“Aku jalan ya mas,” pamit Luna lalu meraih tangan suaminya.
“Hati-hati ya. Nanti malam, kamu lembur lagi?” tanya Irwan dengan raut wajah lesu.
“Belum tau, mas.”
“Eh Lun, kayaknya aku ke tempat mama aja ya. Nggak enak sama ibu kamu, jam segini belum berangkat pasti nggak ke toko.”
Luna menghela pelan, padahal ibunya tidak masalah dengan kondisi mereka tapi Irwan yang minder dan malu sendiri.
“Ya sudah terserah mas saja.” Ojek yang akan digunakan Luna ke kantor sudah menunggu di depan pagar. Menerima helm dan langsung ia pakai, motor pun melaju.
Sudah hampir satu tahun Irwan menganggur karena di perusahaan tempat bekerjanya bangkrut dan diambil alih oleh perusahaan lain. Lamaran sudah dikirim ke mana pun, nyatanya belum ada yang berhasil sampai diterima. Ada orang dalam pun masih harus melewati tes dan wawancara.
Katakan saja Irwan tidak kompeten karena selalu tidak berhasil setelah melakukan tes dan wawancara. Sampai akhirnya persediaan tabungan mereka menipis lalu Luna inisiatif untuk mencari kerja.
Lamaran dikirim ketiga perusahaan, salah satunya menerima Luna. Tentu saja dengan serangkaian tes. Tiga bulan bekerja nyatanya tidak cukup membiayai hidup mereka berdua termasuk juga sewa kontrakan per tahun yang sudah jatuh tempo.
Luna mengajak Irwan tinggal dengan orangtuanya, dari pada harus tinggal dengan orangtua Irwan. Khawatir ada drama mertua dan menantu seperti cerita di ftv dan sinetron ikan terbang.
Irwan tidak lagi mengirimkan surat lamaran atau bertanya pada teman dan kerabatnya mengenai lowongan pekerjaan. Entah karena sudah malas atau memang ingin menggeluti usaha seperti yang pernah direncanakan. Sayangnya terkendala dengan modal usaha.
“Irwan,” terdengar teriakan dari dalam rumah.
“Iya bu,” sahut Irwan padahal sudah nangkring di atas motor bersiap menuju pos di ujung jalan gabung dengan bapak-bapak gabut dan tukang ojek pangkalan sambil menunggu sampai ibu mertuanya berangkat ke toko. Setelah itu dia bisa pulang dan rebahan atau bermalas-malasan seharian.
Mulutnya sempat komat-kamit seperti mbah dukun, bukan baca mantra melainkan mengumpat.
“Luna sudah berangkat?” tanya ibu mertuanya.
Irwan menghela nafas. Melihat ibu mertuanya masih mengenakan daster dan sibuk mengganti channel TV dengan remote, artinya wanita itu tidak akan dinas di toko kelontong usaha keluarga mereka.
“Sudah bu,” jawab Irwan masih berdiri seperti murid yang dihukum oleh gurunya.
“Hm. Jangan kemana-mana, nanti siang ada tugas untuk kamu.”
“Tu-gas apa Bu?” tanya Irwan lagi. Dia takut kalau ada barang datang dan harus dipindahkan ke gudang, artinya dia harus angkat-angkat. Mana cocok dia melakukan hal itu, merasa tubuh dan penampilannya sempurna dan hina kalau disamakan dengan para kuli pasar.
“Ya pokoknya nanti bantu ibu. panggil Bik Ela, minta merapikan kamar tamu di samping kamar kalian, minta juga masak makan siang. Lauk yang spesial, terserah mau ikan, daging atau ayam.” Ibu sudah membuka dompetnya hendak mengeluarkan lembaran merah.
Irwan melirik.
Bisa kecipratan rejeki nih. Gue tilep aja selembar dua lembar mah, batin Irwan.
Namun, Ibu malah menutup kembali dompetnya. “Panggil aja bik Elanya, nanti saya yang kasih perintah.”
Bik Ela adalah perempuan yang biasa cuci setrika atau rapi-rapi di rumah itu, hanya saja datang dua hari sekali dan tidak menginap. Tinggal masih di satu kampung hanya beda gang.
“Nggak di telpon aja Bu.”
“Jam segini Ela lagi sibuk masak atau nyuci, mana dia peduli sama hp. Nggak kayak kamu seharian hp terus. Memang bisa telpon ke panci."
