Ghali memperhatikan Narumi dengan saksama, matanya tak lepas dari wajah wanita itu yang tampak lebih tenang dari biasanya. Kata-kata yang meluncur dari bibir Narumi barusan terasa aneh di telinganya.
Untuk pertama kalinya, wanita yang keras kepala itu menurunkan egonya dan meminta bantuannya secara langsung. Ada perasaan aneh yang timbul dalam dirinya—entah itu kepuasan atau kekhawatiran.Meski begitu, Ghali belum benar-benar paham bantuan seperti apa yang diminta Narumi. Tapi, ada sedikit rasa ingin tahu yang mendorongnya untuk tetap mendengarkan.“Apa, katakan saja,” ujarnya santai, meski tatapannya sesekali beralih ke arah pintu ruang bersalin yang masih tertutup rapat. Ia tahu di dalam sana, Karin tengah berjuang untuk anak mereka. Namun anehnya, Ghali merasa hal itu tak seberat apa yang baru saja Narumi sampaikan.“Aku dituduh sebagai tersangka kematian Siska.”Kata-kata Narumi meluncur begitu saja, dingin dan penuh beban.Suara dingin milik Ardiaz memecah ketegangan di ruangan itu, membuat Ghali dan Narumi menoleh hampir bersamaan. Ardiaz melangkah santai, membiarkan tatapan tajam Ghali yang penuh ketidaksetujuan mengarah padanya. Tapi, seperti biasa, Ardiaz tidak peduli."Kamu!" desis Ghali, rahangnya mengatup rapat, menahan emosi yang jelas terlihat di matanya.Ardiaz hanya tersenyum tipis, melangkah lebih dekat dan tanpa ragu menarik Narumi ke sisinya, menjadikannya tameng di antara dirinya dan Ghali. Tangan Ardiaz melingkar di lengan Narumi, membuat wanita itu sedikit tersentak."Kamu pikir, kamu bisa mempermainkan Nana sesuka hatimu?" Ardiaz berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari Ghali. Nada suaranya rendah, tapi tajam bagaikan pisau.Ia bisa merasakan Narumi berdiri diam di belakangnya, tubuhnya terasa tegang. Ardiaz tahu Narumi bukan tipe wanita yang suka dilindungi, namun kali ini, ia tidak akan membiarkan Ghali melangkah lebih jauh.
Ghali membeku. Kata-kata itu menghantamnya dari arah yang tidak terduga. Ia menatap Suhita, mencoba mencari penjelasan dari wajah ibunya. Tapi, yang ia temukan hanyalah sorot mata penuh perhitungan, seperti seseorang yang sedang menyusun strategi dalam permainan panjang."Mama..." Ghali menggeleng pelan, merasakan sesuatu yang tak nyaman menjalar di dadanya. "Ini bukan waktunya bicara soal Narumi. Karin baru saja..." kata-katanya tertahan di tenggorokan."Karin akan baik-baik saja," potong Suhita cepat, nadanya tetap datar. "Kamu tahu bagaimana kondisi hubungan kalian selama ini. Kehilangan ini bisa menjadi titik balik. Tapi Narumi... dia masih bisa kamu genggam."Ghali terdiam, tatapannya kembali jatuh pada lembar persetujuan di tangannya. Tangan kirinya mengepal erat di sisi tubuhnya, sementara pikirannya berkelana ke sosok yang sedang menunggunya di luar ruangan.Narumi...Selalu ada Narumi dalam setiap percakapan yang melibatkan ibunya. Seakan-akan wanita itu adalah kunci dari se
“Na? Ada apa?” Ghali memandangi Narumi dengan bingung, menyadari perubahan ekspresinya. Hingga, ia menatap Ghali sekilas, tapi kali ini... ada jarak yang tak lagi bisa dijembatani.“Aku rasa... kita tidak perlu bicara lagi, Mas.” Suara Narumi pelan, tapi cukup tegas untuk membuat Ghali terdiam di tempat. Tanpa menunggu lebih lama, ia menyerahkan ponsel itu kembali pada Ardiaz.“Terima kasih,” ucapnya lirih, lalu melangkah pergi, meninggalkan Ghali yang masih berdiri dalam kebingungan dan ketidakpastian.Setelah Narumi sedikit menjauh, Ardiaz mendekat pada Ghali. “Sebagai nasihat saja,” ia berkata sambil menatap Ghali dengan senyum tipis yang jelas mengandung ejekan.“Jangan menunjukkan permainan yang begitu ketara, Bung. Kamu... tidak akan mudah mendapatkan istrimu kembali. Ups... mantan istri.”Tangan Ardiaz dengan santai menepuk pundak Ghali, seolah menegaskan posisinya sebagai pemenang dalam situasi ini.Sementara Ghali tidak bergerak, tapi matanya mengikuti setiap gerakan Ardiaz.
