Berarti kamu sekarang berusia dua puluh lima tahun. Dua belas tahun lebih muda dariku. Aduh, mana mau dia sama laki-laki setua aku ini? pikir Joshua minder.
Selanjutnya percakapan mereka terjeda oleh kedatangan seorang pelayan yang membawakan pesanan Joshua. Sepiring gado-gado, sepiring rujak manis, dan segelas besar teh tawar hangat. Laki-laki itu mengucapkan terima kasih dan pelayan itu pun pergi meninggalkan mereka berdua.
“Saya makan dulu gado-gadonya ya, Miss. Rujak manisnya saya pesan buat Miss Amanda, lho. Silakan dinikmati.”
Amanda yang merasa sungkan terpaksa menikmati serpiring buah-buahan yang diberi bumbu gula merah itu.
“Maaf, Miss. Saya nggak tahu Miss Amanda suka pedas atau tidak. Jadi saya pesankan yang tidak pedas saja. Setahu saya orang Malang suka makanan manis. Kalau orang Surabaya seperti saya rata-rata suka asin.”
“Hehehe…, saya sudah lama tinggal di Surabaya ini, Pak. Jadi rasa asin maupun manis saya suka.”
“Kalau pedas?”
“Juara, Pak. Hahaha….”
“Wah, saya juga suka pedas lho, Miss. Ini gado-gadonya saya minta sambal banyak sekali.”
“Nggak takut sakit perut, Pak?”
“Sudah biasa, Miss. Kalau nggak makan pedas rasanya ada yang kurang.”
Amanda tergelak mendengar penuturan laki-laki di hadapannya. Tanpa terasa mereka berdua makan dengan nikmatnya sambil mengobrol dengan akrab layaknya orang yang sudah lama saling mengenal.
Oma Merry memperhatikan keduanya dari kejauhan dan tersenyum lega. Terima kasih Tuhan, masih Kau beri aku kesempatan untuk melihat tawa renyah putraku. Dia kelihatan bahagia sekali berduaan dengan gadis yang baik hati itu. Semoga mereka berdua Kau berikan jalan untuk bersatu….Amin.
***
Tak terasa waktu berlalu dan gaun Celine sudah selesai dipendekkan. Keempat orang tersebut memutuskan untuk pulang dan lagi-lagi Oma Merry menjalankan rencananya.
“Josh, tolong antarkan Mama dan Celine pulang dulu. Setelah itu kamu antarkan Miss Amanda pulang ke kos-nya. Nggak apa-apa ya Miss, saya pulang duluan? Perut saya agak nyeri soalnya. Mau langsung minum obat di rumah.”
Amanda yang duduk di sebelah Oma Merry di jok belakang mobil mau tidak mau menganggukkan kepalanya. Apa boleh buat? Aku kan cuma menumpang pulang. Diantarkan duluan atau terakhir ya terserah saja, batinnya pasrah. Tanpa sengaja pandangannya terarah pada kaca spion di depannya. Jantungnya berdegup kencang ketika dilihatnya Joshua sedang memperhatikan dirinya melalui kaca spion itu. Gadis itu buru-buru mengalihkan pandangannya pada pemandangan jalan yang dilewati mobil tersebut.
Akhirnya sampailah mobil itu di depan sebuah rumah berlantai dua dan bergaya minimalis. Amanda baru pertama kali melihatnya. Dia menyukai tampak depan bangunan tersebut yang bernuansa serba putih. Terlihat begitu bersih dan adem. Joshua menekan sebuah remote control berukuran kecil.
Tak lama kemudian seorang pembantu rumah tangga yang masih muda muncul berlari-lari kecil dan membukakan pagar tinggi yang berwarna putih. Mobil berwarna silver itu lalu meluncur melewati pagar yang sudah terbuka lebar dan berhenti di depan teras rumah.
“Mampir dulu ke rumah saya, Miss,” ajak Oma Merry ramah.
“Oh, lain kali saja, Oma. Saya lihat Celine udah capek. Dia sudah menguap dari tadi,” tolak Amanda sopan. Muridnya itu memang kelihatan sudah mengantuk.