“Saya ‘kan main hp sambil usaha bu. Ya udah saya samperin ke rumahnya,” tutur Irwan dongkol karena gagal dapat rejeki dan diceramahi ibu mertuanya.
Entah tamu siapa yang akan datang karena ibu mertuanya sibuk mempersiapkan kedatangan.
***
“Pagi,” sapa Luna yang sudah tiba di kubikelnya.
Ratna yang kubikelnya tepat di samping Luna bukan menjawab sapaan malah menggeser kursinya mendekat. “Ada gosip baru, posisi wakil manager kosong. Artinya Pak Sadam lagi cari orang,” bisik Ratna.
“Oh,” sahut Luna lalu menghidupkan komputer.
Sadam adalah manager operasional di perusahaan tempatnya bekerja. Pria matang dan dewasa berstatus duda. Sebagai manajer pria itu berwibawa dan kharismatik. Tampan sudah pasti dan sering menjadi bahan pembicaraan para karyawan perempuan. Namun, untuk urusan pekerjaan sangat disiplin dan tegas bahkan sedikit arogan.
“Lo ada kesempatan untuk jadi wakilnya, sana samperin dia sudah datang.” Ratna bertitah sambil berbisik.
“Apaan sih.”
“Denger ya Lun, dari pada mbak-mbak senior di divisi kita yang otaknya sering ngelag kayak pentium jebot, lo lebih pantas. Selama ini Pak Sadam lebih mengandalkan lo kok. Percaya deh. Kemampuan oke, tampang juga lumayan. Minus dari diri lo karena masih sayang sama suami pengangguran dan nggak guna itu.”
“Ratna,” tegur Luna. “Ngapain bawa-bawa suami aku.”
Ratna adalah teman SMA Luna dan mereka bertemu lagi saat hari pertama bekerja. Ratna sudah dua tahun lebih lama bekerja di tempat itu dibandingkan Luna.
“Udah deh, lo denger apa kata gue. Itu laporan kemarin hasil lembur tim kita, antar ke ruangan Pak Sadam.”
“Tapi ….” Luna ragu. Namun, sudah berdiri dari kursinya. Laporan yang dimaksud Ratna memang harus dia antar. Biasanya ia dan Ratna atau rekannya yang lain yang menghadap Sadam untuk menyampaikan laporan, kali ini Ratna minta dia sendiri yang menyampaikan.
Ratna sudah beranjak dan meraih map berisi dokumen lalu diletakan di telapak tangan Luna dan mendorong tubuhnya pelan. “Buruan, keburu Pak Sadam sibuk. Anggap aja ini perintah dari senior,” usir Ratna.
Luna menarik nafas lalu melangkah, sempat menoleh dan mendapatkan pengusiran dengan lambaian tangan dari rekannya. “Cepat!”
Suasana ruangan tersebut belum ramai, waktu kerja masih sepuluh menit lagi. Walaupun sudah ada yang datang belum ada yang memulai kerja, ada yang fokus dengan ponsel karena sibuk dengan media sosial atau asyik mengisi keranjang di portal belanja online meski tidak tahu kapan akan melakukan cek out.
Luna melewati pintu kaca menuju ruangan Sadam. Sekretaris pria itu belum datang, terlihat meja kerjanya masih rapi. Mengetuk pintu yang tidak tertutup rapat.
“Masuk.” Suara bass penghuni ruangan, terdengar begitu berat dan dalam. Sangat mencerminkan seorang pria yang dewasa.
Luna menghela pelan lalu mendorong pintu tersebut.
“Selamat pagi pak,” sapa Luna.
“Oh Luna, masuklah.”
Luna mengangguk lalu mendekat dan duduk di depan meja kerja Sadam. Ruang kerja pria itu tidak terlalu luas, ada toilet di dalam dan sofa untuk menerima tamu. Hari ini Sadam menggunakan batik lengan panjang. Sesuai dengan aturan perusahaan terkait penggunaan pakaian. Luna mengenakan celana panjang dan blouse hitam lengan pendek dilapisi blazer motif batik.
“Ini laporan yang sudah selesai pak.” Luna meletakan dokumen di atas meja.
Sadam yang tadinya fokus pada layar laptop mengalihkan pandangannya dan mengambil map tersebut. Membuka helai demi helai laporan yang sudah tersusun.
“Kalau sudah acc bapak, bantex berisi bukti dan nota akan saya simpan di ruang arsip.”
