Mereka sudah berada di mobil yang melaju dengan sengaja dilambatkan oleh Glen.Sesekali melirik istri orang yang berada disampingnya itu.Yang dilirik masih terlihat diam, entah kenapa. Mungkin Daniah masih memikirkan pertemuan tidak sengajanya tadi dengan suaminya, tentu ada ketakutan di hatinya. Coba saja jika Glen tidak ada. Bisa jadi Daniah sudah berada di rumah Ricard kembali. Rumah yang merupakan Neraka baginya itu."Kamu tidak apa-apa?" tanya Glen, menatap Daniah sebentar.Daniah hanya menggeleng saja."Maafkan aku, sudah berbuat kasar pada suamimu tadi.""Aku malah ingin menginjaknya Glen.""Hah!" Glen tercengang, kemudian terkekeh."Jangan Daniah! Seharusnya tidak boleh.""Kenapa? Aku membencinya Glen. Kau tidak tau bagaimana dia memperlakukan aku selama ini. Apalagi jika mengingat dia menyuruh pria pria itu membawaku. Aku sungguh sakit.""Maka dari itu, seharusnya tidak boleh. Tidak boleh ragu maksudnya.Haha..!" Glen tertawa."Glen! Kamu selalu bercanda disaat serius." Dan
Ini sudah lebih dari pagi,Glen dan Daniah masih mendengkur halus di kamarnya. Begitu juga dengan Ken.Mereka semalam bergadang, merayakan kemenangan Glen yang berhasil memaki dan mempermalukan Ricard."Astaga!" Ken terlonjak kaget ketika melirik Hp."Sial! Kenapa alarmnya tidak berfungsi sih??" kemudian cepat menyibak selimut dan menuruni ranjang. Berlari ke kamar mandi. Asal basah saja, kemudian sudah keluar lagi. Cepat cepat bersiap pergi.Dret.....!Langsung menyambar hpnya yang bergetar."Tuan.""Kenapa tidak membangunkan aku? Aku kesiangan Bodoh!""Aku juga kesiangan Tuan! Mana bisa membangunkanmu!" bantah Ken."Lalu bagaimana ini? Aku saja belum mandi. Ah.. Mana Daniah malah memelukku erat begini. Mana aku tega menyingkirkan tangannya.""Sial! Mau pamer hah!" ketus Ken yang hanya dibalas ketawa oleh Nathan di sana."Sudahlah, hari ini anda dirumah saja. Aku akan pergi sendiri!""Tapi Ken, itu pertemuan penting.""Urusanku! Akan makin terlambat jika menunggumu!""Ah, baiklah.
"Ken. Apa kamu masih di kantor?" suara Glen dari sebrang telepon."Masih Tuan. Tapi aku sudah mau pulang." jawab Ken, membereskan berkas berkas di atas meja kerjanya."Dasar pemalas, jam berapa ini? Bagaimana perusahaan mau maju kalau mau begitu?"Ken melirik jam, sore masih beberapa jam lagi."Aku sudah selesai semuanya! Jika anda keberatan, kita bertukar saja. Anda kemari dan aku yang dirumah!" kesal Ken."Enak saja. Aku sedang menjaga Daniah. Dia sedang tidak enak badan hari ini!""Biar aku yang menjaga dan merawatnya." jawab Ken."Kamu cari mati ya!""Haha... Pilih mana?" Ken terbahak."Ya sudah lah. Jika kamu sudah mau pulang, Daniah ingin menitip sesuatu.""Apa Tuan?" tanya Ken, masih dengan santainya."Daniah meminta mangga. Mangga muda Ken? Dia ingin memakannya. Kau harus mendapatkannya!" Panggilan terputus."Mangga? Mangga muda?" Ken seperti sedang memikirkan sesuatu sambil melangkah keluar."Nona Daniah ingin memakan mangga muda?" seperti ada yang tidak beres, Ken terus memi