“Oma, Celine mau langsung bobo. Ngantuk sekali.”
“Iya, iya. Ayo keluar dulu. Papa mau antar Miss Amanda pulang.”
“Dadah, Papa. Dadah, Miss Amanda. Hati-hati di jalan.”
“Dadah, Celine,” balas Amanda riang.
“Miss Amanda pindah duduk di depan, ya. Kasihan Papa sendirian,” ucap Celine polos.
Aduh, mati aku! keluh gurunya dalam hati. Tapi yaaa…, secara etika sih, memang aku harus duduk di depan. Papanya Celine kan bukan sopirku.
Gadis itu mengangguk dan tersenyum manis untuk menyembunyikan perasaan canggungnya. Dia keluar dari dalam mobil lalu berpamitan kepada Celine dan neneknya. Selanjutnya ia menggantikan anak didiknya duduk di sebelah Joshua.
Beberapa saat kemudian mobil itu melaju meninggalkan rumah itu diikuti oleh lambaian tangan Oma Merry dan cucunya. Wajah nenek Celine berseri-seri seolah-olah yakin bahwa tak lama lagi gadis pilihannya itu akan menjadi bagian dari anggota keluarganya.
***
Selama dalam perjalanan Joshua mengajak gadis di sampingnya berbicara tentang berbagai hal. Mereka berbincang-bincang tentang hobi, film kesukaan, makanan favorit, impian yang belum tercapai, dan lain sebagainya. Makin lama ayah Celine itu makin merasa nyaman dengan keberadaan gadis di sebelahnya yang begitu ramah, terbuka, humoris, dan bisa menimpali ucapan-ucapannya dengan tepat.
Tak jarang mereka berdua tertawa terbahak-bahak karena merasa lucu dengan gurauan yang dicetuskan oleh lawan bicaranya. Gadis semenarik ini mana mungkin belum mempunyai pacar? pikir Joshua penuh tanda tanya. Aku harus memberanikan diri untuk menanyakannya. Jangan sampai aku mendekati perempuan yang sudah menjadi milik orang lain.
“Miss….”
“Iya, Pak?”
“Akhir pekan begini Miss kok nggak ada acara pergi ke mana-mana?”
“Kan tadi sudah pergi ke mal untuk mencari gaun ulang tahun Celine, Pak.”
“Bukan. Maksud saya…ehm…nanti ini kan malam Minggu, apa nggak ada rencana pergi sama pacar…?”
Amanda terdiam seketika. Waduh, penyelidikan sudah dimulai rupanya, batinnya was-was. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.
“Maafkan saya ya, Miss, kalau pertanyaan saya terlalu menjurus….”
Amanda tersenyum kikuk. Joshua berusaha menjelaskan dengan hati-hati, “Sekali lagi maafkan saya, Miss Amanda. Barangkali pertanyaan saya tadi tidak pada tempatnya.”
“Saya belum punya pacar, Pak Joshua.”
Laki-laki itu terkesiap mendengar pernyataan lugas gadis itu. Hatinya mendadak berbunga-bunga. Berarti aku masih mempunyai harapan, soraknya dalam hati.
“Oh, kalau begitu…habis ini Miss Amanda nggak ngapa-ngapain di kos?”
Giliran Amanda yang terperanjat mendengar pertanyaan berani orang tua muridnya ini. Dia tak sanggup memandang pria yang sedang menyetir di sebelahnya. Apa dia mau mengajakku kencan? tanya gadis cantik itu dalam hati. Dadanya berdebar-debar. Tiba-tiba sekujur tubuhnya terasa dialiri hawa panas. Aduh, kok rasanya aku sudah jatuh hati ya, pada ayah muridku ini, keluhnya dalam hati.
Joshua yang sejak tadi diam-diam melirik ke arah Amanda tertawa dalam hati. Dia tampak gugup, komentarnya dalam hati melihat sikap guru anaknya tersebut. Wajahnya memerah bagaikan kepiting rebus. Kalau sudah begini, kuterjang saja sekalian, tekad pria itu bulat.
