“Telinga kamu masih berfungsi ‘kan?” tanya Sadam yang kini menyandarkan punggung dan bersedekap menatap Luna.
“I-ya masih pak, jadi saya harus pilih antara jadi sekretaris wakil bapak?”
“Hm.”
Luna menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Pilihan yang sulit dan kedua posisi itu lebih baik dari tugasnya sekarang, sudah pasti penghasilannya pun berbeda. Kalau ia pilih tentu saja bisa lebih banyak mengumpulkan dana untuk modal usaha sang suami.
“Bagaimana?” tanya Sadam karena Luna malah melamun.
“Ehm, boleh saya pikirkan dulu, pak.”
“Tidak, harus sekarang atau saya tawarkan ke yang lain.” Sadam masih bersedekap menatap Luna yang bingung dan ragu memilih menjadi sekretaris atau wakil Sadam.
“Hei, pilih sekarang atau tidak!”
“Satu jam pak, tolong beri saya waktu satu jam,” seru Luna sambil mengangkat jari telunjuknya.
“Sekarang, saya hitung sampai lima. Satu, dua ….”
“Pak Sadam, saya mau jadi wakil bapak, iya wakil bapak.” Luna memilih wakil manager daripada sebagai sekretaris. Yang iya tahu sekretaris pria itu sering berganti, entah karena tidak bisa mengikuti ritme kerja pimpinannya atau memang ada alasan lain.
“Oke, kembali ke tempatmu. Saya hubungi HRD untuk revisi kontrak kerja dan satu jam lagi kita rapat.”
“Baik pak,” sahut Luna lalu berdiri dan meninggalkan Sadam, tanpa ia tahu kalau Sadam terus menatapnya sampai menghilang di balik pintu.
Sadam menghela nafas. Luna Wijaya, sejak hari pertama menjadi staf sudah menarik perhatian. Hanya dia perempuan yang tidak menatapnya penuh damba atau sorot mata menggoda. Kompetensinya lumayan dan cepat tanggap saat menerima penjelasan atau arahan, hanya saja sangat mudah panik.
Tawaran yang ia berikan tadi bukan karena ada maksud lain, memang posisi sekretaris dan wakilnya sedang kosong. Yang satu ia pecat, yang satu lagi resign mendadak karena orangtuanya sakit parah. Bisa saja ia tawarkan dua posisi tadi pada staf lain yang lebih senior. Hanya saja hatinya lebih condong pada Luna.
Semoga bukan karena ketertarikan lawan jenis karena itu salah. Saat ini ia memang single, duda cerai sudah lebih dari tujuh tahun karena mantan istri selingkuh. Sedangkan Luna statusnya sudah menikah atau istri orang.
Sadam menghubungi HRD untuk segera mencari posisi sekretaris dan mengupgrade kontrak kerja milik Luna.
“Iya, Luna Wijaya. Untuk posisi sekretaris, aku kembalikan pada kalian saja.”
“Dam, standar lo turunin dikit dong. Satu tahun sudah berapa kali lo ganti sekretaris, udah kayak ganti apaan aja,” tutur Kepala HRD yang memang berteman dengan Sadam.
“Kalau mereka nggak tahu kerja, tahunya dandan sama caper ke gue. Ngapain harus dipertahankan. Cari secepatnya, kerjaan lagi banyak nggak mungkin gue handle sendiri.” Terdengar suara decakan di ujung sana, Sadam pun mengakhiri panggilan.
***
Irwan kesal karena tidak bisa berkutik. Setelah memanggil Bik Ela yang langsung sibuk mengerjakan perintah Ibu mertuanya, dia juga tidak boleh pergi. Sudah jam dua belas lewat, perutnya sudah berteriak minta diisi. Apalagi aroma masakan yang dibuat oleh Bik Ela sangat harum membuatnya semakin kelaparan.
“Irwan!”
“Iya bu.” Irwan yang menunggu di beranda tergopoh-gopoh masuk ke rumah menghampiri sang mertua.
Ia mengernyitkan dahi mendapati ibu mertuanya sudah rapi dan siap berangkat. Seingatnya akan ada tamu, tapi kenapa malah mau pergi.
“Siapin mobil, kita jalan bentar lagi.”
