“What?! Jadi kemarin kalian berdua balik lagi ke K-Mall?” pekik Fanny terkejut. Ia sedang tidur-tiduran santai di kamar Amanda.
Lawan bicaranya mengangguk mengiyakan. Ia tersipu malu.
“Soalnya tiket nonton di tempat lain sudah sold out. Kan Pak Joshua belinya dadakan di aplikasi.”
“Jam berapa nontonnya?”
“Jam sembilan malam.”
“Heh?! Kok nggak beli tiket yang mainnya lebih awal?”
“Nggak nutut. Sampai K-Mall lagi aja jam enam, Fan. Parkirannya juga udah mulai penuh. Pak Joshua sampai mutar-mutar hampir setengah jam baru dapat parkir.”
“Berarti kalian berdua masuk mal sekitar jam setengah tujuh malam. Iya, kan?”
Amanda mengangguk membenarkan.
“Nah, filmya kan main jam sembilan malam. Terus kalian ngapain aja di sana selama dua setengah jam?”
“Yaaa…makan malam, Fan.”
“Di mana?”
“Pengen tahu aja, sih. Nanyanya gencar gitu.”
“Hehehe…. Dari dulu sifatku kan memang begini, Non. Kalau nggak suka, ya lain kali nggak usah cerita.”
“Jahat, ih.”
Amanda melemparkan bantal dan mengenai muka sahabatnya itu. Fanny tertawa terbahak-bahak.
“Terus kemarin malam kamu jam berapa sampai kos, Man?”
“Hampir jam setengah dua belas malam.”
Fanny nyengir. Dipandanginya sahabatnya yang naif itu dengan tatapan nakal.
“Udah diapain aja sama si papa ganteng?”
“Dasar meesum otak lu!”
“Hahaha….”
Lalu perang bantal pun dimulai.
***
Malam minggu selanjutnya Joshua kembali mengajak Amanda menonton bioskop. Gadis itu lagi-lagi menyanggupi. Ia bahkan bersedia diantar-jemput di rumah kosnya. Fanny mengerling nakal dan berteriak menggoda, “Papa Ganteng, jangan malam-malam mengantar Amanda pulang, ya. Dia nggak biasa begadang!”
Amanda memelototi gadis berambut keriting dan berkulit sawo matang itu dengan garang. Yang dipelototi hanya tertawa renyah. Joshua cuma tersenyum saja digoda demikian. Ya mending dipanggil Papa Ganteng toh, daripada Papa Jelek, batinnya menghibur diri. Pada kencan mereka berdua malam itu keduanya akhirnya sepakat untuk menanggalkan sebutan Miss dan Bapak. Joshua menyebut Amanda dengan namanya langsung sedangkan guru cantik tersebut memanggil pria tampan itu dengan sebutan Mas.
Malam minggu depannya ayah kandung Celine itu kembali menjemput Amanda di tempat kosnya tetapi sudah tidak dengan tujuan menonton bioskop. Dia mengajak wali kelas anaknya itu untuk makan malam di sebuah kafe yang romantis. Amanda benar-benar mempesona malam itu mengenakan gaun malam selutut berwarna biru muda. Joshua sendiri mengenakan hem putih bermotif kotak-kotak kecil biru tua dan celana jeans panjang yang menambah keren penampilannya.
Pasangan muda-mudi yang sedang kasmaran itu lalu duduk di ujung kafe yang agak sepi dan remang-remang sesuai pesanan Joshua sehari sebelumnya. Setelah memilih menu masing-masing dan pelayan kafe meninggalkan mereka berdua, Joshua mulai membuka pembicaraan.
“Manda, ada suatu hal penting yang perlu kuberitahukan padamu.”
Deg! Jantung Amanda berdegup kencang. Inilah saatnya dia mengutarakan perasaannya padaku, tebak gadis itu dalam hati. Sebagaimana adegan dalam film-film romantis yang biasa ditontonnya, gadis itu diam saja tak bersuara.
“Aku…ehm… menyukaimu, Amanda.”
Nah, betul kan, dugaanku? sorak gadis itu penuh kemenangan dalam hati. Sebentar lagi dia akan meraih tanganku dan menggenggamnya erat-erat.
