Sama-sama sibuk dan keras kepala sampai tidak ada yang mau mengalah, sumber masalah pernikahannya harus berakhir. Mantan istri Sadam yang bekerja di salah satu stasiun TV dan memiliki jabatan yang bagus kadang lebih sibuk dari suaminya.Komunikasi terbatas, bertemu pun jarang. Hubungan mereka semakin asing. Muncul perdebatan dan pertengkaran kecil sampai akhirnya Sadam memutuskan untuk tinggal di apartemen. Nyatanya hubungan mereka makin kacau.Sadam menemukan ada mantan istrinya bersama seorang pria di kamar rumah mereka sedang memadu kasih, padahal ia pulang berniat mengajak duduk bersama dan membicarakan kelanjutan hubungan mereka. Nyatanya malah mendapatkan kejutan luar biasa.“Hah.”Kepala Sadam rasanya penat mengingat lagi masa kelam rumah tangganya dan sekarang Mami ingin mengenalkan dia dengan perempuan pilihannya. Meski tidak menjamin kalau hubungan mereka tidak berhasil karena perjodohan. Toh wanita pilihannya sendiri atas dasar sama-sama cinta akhirnya kandas.[Sadam, giman
Luna mengusap tengkuknya, agak pegal sejak tadi pagi hanya duduk mendampingi Sadam rapat. Bukan hanya tadi pagi, malah sejak kemarin. Setelah sarapan, Luna dan Sadam langsung cek out dan langsung ke kantor cabang meneruskan rapat kemarin. Barang bawaan mereka disimpan di mobil antar jemput.Sempat terjadi perdebatan antara Sadam dan pihak cabang. Namun, Sadam memiliki dasar dan alasan yang kuat sesuai dengan laporan dan dokumen yang mereka miliki. Sesekali Sadam melirik ke arah Luna yang terlihat tidak nyaman.“Kamu baik-baik saja?” tanya Sadam berbisik.“Saya ke belakang dulu, pak.”Sadam mengangguk pelan mengizinkan asistennya meninggalkan ruangan. Luna butuh meregangkan ototnya, ia menuju toilet lalu berdiam diri di ruang tunggu tidak jauh dari ruang rapat.“Ya ampun, badan aku kayaknya perlu dipijat.” Luna membuka ponsel yang sejak tadi ia simpan di kantong blazernya.Berharap ada panggilan atau pesan dari Irwan, nyatanya tidak ada. Malah ibunya sudah dua kali mengirimkan pesan me
Selama di pesawat kembali ke Jakarta, tidak ada yang bicara baik Sadam ataupun Luna. Sama-sama lelah, ingin lekas sampai. Luna bahkan tertidur sedangkan Sadam hanya terpejam dan masih terjaga.Terdengar informasi kalau pesawat akan mendarat, Sadam menoleh menatap Luna yang masih tertidur.“Luna,” panggil Sadam pelan. Namun, tidak ada pergerakan. “Luna, kita hampir sampai. Kamu harus pakai safety belt,” ujar Sadam lagi kali ini sampai menepuk lengan Luna.“Eh, kenapa pak?”“Pakai safety belt, sebentar lagi kita mendarat. Nanti lanjut istirahat di rumah.”Luna hanya mengangguk dan langsung memakai safety belt. Keluar dari armada dan menunggu bagasi, ia sempat menguap dan ulahnya tidak luput dari perhatian Sadam.“Saya boleh langsung pulang, pak?” tanya Luna.“Hm. Kamu dijemput?” Sadam balik bertanya sambil menyeret koper mereka melewati gate kedatangan.“Nggak pak, paling naik taksi.”“Tidak usah, nanti ikut saya,” usul Sadam.Luna menghentikan langkahnya tidak enak dengan ajakan pria i