Dua hari kemudian...Narumi duduk di kursi tunggu bandara Soekarno-Hatta, matanya terpaku pada layar ponsel yang terus ia geser tanpa tujuan jelas. Hanya kebiasaan untuk mengusir rasa bosan yang sedari tadi menggelayut di dirinya.Tiba-tiba, suara Ardiaz membuyarkan lamunannya. "Sorry, aku telat."Narumi menoleh dan mendapati Ardiaz yang tampak sedikit berantakan, duduk di sisinya. Napasnya terlihat sedikit terengah, seolah ia baru saja berlari kecil menuju tempat itu."Aku tak memaksamu untuk ikut.” Ia pun tersenyum tipis. “Aku paham jika kita tak bisa pergi bersama ke sana."Ardiaz menyandarkan punggungnya ke kursi, mengatur napasnya sambil melirik Narumi. "Tidak," sanggahnya cepat. "Urusanku sudah selesai juga di sini. Papa bisa mengambil alih perusahaan sementara kita liburan."Narumi mengangguk pelan, meski dalam hatinya masih ada keraguan yang sulit dijelaskan. "Kamu terlalu memaksa diri, Ardiaz. Kamu baru tiba di Indonesia, tapi langsung ikut terbang lagi," ujarnya dengan pand
“Aku izin ke toilet sebentar.”Narumi berdiri tanpa menunggu respons dari Ardiaz, meninggalkannya begitu saja di ruang tunggu bandara.Langkahnya cepat, hampir seperti ingin melarikan diri. Begitu memasuki toilet, Narumi mengunci pintu salah satu bilik dan bersandar sejenak, menarik napas panjang untuk meredakan debaran di dadanya.Tangannya kembali meraih ponsel, membuka email yang tadi sempat ia baca dengan tergesa. Kali ini, ia membacanya dari awal, memastikan tidak ada detail yang terlewat.Kartu Hitam.Matanya menelusuri setiap kata, hingga sampai pada bagian rekaman CCTV yang terlampir di dalam email. Dengan telunjuk yang sedikit gemetar, Narumi menekan ikon play.Gambar buram memenuhi layar, tapi Narumi bisa mengenali tempat itu. Sebuah basement apartemen Lavenue, waktu di sudut layar menunjukkan bahwa rekaman itu diambil beberapa hari yang lalu. Tepatnya, hari kejadian yang mengubah segalanya.Namun, bukan basement itu yang membuatnya menahan napas. Sosok yang ia kenal muncul
Ghali hampir saja melangkah keluar dari ruangannya ketika sosok Karin muncul tepat di depan pintu. Langkahnya terhenti, dan untuk sesaat, rasa jengkel langsung merayap ke dalam dadanya.“Mas, kamu mau ke mana?” suara lembut Karin terdengar, tapi di telinga Ghali, itu seperti rantai yang siap membelenggunya.Ia pun tersentak, “Kamu? Kenapa kamu ada di sini? Bukannya kamu masih di rumah sakit?”Karin tersenyum tipis, wajahnya terlihat segar, seolah kejadian dua hari lalu tidak pernah terjadi. Tanpa menunggu reaksi Ghali lebih lanjut, ia langsung bergelayut di lengan pria itu.“Aku sudah pulang, Mas. Aku telpon berkali-kali, tapi kamu gak pernah angkat. Jadi, aku pulang sendiri.”Ghali merasakan cengkeraman Karin di lengannya, tapi tangannya dengan cepat bergerak menyisihkannya. Ekspresinya dingin, dan matanya menghindari tatapan Karin.“Aku sibuk, banyak hal yang harus aku urus.” Suaranya terdengar datar, tak ada nada l
Ghali menutup panggilan tanpa menunggu respon Julius, rahangnya mengatup erat saat ia menatap ke arah landasan yang terlihat samar dari kaca besar terminal.Wanita keras kepala itu benar-benar pergi. Aku tidak akan membiarkanmu lepas begitu saja, Na.Langkah Ghali kembali terhenti ketika suara Karin terdengar dari belakang. “Mas, jadi kamu ke sini buat susul Nana?”Ghali lagi-lagi mengabaikan Karin, ia terus mondar-mandir dengan langkah gelisah, sampai-sampai Karin kembali berkata, “Mas, kamu benar-benar mau ke Spanyol buat susul Nana?”Ghali menghentikan langkahnya lagi, ia berbalik menatap Karin dengan mata dingin. “Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan. Ini bukan urusanmu, Rin.”Keterkejutan di wajah Karin perlahan pudar. Namun, alih-alih marah, ia justru tersenyum miring, seolah menyimpan sesuatu di balik ketenangannya.“Kalau begitu, aku ikut.”“Tidak.” Ghali langsung memotong, tapi Karin tidak berge
