Sementara itu, begitu sampai di rumah, Narumi bukannya langsung beristirahat. Pikirannya begitu kacau dengan bayang-bayang interogasi, tuduhan, dan wajah-wajah orang yang meragukannya terus berputar di kepalanya.Ia membiarkan tubuhnya jatuh di tepi ranjang. Tetapi, semakin ia berusaha menenangkan diri, semakin pikirannya berontak. Ada sesuatu yang harus aku lakukan.Narumi terdiam sejenak, mengatur napas, lalu sebuah ingatan muncul. Tangannya refleks meraih ponsel di atas nakas, dengan cepat ia membuka kontak dan mulai menelepon seseorang.“Bisakah kamu membantuku? Untuk bayaran, berapapun kamu mau, akan aku bayar.” Suaranya terdengar datar, namun jelas menunjukkan keseriusan.[Kamu mau aku melakukan apa?]Narumi beranjak dari ranjang dan berjalan menuju meja kecil di kamarnya. Jemarinya dengan cepat mengetik sesuatu di laptopnya.“Aku sudah mengirimnya file perintah ke emailmu. Tolong selidiki semua tanpa ada yang tertinggal dan tolong, pulihkan CCTV yang sudah di hapus.”Sejenak,
Sorot mata Narumi bertemu dengan tatapan tajam Karin, dan seketika suasana di antara mereka menegang. Karin berdiri dengan angkuh, lengan terlipat di depan dada, memancarkan ketidaksukaan yang begitu jelas.“Kenapa kamu ada di sini?” suara Karin terdengar dingin, nyaris menusuk.Narumi menarik napas panjang, berusaha tetap tenang. Ia meluruskan tubuhnya, membalas tatapan Karin dengan dagu terangkat.“Apalagi, menemui suamiku,” jawabnya singkat, nada suara Narumi datar tapi cukup tajam untuk membuat Karin sedikit tersentak.“Untuk apa?” balas wanita hamil itu cepat, matanya menyipit penuh curiga. “Bukannya kamu ingin bercerai dengannya? Lalu kenapa kamu selalu datang menemui Mas Ghali?”Narumi memutar bola matanya, muak dengan pertanyaan yang menurutnya tidak perlu dijawab. Berdebat dengan Karin hanya akan membuang waktu—wanita itu seperti tembok, keras kepala dan tak pernah mendengarkan.“Itu bukan urusanmu,” ucap Narumi akhirnya, suaranya dingin namun nadanya lembut.Narumi hendak me
"Na... apa yang kamu lakukan?" suara Karin terdengar parau, bergetar di antara rasa sakit dan ketakutan yang menyergapnya. Tangannya gemetar, menekan perut bawahnya dengan panik, seolah mencoba menahan sesuatu yang tak terhentikan.Narumi mundur selangkah, matanya membelalak melihat darah yang semakin banyak mengalir di lantai. Rasa bersalah merayap perlahan, menyusup ke dalam setiap sudut pikirannya. Ia tak berniat melukai Karin, apalagi sampai seperti ini."Aku tidak bermaksud... Maafkan aku, Karin." Namun, permintaan maafnya hanya memperburuk keadaan. "Tidak bermaksud?" Karin menyergah dengan suara yang nyaris pecah. "Kamu jelas ingin membunuh anakku!"Narumi tersentak, matanya semakin membesar. Ia ingin membantah, tetapi sebelum sempat membuka mulut, Karin mengerang kesakitan.Panik, Narumi melangkah maju, mencoba membantu, meski wajahnya sendiri dipenuhi ketakutan. "Karin, maafkan aku... Aku akan memanggil bant