“Kemana Bu?” tanya Irwan sambil menuju buffet di ruang keluarga. Kunci mobil biasa disimpan di salah satu laci.
“Nanti juga kamu tahu.” Terdengar ibu mertuanya bicara pada Bik Ela.
Irwan menggerakan bibirnya mengikuti ucapan wanita paruh baya itu, seraya mengejek.
“Hah, suruh jadi supir. Mending kalau dikasih uang rokok.”
Irwan membuka lebar pintu pagar lalu menghidupkan mesin mobil dan membiarkannya sampai sang mertua datang. Sambil bersiul dan mematut dirinya di center mirror, Ibu mertuanya masuk dan duduk di kabin tengah.
“Ayo, jalan!”
Perlahan mobil pun melaju meninggalkan rumah.
“Ke bandara, penerbangan domestik.”
“Iya, bu,” sahut Irwan. “Ke bandara mau ngapain bu?”
“Lihat pesawat.”
Irwan menarik nafasnya sambil terus fokus dengan kemudi. Tidak ada yang salah dengan pertanyaannya atau jawaban dari sang ibu cukup mind blowing. Hampir satu jam setengah perjalanan dan sempat terjebak macet, akhirnya mereka tiba di bandara.
“Parkir dulu, kamu ikut ibu.”
“Saya tunggu di sini saja, nanti kalau sudah selesai saya jemput di ….”
“Ikut turun, barang bawaannya banyak. Kamu bantu bawakan.”
Mengekor langkah ibu mertuanya, Irwan terlihat tidak bersemangat. Entah siapa yang akan mereka temui, apa ada yang baru pulang naik haji sampai barang bawaannya banyak.
“Ibu.”
“Sherin.”
Irwan ikut menoleh ke arah suara dan kembali mengekor. Ternyata yang ditemui adalah perempuan dan mereka saling berpelukan, bahkan perempuan itu menangis dipelukan Ibu.
“Sudah nggak usah nangis, malu dilihat orang. Mana cucu Ibu?”
Cucu, batin Irwan lalu menatap perempuan itu.
“Itu siapa, bu?” tanya si perempuan.
“Oh iya, Irwan ini Sherin kakaknya Luna. Sherin, ini Irwan adik iparmu,” ujar Ibu dan Irwan mengangguk dan tersenyum. “Sherin tidak bisa hadir waktu kamu menikah,” ujar Ibu lagi.
Irwan tidak peduli dengan ibu mertuanya yang sibuk dengan Beni -- putra Sherin. Ia lebih fokus mengamati sang kakak ipar lewat spion tengah, tentu saja sambil fokus dengan kemudi. Terlihat cantik dan seksi dengan pakaian yang dikenakan. Meski ia akui kalau Luna memang cantik juga, tapi tidak pernah dandan maksimal seperti Sherin.
“Nggak usah sedih, kamu sama Beni sekarang tanggung jawab Ibu. Laki-laki nggak ngotak, istri dicerai dan ditinggal gitu aja.”
“Tapi Bu, Beni mulai besar, aku harus pikirkan biaya sekolahnya. Nggak yakin ayah Beni mau kasih nafkah. Aku mau kerja juga nggak tahu kerja apa.”
“Tenang aja, kamu fokus rawat anakmu. Ibu masih bisa cari uang. Mana tahu nanti ada laki-laki yang bisa terima kamu dan Beni.”
Saat ibu mengatakan hal itu, tatapan Sherin dan Irwan bertemu melalui center mirror. Perhatian Irwan tidak fokus dan hampir menabrak motor yang menyalip. Beruntung dia sigap menginjak rem.
“Irwan!” teriak Ibu.
“Maaf bu, tadi ada kucing lewat. Masa harus saya lindas Bu.” Irwan beralasan, tidak mungkin dia mengatakan kalau fokusnya terbagi dengan sosok bahenol di kabin tengah. Sedangkan Sherin tersenyum simpul dan mereka kembali saling tatap.