Selama ini Luna sudah berusaha sabar dan menjaga ucapannya, tidak ingin sampai menyakiti Irwan. Dalam kondisi mereka, sudah pasti perasaan suaminya lebih sensitif. Meninggalkan rumah kontrakan karena tidak terbayar lalu menumpang di rumah orangtuanya, sampai harus berganti peran karena ia yang bekerja.Meskipun banyak alasan untuknya marah atau sekedar menyinggung sang suami. Kalau dipikir, Irwan malah semakin malas. Ada informasi lowongan kerja dari tetangga atau kerabatnya disambut biasa saja. Lokasi terlalu jauh, bukan bidangnya, tidak cocok, gaji tidak sesuai dan segala macam alasan lain.Rencana buka usaha pun harus dibarengi dengan modal. Tidak mungkin bisa terealisasi kalau hanya mengandalkan penghasilannya saja. Apalagi semua keperluan berdua, ia juga yang tanggung. Entah kapan terkumpul modal untuk buka usaha.Tuduhan Irwan kali ini sangat menyudutkan. Tidak terbersit dalam benak Luna ia merasa hebat dari suaminya. Ini hanya soal mau atau tidak mau berusaha, bukan siapa yang
“Ratna,” pekik Luna. Sedang mengantri lift ia malah ditarik ke toilet.“Cerita dong, gimana perjalanan kemarin sama duda ganteng?” tanya Ratna sambil menaik turunkan alisnya.“Apaan sih, biasa ajalah. Pengalaman pertama aku tugas luar, jadi fokus sama kerjaan. Ternyata banyak hal yang aku nggak tahu.”“Nggak ada kemana gitu, tempat wisata atau oleh-oleh?” tanya Ratna lagi dan Luna menggeleng dengan pasti. “Ih mana seru. Harusnya kalian manfaatkan waktu, mumpung lagi jauh dan Cuma berdua.”“Ngaco, aku masih setia sama pasangan aku ya.”“Eh iya, gimana kabar laki lo yang katro itu. Nggak bikin masalah sama iparnya ‘kan?”Luna menghela nafas dan mematut dirinya di cermin toilet memastikan penampilannya masih rapi.“Kalau diam berarti ada masalah. ‘iya ‘kan?”Daripada menanggapi Ratna dan berujung pada kegiatan ghibah. Gegas ia keluar dari toilet dan kembali antri lift.“Bener ‘kan, ada masalah?” tanya Ratna lagi, tapi Luna tidak menjawab. Ada Sadam berjalan ke arah mereka.“Selamat pagi,
Bab 16Irwan dan Sherin tiba di sekolah terlambat. Sudah lima belas menit Beni menunggu di depan ruang guru karena belum dijemput. Keasyikan ngobrol dan bercanda di taman, wali kelas Beni menghubungi Sherin karena Beni belum dijemput juga.“Sayang, lama nunggu ya?”“Bunda kenapa lambat jemput aku?”“Iya, maaf. Bunda lupa, tadi lewat pasar kena macet. Ayo, pulang!” Sherin mengambil alih tas Beni dan menuntunnya meninggalkan sekolah.Irwan masih menunggu di depan gerbang tanpa turun dari motor. Tidak ada ada percakapan dalam perjalanan pulang, apalagi bercanda. Beni sudah cukup mengerti dan bisa mengingat apa yang dia lihat dan dengar.“Mau jajan dulu nggak?” Tanya Irwan, sebelum belokan ke rumah ada minimarket.“Nggak Om, aku mau kerjain PR terus bobo. Tante Luna mau kasih aku jadi anak baik dan nilai aku bagus.”Irwan meringis mendengar Beni, apa hadiah yang akan diberikan Luna kalau ia menjadi suami yang baik. Ada rasa bersalah karena sudah menggoda Sherin.“Langsung pulang aja,” usu
Luna tersenyum saat turun dari kendaraan umum sudah ada Irwan menunggu. Sempat mengabari kalau ia dalam perjalanan pulang dan minta dijemput di halte. Tentu saja Irwan tidak bisa menolak, ibu mertuanya ada di rumah sejak tadi siang dan raut wajahnya terlihat tidak bersahabat.Dengan Sherin pun hanya bisa berkomunikasi lewat tatapan mata. Sangat tidak bisa diprediksi kondisi di rumah itu.“Malam mas,” sapa Luna meraih tangan Irwan dan mencium dengan takzim.“Hm. Naik, kita langsung pulang. Aku sampai dinyamukin nungguin kamu." Padahal Irwan baru datang, mengeluh seakan menunggu lama.Luna mengangguk dan gegas naik ke motor. Sempat menanyakan apa Irwan ingin sesuatu, rokok atau kebutuhan mereka yang lain. Namun, hanya dijawab dengan menggeleng. Sampai di rumah, Luna segera merapatkan pintu pagar. Tinggal mengunci dengan gembok, tidak ada rencana keluar lagi. Apalagi sudah jam tujuh malam.“Tante Luna, aku sudah kerjakan PR,” teriak Beni saat melihat Luna.“Wah, hebat.”“Nilai aku yang