Di ruang tunggu yang sunyi, tepat di depan ruang bersalin, Narumi berdiri diam, berhadapan langsung dengan Ghali. Udara di sekeliling mereka terasa berat, menyesakkan dada.“Mas, aku minta maaf... Aku tidak bermaksud menyakiti Karin.”Suara Narumi terdengar lirih, hampir bergetar. Namun, ia berusaha menjaga ketenangannya. Sorot mata Ghali yang tajam membuatnya ingin mundur, tapi ia tetap bertahan di tempatnya.Ghali menatap wajah Narumi tanpa berkedip, matanya dingin dan penuh ketidakpercayaan. Pandangannya kemudian jatuh pada tangannya sendiri, yang berlumuran darah—cairan merah yang mengotori baju dan jemarinya, seakan menjadi pengingat nyata akan kejadian yang baru saja terjadi.“Kita akan bicarakan ini nanti,” ucap Ghali singkat, suaranya tegas dan tanpa kompromi.Narumi tak bisa mengabaikan nada dingin itu, namun ia tetap mencoba. Dengan ragu, ia mengulurkan tangan, menyentuh lengan Ghali dengan pelan.“Mas... tujuanku bukan ini...”Namun, sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatn
Ghali memperhatikan Narumi dengan saksama, matanya tak lepas dari wajah wanita itu yang tampak lebih tenang dari biasanya. Kata-kata yang meluncur dari bibir Narumi barusan terasa aneh di telinganya.Untuk pertama kalinya, wanita yang keras kepala itu menurunkan egonya dan meminta bantuannya secara langsung. Ada perasaan aneh yang timbul dalam dirinya—entah itu kepuasan atau kekhawatiran.Meski begitu, Ghali belum benar-benar paham bantuan seperti apa yang diminta Narumi. Tapi, ada sedikit rasa ingin tahu yang mendorongnya untuk tetap mendengarkan.“Apa, katakan saja,” ujarnya santai, meski tatapannya sesekali beralih ke arah pintu ruang bersalin yang masih tertutup rapat. Ia tahu di dalam sana, Karin tengah berjuang untuk anak mereka. Namun anehnya, Ghali merasa hal itu tak seberat apa yang baru saja Narumi sampaikan.“Aku dituduh sebagai tersangka kematian Siska.”Kata-kata Narumi meluncur begitu saja, dingin dan penuh beban.
Suara dingin milik Ardiaz memecah ketegangan di ruangan itu, membuat Ghali dan Narumi menoleh hampir bersamaan. Ardiaz melangkah santai, membiarkan tatapan tajam Ghali yang penuh ketidaksetujuan mengarah padanya. Tapi, seperti biasa, Ardiaz tidak peduli."Kamu!" desis Ghali, rahangnya mengatup rapat, menahan emosi yang jelas terlihat di matanya.Ardiaz hanya tersenyum tipis, melangkah lebih dekat dan tanpa ragu menarik Narumi ke sisinya, menjadikannya tameng di antara dirinya dan Ghali. Tangan Ardiaz melingkar di lengan Narumi, membuat wanita itu sedikit tersentak."Kamu pikir, kamu bisa mempermainkan Nana sesuka hatimu?" Ardiaz berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari Ghali. Nada suaranya rendah, tapi tajam bagaikan pisau.Ia bisa merasakan Narumi berdiri diam di belakangnya, tubuhnya terasa tegang. Ardiaz tahu Narumi bukan tipe wanita yang suka dilindungi, namun kali ini, ia tidak akan membiarkan Ghali melangkah lebih jauh.