“Gue bilang juga apa, lo cocok jadi wakilnya Sadam,” bisik Ratna saat rapat berakhir.“Aku jadi nggak enak, kayaknya nggak semua tim setuju dengan keputusan Pak Sadam,” balas Luna yang juga berbisik.“Nggak usah lo pikirin. Siapa pun yang ada di posisi wakil Sadam mereka selalu kontra.”Luna menghela nafasnya. “Tapi, kenapa nggak kamu aja ya. Seharusnya, tadi pagi kamu yang serahkan laporan dan ….”“Nggak akan Lun, Sadam nggak akan tawarkan posisi itu ke gue.”“Kenapa?” tanya Luna heran dan Ratna hanya mengedikkan bahu.“Udah ah, kita makan yuk. Laper gue.”Namun, atensi kedua perempuan itu tertuju setelah mendengar suara Sadam.“Luna, ikut saya!”“Sekarang, pak?” tanya Luna setelah saling tatap dengan Ratna. Saat ini sudah jam makan siang, tapi Sadam malah minta dia ikut ke ruangan.“Menurutmu, kalau aku butuh kamu bulan depan apa harus aku panggil sekarang.” Sadam bicara dengan tangan berada di saku celananya. Ratna sempat terkikik lalu berdeham dan mengulum senyum.Tidak ingin memb
Luna sudah mendapat kabar kalau kakaknya akan pulang. Tidak sempat menyapa karena saat ia pulang, kamar Sherin sudah tertutup rapat. Bahkan Irwan juga sudah tidur.“Kamu sekarang kerja?” tanya Sherin setelah mereka berpelukan mengobati rindu.“Iya mbak.”“Aku juga mau kerja, tapi kasihan Beni.”Luna menghela nafasnya, ia paham bagaimana perasaan Sherin. Ia pun merasakan dilema dengan kondisinya. Bekerja, tapi peran sebagai istri kurang maksimal. Tidak bekerja, lalu bagaimana mereka makan. Tidak mungkin terus menerus menumpang pada ibunya.“Suami kamu mana?” tanya Sherin karena belum melihat Irwan di meja makan.“Paling bentar lagi juga keluar, tadi lagi mandi.” Luna meski sudah rapi dan siap berangkat, berusaha untuk melayani suaminya. Ia membuatkan kopi dan diletakan di atas meja.“Mas, mau sarapan sekarang?” tanya Luna saat melihat Irwan datang dan duduk di sampingnya, padahal ia baru saja memulai sarapan.“Nanti saja, belum lapar. Kamu habiskan itu, nanti kesiangan.” Irwan menunjuk
Mata Irwan seakan terbelakak bahkan mungkin bola matanya siap meluncur keluar melihat penampilan Sherin. Dengan rambut dikuncir ekor kuda, membuat tengkuknya terekspos.Belum lagi kaos yang pas dibadan dan jeans model pensil, membuat tubuhnya terbentuk sempurna dan terlihat begitu seksi. Yang paling menarik adalah bagian depan tubuh wanita itu, begitu menonjol dan menantang meski sudah terbalut dengan kaos.Yang Irwan tahu kalau Sherin diceraikan oleh suaminya. Mereka sempat bertahan meski tahu sang suami sudah selingkuh dan akhirnya bercerai juga. Dalam pikirannya kenapa bisa Sherin sesempurna ini bisa diselingkuhi bahkan sampai diceraikan.“Irwan,” panggil Sherin.“Eh, iya mbak.”“Kamu melamun, kok diam aja.”“Maaf mbak, kita langsung jalan aja ya. Udah siang,” seru Irwan yang memang sejak tadi belum turun dari motor lalu menghidupkan kembali mesin motornya.“Saya nggak enak sama Luna, kamu pasti sibuk.”“Jangan gitu mbak, saya nggak masalah Luna juga sama. Lagian saya pengangguran,