Nyatanya Sadam malah meletakan dokumen tadi, bukan membubuhkan tanda tangan sebagai tanda dia sudah menyetujui audit yang dilakukan oleh tim Luna.
“Ini proyek X?” tanya Sadam.
“i-ya pak,” jawab Luna dan Sadam pun mengangguk.
“Luna, ada dua posisi yang saya tawarkan. Sekretaris atau wakil manager, keduanya akan bekerja di bawah arahan dan tanggung jawab saya. Kamu pilih yang mana?” tanya Sadam menatap lawan bicaranya.
“Apa?”
“Telinga kamu masih berfungsi ‘kan?” tanya Sadam yang kini menyandarkan punggung dan bersedekap menatap Luna.“I-ya masih pak, jadi saya harus pilih antara jadi sekretaris wakil bapak?”“Hm.”Luna menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Pilihan yang sulit dan kedua posisi itu lebih baik dari tugasnya sekarang, sudah pasti penghasilannya pun berbeda. Kalau ia pilih tentu saja bisa lebih banyak mengumpulkan dana untuk modal usaha sang suami.“Bagaimana?” tanya Sadam karena Luna malah melamun.“Ehm, boleh saya pikirkan dulu, pak.”“Tidak, harus sekarang atau saya tawarkan ke yang lain.” Sadam masih bersedekap menatap Luna yang bingung dan ragu memilih menjadi sekretaris atau wakil Sadam. “Hei, pilih sekarang atau tidak!”“Satu jam pak, tolong beri saya waktu satu jam,” seru Luna sambil mengangkat jari telunjuknya.“Sekarang, saya hitung sampai lima. Satu, dua ….”“Pak Sadam, saya mau jadi wakil bapak, iya wakil bapak.” Luna memilih wakil manager daripada sebagai sekretaris. Yang iya tahu
“Gue bilang juga apa, lo cocok jadi wakilnya Sadam,” bisik Ratna saat rapat berakhir.“Aku jadi nggak enak, kayaknya nggak semua tim setuju dengan keputusan Pak Sadam,” balas Luna yang juga berbisik.“Nggak usah lo pikirin. Siapa pun yang ada di posisi wakil Sadam mereka selalu kontra.”Luna menghela nafasnya. “Tapi, kenapa nggak kamu aja ya. Seharusnya, tadi pagi kamu yang serahkan laporan dan ….”“Nggak akan Lun, Sadam nggak akan tawarkan posisi itu ke gue.”“Kenapa?” tanya Luna heran dan Ratna hanya mengedikkan bahu.“Udah ah, kita makan yuk. Laper gue.”Namun, atensi kedua perempuan itu tertuju setelah mendengar suara Sadam.“Luna, ikut saya!”“Sekarang, pak?” tanya Luna setelah saling tatap dengan Ratna. Saat ini sudah jam makan siang, tapi Sadam malah minta dia ikut ke ruangan.“Menurutmu, kalau aku butuh kamu bulan depan apa harus aku panggil sekarang.” Sadam bicara dengan tangan berada di saku celananya. Ratna sempat terkikik lalu berdeham dan mengulum senyum.Tidak ingin memb
Luna sudah mendapat kabar kalau kakaknya akan pulang. Tidak sempat menyapa karena saat ia pulang, kamar Sherin sudah tertutup rapat. Bahkan Irwan juga sudah tidur.“Kamu sekarang kerja?” tanya Sherin setelah mereka berpelukan mengobati rindu.“Iya mbak.”“Aku juga mau kerja, tapi kasihan Beni.”Luna menghela nafasnya, ia paham bagaimana perasaan Sherin. Ia pun merasakan dilema dengan kondisinya. Bekerja, tapi peran sebagai istri kurang maksimal. Tidak bekerja, lalu bagaimana mereka makan. Tidak mungkin terus menerus menumpang pada ibunya.“Suami kamu mana?” tanya Sherin karena belum melihat Irwan di meja makan.“Paling bentar lagi juga keluar, tadi lagi mandi.” Luna meski sudah rapi dan siap berangkat, berusaha untuk melayani suaminya. Ia membuatkan kopi dan diletakan di atas meja.“Mas, mau sarapan sekarang?” tanya Luna saat melihat Irwan datang dan duduk di sampingnya, padahal ia baru saja memulai sarapan.“Nanti saja, belum lapar. Kamu habiskan itu, nanti kesiangan.” Irwan menunjuk