Glen dan Ken sama-sama menelan ludah melihat Daniah yang begitu lahap memakan Mangga Muda dengan cocolan sambel cabe rawit dan gula merah itu."Ken, seperti ada yang tidak beres pada Daniah. Kamu merasakan tidak?" bisik Glen."Em, sepertinya begitu." sahut Ken.Mendengar bisik-bisik dua pria di depannya itu Daniah mendongak."Kenapa kalian? Mau juga? Nih cicip. Enak lho?" menyuap mulut Glen dengan sepotong Mangga Muda."Em..!" Glen langsung menutup mulutnya."Ayolah Glen, sedikit saja. Temani aku. Bantu habiskan ini. Sayang jika ke buang?" Daniah masih memaksa."Em,.. Tidak mau Daniah. Itu asam. Ken saja. Ken saja ya?""Ken, kamu saja kalau begitu. Aak...!" Daniah beralih menyuap Ken yang juga buru buru menutup mulutnya."Tidak, tidak. Aku.. aku.""Kau kan biasanya suka Ken. Ayo mangap!"Glen menyodok perut Ken dengan sikunya."Ck, mana ada. Itu kecut! Mana pedes pula!" geram Ken, setengah berbisik pada Nathan."Kau ini! Iya'in saja kenapa sih. Biar Daniah senang! Ayo mangap! Apa s
Glen,Pria itu duduk bersandar di sisi ranjang. Menarik selimut untuk menutupi bagian bawah tubuhnya saja.Daniah, dia pun sama. Menarik selimut itu untuk seluruh tubuhnya, hanya menyisakan wajahnya saja. Juga duduk bersandar di sisi Glen. Dengan wajah yang merah menahan malu. Malu karena kejadian barusan yang jelas sekali ia ingat. Kejadian yang murni terjadi karena keinginan berdua. Bukan kecelakaan atau paksaan.Daniah menunduk, membenarkan selimut. Lalu memberanikan diri untuk menoleh."Glen. Kita.. Apa yang sudah kita lakukan?" kembali menunduk.Glen langsung menarik tubuh Daniah, memeluk dengan sangat erat."Maafkan aku. Maaf! Aku.. Aku, ah.." Glen tidak bisa melanjutkan ucapannya."Apa kamu khilaf?""Ti, tidak Daniah. Aku, aku tidak khilaf. Aku, aku sadar seratus persen. Tapi aku tidak bisa menahan diri. Maafkan aku." Glen terus mengiba."Jangan marah, jangan marah ya? Aku, entah lah. Tiba tiba saja, aku tidak terkendali. Mungkin.. mungkin karena.._""Karena aku membalasnya?"
Dua pria itu terlihat mondar mandir tak tenang di depan ruangan dimana Daniah di periksa seorang Dokter.Glen dan Ken sama sama tidak bisa duduk.Perasaan gelisah, takut terjadi apa apa dengan Daniah."Ken, apa Daniah punya penyakit berbahaya?""Tuan bersabar lah. Sebentar lagi kita akan tau." sahut Ken."Selama kita belum bertemu Daniah, hidupnya menderita Ken! Daniah kurang makan, kurang tidur. Kelelahan bekerja, keliling kota menjual asongan Ken. Daniah pasti punya penyakit serius karena penderitaan itu. Ken, bagaimana ini? Aku takut Ken! Kalau Daniah tidak selamat bagaimana? Aku bisa gila Ken!" Glen terus menerocos penuh khawatir."Tuan! Kamu ini bicara apa sih? Sudah diam!" bentak Ken."Ken!!""Diam! Diam tidak! Kalau tidak bisa diam, lebih baik keluar. Aku yang akan menunggu disini. Bikin tambah panik saja." Ken kembali membentak.Glen tidak peduli dengan bentakan Sekretarisnya itu, yang menguasainya saat ini adalah ketakutannya. Glen malah memeluk Ken dengan tiba tiba."Aku
'Cinta memang rumit! Huh!' Ken hanya bisa menggelengkan kepalanya memikirkan masalah Glen yang tidak bisa dianggap sepele ini."Bayangkan saja Anak perawan orang hamil. Ah, bukan. Jika Anak perawan masih mending, lha ini istri orang! Astaga!" Ken menggumam masih sambil melaju."Tapi, Tuan Glen tidaklah bersalah. Mereka tidak ada yang bersalah. Semua ini ulah Ricard brengsek itu. Aku harus mendapatkanmu hari ini juga." Ken masih berbicara sendiri sambil terus menyetir.Ken melirik jam, tepat sudah setengah hari."Pantas saja perut ku sudah menuntut. Rupanya sudah siang." Menggerutu.Ken memutuskan untuk mencari makan dahulu sebelum menemui Ricard."Jika perut lapar, urusan apapun tidak akan berjalan lancar. Otak saja tidak akan bisa encer untuk berpikir." Ucap Ken sendiri, sambil tersenyum memikirkan kekonyolannya sendiri. Bisa bisanya disaat darurat masih memikirkan perut.Mobil Ken berhenti di sebuah rumah makan. Kemudian Ken memutuskan untuk segera turun. Namun baru saja ia turun