Pikiran Irwan traveling ke arah adegan dewasa karena dipeluk oleh Sherin. Rasanya merinding disko. Sebagai pria dewasa dan normal, tentu saja apa yang dilakukan Sherin sangat menggoda.“Maaf ya, aku peluk kamu, takut jatuh,” ujar Sherin sambil mencondongkan wajah agar suaranya terdengar oleh Irwan dan semakin membuat dadanya menempel di punggung pria itu“Nggak pa-pa, mbak,” jawab Irwan. Tanpa Sherin tahu, Irwan tersenyum di balik helm yang digunakan.Ya ampun, baru nempel aja udah bikin enak begini apalagi gue rasain. Pasti … mantap, batin Irwan dengan pikiran mulai kotor.Setelah memastikan motornya terparkir aman di basement, Irwan dan Sherin berjalan di sepanjang deretanstore.“Udah lama aku nggak ke mall,” ucap Sherin.“Masa mbak?”“Iya. Selama menikah sampai bercerai, hanya sibuk di rumah. Berusaha jadi istri setia, nggak pernah cari hiburan. Tahunya malah Ayahnya Beni cari hiburan di luar juga.” Wajah Sherin mendadak sendu.“Sabar ya mbak,” ucap Irwan sambil mengusap punggung S
Chat yang dikirim Luna tak juga dibaca apalagi dibalas. Ditelpon pun tidak dijawab. Membuatnya semakin khawatir, bukan hanya khawatir karena ucapan Ratna kalau ia harus hati-hati jangan sampai Irwan tergoda dengan Sherin atau sebaliknya. Namun, khawatir kalau terjadi sesuatu dalam perjalanan, kecelakaan misalnya.Menghubungi Sherin, tidak enak hati. Bisa-bisa sang kakak tersinggung, karena merasa diawasi atau tidak dipercaya. Luna menghela nafasnya, bingung dan khawatir membuatnya tidak fokus. Sudah satu jam setelah kembali dari makan siang dan belum mengerjakan apapun. Hanya memandang layar laptop lalu beralih menatap layar ponsel, itu saja yang dilakukan sejak tadi. “Ya ampun Luna, kamu kenapa begini. Tidak mungkin Mas Irwan dan Mbak Sherin aneh-aneh.” Menggeleng pelan berusaha mengenyahkan segala pikiran buruk.Ponselnya bergetar ternyata ada pesan masuk dari Sadam.[ke ruanganku, sekarang!]Gegas Luna mengantongi ponsel dan membawa notebook menuju ruang kerja Sadam. Sempat menget
“Makasih ya, pak.” Luna menyerahkan helm pada ojek yang sudah mengantarnya pulang.“Sama-sama, mbak.”Rumahnya tampak sepi, padahal baru jam sembilan malam. Saat membuka pintu pagar dan menutupnya kembali serta langsung memasang gembok, ia sempat melirik ke arah motor milik suaminya.Irwan baru membalas chat tadi sore. Waktu menghubungi untuk menyampaikan kalau Luna akan lembur pun Irwan menjawab hanya dengan singkat. Padahal ia berharap sang suami akan menjemput ke kantor karena khawatir istrinya pulang malam.“Lembur lagi?”“Eh, iya, Bu,” sahut Luna saat mengunci pintu depan. Ibunya masih menonton TV, ia menghampiri lalu mencium tangan sang ibu.“Jangan sering lembur, kecapekan nanti kamu sakit.”“Kebetulan lagi ada yang urgent bu, kalau sudah aman pasti pulang kerja seperti biasa. Ibu kok belum tidur?”“Ini mau tidur.” Ibu mematikan televisi lalu meletakan remote di atas meja. “Sudah makan belum?”“Sudah bu.”“Coba kamu bicarakan lagi dengan Irwan, Ibu tidak masalah kalian bantu di
Luna menatap sekitar, mencari keberadaan Sadam. Sudah berkirim pesan saat berada dalam perjalanan kalau pria itu menunggu di depan pintu masuk. Padahal Sadam bisa saja menunggu di lounge, toh mereka sudah memiliki tiket elektronik.“Ah, itu dia,” gumam Luna gegas menyeret koper menghampiri Sadam yang berdiri sambil menekuni ponselnya. “Selamat pagi, pak,” sapa Luna.Sadam mengangkat wajahnya menatap Luna tanpa berkedip. Penampilan Luna kali ini dengan rambut digerai dan penjepit rambut di atas telinga kanan serta tanpa kaca mata membuat penampilannya berbeda.Pakaiannya pun tidak terlalu resmi. Blouse wrap dengan ikatan pita di sisi kiri dan bawahan celana pensil serta flatshoes lengkap dengan totebag di bahu kanannya memberikan kesan casual, tapi tetap elegan.Sadam mengenakan kemeja lengan panjang berwarna maroon yang lengannya dilipat sampai siku dengan bawahan celana bahan hitam. Lengkap dengan loafers coklat. Ia berdehem karena sempat terpaku sesaat. “Pagi. Ayo, masuk!”Mereka be
