal selalu mengganggu Elina Bi. Seperti sekarang, karena rumah sepi Naufal berani menyentuh bahu Elina."
"Mungkin Tuan Naufal menyukai Non Elina," ungkap Bibi Minah menduga-duga.
Elina segera menggelengkan kepalanya. Naufal tidak menyukainya namun bernafsu melihatnya. Itu yang membuat Elina takut. Banyak kejadian dalam rumah tangga yang hancur karena seorang suami dari ipar melakukan berbagai cara untuk menggoda. Mungkin Elina tidak akan tergoda rayuan maut Naufal, namun kalau semua anggota keluarga mengetahuinya permasalahannya akan panjang.
Melihat majikannya melamun, bibi Minah mengusap bahu Elina dengan lembut. Seakan menyalurkan kehangatan dan kekuatan untuk Elina.
"Non Elina yang sabar, ya!! Apapun yang terjadi dalam rumah tangga, itu adalah cobaan dalam kehidupan kita."
"Iya Bi. Kesetiaan Elina tengah diuji oleh sang Kuasa. Elina tidak akan pernah berani berkhianat, karena Elina sangat mencintai Mas Aldi."
"Sepertinya Tuan Naufal bukan hanya mengincar Non Elina."
"Maksud Bibi bagaimana??" tanya Elina dengan raut wajah terkejut. Naufal tidak hanya mengincarnya?? Jadi Naufal mengincar orang lain juga.
"Kemarin ada salah satu maid muda menceritakan semuanya ke Bibi. Naufal selalu pergi ke kamar para maid kalau malam hari. Hanya sekedar mengintip."
Apa yang dilakukan pria di malam hari mengintip seorang gadis tertidur?? Elina tidak habis pikir dengan semua ini. Apa patut seorang anak konglomerat kaya berkelakuan seperti penjahat kelamin yang sedang mengincar mangsanya di malam hari.
"Ada berapa maid muda di rumah ini Bi??" tanya Elina.
"Sekitar lima orang Non Elina. Minggu lalu mereka datang dari kampung untuk mencari nafkah. Karena keluarga Maheswara membutuhkan pelayan yang banyak. Jadi Bibi menerima mereka."
"Bibi pantau lima maid muda setiap saat. Kalau bisa di dalam satu kamar terdiri dari beberapa maid yang berumur acak. Jadi kalau ada kejadian yang tidak diinginkan. Para maid senior bisa segera menolong dan melapor."
Bibi Minah segera mengangguk. Walaupun dia sudah berumur. Dia juga merasa resah dengan kelakuan salah satu majikannya itu. Sepertinya Naufal sudah biasa bermain dengan para wanita malam, seperti yang dilakukan banyak orang kaya pada kebanyakan.
Elina berjalan mondar-mandir di depan pintu kamarnya, “Apa aku harus cerita sama mas Aldi tentang kelakukan Naufal? Bukan aku saja yang resah di sini, tetapi para maid muda juga.” Elina tidak habis pikir dengan masalah yang berdatangan di hidupnya. Mertua dan kedua adik ipar nya tidak menyukainya. Sekarang suami dari Keyra selalu mengganggunya. Entahlah masalah apalagi yang akan datang. Semoga saja bukan masalah dari suami Naila. Mendengar suara pintu yang akan dibuka, Elina menyingkir dari depan pintu. Pasti itu suaminya yang telah pulang bekerja. “Kenapa?” tanya Aldi langsung karena melihat wajah istrinya yang tampak muram tidak seperti biasanya. Setiap pulang kerja pasti istri cantiknya akan menyambutnya dengan senyum termanisnya. “Tidak ada Mas.” Elina meraih dasi yang suaminya pakai, terlihat sedikit
"Mas...." Elina tidak hentinya memanggil suaminya dari balik pintu yang terkunci. Tidak ada sahutan dari kamar mereka. Hanya suara keheningan dan isak tangis Elina."Itu semua salah paham Mas. Aku tidak pernah ada hubungan dengan Naufal. Kemarin dia mencoba mengajakku berbicara di dapur. Tapi aku menolak Mas. Percayalah Mas!!""Mas percaya kan sama aku??" Isakan Elina semakin mengeras ketika tidak ada sahutan dari suaminya terdengar sedikitpun.Elina memegang perutnya yang terasa keram. Mungkin karena dia banyak pikiran dan stress. Kenapa hidupnya semenyakitkan ini?? Elina hanya mau mempertahankan rumah tangganya. Apa salah dirinya ingin menikah dengan suaminya dan hidup bahagia bersama dengan keluarga kecil mereka kelak.