Perasaan tak nyaman terus merayap dalam diri Narumi, mengendap seperti kabut yang enggan pergi. Ada sesuatu yang terasa janggal, seolah pernikahan bukan sekadar ikatan biasa bagi Ardiaz, melainkan sesuatu yang jauh lebih dalam, dan mungkin lebih berbahaya.Namun, bukannya menghindar, Narumi memilih untuk ikut dalam permainan ini. “Baiklah, aku akan menantikan hal itu,” ucapnya, mencoba terdengar setenang mungkin.Mata Ardiaz perlahan terbuka, tatapan tajamnya mengunci Narumi, tapi senyum tipis misterius segera terbit di wajahnya.“Tidurlah. Aku yakin kamu akan kelelahan jika terus memaksakan diri.”Narumi menatapnya sejenak. Benar-benar misterius, bahkan kata-kata balasannya saja mengandung makna yang bercabang, pikirnya.Ia memejamkan mata, berusaha menikmati perjalanan yang ia tahu akan penuh tantangan di depan sana. Tapi ketenangan itu tak bertahan lama.Ding! Sebuah notifikasi masuk, Narumi melirik ponselnya. Emai
Setibanya di Indonesia, Narumi merasa pikirannya tak bisa tenang. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat, seolah ia semakin dekat dengan kebenaran yang bisa menghancurkannya.Saat ia dan Ardiaz melangkah keluar dari pintu kedatangan internasional, suara panggilan yang familiar menghentikan langkah mereka."Na!"Narumi menoleh dan mendapati Bramantyo, ayahnya, berdiri dengan ekspresi serius di antara kerumunan orang yang menjemput.Pria itu terlihat berwibawa dalam balutan setelan kasual, tetapi sorot matanya tajam, seolah sedang mencoba membaca situasi.“Papa?” Narumi mengerutkan dahi, tidak menyangka akan melihat ayahnya akan datang menjemputnya.Bramantyo berjalan mendekat, tatapannya bergantian antara Narumi dan Ardiaz. “Kenapa kamu pulang lebih cepat dari rencana?” tanyanya, suaranya dalam dan sedikit penuh curiga.Narumi melirik sekilas ke arah Ardiaz. Ia bingung untuk menjawab ayahnya, sebab ia tak tahu apakah ia boleh jujur atau tidak atas situasi yang tengah ia hada
Narumi duduk di dalam mobil dengan pandangan kosong, pikirannya masih berkecamuk dengan segala fakta yang baru ia ketahui. Ardiaz yang duduk di sebelahnya melirik sekilas ke arahnya, berusaha membaca ekspresi wanita itu.“Aku tahu kamu masih ragu padaku,” ujar Ardiaz akhirnya, suaranya lebih lembut dari biasanya.Narumi menghela napas panjang. “Aku tidak tahu apakah aku bisa sepenuhnya mempercayaimu, tapi aku juga tidak bisa menyangkal bahwa aku membutuhkamu.”Ardiaz tersenyum kecil, seperti lega mendengar itu. “Aku tidak akan memaksamu untuk mempercayaiku sekarang. Tapi setidaknya, kita bisa membuat kesepakatan.”Narumi menoleh, matanya penuh pertanyaan. “Kesepakatan?”Ardiaz menatapnya serius. “Mulai sekarang, kita harus jujur satu sama lain. Tidak ada lagi rahasia. Tidak ada lagi kebohongan.”Narumi terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. “Aku setuju. Tapi kamu harus janji, jika ada sesuatu yang mencurigakan, aku harus tahu.”Ardiaz menatapnya lekat-lekat, lalu mengulur