“Mas sudah bangun?” Luna terbangun dan mendapati Irwan keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut. Mengabaikan pertanyaan istrinya dan langsung membuka lemari.“Mau kemana?” tanya Luna lagi karena Irwan memakai celana panjang dan kaos berkerah. Lebih rapi dari biasanya.“Mau cari uang. Orangtuaku butuh bantuan, aku anaknya harus berbakti. Cuma tiga juta, tapi kalau lagi kere begini rasanya kayak milyaran.”Luna menghela nafas. Ucapan Irwan sangat menyindir dirinya karena hanya bisa menyiapkan sebagian dari permintaan sang mertua.“Mas, kamu jangan gitu dong. Aku bukannya nggak mau bantu, tapi ….”“Tidak masalah, aku tidak minta bantuan kamu. Biar aku cari sendiri.”Irwan menyisir rambut dengan cepat, hendak segera keluar kamar. Namun, Luna menghalangi membuat mereka saling tatap.“Kita bicarakan dulu, jangan keluar dalam keadaan marah. Aku nggak mau masalah kita berlarut-larut.”“Masalah apa? Aku mau cari uang untuk orang tuaku, itu masalah?” cecar Irwan.“Tidak mas, tentu saj
“Geser!” titah Sherin sambil mendorong tubuh Irwan menjauh.“Biarin aja mbak, paling minta sumbangan.” Wajah Irwan kembali mendekat, tapi tangan Sherin menahannya.“Dilihat dulu, mana tahu itu Ibu atau siapa. Aku nggak mau digerebek warga,” ucap Sherin lirih.Irwan beranjak dengan malas. Berdecak sambil merapikan pakaiannya dan menyadari bagian bawah tubuhnya sudah menegang dan menonjol.“Ganggu aja,” keluhnya lalu menuju pintu. Sebelum membuka, ia menggeser gorden mengecek siapa yang datang.Pagar rumah itu agak tinggi, terlihat kepala Pak RT dan salah satu warga. Masih berdiri di depan pagar dan terus memanggil Irwan. Menoleh ke arah ruang tengah memastikan Sherin sudah beranjak dari sana.“Eh, pak RT,” ujar Irwan saat membuka pintu dan berjalan cepat menuju pagar.“Pada kemana ini, sepi banget?”“Ketiduran saya, tadi dari rumah Mama. Luna kayaknya ke toko,” jawab Irwan dan mempersilahkan kedua tamu itu masuk.Duduk di kursi beranda, Irwan berusaha menyembunyikan bagian bawah tubuh
“Mah.”Wanita yang dicari sedang asyik menonton tivi, Irwan langsung ikut duduk di sampingnya.“Ditungguin dari kemarin, baru nongol.”Irwan menyandarkan kepala sambil terpejam. “Masak apa mah?”“Ck, bukannya bawa makanan malah tanya masak apa. Lihat aja tuh di meja. Eh, kamu sendiri, Luna mana?”“Nggak ikut, dia sibuk,” jawab Irwan kemudian menegakan tubuh meski masih bersandar pada sofa. Mengeluarkan amplop dan menyerahkan pada wanita yang sudah melahirkannya. “Nih uangnya. Cuma bisa kasih segitu, itu juga pakai acara ngerayu dulu. Aku bilangnya pinjam, nanti udah kerja dibayar.”“Astaga, istrimu begitu? Masa orangtua butuh harus pinjam, lagian mama minta sama kamu bukan sama dia. Selama kalian menikah kamu banyak kasih uang ke dia, nggak ada gitu mau bantu mama.”“Ah, sudahlah Mah. Yang penting udah keluar uangnya. Pusing aku, di rumah sumpek kerja belum ada yang cocok.”“MAma bilang juga apa, tinggal aja di sini, kamu masih punya orang tua dan kami terima kamu dengan tangan terbuk