“Kurasa kamu sudah bisa menduganya, kan? Kelihatan dari sikapku akhir-akhir ini yang suka mengirimkan pesan WA padamu untuk menunjukkan perhatianku. Juga mengajakmu keluar setiap malam Minggu….”
Sudah, nggak usah bertele-tele. Lekas pegang tanganku dan tanyakan bagaimana perasaanku padamu, batin gadis itu gemas.
“Aku menyukaimu sejak pertama kali melihatmu di sekolah, Manda. Memang pada mulanya mamaku yang berniat menjodohkan kita berdua dan aku jujur saja kurang berminat. Tapi setelah melihatmu, aku jadi berubah pikiran….”
Lama sekali, sih. Apa memang begini ya, laki-laki yang sudah berumur mengutarakan perasaannya? pikir Amanda geli. Bertele-tele sekali.
“Sudah lama sekali aku tidak mempunyai perasaan yang istimewa seperti ini, Manda. Semenjak mamanya Celine meninggal dunia, aku berkonsentrasi penuh bekerja mencari uang dan membesarkan anakku. Tak terlintas dalam benakku untuk memulai suatu hubungan spesial lagi dengan seorang wanita. Tapi dirimu begitu mempesona. Tak hanya secara fisik, tapi kepribadianmu yang begitu menyenangkan telah menawan hatiku….”
“Lalu bagaimana selanjutnya, Mas?” tanya Amanda tak sabar. Ingin rasanya ditutupnya mulut pria tampan di hadapannya ini dan dia langsung menjawab, “Yes. I do.”
Joshua terhenyak mendengar pertanyaan berani gadis di depannya. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Ia menelan ludahnya dan kembali melanjutkan kata-katanya, “Ada hal penting yang harus kuberitahukan padamu sebelum hubungan kita mengarah lebih serius lagi. Aku…ehm…aku mandul, Manda.”
Dieeennnggg! Jantung Amanda seakan berhenti berdetak seketika. What?! Mandul? Kok bisa? Lalu Celine anak siapa? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benak gadis lugu itu.
“Maafkan aku sudah membuatmu terkejut. Aku merasa lebih baik menceritakannya sekarang daripada nanti hubungan kita sudah terlalu jauh dan membuatmu kecewa.”
Aku pasrah dengan apapun keputusanmu, Amanda, batin Joshua berbesar hati. Mengalami kekecewaan dalam hidup itu sudah biasa bagiku. Ditambah satu lagi penolakkan darimu tak akan menjadi masalah bagiku.
Suasana menjadi hening sejenak. Baik Joshua maupun Amanda bergumul dengan perasaan masing-masing. Ketegangan agak mencair ketika pelayan datang membawakan makanan dan minuman pesanan mereka. Dengan canggung Joshua mempersilakan gadis yang ditaksirnya itu untuk menikmati hidangan. Kedua anak manusia itu pun akhirnya menyibukkan diri menyantap makanan masing-masing sambil memikirkan langkah apa yang akan mereka lakukan selanjutnya.
“Celine itu anak siapa?” tanya Amanda akhirnya memberanikan diri.
Joshua terkesiap. Diminumnya jus melonnya sebentar sebelum menjawab pertanyaan yang sebenarnya sudah diduganya itu.
“Celine itu anak kandung Sonya, almarhumah istriku.”
“Heh?!”
Pria matang itu lalu menegakkan tubuhnya dan mulai bercerita, “Aku menikah dengan Sonya sebelas tahun yang lalu. Kehidupan rumah tangga kami sebenarnya sangat harmonis. Tiga tahun pun berlalu tanpa kehadiran seorang anak. Akhirnya kami berdua memutuskan untuk mengikuti program kehamilan….”
Laki-laki itu berhenti sesaat untuk meneguk kembali minumannya. Kelihatan jelas bahwa dia agak terbawa emosi membuka luka lama. Amanda tak berani mengucapkan sepatah kata pun. Ia membiarkan pria yang disukainya ini bercerita dengan caranya sendiri.