Mereka sudah selesai makan.Ken hanya bisa mendengus ketika melihat Rimbun yang sibuk membungkus sisa makanan ke dalam kantong yang baru saja ia minta dari pelayan."Heh, Ubun ubun! Sudah lah. Kamu ini, bikin malu saja!" cetus Ken."Sayang Tuan. Kamu sudah membayar mahal tapi tidak habis. Mending untuk makan malamku, tidak mubajir ke buang.""Ah, terserahlah. Cepat, cepat!"Ken melangkah duluan meninggalkan Rimbun.Rimbun berlari kecil menyusul."Tuan Ken! Kamu sudah mau pergi ya?" tanya Rimbun saat sudah berada diluar."Kenapa?" Ken menoleh."Uang gajiku mana?" tanya Rimbun nyengir sambil mengangkat kedua alisnya."Astaga.. Kalau masalah uang kamu ingat sekali ya?"Ken merogoh dompet, menghitung berapa uang."Jangan lupa Tiga bulan gaji. Jangan dipotong hutangku!""Bringsik! Ambil nih!" Ken mengulurkan uang itu."Ah.. ini beneran Tuan. Aku, aku hanya bercanda lho." matanya terbelalak menatap lembaran merah yang banyak itu, dan kini berada ditangannya. Tidak menyangka jika Ken benar
Fic tidak menyadari perasaan yang tumbuh di antara mereka. Orang lain juga sama, tidak ada yang tahu apa yang tersimpan di dalam hati Ellena. Namun, suatu saat Ellena tidak mampu menahan lagi dan mulai mengekspresikan perasaannya dengan lebih jelas. Fic hanya menganggap bahwa Ellena begitu karena belum dewasa dan belum mengerti perasaannya. Suatu hari, Ellena yang sudah bukan remaja lagi, mengungkapkan perasaan cinta yang selama ini terpendam.Fic merasa seolah tersambar petir dan sulit memahami apa yang sedang terjadi. "Mana mungkin?" batin Fic. "Aku hanya seorang kepala pelayan, dan usia kita terpaut jauh. Aku bahkan bisa jadi pamanmu, nona!" Namun, Ellena sama sekali tidak peduli dengan alasan tersebut. Ia nekad melakukan apapun untuk bisa bersama Fic. Perasaan Ellena semakin memuncak dan menghempas rasa ragu di hatinya. Fic kini terjebak dalam dilema, antara menerima perasaan Ellena atau tetap pada prinsipnya. Ketika akhirnya ia mulai merasakan getaran yang sama dalam hatinya, ia
"Diam!" Ellena bersikukuh, masih saja melanjutkan pekerjaannya. Lalu mengambil celana Fic dan meminta Fic untuk mengenakannya dengan sabar.Fic hanya bisa menurut. Ellena memakaikan kemeja putih pada Fic, mengancingkan baju itu."Ellena, aku bisa sendiri." menarik tangan Ellena hingga tubuh Ellena menabrak dadanya."Aku ingin melakukannya Fic. Dengan begitu, aku semakin bahagia." Ellena melepaskan tangan Fic, sekarang memasangkan dasi untuk Fic."Nona."Ellena masih belum selesai merapikan rambut, baju dan dasi Suaminya."Sudah rapi. Tinggal jas nya saja. Dipakai sekarang apa nanti saja?"Fic tak menjawab pertanyaan Ellena. Masih senantiasa menatap wajah Ellena."Fic.""Bisa menikahimu saja, sudah membuatku tak berhenti bersyukur. Jangan melakukan ini lagi. Itu membuatku merasa bersalah."Ellena dengan lembut menarik tengkuk Fic, menciumi wajahnya dengan penuh kasih sayang. "Aku ingin melakukan ini setiap pagi. Kau tidak boleh melarangku, atau aku akan mengadu pada Ayah. Kau sudah men