Mata Irwan seakan terbelakak bahkan mungkin bola matanya siap meluncur keluar melihat penampilan Sherin. Dengan rambut dikuncir ekor kuda, membuat tengkuknya terekspos.Belum lagi kaos yang pas dibadan dan jeans model pensil, membuat tubuhnya terbentuk sempurna dan terlihat begitu seksi. Yang paling menarik adalah bagian depan tubuh wanita itu, begitu menonjol dan menantang meski sudah terbalut dengan kaos.Yang Irwan tahu kalau Sherin diceraikan oleh suaminya. Mereka sempat bertahan meski tahu sang suami sudah selingkuh dan akhirnya bercerai juga. Dalam pikirannya kenapa bisa Sherin sesempurna ini bisa diselingkuhi bahkan sampai diceraikan.“Irwan,” panggil Sherin.“Eh, iya mbak.”“Kamu melamun, kok diam aja.”“Maaf mbak, kita langsung jalan aja ya. Udah siang,” seru Irwan yang memang sejak tadi belum turun dari motor lalu menghidupkan kembali mesin motornya.“Saya nggak enak sama Luna, kamu pasti sibuk.”“Jangan gitu mbak, saya nggak masalah Luna juga sama. Lagian saya pengangguran,
Pikiran Irwan traveling ke arah adegan dewasa karena dipeluk oleh Sherin. Rasanya merinding disko. Sebagai pria dewasa dan normal, tentu saja apa yang dilakukan Sherin sangat menggoda.“Maaf ya, aku peluk kamu, takut jatuh,” ujar Sherin sambil mencondongkan wajah agar suaranya terdengar oleh Irwan dan semakin membuat dadanya menempel di punggung pria itu“Nggak pa-pa, mbak,” jawab Irwan. Tanpa Sherin tahu, Irwan tersenyum di balik helm yang digunakan.Ya ampun, baru nempel aja udah bikin enak begini apalagi gue rasain. Pasti … mantap, batin Irwan dengan pikiran mulai kotor.Setelah memastikan motornya terparkir aman di basement, Irwan dan Sherin berjalan di sepanjang deretanstore.“Udah lama aku nggak ke mall,” ucap Sherin.“Masa mbak?”“Iya. Selama menikah sampai bercerai, hanya sibuk di rumah. Berusaha jadi istri setia, nggak pernah cari hiburan. Tahunya malah Ayahnya Beni cari hiburan di luar juga.” Wajah Sherin mendadak sendu.“Sabar ya mbak,” ucap Irwan sambil mengusap punggung S
Chat yang dikirim Luna tak juga dibaca apalagi dibalas. Ditelpon pun tidak dijawab. Membuatnya semakin khawatir, bukan hanya khawatir karena ucapan Ratna kalau ia harus hati-hati jangan sampai Irwan tergoda dengan Sherin atau sebaliknya. Namun, khawatir kalau terjadi sesuatu dalam perjalanan, kecelakaan misalnya.Menghubungi Sherin, tidak enak hati. Bisa-bisa sang kakak tersinggung, karena merasa diawasi atau tidak dipercaya. Luna menghela nafasnya, bingung dan khawatir membuatnya tidak fokus. Sudah satu jam setelah kembali dari makan siang dan belum mengerjakan apapun. Hanya memandang layar laptop lalu beralih menatap layar ponsel, itu saja yang dilakukan sejak tadi. “Ya ampun Luna, kamu kenapa begini. Tidak mungkin Mas Irwan dan Mbak Sherin aneh-aneh.” Menggeleng pelan berusaha mengenyahkan segala pikiran buruk.Ponselnya bergetar ternyata ada pesan masuk dari Sadam.[ke ruanganku, sekarang!]Gegas Luna mengantongi ponsel dan membawa notebook menuju ruang kerja Sadam. Sempat menget
“Makasih ya, pak.” Luna menyerahkan helm pada ojek yang sudah mengantarnya pulang.“Sama-sama, mbak.”Rumahnya tampak sepi, padahal baru jam sembilan malam. Saat membuka pintu pagar dan menutupnya kembali serta langsung memasang gembok, ia sempat melirik ke arah motor milik suaminya.Irwan baru membalas chat tadi sore. Waktu menghubungi untuk menyampaikan kalau Luna akan lembur pun Irwan menjawab hanya dengan singkat. Padahal ia berharap sang suami akan menjemput ke kantor karena khawatir istrinya pulang malam.“Lembur lagi?”“Eh, iya, Bu,” sahut Luna saat mengunci pintu depan. Ibunya masih menonton TV, ia menghampiri lalu mencium tangan sang ibu.“Jangan sering lembur, kecapekan nanti kamu sakit.”“Kebetulan lagi ada yang urgent bu, kalau sudah aman pasti pulang kerja seperti biasa. Ibu kok belum tidur?”“Ini mau tidur.” Ibu mematikan televisi lalu meletakan remote di atas meja. “Sudah makan belum?”“Sudah bu.”“Coba kamu bicarakan lagi dengan Irwan, Ibu tidak masalah kalian bantu di