Narumi berdiri mematung, tatapannya penuh dengan kekecewaan, dan luka yang dalam. Ia merasa tak sanggup lagi berada di tempat itu, dikelilingi oleh rahasia dan kebohongan yang tak berkesudahan.Sementara itu, Ardiaz tidak punya pilihan lain. Ia melangkah mendekat dan meraih tangan Narumi. “Kita pergi dari sini,” ujarnya tegas, tanpa memberi ruang untuk perlawanan.Narumi tak berkata apa-apa. Ia membiarkan Ardiaz menuntunnya keluar gedung. Hatinya terlalu kacau untuk memprotes, tetapi di dalam kepalanya, pertanyaan-pertanyaan terus berdengung tanpa henti.Begitu mereka sampai di depan mobil, Ardiaz membuka pintu untuk Narumi. Namun, sebelum wanita itu masuk, ia berhenti di tempatnya dan menatap Ardiaz dengan mata berkaca-kaca.“Kita tidak akan pergi sebelum kamu menjawab pertanyaanku,” ujar Narumi, suaranya bergetar, tetapi nadanya masih tegas.Ardiaz terdiam sejenak. Ia tahu momen krusial ini tidak bisa dihindari lagi. Dengan berat hati, ia pun mengangguk. “Tanyakan apa yang ingin kam
Keesokan paginya, Narumi tidak tidur semalaman. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari benang merah di antara Ardiaz, Karin, dan Demetrius. Semakin ia mencoba memahami situasi, semakin banyak pertanyaan yang muncul.Narumi berdiri di dekat jendela kamar, menatap ke luar dengan mata yang lelah. Pemandangan Athens yang sebelumnya menenangkan kini terasa menyesakkan. Ia merasa seperti seorang asing di negeri ini, tanpa teman atau sekutu yang bisa di percaya sepenuhnya.Narumi menghela napas panjang, tangannya meremas pagar balkon dengan erat. “Aku harus tahu lebih banyak,” gumamnya.Tiba-tiba, suara deru mesin mobil terdengar dari halaman bawah mansion. Narumi memperhatikan dengan saksama dari atas balkon. Ia melihat Ardiaz keluar dari mansion dengan ekspresi serius, langkahnya cepat dan tegas menuju mobil hitam yang sudah menunggunya di depan gerbang.“Ke mana dia pergi pagi-pagi begini?” pikir Narumi dengan curiga.Naluri detektifnya yang sudah diasah bertahun-tahun karena kehid
Narumi menatap Karin dengan pandangan yang tajam, berusaha mencari celah di balik senyuman manis yang wanita itu tunjukkan.Ia tahu betul, tidak ada sesuatu yang disebut ‘kabar baik’ jika keluar dari mulut Karin.“Ayolah, jangan membuatku penasaran. Kabar baik apa itu?” tanya Narumi kembali, mencoba mempertahankan nada suara yang terdengar biasa.Karin terkekeh pelan, melirik sekilas ke arah Ardiaz sebelum kembali menatap Narumi. “Aku baru saja mendapat undangan dari teman lama. Ada acara eksklusif malam ini di salah satu klub paling terkenal di Athens,” suaranya terdengar riang.Narumi menyipitkan mata, mencoba mencerna ucapan Karin. “Lalu?” tanyanya, tetap waspada.Karin tersenyum penuh percaya diri. “Kita harus datang, Na. Ini kesempatan langka. Lagipula, bukankah kamu ingin menikmati waktu di sini?”Ardiaz yang sejak tadi berdiri diam dengan tangan tersilang di dada, menatap Karin dengan ekspresi tak terbaca. “Undangan dari siapa?” tanyanya dingin.Karin mengangkat bahu acuh. “Se
Keesokan harinya, suasana di mansion Ardiaz terasa lebih sunyi dari biasanya. Matahari yang baru saja naik perlahan menyinari halaman luas dengan taman yang tertata rapi. Narumi berdiri di balkon kamarnya, menatap pemandangan kota Athens dari kejauhan. Udara pagi yang segar tak cukup untuk menenangkan pikirannya yang berkecamuk sejak semalam.Ketukan di pintu membuatnya menoleh. Ardiaz berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja santai dengan lengan tergulung. Tatapannya seperti biasa, tenang tapi penuh arti.“Kamu baik-baik saja?” tanyanya, berjalan masuk tanpa menunggu izin.Narumi menghela napas, lalu menggeleng pelan. “Aku dengar Mas Ghali akan kembali ke Indonesia hari ini? Apa itu benar?”Ardiaz hanya mengangguk. “Iya, dia ada di bawa saat ini. Mau turun bersama?” “Tentu,” jawab Narumi, Ia bisa merasakan tatapan Ardiaz yang menatapnya dengan pandangan yang sulit di baca olehnya.Sedangkan Ardiaz, ia pikiran di liputi oleh dugaan akan kepergian Ghali. Mantan suami Narumi itu ad