Fic menarik nafas dalam-dalam dan tersenyum, "Baiklah, Tuan. Jika Anda telah mempercayai saya, saya tidak ingin mengecewakan Anda. Tapi, bolehkah saya mencari pengganti diri saya sebagai Kepala Pelayan?""Ya. Tentu saja. Semua itu ku serahkan padamu. Siapapun yang kau pilih, aku yakin kau sudah memikirkannya dengan baik," jawab Glen dengan mata yang bersinar penuh keyakinan. Fic mengangguk mantap, memperkuat pernyataannya.Mereka kembali ke kamar masing-masing setelah obrolan itu selesai. Langkah mereka terasa lebih ringan, seolah sebuah keputusan besar telah berhasil dilewati bersama. Di balik pintu kamar, Fic tersenyum tipis, merasa yakin akan kebijaksanaan pilihan yang telah dipertimbangkan matang-matang.Malam mulai menggantikan siang. Fic melangkah perlahan, merangkak ke atas ranjang mengikuti Ellena yang sudah lebih dulu berbaring. Mata Fic tak henti memandangi wajah Ellena, tersenyum padanya dengan penuh kebahagiaan. Sejenak Fic merasa puas, menikmati momen itu. Setelah itu, p
"Ellena, ayo kemari, Nak." ajak Daniah ramah. Glen juga menoleh ke arah Fic dengan tatapan yang sama hangatnya, "Ayo Fic, ajak istrimu makan bersama kami."Fic mengangguk, menarik kursi untuk Ellena dan kemudian duduk di sebelahnya. Meskipun bukan pertama kalinya dia berada dalam situasi ini, bahkan seringkali dia makan bersama mereka di masa lalu, namun suasana kali ini terasa berbeda. Fic merasa canggung, jantungnya berdebar kencang. Dahulu, dia hanya duduk di sini sebagai kepala pelayan yang setia. Namun sekarang, perannya telah berganti. Menjadi seorang menantu keluarga ini.Dua orang di hadapannya adalah sosok yang ia segani dan hormati selama ini, tuan dan nyonyanya. Dan tak disangka, kini mereka telah menjadi mertuanya. Fic menelan ludah, mencoba menyembunyikan kegugupan yang menjalar di seluruh tubuhnya.Daniah bergerak mengambil piring untuk Glen dan dirinya, lalu mengayunkan tangan ke arah piring Ellena dan Fic. Namun, tiba-tiba Fic menahan tangan Daniah. "Nyonya, biar saya
Lebih dari dua minggu sudah, Fic dan Ellena tinggal di villa puncak ini. Dan Pagi ini, Fic terlihat sibuk berkemas. Ellena duduk di samping tempat tidur dengan wajah murung dan bahunya yang terkulai. Semalam, Fic mencoba meyakinkan Ellena untuk pulang, bukan karena ia tidak ingin memenuhi keinginan Ellena untuk berlama-lama di sini, melainkan karena kekhawatiran terhadap rumah yang ditinggalkannya. Fic tak bisa menepis rasa cemas, terutama tentang kesepian yang pasti dirasakan Daniah tanpa Ellena sang putri.Setelah berbagai usaha Fic untuk merasuk, akhirnya Ellena mau pulang dengan imbalan janji berbulan madu ke Kampung halaman Ilham. Walaupun tampak masih belum sepenuhnya ikhlas, Ellena bertanya, "Jadi, setelah ini kita akan pergi ke Lampung, ya Fic?"Fic hanya mengangguk sambil mencium pucuk kepala Ellena, mengekspresikan rasa sayangnya padanya. Mereka berdua duduk di belakang mobil yang melaju perlahan meninggalkan Villa Puncak, tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan manis
"Dasar sialan! Arg..!" bentak Keyan kesal, lalu meninju lengan Kimmy dan Khale bergantian. Tapi, perlahan ia ikut tertawa juga. Mereka masih terdengar tertawa bahagia, saling bercanda, sampai melangkah ke kamar masing-masing. "Besok, aku tidak mau lagi satu mobil dengan kalian! Mulai besok, kita akan membawa mobil masing-masing!" seru Keyan, wajahnya merah padam, sebelum menutup pintu kamarnya dengan keras.Sementara di sisi lain.Menuju Villa Puncak,Fic dengan lembut menuntun Ellena, melewati batu-batu hitam kecil yang tersusun apik di jalan setapak. Mereka berada di taman, tepat di luar Villa Puncak. Fic mengajak Ellena menuju bangku khusus yang lengkap dengan meja bundar berisi buah-buahan segar dan minuman yang menggoda. Fic mempersilahkan Ellena duduk, layaknya mempersilahkan seorang putri kerajaan. "Silahkan Tuan Putri," ucapnya sambil membungkukkan tubuh.Ellena tergelak dan menutup mulutnya dengan tangan. Ia duduk dan melihat sekitarnya, merasakan keindahan sore itu. "Ah Fic