“Mas sudah bangun?” Luna terbangun dan mendapati Irwan keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambut. Mengabaikan pertanyaan istrinya dan langsung membuka lemari.“Mau kemana?” tanya Luna lagi karena Irwan memakai celana panjang dan kaos berkerah. Lebih rapi dari biasanya.“Mau cari uang. Orangtuaku butuh bantuan, aku anaknya harus berbakti. Cuma tiga juta, tapi kalau lagi kere begini rasanya kayak milyaran.”Luna menghela nafas. Ucapan Irwan sangat menyindir dirinya karena hanya bisa menyiapkan sebagian dari permintaan sang mertua.“Mas, kamu jangan gitu dong. Aku bukannya nggak mau bantu, tapi ….”“Tidak masalah, aku tidak minta bantuan kamu. Biar aku cari sendiri.”Irwan menyisir rambut dengan cepat, hendak segera keluar kamar. Namun, Luna menghalangi membuat mereka saling tatap.“Kita bicarakan dulu, jangan keluar dalam keadaan marah. Aku nggak mau masalah kita berlarut-larut.”“Masalah apa? Aku mau cari uang untuk orang tuaku, itu masalah?” cecar Irwan.“Tidak mas, tentu saj
Luna tersenyum saat turun dari kendaraan umum sudah ada Irwan menunggu. Sempat mengabari kalau ia dalam perjalanan pulang dan minta dijemput di halte. Tentu saja Irwan tidak bisa menolak, ibu mertuanya ada di rumah sejak tadi siang dan raut wajahnya terlihat tidak bersahabat.Dengan Sherin pun hanya bisa berkomunikasi lewat tatapan mata. Sangat tidak bisa diprediksi kondisi di rumah itu.“Malam mas,” sapa Luna meraih tangan Irwan dan mencium dengan takzim.“Hm. Naik, kita langsung pulang. Aku sampai dinyamukin nungguin kamu." Padahal Irwan baru datang, mengeluh seakan menunggu lama.Luna mengangguk dan gegas naik ke motor. Sempat menanyakan apa Irwan ingin sesuatu, rokok atau kebutuhan mereka yang lain. Namun, hanya dijawab dengan menggeleng. Sampai di rumah, Luna segera merapatkan pintu pagar. Tinggal mengunci dengan gembok, tidak ada rencana keluar lagi. Apalagi sudah jam tujuh malam.“Tante Luna, aku sudah kerjakan PR,” teriak Beni saat melihat Luna.“Wah, hebat.”“Nilai aku yang
Bab 16Irwan dan Sherin tiba di sekolah terlambat. Sudah lima belas menit Beni menunggu di depan ruang guru karena belum dijemput. Keasyikan ngobrol dan bercanda di taman, wali kelas Beni menghubungi Sherin karena Beni belum dijemput juga.“Sayang, lama nunggu ya?”“Bunda kenapa lambat jemput aku?”“Iya, maaf. Bunda lupa, tadi lewat pasar kena macet. Ayo, pulang!” Sherin mengambil alih tas Beni dan menuntunnya meninggalkan sekolah.Irwan masih menunggu di depan gerbang tanpa turun dari motor. Tidak ada ada percakapan dalam perjalanan pulang, apalagi bercanda. Beni sudah cukup mengerti dan bisa mengingat apa yang dia lihat dan dengar.“Mau jajan dulu nggak?” Tanya Irwan, sebelum belokan ke rumah ada minimarket.“Nggak Om, aku mau kerjain PR terus bobo. Tante Luna mau kasih aku jadi anak baik dan nilai aku bagus.”Irwan meringis mendengar Beni, apa hadiah yang akan diberikan Luna kalau ia menjadi suami yang baik. Ada rasa bersalah karena sudah menggoda Sherin.“Langsung pulang aja,” usu
“Ratna,” pekik Luna. Sedang mengantri lift ia malah ditarik ke toilet.“Cerita dong, gimana perjalanan kemarin sama duda ganteng?” tanya Ratna sambil menaik turunkan alisnya.“Apaan sih, biasa ajalah. Pengalaman pertama aku tugas luar, jadi fokus sama kerjaan. Ternyata banyak hal yang aku nggak tahu.”“Nggak ada kemana gitu, tempat wisata atau oleh-oleh?” tanya Ratna lagi dan Luna menggeleng dengan pasti. “Ih mana seru. Harusnya kalian manfaatkan waktu, mumpung lagi jauh dan Cuma berdua.”“Ngaco, aku masih setia sama pasangan aku ya.”“Eh iya, gimana kabar laki lo yang katro itu. Nggak bikin masalah sama iparnya ‘kan?”Luna menghela nafas dan mematut dirinya di cermin toilet memastikan penampilannya masih rapi.“Kalau diam berarti ada masalah. ‘iya ‘kan?”Daripada menanggapi Ratna dan berujung pada kegiatan ghibah. Gegas ia keluar dari toilet dan kembali antri lift.“Bener ‘kan, ada masalah?” tanya Ratna lagi, tapi Luna tidak menjawab. Ada Sadam berjalan ke arah mereka.“Selamat pagi,