Narumi, yang sejak tadi hanya diam, menyunggingkan senyum tipis, lalu meneguk minumannya dengan santai. Ia tahu betul permainan apa yang sedang dimainkan Karin, dan ia tidak akan terjebak begitu saja.Ardiaz, yang sedari tadi menjaga ekspresinya tetap tenang, hanya melirik Karin dengan tatapan datar. Pria itu mengetukkan jemarinya di atas meja dengan ritme perlahan sebelum akhirnya menjawab, “Terima kasih atas undangannya, tapi aku sudah punya rencana malam ini.”Tatapan Karin seketika berubah, meski ia berusaha tetap tersenyum. “Oh, begitu?” Nada suaranya terdengar sedikit memaksa. “Kalau begitu, mungkin kita bisa pergi lain waktu?”Narumi menahan tawa kecilnya. Ia tahu Karin tidak akan menyerah semudah itu.“Tergantung Narumi,” Ardiaz menjawab santai, lalu beralih menatap Narumi dengan tatapan lembut yang disengaja. “Aku tidak pergi ke mana pun tanpa izin calon istriku.”Karin tampak tersentak mendengar kata ‘calon istri’ keluar dari mulut Ardiaz. Wanita itu berusaha tetap tenang,
Setibanya di kediaman Ardiaz di Yunani, Narumi tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Rumah itu lebih tepat disebut mansion yang berdiri megah dengan arsitektur klasik yang elegan, berpadu dengan nuansa modern yang mencerminkan kesempurnaan. Para pelayan yang berdiri rapi di sepanjang lorong menyambut kedatangan mereka dengan penuh hormat, membuat Narumi merasa seperti seorang bangsawan.Sementara itu, Karin tampak ternganga, matanya berbinar-binar menelusuri kemewahan yang tersaji di hadapannya. Jika sebelumnya ia masih berharap pada Ghali, kini pikirannya sudah berubah arah. Ardiaz adalah target baru—pria yang lebih kaya, berkuasa, dan tampak tidak mudah digoyahkan. Namun, bagi Karin, tidak ada yang mustahil. Ia bertekad untuk menyingkirkan Narumi dari sisi Ardiaz, sedikit demi sedikit.Saat mereka tiba di lantai dua, Ardiaz menunjuk beberapa kamar yang telah disiapkan untuk mereka. “Kalian bisa istirahat di kamar yang sudah diatur sesuai keinginan kalian,” ucapnya sambil m
Narumi menatap Karin tajam, tahu betul bahwa niat wanita itu tidak sesederhana yang terlihat. “Liburan?” tanyanya, matanya menelisik dengan penuh selidik. “Kalian berdua tiba-tiba muncul di sini dengan koper, tanpa pemberitahuan sebelumnya, dan ingin ikut ke Yunani?”Ghali mengangguk cepat, berusaha meyakinkan Narumi. “Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Bagaimanapun, kita masih suami istri, bukan?”Narumi tersenyum sinis. “Masih suami istri?” ia menekankan setiap kata dengan nada yang membuat Ghali sedikit mundur selangkah. “Aku sudah muak menekankan hal ini, Mas. Aku bukan lagi bagian dari hidupmu.”Ardiaz menepuk pundak Narumi pelan, mengisyaratkan agar ia tetap tenang. Kemudian, ia menatap Ghali dengan tatapan yang tajam namun tetap santai. “Dengar, Ini perjalanan pribadi kami, dan aku rasa kehadiranmu tidak diperlukan.”Ghali mendengus kesal. “Kamu pikir aku akan tinggal diam melihat istriku bersama pria lain?” katanya penuh penekanan.Narumi mengambil langkah maju,