Semua orang menatap aneh ke arah Aldi yang tengah melamun. Tidak biasanya Aldi kurang berkonsentrasi ketika mereka sedang rapat seperti sekarang ini."Pak Aldinata!" panggil sekretaris Aldi merasa canggung dengan semua klien."Ah, ada apa Priska??" tanya Aldi mengusap wajahnya kasar dan beralih melihat semua berkas yang sekretarisnya sodorkan di depannya.Aldi langsung membacanya dan memahaminya. Setelah benar-benar mengetahui isi dalam map tersebut. Aldi langsung menandatanganinya."Bapak sakit?" tanya Priska. Karena kalau sampai atasnya mengulang kesalahan yang sama seperti tadi. Maka klien akan menganggap perusahaan tidak serius bekerja sama."Tidak Priska," jawab Aldi langsung. Dan beralih mengedarkan Pandangannya menunduk, minta maaf kepada semua klien yang kurang nyaman dengan rapat kali ini."Begini pak Aldinata. Pembangunan hotel terpaksa dihentikan,
Bola mata Elina bergerak pelan sebelum akhirnya terbuka dengan pandangan sedikit mengabur.Elina, menatap sekeliling kamar yang kosong tanpa penghuni. Ruangan yang didominasi dengan warna putih yang Elina yakini dia tengah berada di rumah sakit.Ingatan Elina memutar tepat pada saat taksi yang ditumpangi dihantam oleh truk yang melaju kencang ke arah taksi, sehingga taksi tidak seimbang dan berakhir dengan menabrak pohon besar."Sayang... Kamu sudah bangun?"Sebuah Suara bernada senang dan lega terdengar di indra pendengaran Elina, membuat wanita itu segera mengalihkan perhatiannya ke sumber suara dan menemukan sosok pria yang tidak ingin ditemui.
Karma bergerak ke dua arah. Jika kita bertindak bijak, benih yang kita tanam akan menghasilkan kebahagiaan. Jika kita bertindak tidak bijak, hasilnya penderitaan.Semua yang dilakukan Tamara mungkin akan selalu membuatnya puas dengan kejahatannya. Namun ia tidak sadar, bahwa apa yang ia lakukan akan berpengaruh dalam kehidupan kedua putrinya."Mas," desah Naila sudah lemas dengan perlakuan suaminya. Tubuhnya remuk karena suaminya tiada hentinya menggagahinya dari tadi malam."Dasar lemah. Aku baru lima ronde. Bagaimana kamu akan mengandung kalau kamu saja seperti ini. Dasar istri tidak berguna.""Tapi Mas. Aku capek. Kamu tidak memberikan aku jeda maupun istirahat."
Tamara menyeret paksa tangan putrinya masuk ke kamar mandi. Naila dengan terisak mencoba menutup tubuhnya dengan selimut. Mamanya sekejam ini ternyata."Ma! Kasihan kak Naila. Kak Naila kesulitan berjalan," ujar Keyra mencoba melepaskan tangan Tamara dari kakaknya, bukan terlepas malah ia yang dihempaskan dengan kasar.Naila menangis histeris ketika mamanya dengan tega memaksanya duduk di bawah shower dan menutup pintu kamar mandi, tidak memperbolehkan Keyra ikut masuk."Mama tidak pernah mengajarkan kamu lemah, diinjak seenaknya orang lain, Naila.""Hiks, Ma. Naila kedinginan."Tamara tidak peduli terus membasuh wajah anaknya dengan cukup kasar dan s
Dua bulan telah berlalu banyak yang telah terjadi, Elina perlahan mengikhlaskan semuanya. Elina mencoba berdamai dengan hidupnya, dengan bantuan suaminya yang perlahan berubah dan bersikap manis padanya.Dan untuk mama mertuanya. Tamara tidak berani mengganggu nya kembali, karena mendapatkan peringatan keras dari ayah mertuanya dan juga suaminya sendiri.Elina menghela nafas, memandang bangunan menjulang tinggi di hadapannya. Elina sekarang berada di depan kantor Maheswara Group mengantarkan makanan untuk suaminya.Wanita itu berjalan sembari menyapa beberapa karyawan yang telah mengetahui siapa dirinya."Nona Elina!" panggil Priska sekertaris Aldi sedikit menunduk menyambut istri atasannya ramah.&nbs