“Dokter spesialis kandungan yang pertama kami temui melakukan pemeriksaan terhadap kami berdua. Setelah menjalani berbagai prosedur, akhirnya dokter itu memvonis diriku mandul. Aku merasa sangat terpukul dan tidak terima. Kuajak Sonya berkonsultasi dengan dokter-dokter lainnya mulai dari Surabaya, Jakarta, hingga Malaysia. Ternyata semua pakar kandungan tersebut setuju dengan vonis dokter yang pertama.”
Joshua lalu mengambil napas panjang dan menghembuskannya kembali. “Harga diriku jatuh dan martabatku hancur berantakan. Setiap hari kulampiaskan rasa frustasiku dengan minum minuman keras di tempat hiburan malam bersama teman-temanku yang sama gilanya. Tidur dengan perempuan-perempuan yang berbeda tanpa memakai pengaman sama sekali. Harapanku salah seorang dari mereka hamil dan membuktikan bahwa aku sanggup mempunyai keturunan….”
Amanda bergidik mendengarkan pengakuan laki-laki itu. Rupanya apa yang terlihat di depan itu seringkali menipu, cetusnya dalam hati. Pria yang begitu baik, sopan, dan dewasa di depanku selama ini ternyata mempunyai masa lalu yang kelam. Kasihan sekali almarhumah istrinya.Joshua yang melihat pasangannya diam saja kembali melanjutkan pengungkapan masa lalunya. “Sonya kuperlakukan dengan tidak manusiawi. Aku memang tak pernah menyakitinya secara fisik, tetapi batinnya kusiksa dengan kata-kata yang kasar dan penuh cemooh. Dia juga tahu aku tidur dengan banyak wanita. Hal itu membuat dirinya sangat tersiksa. Lambat-laun hubungan kami merenggang dan seperti orang asing. Tak ada lagi kegembiraan, pertengkaran, maupun tangisan….”Amanda yang mulai tidak tahan mendengar cerita memilukan itu langsung menyela
Suasana menjadi hening seketika. Baik Joshua maupun Amanda sibuk bergumul dengan pikiran masing-masing. Walaupun pengakuanku tadi berisiko membuatku kehilangan gadis ini untuk selama-lamanya, tapi hatiku jadi terasa lega, batin Joshua puas. Seakan-akan beban yang menghimpit dalam dadaku selama ini berkurang banyak. Kejujuran memang bagaikan dua sisi mata uang. Bisa menimbulkan kebaikan sekaligus keburukkan dalam waktu yang sama. Apapun keputusan Amanda, aku sudah pasrah, pikir laki-laki tampan itu berbesar hati.“Bagaimana, Manda?” tanya Joshua penuh penantian.“Bagaimana apanya, Mas?” balas gadis pujaannya pura-pura bego.Ayah Celine itu tersenyum simpul. Masa dia tak mengerti maksud pertanyaanku tadi? pikirnya ge
Gadis ceria itu menanggapi dengan santai, “Nggak apa-apa, Mas. Aku juga sudah tiga tahun bekerja di sana. Sudah waktunya mencari-cari pengalaman di sekolah lain mumpung masih muda. Lagipula aku juga mempunyai beberapa murid les privat, kok. Penghasilannya bisa menutupi keuanganku jika nanti agak lama memperoleh pekerjaan baru.” “Apakah kamu tidak mau membantuku bekerja di perusahaanku saja, Manda?”Gadis itu menggeleng ringan. “Menjadi seorang guru TK itu sudah menjadi bagian dalam hidupku, Mas. Itulah jati diriku yang sesungguhnya. Barangkali minggu depan aku sudah siap untuk menceritakan alasannya kepadamu. Itu pelayan sudah berjalan kemari untuk mengembalikan kartu kreditmu. Abis itu kita pulang, yuk.”Laki-laki di hadapannya meng
Amanda dengan gemas langsung mencubit hidung Fanny. Sahabatnya yang sedang lengah itu spontan berteriak lebay, “Auwww! Sakit sekali, Bu Guru!”“Seri, dong! Hahaha….”Kedua gadis itu tertawa terbahak-bahak. Fanny yang masih penasaran lalu meminta sahabatnya menceritakan secara detil proses jadiannya dengan Joshua kemarin malam. Amanda yang memang sering curhat pada gadis ini tak segan-segan membeberkan semuanya.“Hmm…,” gumam gadis berambut keriting itu setelah teman akrabnya selesai bercerita. Dahinya berkerut seperti sedang berpikir keras.“Kamu sudah mempertimbangkannya matang-matang, Man?”“Apanya?”