Luna menatap sekitar, mencari keberadaan Sadam. Sudah berkirim pesan saat berada dalam perjalanan kalau pria itu menunggu di depan pintu masuk. Padahal Sadam bisa saja menunggu di lounge, toh mereka sudah memiliki tiket elektronik.“Ah, itu dia,” gumam Luna gegas menyeret koper menghampiri Sadam yang berdiri sambil menekuni ponselnya. “Selamat pagi, pak,” sapa Luna.Sadam mengangkat wajahnya menatap Luna tanpa berkedip. Penampilan Luna kali ini dengan rambut digerai dan penjepit rambut di atas telinga kanan serta tanpa kaca mata membuat penampilannya berbeda.Pakaiannya pun tidak terlalu resmi. Blouse wrap dengan ikatan pita di sisi kiri dan bawahan celana pensil serta flatshoes lengkap dengan totebag di bahu kanannya memberikan kesan casual, tapi tetap elegan.Sadam mengenakan kemeja lengan panjang berwarna maroon yang lengannya dilipat sampai siku dengan bawahan celana bahan hitam. Lengkap dengan loafers coklat. Ia berdehem karena sempat terpaku sesaat. “Pagi. Ayo, masuk!”Mereka be
Selama ini Luna sudah berusaha sabar dan menjaga ucapannya, tidak ingin sampai menyakiti Irwan. Dalam kondisi mereka, sudah pasti perasaan suaminya lebih sensitif. Meninggalkan rumah kontrakan karena tidak terbayar lalu menumpang di rumah orangtuanya, sampai harus berganti peran karena ia yang bekerja.Meskipun banyak alasan untuknya marah atau sekedar menyinggung sang suami. Kalau dipikir, Irwan malah semakin malas. Ada informasi lowongan kerja dari tetangga atau kerabatnya disambut biasa saja. Lokasi terlalu jauh, bukan bidangnya, tidak cocok, gaji tidak sesuai dan segala macam alasan lain.Rencana buka usaha pun harus dibarengi dengan modal. Tidak mungkin bisa terealisasi kalau hanya mengandalkan penghasilannya saja. Apalagi semua keperluan berdua, ia juga yang tanggung. Entah kapan terkumpul modal untuk buka usaha.Tuduhan Irwan kali ini sangat menyudutkan. Tidak terbersit dalam benak Luna ia merasa hebat dari suaminya. Ini hanya soal mau atau tidak mau berusaha, bukan siapa yang
Selama di pesawat kembali ke Jakarta, tidak ada yang bicara baik Sadam ataupun Luna. Sama-sama lelah, ingin lekas sampai. Luna bahkan tertidur sedangkan Sadam hanya terpejam dan masih terjaga.Terdengar informasi kalau pesawat akan mendarat, Sadam menoleh menatap Luna yang masih tertidur.“Luna,” panggil Sadam pelan. Namun, tidak ada pergerakan. “Luna, kita hampir sampai. Kamu harus pakai safety belt,” ujar Sadam lagi kali ini sampai menepuk lengan Luna.“Eh, kenapa pak?”“Pakai safety belt, sebentar lagi kita mendarat. Nanti lanjut istirahat di rumah.”Luna hanya mengangguk dan langsung memakai safety belt. Keluar dari armada dan menunggu bagasi, ia sempat menguap dan ulahnya tidak luput dari perhatian Sadam.“Saya boleh langsung pulang, pak?” tanya Luna.“Hm. Kamu dijemput?” Sadam balik bertanya sambil menyeret koper mereka melewati gate kedatangan.“Nggak pak, paling naik taksi.”“Tidak usah, nanti ikut saya,” usul Sadam.Luna menghentikan langkahnya tidak enak dengan ajakan pria i