Aldi mencari map hijau di mana-mana, perasaan tadi ia menaruhnya di atas meja, mungkin istrinya yang memindahkannya.Aldi membuka lemari dan mencari di tumpukkan map, ia bernafas lega tatkala melihat map hijau berada di tengah-tengah map yang menumpuk. Aldi segera mengambilnya.Aldi membuka map hijau itu langsung, untuk mengecek dokumen penting di dalamnya, namun bukan dokumen penting yang didapatkan tetapi hasil lab rumah sakit.Aldi perlahan membacanya dengan sangat hati-hati, jantungnya berdegup kencang ketika membaca ujung dari kertas itu. Istrinya akan sulit memiliki keturunan disebabkan rahim yang lemah karena pernah keguguran.Kenapa istrinya merahasiakan ini semua? Jadi selama dua bulan ini penantiannya sia-
Elina tersenyum melihat kebersamaan mereka yang tengah bermain basket berempat. Terlihat Liam dan Liana merebut bola basket dari Aldi dan juga Andre yang tengah senang menggoda mereka yang masih pendek.Liam mengambil bola basket tersebut dan melemparnya dengan gaya memukau. Berhasil! Masuk dengan sempurna membuat mereka bersorak ria. Aldi menggendong Liana, sedangkan andre menggendong Liam yang dengan wajah membanggakan dirinya dan bertepuk tangan.Elina sampai meneteskan air matanya karena terharu. Akhirnya kehidupannya bisa ia rasakan sampai detik ini juga. Setelah badai begitu dahsyatmemporak-porandakan hidupnya.Tuhan memiliki rencana yang sangat indah, untuk kehidupan Elina. Elina selalu percaya, sk
Setelah acara pemakaman selesai, mereka semua sekarang berkumpul di kediaman dokter Andre. Memakai pakaian serba hitam dan duduk di sofa ruang keluarga.“Elina! Saya selaku kedua orang tua almarhum, ingin meminta maaf sebesar-besarnya kepada, Nak Elina. Atas kelakukan almarhum yang telah membuat Nak Elina hampir depresi karena trauma.”Elina mengusap kepala Liana, yang berada di pangkuannya, tersenyum dan mengangguk, “Saya sudah memaafkannya, sejak bertahun-tahun yang lalu. Bahkan saya berhutang budi kepada almarhum, karena telah menyelamatkan putri saya.”“Maafin, Nana!” lirih Liana menatap mereka semua dengan wajah polos dan sendunya.Mereka semua menghela nafas. Ini
“Bagaimana keadaan Naufal, Dokter Andre?” tanya Keyra langsung menghampiri Andre yang sudah keluar dari ruangan.Keyra tidak sabar menunggu kabar dari Andre. Jantungnya berdetak dengan cepat. Keyra khawatir dan juga takut. Dalam lubuk hatinya, masih tersimpan rasa cinta untuk Naufal walaupun hanya secuil.Andre menghela nafas pelan, membuat semua orang yang ada di sana was-was. Tidak biasanya Andre berbelit-belit seperti ini ketika menjelaskan sesuatu. Apalagi ini soal keadaan seseorang.“Naufal gak apa-apa kan, Dok?!” bentak Keyra menggoyang tangan Andre dengan keras. Ia tahu ini sangat lancang, namun Keyra merasakan perasaan yang tidak enak.“Saya sudah berusaha semaksimal mungk
"Masukkan ke dalam mobil!” perintah Shanika memperhatikan ke sekelilingnya, Shanika tahu mereka akan segera tertangkap karena melawan orang-orang yang berkuasa.Liana dimasukkan ke dalam mobil, namun dalam keadaan mulut disumpal dengan lakban dan tidak diikat seperti beberapa jam yang lalu.“Nana ngak mau ke luar negeri. Jangan paksa Nana. Bunda! Tolongin Nana!"Liana tidak ingin pergi jauh dari bundanya. Liana tidak bisa membayangkan nasibnya, apabila Shanika membawanya pergi sangat jauh dari negaranya.Liana telah masuk ke dalam mobil. Dijaga oleh dua anak buah Shanika. Mereka berbicara sebuah rencana selanjutnya. Apabila mereka gagal, maka mereka akan menga
Liana menggelengkan kepalanya, ketika dua preman dengan tubuh kekar dan brewok yang terlihat sangat menyeramkan, menyuapinya roti untuknya. Liana yang diikat di kursi dengan tubuh mungilnya bergetar sedari tadi ketakutan.“Nana mau ketemu bunda. Nana mau pulang, Paman.”“Kamu tidak akan pernah pulang selamanya,” jawab mereka. Liana kembali menggelengkan kepalanya karena tidak ingin mendengar perkataan kedua pria menyeramkan itu.Liana, beberapa jam yang lalu , bangun dari pingsannya ternyata telah terikat di sebuah kursi. Liana ingin menangis, namun bundanya selalu berkata, jangan pernah takut. Hal itu akan membuat mereka semakin menindas kita. Liana masih mengingat pesan bundanya itu.
