Home / Romansa / Amanda / Ketakutan Amanda

Share

Ketakutan Amanda

Amanda mengangguk membenarkan dan berkata, “Sepertinya begitu.”

           

“Lalu kalian besok Sabtu siang ngapain ketemu di K-Mall?”           

           

“Mencarikan gaun ulang tahun untuk Celine. Bulan depan dia akan merayakannya di sekolah.”

           

Sepasang mata Fanny terbelalak lebar. “Buat apa mengajakmu segala? Memangnya mau beli gaun macam apa?”

          

“Gaun kuning Princess Belle itu lho, tokoh utama Beauty and the Beast.”

           

“Tinggal cari di online shop apa susahnya?”

           

“Omanya Celine trauma beli baju online. Katanya beberapa kali beli ternyata nggak sebagus di foto. Akhirnya sia-sia saja karena cucunya nggak mau pakai.”

           

“Yah, risiko beli barang online kan gitu. Kita semua pasti pernah mengalaminya, kan?”

           

Amanda mengangguk setuju. Sementara itu Fanny yang merasa penasaran masih mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. Gadis itu terpaksa menjawabnya meski dengan ogah-ogahan daripada nanti ponselnya direbut kembali. Setelah puas mendengar jawaban-jawaban Amanda, sahabatnya yang berambut keriting sebahu itu merenung sejenak. Kemudian dia berkata lirih, “Man….”

           

Yes?”

           

“Dari ceritamu tadi aku kok merasa kamu ini dijebak omanya Celine, ya?”

           

“Dijebak?”

           

“Iya. Dijebak masuk ke dalam perangkap….”

           

“Perangkap apaan?”

          

“Perangkap perjodohan! Hahaha….”

          

"Gila, lu. Dia itu neneknya muridku.”

           

“Terus kenapa? Kan papanya Celine udah lama menduda.”

           

“Yah, memang. Tapi masa mau dijodohin sama wali kelas anaknya, sih?”

           

“Kenapa nggak? Bukankah katamu Celine suka banget sama kamu? Sering meluk dan nyium kamu. Kalau lagi rewel di sekolah, cuma kamu yang bisa meredakan tangisnya. Nenek mana yang nggak luluh hatinya dan mau menjadikanmu sebagai menantunya?!”

           

“Yang kamu katakan tadi kan memang sudah menjadi kewajibanku sebagai seorang guru. Omanya Celine nggak akan berpikir sejauh itu.”

           

“Lha, kamu cerita sendiri tadi kalau dia pamer-pamerin anaknya. Katanya papanya Celine itu sudah mapan secara ekonomi, meneruskan pabrik kosmetik milik keluarga, bla-bla-bla…. Apa itu coba kalau nggak berusaha menjodohkan kalian berdua?”

           

Amanda termenung mendengar pendapat Fanny yang terdengar masuk akal. Terus terang dia merasa tidak keberatan kalau hal itu memang terjadi. Pertemuan pertamanya dengan Joshua menimbulkan kesan yang mendalam di hatinya. Tapi…ah, umur laki-laki itu sudah tiga puluh tujuh tahun. Kalaupun mereka akhirnya menjalin hubungan istimewa, pastilah akan segera mengarah ke ikatan yang lebih serius, yaitu pernikahan. Aduh, padahal itulah hal yang paling kutakuti! batin gadis itu cemas. Aku takut menikah!

           

Fanny yang memperhatikan perubahan ekspresi wajah sahabatnya dari ceria menjadi suram seolah-olah dapat membaca isi hati gadis cantik itu. Dia sudah tujuh tahun menjadi teman baik Amanda. Semenjak berkenalan di rumah kos yang sama sewaktu kuliah dan kemudian pindah ke tempat kos yang baru ini saat sudah bekerja. Hampir semua persoalan hidup yang dihadapi gadis itu diceritakan kepadanya. Demikian pula dengan dirinya yang juga suka curhat dengan Amanda.

           

“Kamu sebenarnya suka sama Pak Joshua itu kan, Man?”

           

Amanda menundukkan wajahnya. Dia tahu tak ada gunanya berbohong kepada teman karibnya ini. Hubungan mereka berdua sudah sangat dekat layaknya saudara kandung.

           

“Kalau memang suka, ya udah…ikutin aja skenario mamanya. Biar besok siang kamu  kuantar ke K-Mall. Pakai baju yang keren, biar papanya Celine itu terpesona. Hahaha….”

           

“Sinting.”

           

“Eh, ngasih saran baik-baik kok malah dimaki-maki.”

           

“Kamu kan tahu aku takut pacaran serius, Fan. Umurnya Pak Joshua sudah tiga puluh tujuh tahun. Nggak mungkin mau pacaran lama-lama.”