Ghali membeku. Kata-kata itu menghantamnya dari arah yang tidak terduga. Ia menatap Suhita, mencoba mencari penjelasan dari wajah ibunya. Tapi, yang ia temukan hanyalah sorot mata penuh perhitungan, seperti seseorang yang sedang menyusun strategi dalam permainan panjang."Mama..." Ghali menggeleng pelan, merasakan sesuatu yang tak nyaman menjalar di dadanya. "Ini bukan waktunya bicara soal Narumi. Karin baru saja..." kata-katanya tertahan di tenggorokan."Karin akan baik-baik saja," potong Suhita cepat, nadanya tetap datar. "Kamu tahu bagaimana kondisi hubungan kalian selama ini. Kehilangan ini bisa menjadi titik balik. Tapi Narumi... dia masih bisa kamu genggam."Ghali terdiam, tatapannya kembali jatuh pada lembar persetujuan di tangannya. Tangan kirinya mengepal erat di sisi tubuhnya, sementara pikirannya berkelana ke sosok yang sedang menunggunya di luar ruangan.Narumi...Selalu ada Narumi dalam setiap percakapan yang melibatkan ibunya. Seakan-akan wanita itu adalah kunci dari se
“Na? Ada apa?” Ghali memandangi Narumi dengan bingung, menyadari perubahan ekspresinya. Hingga, ia menatap Ghali sekilas, tapi kali ini... ada jarak yang tak lagi bisa dijembatani.“Aku rasa... kita tidak perlu bicara lagi, Mas.” Suara Narumi pelan, tapi cukup tegas untuk membuat Ghali terdiam di tempat. Tanpa menunggu lebih lama, ia menyerahkan ponsel itu kembali pada Ardiaz.“Terima kasih,” ucapnya lirih, lalu melangkah pergi, meninggalkan Ghali yang masih berdiri dalam kebingungan dan ketidakpastian.Setelah Narumi sedikit menjauh, Ardiaz mendekat pada Ghali. “Sebagai nasihat saja,” ia berkata sambil menatap Ghali dengan senyum tipis yang jelas mengandung ejekan.“Jangan menunjukkan permainan yang begitu ketara, Bung. Kamu... tidak akan mudah mendapatkan istrimu kembali. Ups... mantan istri.”Tangan Ardiaz dengan santai menepuk pundak Ghali, seolah menegaskan posisinya sebagai pemenang dalam situasi ini.Sementara Ghali tidak bergerak, tapi matanya mengikuti setiap gerakan Ardiaz.
Ardiaz membukakan pintu mobil untuk Narumi. Gestur sederhana, namun bagi Narumi, ini seperti dunia baru yang terbuka. Saat masuk ke dalam mobil, aroma parfum Ardiaz yang maskulin menyambut indera penciumannya, membuatnya merasa aman.Suasana dalam mobil terasa hening beberapa saat. Hanya suara AC dan deru lalu lintas Jakarta yang terdengar samar. Sesekali klakson kendaraan dan teriakan pedagang kaki lima di persimpangan jalan menembus keheningan mereka. Ardiaz menyetir dengan tatapan lurus ke depan, tapi dari sudut matanya, ia sesekali melirik Narumi. Wanita itu duduk tenang di sampingnya, jemarinya bermain dengan ujung blazer hitam yang dikenakannya—kebiasaan kecil saat ia gugup yang Ardiaz hapal di luar kepala.“Na,” panggil Ardiaz pelan, nyaris seperti bisikan. Suaranya bercampur dengan gemuruh mesin kendaraan lain. “Aku ingin kamu ikut ke rumahku sekarang.”Narumi menoleh, alisnya terangkat sedikit. Pantulan sinar matahari dari jendela membuat mata cokelatnya terlihat lebih teran
Bramastyo menghela napas panjang, berat dengan beban rahasia yang telah ia pikul selama bertahun-tahun. Matanya meredup seperti lilin yang hampir habis sumbu.“Boleh Papa masuk ke kamarmu?” tanyanya pelan, suaranya bergetar halus, menggantung di udara seperti kabut tipis di pagi hari.Narumi mengangguk tanpa kata. Tubuhnya yang lelah oleh tangis masih terasa kebas. Ia tahu... malam ini, akan ada kebenaran lain yang akhirnya keluar dari balik kabut panjang dalam hidupnya. Jantungnya berdegup kencang, menghitung detik-detik menuju pengakuan yang telah ia tunggu seumur hidup, seperti penantian panjang burung dalam sangkar yang melihat pintu sangkarnya mulai terbuka perlahan.Bramastyo melangkah masuk dengan langkah berat, setiap injakannya seperti membawa seluruh beban dunia. Ia tidak memilih untuk duduk, melainkan berjalan langsung menuju balkon kamar, seolah membutuhkan udara malam untuk membantu melepaskan rahasia yang telah tertanam begitu dalam di jiwanya.Pria paruh baya itu bersa