Tiba-tiba dia menghentikan mobilnya di tepi jalan. Amanda terkejut. Lho, kenapa berhenti? Aku mau diapakan ini? pikirnya panik.
“Miss, daripada nggak ngapa-ngapain di kos, gimana kalau kita nonton film saja? Miss Amanda tadi kan cerita ngefans sama Leonardo Di Caprio dan ingin menonton filmnya yang terbaru. Gimana kalau saya sekarang cek di aplikasi, film itu main di gedung bioskop mana? Lalu kita langsung meluncur ke sana, mumpung masih belum gelap.”
Amanda yang sejatinya menaruh hati pada Joshua hanya bisa mengangguk saja mengiyakan. Hati pria itu luar biasa senang. Diperiksanya aplikasi tiket online pada ponselnya dan dipilihnya jam tayang yang agak larut sehingga dia bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan gadis idaman hatinya itu.
***
“What?! Jadi kemarin kalian berdua balik lagi ke K-Mall?” pekik Fanny terkejut. Ia sedang tidur-tiduran santai di kamar Amanda.Lawan bicaranya mengangguk mengiyakan. Ia tersipu malu.“Soalnya tiket nonton di tempat lain sudah sold out. Kan Pak Joshua belinya dadakan di aplikasi.”“Jam berapa nontonnya?”“Jam sembilan malam.”“Heh?! Kok nggak beli tiket yang mainnya lebih awal?”“Nggak nutut. Sampai K-Mall lagi aja ja
Amanda bergidik mendengarkan pengakuan laki-laki itu. Rupanya apa yang terlihat di depan itu seringkali menipu, cetusnya dalam hati. Pria yang begitu baik, sopan, dan dewasa di depanku selama ini ternyata mempunyai masa lalu yang kelam. Kasihan sekali almarhumah istrinya.Joshua yang melihat pasangannya diam saja kembali melanjutkan pengungkapan masa lalunya. “Sonya kuperlakukan dengan tidak manusiawi. Aku memang tak pernah menyakitinya secara fisik, tetapi batinnya kusiksa dengan kata-kata yang kasar dan penuh cemooh. Dia juga tahu aku tidur dengan banyak wanita. Hal itu membuat dirinya sangat tersiksa. Lambat-laun hubungan kami merenggang dan seperti orang asing. Tak ada lagi kegembiraan, pertengkaran, maupun tangisan….”Amanda yang mulai tidak tahan mendengar cerita memilukan itu langsung menyela
Suasana menjadi hening seketika. Baik Joshua maupun Amanda sibuk bergumul dengan pikiran masing-masing. Walaupun pengakuanku tadi berisiko membuatku kehilangan gadis ini untuk selama-lamanya, tapi hatiku jadi terasa lega, batin Joshua puas. Seakan-akan beban yang menghimpit dalam dadaku selama ini berkurang banyak. Kejujuran memang bagaikan dua sisi mata uang. Bisa menimbulkan kebaikan sekaligus keburukkan dalam waktu yang sama. Apapun keputusan Amanda, aku sudah pasrah, pikir laki-laki tampan itu berbesar hati.“Bagaimana, Manda?” tanya Joshua penuh penantian.“Bagaimana apanya, Mas?” balas gadis pujaannya pura-pura bego.Ayah Celine itu tersenyum simpul. Masa dia tak mengerti maksud pertanyaanku tadi? pikirnya ge
Gadis ceria itu menanggapi dengan santai, “Nggak apa-apa, Mas. Aku juga sudah tiga tahun bekerja di sana. Sudah waktunya mencari-cari pengalaman di sekolah lain mumpung masih muda. Lagipula aku juga mempunyai beberapa murid les privat, kok. Penghasilannya bisa menutupi keuanganku jika nanti agak lama memperoleh pekerjaan baru.” “Apakah kamu tidak mau membantuku bekerja di perusahaanku saja, Manda?”Gadis itu menggeleng ringan. “Menjadi seorang guru TK itu sudah menjadi bagian dalam hidupku, Mas. Itulah jati diriku yang sesungguhnya. Barangkali minggu depan aku sudah siap untuk menceritakan alasannya kepadamu. Itu pelayan sudah berjalan kemari untuk mengembalikan kartu kreditmu. Abis itu kita pulang, yuk.”Laki-laki di hadapannya meng
Amanda dengan gemas langsung mencubit hidung Fanny. Sahabatnya yang sedang lengah itu spontan berteriak lebay, “Auwww! Sakit sekali, Bu Guru!”“Seri, dong! Hahaha….”Kedua gadis itu tertawa terbahak-bahak. Fanny yang masih penasaran lalu meminta sahabatnya menceritakan secara detil proses jadiannya dengan Joshua kemarin malam. Amanda yang memang sering curhat pada gadis ini tak segan-segan membeberkan semuanya.“Hmm…,” gumam gadis berambut keriting itu setelah teman akrabnya selesai bercerita. Dahinya berkerut seperti sedang berpikir keras.“Kamu sudah mempertimbangkannya matang-matang, Man?”“Apanya?”