“Jangan gitu, Luna nggak mungkin selingkuh. Kamu kepala keluarga iya dibicarakan baik-baik,” ujar Sherin.Irwan meneguk kopinya lalu terdiam.“Aku paham kekhawatiran kamu. Karena pernah ada di posisi itu,” ujar Sherin lagi dan berhasil mendapatkan atensi dari Irwan. “Percaya dengan pasangan yang sedang cari nafkah, taunya malah main belakang. Ada affair dengan rekan kerjanya.”“Maaf mbak, saya bukan ….”“Tidak apa, saya sedang berbagi pengalaman aja. Biar kamu nggak mengalami apa yang saya rasakan.”“Tapi mau minta Luna berhenti kerja juga nggak enak, saya belum ada kerjaan. Jadi ya disabar-sabarin aja dulu. Meski rasanya gondok. Bayangin mbak, untuk sekedar kopi dan makan aja kadang saya harus ambil dan buat sendiri. Berasa masih bujangan,” tutur Irwan.Curahan hati Irwan sepertinya tercurahkan pada orang yang salah. Seharusnya ia menyampaikan keluh kesah rumah tangganya bersama Luna kepada Ibu mertua atau orangtua sang istri.“Ya sabar, kalian rencana buka usaha ‘kan?”“Iya, tapi ng
Selama ini Luna sudah berusaha sabar dan menjaga ucapannya, tidak ingin sampai menyakiti Irwan. Dalam kondisi mereka, sudah pasti perasaan suaminya lebih sensitif. Meninggalkan rumah kontrakan karena tidak terbayar lalu menumpang di rumah orangtuanya, sampai harus berganti peran karena ia yang bekerja.Meskipun banyak alasan untuknya marah atau sekedar menyinggung sang suami. Kalau dipikir, Irwan malah semakin malas. Ada informasi lowongan kerja dari tetangga atau kerabatnya disambut biasa saja. Lokasi terlalu jauh, bukan bidangnya, tidak cocok, gaji tidak sesuai dan segala macam alasan lain.Rencana buka usaha pun harus dibarengi dengan modal. Tidak mungkin bisa terealisasi kalau hanya mengandalkan penghasilannya saja. Apalagi semua keperluan berdua, ia juga yang tanggung. Entah kapan terkumpul modal untuk buka usaha.Tuduhan Irwan kali ini sangat menyudutkan. Tidak terbersit dalam benak Luna ia merasa hebat dari suaminya. Ini hanya soal mau atau tidak mau berusaha, bukan siapa yang
Selama di pesawat kembali ke Jakarta, tidak ada yang bicara baik Sadam ataupun Luna. Sama-sama lelah, ingin lekas sampai. Luna bahkan tertidur sedangkan Sadam hanya terpejam dan masih terjaga.Terdengar informasi kalau pesawat akan mendarat, Sadam menoleh menatap Luna yang masih tertidur.“Luna,” panggil Sadam pelan. Namun, tidak ada pergerakan. “Luna, kita hampir sampai. Kamu harus pakai safety belt,” ujar Sadam lagi kali ini sampai menepuk lengan Luna.“Eh, kenapa pak?”“Pakai safety belt, sebentar lagi kita mendarat. Nanti lanjut istirahat di rumah.”Luna hanya mengangguk dan langsung memakai safety belt. Keluar dari armada dan menunggu bagasi, ia sempat menguap dan ulahnya tidak luput dari perhatian Sadam.“Saya boleh langsung pulang, pak?” tanya Luna.“Hm. Kamu dijemput?” Sadam balik bertanya sambil menyeret koper mereka melewati gate kedatangan.“Nggak pak, paling naik taksi.”“Tidak usah, nanti ikut saya,” usul Sadam.Luna menghentikan langkahnya tidak enak dengan ajakan pria i