Tubuh Narumi menggigil hebat, seolah seluruh darah di tubuhnya membeku seketika. Bukan karena udara yang dingin, melainkan karena kenyataan pahit yang baru saja terungkap di hadapannya seperti belati yang menghujam tepat ke jantungnya. Dunia di sekitarnya berputar liar, membuat lantai di bawah kakinya terasa miring dan bergoyang. Ia hampir kehilangan keseimbangan, tangannya secara naluriah mencengkeram tepi meja untuk bertahan.Matanya yang biasanya berbinar penuh kehidupan kini kosong menatap pria yang berdiri dengan angkuh di tengah ruang tamu rumah keluarga Kwong — Demetrius Kallistos. Pria itu, dengan senyum tipis penuh kepuasan di wajahnya, menjadi perwujudan dari setiap ketakutan yang selama ini menghantuinya.Suara hatinya bergema penuh luka, seperti bisikan pilu yang mencekik batinnya. Apakah semua orang di sekitarku tidak memiliki ketulusan? Semuanya... selalu memiliki motif tersembunyi. Semuanya... selalu bermain drama.Narumi merasakan sesuatu hancur di dalam dirinya—ke
Tangan Narumi mengepal erat di sisi tubuhnya. Detik itu juga, seluruh tubuhnya terasa membeku. Napasnya memburu, seakan ia baru saja ditarik ke dalam pusaran kegelapan yang lebih dalam dari yang ia bayangkan.Ia menoleh, menatap Ardiaz dengan sorot mata penuh pertanyaan dan kemarahan. “Kau tahu siapa ‘Tuan’ yang dia maksud?”Ardiaz menggeleng pelan, tetapi ekspresinya semakin tegang. “Aku masih menyelidikinya. Tapi ini membuktikan satu hal, Na.”Ia menatap layar, seolah ingin menghancurkan sosok Larry yang masih tampak di sana. “Larry bukan dalang utamanya. Dia hanya eksekutor. Ada seseorang di balik layar yang mengendalikan semuanya.”Narumi menggigit bibirnya. Seluruh tubuhnya bergetar, bukan hanya karena kemarahan, tetapi juga ketakutan yang mulai menyusup ke dalam dirinya.Siapa yang cukup berkuasa untuk mengatur semua ini?Dan lebih penting lagi—kenapa dia menargetkan Siska? Kenapa dia menargetkan dirinya?Tiba-tiba, Narumi merasa perutnya mual. Ia bergegas bangkit dari kursi, t
Setibanya di Indonesia, Narumi merasa pikirannya tak bisa tenang. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat, seolah ia semakin dekat dengan kebenaran yang bisa menghancurkannya.Saat ia dan Ardiaz melangkah keluar dari pintu kedatangan internasional, suara panggilan yang familiar menghentikan langkah mereka."Na!"Narumi menoleh dan mendapati Bramantyo, ayahnya, berdiri dengan ekspresi serius di antara kerumunan orang yang menjemput.Pria itu terlihat berwibawa dalam balutan setelan kasual, tetapi sorot matanya tajam, seolah sedang mencoba membaca situasi.“Papa?” Narumi mengerutkan dahi, tidak menyangka akan melihat ayahnya akan datang menjemputnya.Bramantyo berjalan mendekat, tatapannya bergantian antara Narumi dan Ardiaz. “Kenapa kamu pulang lebih cepat dari rencana?” tanyanya, suaranya dalam dan sedikit penuh curiga.Narumi melirik sekilas ke arah Ardiaz. Ia bingung untuk menjawab ayahnya, sebab ia tak tahu apakah ia boleh jujur atau tidak atas situasi yang tengah ia hada