Hari Kamis sore Amanda menumpang mobil travel menuju ke Malang, kota kelahirannya. Dulu dibutuhkan waktu sekitar tiga jam dari kota Surabaya menuju Malang dengan mobil. Sekarang sudah ada jalan tol yang mempercepat perjalanan tersebut menjadi sejam saja. Namun karena harus menurunkan penumpang satu per satu ke tempat tujuan masing-masing, baru setengah jam kemudian gadis itu sampai di rumahnya.Seorang pembantu muda berlari-lari kecil membuka pintu pagar rumah yang berwarna coklat tua setelah Amanda membunyikan bel. Hmm…, pembantu baru lagi, gumam gadis itu dalam hati. Rita, ibunya memang cerewet sekali dan perfeksionis. Tak heran banyak pembantu yang tak bertahan lama bekerja di rumahnya. Padahal ukuran rumah tersebut tidak terlalu besar. Hanya terdiri dari satu lantai dengan empat kamar tidur dan satu kamar pembantu. Halaman depannya memang luas sebagaimana rumah lama pada umumnya. Namun halama
“Kenapa kau membuat adikmu menangis?!” tanya sebuah suara yang menggelegar penuh kemarahan. Amanda dan Valerie berpaling ke arah suara itu berasal. Tampak sesosok tubuh ramping perempuan setengah baya yang berwajah mirip Valerie berdiri dengan angkuh di depan mereka.“Mama!” seru Amanda spontan. Dilihatnya ibunya itu menatapnya dengan marah dan kedua tangan berkacak pinggang. Sementara itu seorang pria yang berumur lebih tua dan bertubuh kurus tampak berdiri termangu di belakangnya.“Iya, aku. Rupanya kamu masih mengenaliku setelah setahun lebih tidak pulang ke rumah!”Aku pulang juga tidak dianggap olehmu, gerutu Amanda dalam hati. Hanya Papa dan Valerie yang selalu menyambut kedatanganku dengan ramah.
Saat ini laki-laki itu seolah-olah berubah menjadi sebuah pribadi yang kuat dan berwibawa.“Amanda,” ujar Hengky melunak, “Kamu sepertinya belum mandi dan beristirahat semenjak datang dari Surabaya.”Putri sulungnya mengangguk membenarkan. “Kalau begitu,” lanjut ayahnya dengan sorot mata syahdu, “Ajaklah adikmu masuk ke dalam kamarnya untuk beristirahat dulu. Papa akan memasukkan kopermu ke dalam kamarmu. Setelah itu mandilah. Kita akan berbicara kembali sesudah makan malam nanti.”“Baik, Pa,” jawab Amanda patuh. Dibantunya Valerie bangkit berdiri dan dibimbingnya melangkah menuju ke kamarnya. Ayah mereka sendiri beranjak menuju ke ruang tamu dan menggiring koper merah muda yang