Luna mengusap tengkuknya, agak pegal sejak tadi pagi hanya duduk mendampingi Sadam rapat. Bukan hanya tadi pagi, malah sejak kemarin. Setelah sarapan, Luna dan Sadam langsung cek out dan langsung ke kantor cabang meneruskan rapat kemarin. Barang bawaan mereka disimpan di mobil antar jemput.Sempat terjadi perdebatan antara Sadam dan pihak cabang. Namun, Sadam memiliki dasar dan alasan yang kuat sesuai dengan laporan dan dokumen yang mereka miliki. Sesekali Sadam melirik ke arah Luna yang terlihat tidak nyaman.“Kamu baik-baik saja?” tanya Sadam berbisik.“Saya ke belakang dulu, pak.”Sadam mengangguk pelan mengizinkan asistennya meninggalkan ruangan. Luna butuh meregangkan ototnya, ia menuju toilet lalu berdiam diri di ruang tunggu tidak jauh dari ruang rapat.“Ya ampun, badan aku kayaknya perlu dipijat.” Luna membuka ponsel yang sejak tadi ia simpan di kantong blazernya.Berharap ada panggilan atau pesan dari Irwan, nyatanya tidak ada. Malah ibunya sudah dua kali mengirimkan pesan me
Sama-sama sibuk dan keras kepala sampai tidak ada yang mau mengalah, sumber masalah pernikahannya harus berakhir. Mantan istri Sadam yang bekerja di salah satu stasiun TV dan memiliki jabatan yang bagus kadang lebih sibuk dari suaminya.Komunikasi terbatas, bertemu pun jarang. Hubungan mereka semakin asing. Muncul perdebatan dan pertengkaran kecil sampai akhirnya Sadam memutuskan untuk tinggal di apartemen. Nyatanya hubungan mereka makin kacau.Sadam menemukan ada mantan istrinya bersama seorang pria di kamar rumah mereka sedang memadu kasih, padahal ia pulang berniat mengajak duduk bersama dan membicarakan kelanjutan hubungan mereka. Nyatanya malah mendapatkan kejutan luar biasa.“Hah.”Kepala Sadam rasanya penat mengingat lagi masa kelam rumah tangganya dan sekarang Mami ingin mengenalkan dia dengan perempuan pilihannya. Meski tidak menjamin kalau hubungan mereka tidak berhasil karena perjodohan. Toh wanita pilihannya sendiri atas dasar sama-sama cinta akhirnya kandas.[Sadam, giman
“Jangan gitu, Luna nggak mungkin selingkuh. Kamu kepala keluarga iya dibicarakan baik-baik,” ujar Sherin.Irwan meneguk kopinya lalu terdiam.“Aku paham kekhawatiran kamu. Karena pernah ada di posisi itu,” ujar Sherin lagi dan berhasil mendapatkan atensi dari Irwan. “Percaya dengan pasangan yang sedang cari nafkah, taunya malah main belakang. Ada affair dengan rekan kerjanya.”“Maaf mbak, saya bukan ….”“Tidak apa, saya sedang berbagi pengalaman aja. Biar kamu nggak mengalami apa yang saya rasakan.”“Tapi mau minta Luna berhenti kerja juga nggak enak, saya belum ada kerjaan. Jadi ya disabar-sabarin aja dulu. Meski rasanya gondok. Bayangin mbak, untuk sekedar kopi dan makan aja kadang saya harus ambil dan buat sendiri. Berasa masih bujangan,” tutur Irwan.Curahan hati Irwan sepertinya tercurahkan pada orang yang salah. Seharusnya ia menyampaikan keluh kesah rumah tangganya bersama Luna kepada Ibu mertua atau orangtua sang istri.“Ya sabar, kalian rencana buka usaha ‘kan?”“Iya, tapi ng
Luna menatap sekitar, mencari keberadaan Sadam. Sudah berkirim pesan saat berada dalam perjalanan kalau pria itu menunggu di depan pintu masuk. Padahal Sadam bisa saja menunggu di lounge, toh mereka sudah memiliki tiket elektronik.“Ah, itu dia,” gumam Luna gegas menyeret koper menghampiri Sadam yang berdiri sambil menekuni ponselnya. “Selamat pagi, pak,” sapa Luna.Sadam mengangkat wajahnya menatap Luna tanpa berkedip. Penampilan Luna kali ini dengan rambut digerai dan penjepit rambut di atas telinga kanan serta tanpa kaca mata membuat penampilannya berbeda.Pakaiannya pun tidak terlalu resmi. Blouse wrap dengan ikatan pita di sisi kiri dan bawahan celana pensil serta flatshoes lengkap dengan totebag di bahu kanannya memberikan kesan casual, tapi tetap elegan.Sadam mengenakan kemeja lengan panjang berwarna maroon yang lengannya dilipat sampai siku dengan bawahan celana bahan hitam. Lengkap dengan loafers coklat. Ia berdehem karena sempat terpaku sesaat. “Pagi. Ayo, masuk!”Mereka be