Luna mengusap tengkuknya, agak pegal sejak tadi pagi hanya duduk mendampingi Sadam rapat. Bukan hanya tadi pagi, malah sejak kemarin. Setelah sarapan, Luna dan Sadam langsung cek out dan langsung ke kantor cabang meneruskan rapat kemarin. Barang bawaan mereka disimpan di mobil antar jemput.Sempat terjadi perdebatan antara Sadam dan pihak cabang. Namun, Sadam memiliki dasar dan alasan yang kuat sesuai dengan laporan dan dokumen yang mereka miliki. Sesekali Sadam melirik ke arah Luna yang terlihat tidak nyaman.“Kamu baik-baik saja?” tanya Sadam berbisik.“Saya ke belakang dulu, pak.”Sadam mengangguk pelan mengizinkan asistennya meninggalkan ruangan. Luna butuh meregangkan ototnya, ia menuju toilet lalu berdiam diri di ruang tunggu tidak jauh dari ruang rapat.“Ya ampun, badan aku kayaknya perlu dipijat.” Luna membuka ponsel yang sejak tadi ia simpan di kantong blazernya.Berharap ada panggilan atau pesan dari Irwan, nyatanya tidak ada. Malah ibunya sudah dua kali mengirimkan pesan me
Sama-sama sibuk dan keras kepala sampai tidak ada yang mau mengalah, sumber masalah pernikahannya harus berakhir. Mantan istri Sadam yang bekerja di salah satu stasiun TV dan memiliki jabatan yang bagus kadang lebih sibuk dari suaminya.Komunikasi terbatas, bertemu pun jarang. Hubungan mereka semakin asing. Muncul perdebatan dan pertengkaran kecil sampai akhirnya Sadam memutuskan untuk tinggal di apartemen. Nyatanya hubungan mereka makin kacau.Sadam menemukan ada mantan istrinya bersama seorang pria di kamar rumah mereka sedang memadu kasih, padahal ia pulang berniat mengajak duduk bersama dan membicarakan kelanjutan hubungan mereka. Nyatanya malah mendapatkan kejutan luar biasa.“Hah.”Kepala Sadam rasanya penat mengingat lagi masa kelam rumah tangganya dan sekarang Mami ingin mengenalkan dia dengan perempuan pilihannya. Meski tidak menjamin kalau hubungan mereka tidak berhasil karena perjodohan. Toh wanita pilihannya sendiri atas dasar sama-sama cinta akhirnya kandas.[Sadam, giman
“Jangan gitu, Luna nggak mungkin selingkuh. Kamu kepala keluarga iya dibicarakan baik-baik,” ujar Sherin.Irwan meneguk kopinya lalu terdiam.“Aku paham kekhawatiran kamu. Karena pernah ada di posisi itu,” ujar Sherin lagi dan berhasil mendapatkan atensi dari Irwan. “Percaya dengan pasangan yang sedang cari nafkah, taunya malah main belakang. Ada affair dengan rekan kerjanya.”“Maaf mbak, saya bukan ….”“Tidak apa, saya sedang berbagi pengalaman aja. Biar kamu nggak mengalami apa yang saya rasakan.”“Tapi mau minta Luna berhenti kerja juga nggak enak, saya belum ada kerjaan. Jadi ya disabar-sabarin aja dulu. Meski rasanya gondok. Bayangin mbak, untuk sekedar kopi dan makan aja kadang saya harus ambil dan buat sendiri. Berasa masih bujangan,” tutur Irwan.Curahan hati Irwan sepertinya tercurahkan pada orang yang salah. Seharusnya ia menyampaikan keluh kesah rumah tangganya bersama Luna kepada Ibu mertua atau orangtua sang istri.“Ya sabar, kalian rencana buka usaha ‘kan?”“Iya, tapi ng
Luna menatap sekitar, mencari keberadaan Sadam. Sudah berkirim pesan saat berada dalam perjalanan kalau pria itu menunggu di depan pintu masuk. Padahal Sadam bisa saja menunggu di lounge, toh mereka sudah memiliki tiket elektronik.“Ah, itu dia,” gumam Luna gegas menyeret koper menghampiri Sadam yang berdiri sambil menekuni ponselnya. “Selamat pagi, pak,” sapa Luna.Sadam mengangkat wajahnya menatap Luna tanpa berkedip. Penampilan Luna kali ini dengan rambut digerai dan penjepit rambut di atas telinga kanan serta tanpa kaca mata membuat penampilannya berbeda.Pakaiannya pun tidak terlalu resmi. Blouse wrap dengan ikatan pita di sisi kiri dan bawahan celana pensil serta flatshoes lengkap dengan totebag di bahu kanannya memberikan kesan casual, tapi tetap elegan.Sadam mengenakan kemeja lengan panjang berwarna maroon yang lengannya dilipat sampai siku dengan bawahan celana bahan hitam. Lengkap dengan loafers coklat. Ia berdehem karena sempat terpaku sesaat. “Pagi. Ayo, masuk!”Mereka be