Selama ini Luna sudah berusaha sabar dan menjaga ucapannya, tidak ingin sampai menyakiti Irwan. Dalam kondisi mereka, sudah pasti perasaan suaminya lebih sensitif. Meninggalkan rumah kontrakan karena tidak terbayar lalu menumpang di rumah orangtuanya, sampai harus berganti peran karena ia yang bekerja.Meskipun banyak alasan untuknya marah atau sekedar menyinggung sang suami. Kalau dipikir, Irwan malah semakin malas. Ada informasi lowongan kerja dari tetangga atau kerabatnya disambut biasa saja. Lokasi terlalu jauh, bukan bidangnya, tidak cocok, gaji tidak sesuai dan segala macam alasan lain.Rencana buka usaha pun harus dibarengi dengan modal. Tidak mungkin bisa terealisasi kalau hanya mengandalkan penghasilannya saja. Apalagi semua keperluan berdua, ia juga yang tanggung. Entah kapan terkumpul modal untuk buka usaha.Tuduhan Irwan kali ini sangat menyudutkan. Tidak terbersit dalam benak Luna ia merasa hebat dari suaminya. Ini hanya soal mau atau tidak mau berusaha, bukan siapa yang
Selama di pesawat kembali ke Jakarta, tidak ada yang bicara baik Sadam ataupun Luna. Sama-sama lelah, ingin lekas sampai. Luna bahkan tertidur sedangkan Sadam hanya terpejam dan masih terjaga.Terdengar informasi kalau pesawat akan mendarat, Sadam menoleh menatap Luna yang masih tertidur.“Luna,” panggil Sadam pelan. Namun, tidak ada pergerakan. “Luna, kita hampir sampai. Kamu harus pakai safety belt,” ujar Sadam lagi kali ini sampai menepuk lengan Luna.“Eh, kenapa pak?”“Pakai safety belt, sebentar lagi kita mendarat. Nanti lanjut istirahat di rumah.”Luna hanya mengangguk dan langsung memakai safety belt. Keluar dari armada dan menunggu bagasi, ia sempat menguap dan ulahnya tidak luput dari perhatian Sadam.“Saya boleh langsung pulang, pak?” tanya Luna.“Hm. Kamu dijemput?” Sadam balik bertanya sambil menyeret koper mereka melewati gate kedatangan.“Nggak pak, paling naik taksi.”“Tidak usah, nanti ikut saya,” usul Sadam.Luna menghentikan langkahnya tidak enak dengan ajakan pria i
Luna mengusap tengkuknya, agak pegal sejak tadi pagi hanya duduk mendampingi Sadam rapat. Bukan hanya tadi pagi, malah sejak kemarin. Setelah sarapan, Luna dan Sadam langsung cek out dan langsung ke kantor cabang meneruskan rapat kemarin. Barang bawaan mereka disimpan di mobil antar jemput.Sempat terjadi perdebatan antara Sadam dan pihak cabang. Namun, Sadam memiliki dasar dan alasan yang kuat sesuai dengan laporan dan dokumen yang mereka miliki. Sesekali Sadam melirik ke arah Luna yang terlihat tidak nyaman.“Kamu baik-baik saja?” tanya Sadam berbisik.“Saya ke belakang dulu, pak.”Sadam mengangguk pelan mengizinkan asistennya meninggalkan ruangan. Luna butuh meregangkan ototnya, ia menuju toilet lalu berdiam diri di ruang tunggu tidak jauh dari ruang rapat.“Ya ampun, badan aku kayaknya perlu dipijat.” Luna membuka ponsel yang sejak tadi ia simpan di kantong blazernya.Berharap ada panggilan atau pesan dari Irwan, nyatanya tidak ada. Malah ibunya sudah dua kali mengirimkan pesan me