“Makasih ya, pak.” Luna menyerahkan helm pada ojek yang sudah mengantarnya pulang.“Sama-sama, mbak.”Rumahnya tampak sepi, padahal baru jam sembilan malam. Saat membuka pintu pagar dan menutupnya kembali serta langsung memasang gembok, ia sempat melirik ke arah motor milik suaminya.Irwan baru membalas chat tadi sore. Waktu menghubungi untuk menyampaikan kalau Luna akan lembur pun Irwan menjawab hanya dengan singkat. Padahal ia berharap sang suami akan menjemput ke kantor karena khawatir istrinya pulang malam.“Lembur lagi?”“Eh, iya, Bu,” sahut Luna saat mengunci pintu depan. Ibunya masih menonton TV, ia menghampiri lalu mencium tangan sang ibu.“Jangan sering lembur, kecapekan nanti kamu sakit.”“Kebetulan lagi ada yang urgent bu, kalau sudah aman pasti pulang kerja seperti biasa. Ibu kok belum tidur?”“Ini mau tidur.” Ibu mematikan televisi lalu meletakan remote di atas meja. “Sudah makan belum?”“Sudah bu.”“Coba kamu bicarakan lagi dengan Irwan, Ibu tidak masalah kalian bantu di
Chat yang dikirim Luna tak juga dibaca apalagi dibalas. Ditelpon pun tidak dijawab. Membuatnya semakin khawatir, bukan hanya khawatir karena ucapan Ratna kalau ia harus hati-hati jangan sampai Irwan tergoda dengan Sherin atau sebaliknya. Namun, khawatir kalau terjadi sesuatu dalam perjalanan, kecelakaan misalnya.Menghubungi Sherin, tidak enak hati. Bisa-bisa sang kakak tersinggung, karena merasa diawasi atau tidak dipercaya. Luna menghela nafasnya, bingung dan khawatir membuatnya tidak fokus. Sudah satu jam setelah kembali dari makan siang dan belum mengerjakan apapun. Hanya memandang layar laptop lalu beralih menatap layar ponsel, itu saja yang dilakukan sejak tadi. “Ya ampun Luna, kamu kenapa begini. Tidak mungkin Mas Irwan dan Mbak Sherin aneh-aneh.” Menggeleng pelan berusaha mengenyahkan segala pikiran buruk.Ponselnya bergetar ternyata ada pesan masuk dari Sadam.[ke ruanganku, sekarang!]Gegas Luna mengantongi ponsel dan membawa notebook menuju ruang kerja Sadam. Sempat menget
Pikiran Irwan traveling ke arah adegan dewasa karena dipeluk oleh Sherin. Rasanya merinding disko. Sebagai pria dewasa dan normal, tentu saja apa yang dilakukan Sherin sangat menggoda.“Maaf ya, aku peluk kamu, takut jatuh,” ujar Sherin sambil mencondongkan wajah agar suaranya terdengar oleh Irwan dan semakin membuat dadanya menempel di punggung pria itu“Nggak pa-pa, mbak,” jawab Irwan. Tanpa Sherin tahu, Irwan tersenyum di balik helm yang digunakan.Ya ampun, baru nempel aja udah bikin enak begini apalagi gue rasain. Pasti … mantap, batin Irwan dengan pikiran mulai kotor.Setelah memastikan motornya terparkir aman di basement, Irwan dan Sherin berjalan di sepanjang deretanstore.“Udah lama aku nggak ke mall,” ucap Sherin.“Masa mbak?”“Iya. Selama menikah sampai bercerai, hanya sibuk di rumah. Berusaha jadi istri setia, nggak pernah cari hiburan. Tahunya malah Ayahnya Beni cari hiburan di luar juga.” Wajah Sherin mendadak sendu.“Sabar ya mbak,” ucap Irwan sambil mengusap punggung S