“Makasih ya, pak.” Luna menyerahkan helm pada ojek yang sudah mengantarnya pulang.“Sama-sama, mbak.”Rumahnya tampak sepi, padahal baru jam sembilan malam. Saat membuka pintu pagar dan menutupnya kembali serta langsung memasang gembok, ia sempat melirik ke arah motor milik suaminya.Irwan baru membalas chat tadi sore. Waktu menghubungi untuk menyampaikan kalau Luna akan lembur pun Irwan menjawab hanya dengan singkat. Padahal ia berharap sang suami akan menjemput ke kantor karena khawatir istrinya pulang malam.“Lembur lagi?”“Eh, iya, Bu,” sahut Luna saat mengunci pintu depan. Ibunya masih menonton TV, ia menghampiri lalu mencium tangan sang ibu.“Jangan sering lembur, kecapekan nanti kamu sakit.”“Kebetulan lagi ada yang urgent bu, kalau sudah aman pasti pulang kerja seperti biasa. Ibu kok belum tidur?”“Ini mau tidur.” Ibu mematikan televisi lalu meletakan remote di atas meja. “Sudah makan belum?”“Sudah bu.”“Coba kamu bicarakan lagi dengan Irwan, Ibu tidak masalah kalian bantu di
Chat yang dikirim Luna tak juga dibaca apalagi dibalas. Ditelpon pun tidak dijawab. Membuatnya semakin khawatir, bukan hanya khawatir karena ucapan Ratna kalau ia harus hati-hati jangan sampai Irwan tergoda dengan Sherin atau sebaliknya. Namun, khawatir kalau terjadi sesuatu dalam perjalanan, kecelakaan misalnya.Menghubungi Sherin, tidak enak hati. Bisa-bisa sang kakak tersinggung, karena merasa diawasi atau tidak dipercaya. Luna menghela nafasnya, bingung dan khawatir membuatnya tidak fokus. Sudah satu jam setelah kembali dari makan siang dan belum mengerjakan apapun. Hanya memandang layar laptop lalu beralih menatap layar ponsel, itu saja yang dilakukan sejak tadi. “Ya ampun Luna, kamu kenapa begini. Tidak mungkin Mas Irwan dan Mbak Sherin aneh-aneh.” Menggeleng pelan berusaha mengenyahkan segala pikiran buruk.Ponselnya bergetar ternyata ada pesan masuk dari Sadam.[ke ruanganku, sekarang!]Gegas Luna mengantongi ponsel dan membawa notebook menuju ruang kerja Sadam. Sempat menget
Pikiran Irwan traveling ke arah adegan dewasa karena dipeluk oleh Sherin. Rasanya merinding disko. Sebagai pria dewasa dan normal, tentu saja apa yang dilakukan Sherin sangat menggoda.“Maaf ya, aku peluk kamu, takut jatuh,” ujar Sherin sambil mencondongkan wajah agar suaranya terdengar oleh Irwan dan semakin membuat dadanya menempel di punggung pria itu“Nggak pa-pa, mbak,” jawab Irwan. Tanpa Sherin tahu, Irwan tersenyum di balik helm yang digunakan.Ya ampun, baru nempel aja udah bikin enak begini apalagi gue rasain. Pasti … mantap, batin Irwan dengan pikiran mulai kotor.Setelah memastikan motornya terparkir aman di basement, Irwan dan Sherin berjalan di sepanjang deretanstore.“Udah lama aku nggak ke mall,” ucap Sherin.“Masa mbak?”“Iya. Selama menikah sampai bercerai, hanya sibuk di rumah. Berusaha jadi istri setia, nggak pernah cari hiburan. Tahunya malah Ayahnya Beni cari hiburan di luar juga.” Wajah Sherin mendadak sendu.“Sabar ya mbak,” ucap Irwan sambil mengusap punggung S