Saat ini di kediaman Ken, Khale dan Kimmy melangkahkan kaki mereka ke dalam rumah dengan langkah gontai. Keyan menyusul dari belakang, tetapi mulutnya tak berhenti mengomel, mengumpat dua kakaknya yang sama sekali tidak menggubrisnya. Ketiga pemuda itu menghempaskan bokong mereka ke sofa dengan kasar, tak peduli dengan tas yang belum mereka taruh. "Aku kesal!! Hari ini aku kesal dengan kalian berdua!" ujar Keyan kesal sambil menunjuk kedua kakaknya."Apa sih anak ini?" balas Khale sambil melotot."Tau tuh!" Kimmy ikut melotot dengan wajah tidak senang.Keyan sudah berdiri, marah, dan menggerakkan tangannya hendak memukul kepala Kimmy, namun ditangkap oleh Kimmy. "Haha.. Keyan rupanya iri kepada kita, Khal. Dia tidak bisa mendekati wanita incarannya, berbeda dengan kita." ejek Kimmy sambil melepaskan tangannya dari Keyan. Khale hanya menanggapi dengan senyuman sinis, menambah rasa kesal Keyan semakin mendalam."Siapa bilang iri? Aku cuma ngerasa tidak dianggap oleh kalian. Kalian s
Mereka baru saja selesai menikmati hidangan makan malam. Fic duduk bersandar di sofa sambil menggelar lengannya ke arah Ellena yang duduk didepannya tanpa jarak. Ellena menyandarkan punggungnya di dada Fic yang hangat. Kedua tangan Fic membelai perut Ellena seolah memberikan rasa nyaman pada istrinya ini, sementara lehernya dielusnya dengan lembut. "Fic, kenapa saat yang tadi itu kamu mendadak menjadi cerewet sih?" Ellena bertanya dengan nada iseng, sambil tangannya asyik mengutak-atik ponselnya.Fic tersenyum kecil. "Siapa yang cerewet? Aku?" dia menanggapi dengan nada bercanda."Padahal kamu sedang kesulitan bernafas, aku hanya peduli dan mencoba mengetahui penyebabnya." Jawab Ellena."Susah bernafas? Memang kenapa, ya? Apa aku menekan tubuhmu terlalu keras? Sepertinya tidak." Fic berkata sambil melanjutkan elusan lembutnya di leher Ellena, tangannya kadang bergerak meraba-raba sekilas membuat Ellena menggelinjang. "Ya... aku tidak tahu. Rasanya sesak saja," jawab Ellena, sambil ter
Fic melucuti pakaian Ellena. Sekali lagi mengamati tubuh indah itu sambil tangannya bergerak aktif. Menyentuh semua itu tanpa terlewat.Fic menyisir setiap bagian tubuh Ellena dengan bibirnya. Hingga sampai pada Area sensitif. Fic merenggangkan kedua paha Ellena. Dan memposisikan wajahnya. Ellena menggeliat bak cacing kepanasan karena ulah Fic. Meremas kuat rambut Fic hingga berantakan."Fic, berhenti." nafasnya tersengal sengal.Fic mendongak, menatap wajah Ellena yang sudah memerah. Fic tersenyum, menyambar bibir itu. Hanya sebentar, lagi lagi turun perlahan dan kembali lagi ke area sensitif.Ellena menegang, Fic belum berhenti. Masih berada disitu. Fic benar benar ingin membuat Ellena menggelinjang tak karuan. Hingga Ellena menggoyahkan tubuhnya tanda tak sanggup lagi."Ah, Fic. Berhentilah. Ku mohon." Mendorong kepala Fic.Fic akhirnya berhenti , memandangi tubuh yang terus menggeliat itu."Fic. Kamu menyiksaku!"Fic hanya tersenyum, kembali menyerang wajah leher dan dada Ellena,