           

“Berarti kamu sendiri mau pacaran lama-lama sama dia?”

           

Amanda melotot sebal. Fanny terkekeh geli. Lalu dia  merubah sikap usilnya dan berbicara lebih serius.

           

“Apa kamu masih trauma dengan masa kanak-kanak dan remajamu, Man?” tanya gadis itu berempati.

           

Gadis berambut ikal panjang di hadapannya mengangguk dan tersenyum getir. Sorot matanya tampak sendu. Fanny merengkuh sahabatnya dan menepuk-nepuk punggungnya lembut.

           

“Semuanya telah berlalu, Manda. Sudah beberapa tahun ini kamu hidup mandiri dan bebas menentukan jalan hidupmu. Jangan sampai masa lalu yang kelam menghambatmu untuk meraih kebahagiaan.”

           

“Aku takut menikah, Fan. Takut aku akan menjadi seperti mamaku. Kejam dan tak berperasaan….”

           

“Kamu sudah membuktikan dirimu sebagai seorang guru yang baik dan mencintai anak-anak. Kamu sama sekali tidak mewarisi kekejaman mamamu, Manda. Percayalah….”

           

“Aku adalah darah dagingnya, Fan. Sedikit banyak aku mewarisi sifat-sifatnya!”

           

“Ya, betul. Kurasa kamu mewarisi sifat keras kepalanya. Hehehe….”

           

“Jangan bergurau. Aku serius ini.”

           

“Aku juga serius, Man. Selama tujuh tahun kita bersahabat, hanya dua kali aku melihatmu berpacaran. Dan dua-duanya kandas dalam waktu nggak sampai setahun. Padahal kulihat cowok-cowokmu itu orang baik-baik dan sayang sekali sama kamu. Apa nggak sayang kamu putusin mereka begitu saja? Nggak terasa kita sekarang udah berumur dua puluh lima tahun, lho. Pilihan laki-laki baik-baik di luar sana semakin sedikit karena sudah diambil gadis-gadis lain yang lebih muda.”

           

Amanda berbalik memandang sahabatnya dengan sorot mata berempati. “Kamu sepertinya sudah siap membangun sebuah hubungan yang serius ya, Fan?”

           

Sahabatnya itu mengangguk mantap. “Aku udah lelah melanglang buana dari satu lelaki ke lelaki lainnya, Man. Udah jenuh bermain-main. Sekarang udah waktunya untuk sungguh-sungguh berkomitmen. Sayangnya di saat aku sudah siap seperti sekarang, belum ada satu cowok pun yang nongol.”

           

Amanda tercenung. Gadis berkulit sawo matang, berambut keriting, dan bertubuh sintal di depannya ini dulu memang termasuk primadona di kampus maupun di tempat kos mereka. Tak terhitung jumlah mahasiswa yang mengejarnya. Setiap akhir pekan Fanny selalu bergonta-ganti pasangan untuk sekedar makan, nonton bioskop, ataupun jalan-jalan di mal. Amanda sebaliknya justru agak menjaga jarak dengan kaum adam sehingga tidak banyak laki-laki yang mendekatinya.

           

Hanya ada  dua orang pemuda yang pernah menghiasi hari-harinya dulu, seperti yang tadi disebutkan Fanny. Pemuda yang pertama adalah seniornya di kampus pada jurusan yang berbeda. Amanda menerimanya sebagai kekasih sebenarnya hanya sekedar ingin tahu bagaimana rasanya berpacaran. Laki-laki itu sangat baik kepadanya dan tak pernah bersikap tidak sopan. Melihat kebaikannya, gadis itu jadi merasa bersalah dan akhirnya memutuskan sepihak hubungan mereka selang enam bulan kemudian.

           

Pemuda yang kedua adalah kawan sekelasnya di kampus. Semula mereka berteman baik karena sering mengerjakan tugas bersama. Ketika laki-laki itu menyatakan cintanya, Amanda merasa tidak enak hati untuk menolaknya. Dengan terpaksa diterimanya pemuda itu sebagai kekasihnya dan diputuskannya dengan baik-baik setelah mereka lulus dari kelas tersebut. Gadis itu lalu sengaja mengambil mata kuliah yang jam-jamnya sekiranya tidak akan diambil laki-laki itu di semester berikutnya. Sepertinya Tuhan merestui niatnya itu. Amanda sama sekali tidak sekelas dengan mantan kekasihnya lagi.

Selang beberapa bulan kemudian, ia melihat pemuda  itu bergandengan tangan dengan adik kelas mereka di kampus. Laki-laki itu agak kikuk saat mengetahui keberadaan Amanda, sementara gadis itu justru merasa sangat lega melihat mantan pacarnya itu menemukan perempuan lain sebagai pengganti dirinya.

             

           

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status