Narumi duduk di dalam mobil dengan pandangan kosong, pikirannya masih berkecamuk dengan segala fakta yang baru ia ketahui. Ardiaz yang duduk di sebelahnya melirik sekilas ke arahnya, berusaha membaca ekspresi wanita itu.“Aku tahu kamu masih ragu padaku,” ujar Ardiaz akhirnya, suaranya lebih lembut dari biasanya.Narumi menghela napas panjang. “Aku tidak tahu apakah aku bisa sepenuhnya mempercayaimu, tapi aku juga tidak bisa menyangkal bahwa aku membutuhkamu.”Ardiaz tersenyum kecil, seperti lega mendengar itu. “Aku tidak akan memaksamu untuk mempercayaiku sekarang. Tapi setidaknya, kita bisa membuat kesepakatan.”Narumi menoleh, matanya penuh pertanyaan. “Kesepakatan?”Ardiaz menatapnya serius. “Mulai sekarang, kita harus jujur satu sama lain. Tidak ada lagi rahasia. Tidak ada lagi kebohongan.”Narumi terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. “Aku setuju. Tapi kamu harus janji, jika ada sesuatu yang mencurigakan, aku harus tahu.”Ardiaz menatapnya lekat-lekat, lalu mengulur
Narumi berdiri mematung, tatapannya penuh dengan kekecewaan, dan luka yang dalam. Ia merasa tak sanggup lagi berada di tempat itu, dikelilingi oleh rahasia dan kebohongan yang tak berkesudahan.Sementara itu, Ardiaz tidak punya pilihan lain. Ia melangkah mendekat dan meraih tangan Narumi. “Kita pergi dari sini,” ujarnya tegas, tanpa memberi ruang untuk perlawanan.Narumi tak berkata apa-apa. Ia membiarkan Ardiaz menuntunnya keluar gedung. Hatinya terlalu kacau untuk memprotes, tetapi di dalam kepalanya, pertanyaan-pertanyaan terus berdengung tanpa henti.Begitu mereka sampai di depan mobil, Ardiaz membuka pintu untuk Narumi. Namun, sebelum wanita itu masuk, ia berhenti di tempatnya dan menatap Ardiaz dengan mata berkaca-kaca.“Kita tidak akan pergi sebelum kamu menjawab pertanyaanku,” ujar Narumi, suaranya bergetar, tetapi nadanya masih tegas.Ardiaz terdiam sejenak. Ia tahu momen krusial ini tidak bisa dihindari lagi. Dengan berat hati, ia pun mengangguk. “Tanyakan apa yang ingin kam
Keesokan paginya, Narumi tidak tidur semalaman. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari benang merah di antara Ardiaz, Karin, dan Demetrius. Semakin ia mencoba memahami situasi, semakin banyak pertanyaan yang muncul.Narumi berdiri di dekat jendela kamar, menatap ke luar dengan mata yang lelah. Pemandangan Athens yang sebelumnya menenangkan kini terasa menyesakkan. Ia merasa seperti seorang asing di negeri ini, tanpa teman atau sekutu yang bisa di percaya sepenuhnya.Narumi menghela napas panjang, tangannya meremas pagar balkon dengan erat. “Aku harus tahu lebih banyak,” gumamnya.Tiba-tiba, suara deru mesin mobil terdengar dari halaman bawah mansion. Narumi memperhatikan dengan saksama dari atas balkon. Ia melihat Ardiaz keluar dari mansion dengan ekspresi serius, langkahnya cepat dan tegas menuju mobil hitam yang sudah menunggunya di depan gerbang.“Ke mana dia pergi pagi-pagi begini?” pikir Narumi dengan curiga.Naluri detektifnya yang sudah diasah bertahun-tahun karena kehid
Narumi menatap Karin dengan pandangan yang tajam, berusaha mencari celah di balik senyuman manis yang wanita itu tunjukkan.Ia tahu betul, tidak ada sesuatu yang disebut ‘kabar baik’ jika keluar dari mulut Karin.“Ayolah, jangan membuatku penasaran. Kabar baik apa itu?” tanya Narumi kembali, mencoba mempertahankan nada suara yang terdengar biasa.Karin terkekeh pelan, melirik sekilas ke arah Ardiaz sebelum kembali menatap Narumi. “Aku baru saja mendapat undangan dari teman lama. Ada acara eksklusif malam ini di salah satu klub paling terkenal di Athens,” suaranya terdengar riang.Narumi menyipitkan mata, mencoba mencerna ucapan Karin. “Lalu?” tanyanya, tetap waspada.Karin tersenyum penuh percaya diri. “Kita harus datang, Na. Ini kesempatan langka. Lagipula, bukankah kamu ingin menikmati waktu di sini?”Ardiaz yang sejak tadi berdiri diam dengan tangan tersilang di dada, menatap Karin dengan ekspresi tak terbaca. “Undangan dari siapa?” tanyanya dingin.Karin mengangkat bahu acuh. “Se