Liana mengelilingi halaman rumahnya sendiri, dengan mengayuh sepeda. Ia tersenyum sembari menaruh boneka sapi berukuran sedang di ranjang sepeda sebagai temannya bermain.Kakaknya sedang belajar di dalam kamarnya, untuk persiapan olimpiade antar sekolah. Kedua anak laki-laki seperti Liam dan Devan mengambil mata pelajaran matematika dalam satu kelompok, yang sudah disaring dan dipilih.“Nana main sama Vivi, saja.” Nama boneka sapi berwarna pink dan putih itu adalah Vivi.Liana mengayuh sepedanya dekat dengan gerbang. Liana menatap aneh ke arah seorang wanita yang membelakanginya berada di luar gerbang. Penjagaan di rumah Andre, tidak seketat seperti dimension Syahreza. Bahkan satpamnya, entah pergi kemana.“Bunda!” Liana memanggil wanita itu
Berlin, Jerman, 2013Setelah dokter memberikan kabar baik kepada Elina, wanita hamil itu tidak bisa mendeskripsikan bagaimana perasaan bahagianya sekarang. Ia bersandar di sofa sambil menonton acara televisi dengan menikmati secangkir kopi.“Huek!” elina segera berlari ke kamar mandi yang berada di lantai bawah. Dengan wajah pucat dan perut yang bergejolak, Elina memuntahkan cairan kental dan bening. Kepalanya kembali pusing seperti pertama kali dirinya muntah karena kehamilannya.Elina membasuh wajahnya dengan air dan menatap dirinya di cermin. Entah angin apa, Elina terisak merasakan sakit di dadanya. Elina menghapus air matanya sembari mengingat kembali kebersamaanya dengan mantan suami.Elina harus m
Tok! Tok! Shanika dengan malas mengetuk pintu kamar Elina beberapa kali. Kalau tidak disuruh oleh suaminya. Shanika tidak akan sudi melakukannya. "Elina! Kau belum juga bangun?! Istri macam apa, belum bangun sampai jam segini," cibir Shanika di depan pintu kamar Elina. "Kenapa Sayang?" tanya Aldi menghampiri Shanika yang terlihat kesal dan cemberut. Shanika menoleh, "Ini loh, Mas. Elina belum juga mau bangun." Aldi kembali mengetuk pintu kamar Elina. Jauh lebih keras. Bahkan banyak pasang mata yang melihatnya, karena mendengar gedoran terdengar nyaring. "Kasihan ya, No
Elina memandang bangunan di depannya dengan wajah tegar dan tatapan sendu. Ia mengeratkan pegangannya di koper yang tengah ia bawa. Keputusannya sudah bulat. Walaupun hatinya bagai tertusuk ribuan duri, entah kalau bisa dijabarkan, mungkin sekarang hatinya tengah berdarah dan sakit.“Elina,” panggil Surya kepada Elina, yang sudah berada di dalam mobil menunggu Elina.Elina menoleh dan terisak. Dadanya sesak. Air mata menetes dari pelupuk matanya tiada henti. Surya mengerti akan posisi menantunya sekarang. Tangannya terkepal. Ia berjanji tidak akan merestui kembali hubungan Elina dengan Aldi esok apabila Aldi telah menyesali perbuatannya dan ingin rujuk kembali.Elina mencoba menguatkan diri dan menghapus air matanya sampai bersih. Ia kembali berbalik melihat kedi