Hari Kamis sore Amanda menumpang mobil travel menuju ke Malang, kota kelahirannya. Dulu dibutuhkan waktu sekitar tiga jam dari kota Surabaya menuju Malang dengan mobil. Sekarang sudah ada jalan tol yang mempercepat perjalanan tersebut menjadi sejam saja. Namun karena harus menurunkan penumpang satu per satu ke tempat tujuan masing-masing, baru setengah jam kemudian gadis itu sampai di rumahnya.Seorang pembantu muda berlari-lari kecil membuka pintu pagar rumah yang berwarna coklat tua setelah Amanda membunyikan bel. Hmm…, pembantu baru lagi, gumam gadis itu dalam hati. Rita, ibunya memang cerewet sekali dan perfeksionis. Tak heran banyak pembantu yang tak bertahan lama bekerja di rumahnya. Padahal ukuran rumah tersebut tidak terlalu besar. Hanya terdiri dari satu lantai dengan empat kamar tidur dan satu kamar pembantu. Halaman depannya memang luas sebagaimana rumah lama pada umumnya. Namun halama
“Kenapa kau membuat adikmu menangis?!” tanya sebuah suara yang menggelegar penuh kemarahan. Amanda dan Valerie berpaling ke arah suara itu berasal. Tampak sesosok tubuh ramping perempuan setengah baya yang berwajah mirip Valerie berdiri dengan angkuh di depan mereka.“Mama!” seru Amanda spontan. Dilihatnya ibunya itu menatapnya dengan marah dan kedua tangan berkacak pinggang. Sementara itu seorang pria yang berumur lebih tua dan bertubuh kurus tampak berdiri termangu di belakangnya.“Iya, aku. Rupanya kamu masih mengenaliku setelah setahun lebih tidak pulang ke rumah!”Aku pulang juga tidak dianggap olehmu, gerutu Amanda dalam hati. Hanya Papa dan Valerie yang selalu menyambut kedatanganku dengan ramah.
Saat ini laki-laki itu seolah-olah berubah menjadi sebuah pribadi yang kuat dan berwibawa.“Amanda,” ujar Hengky melunak, “Kamu sepertinya belum mandi dan beristirahat semenjak datang dari Surabaya.”Putri sulungnya mengangguk membenarkan. “Kalau begitu,” lanjut ayahnya dengan sorot mata syahdu, “Ajaklah adikmu masuk ke dalam kamarnya untuk beristirahat dulu. Papa akan memasukkan kopermu ke dalam kamarmu. Setelah itu mandilah. Kita akan berbicara kembali sesudah makan malam nanti.”“Baik, Pa,” jawab Amanda patuh. Dibantunya Valerie bangkit berdiri dan dibimbingnya melangkah menuju ke kamarnya. Ayah mereka sendiri beranjak menuju ke ruang tamu dan menggiring koper merah muda yang
“Mendiang kakek dan nenek kalian dari pihak Mama merasa sangat berterima kasih sehingga mereka membelikan rumah ini sebagai hadiah perkawinan Papa dan Mama. Selanjutnya Papa diajak untuk ikut bekerja membantu di toko. Semula toko itu hanyalah menjual peralatan tulis, namun Papa kemudian mengusulkan agar ditambahi dengan mesin fotokopi sehingga lebih ramai karena lokasinya dekat dengan beberapa sekolah dan universitas,” jelas Hengky sembari menatap kedua anak perempuannya.Lalu pandangannya berfokus pada putri sulungnya. “Tak berapa lama kemudian kamu lahir, Manda…. Seorang bayi mungil yang cantik dan lucu menggemaskan. Akulah yang memberimu nama Amanda, artinya layak untuk dicintai. Karena itulah perasaanku yang sesungguhnya, Anakku. Kau benar-benar kuanggap sebagai anak kandungku sendiri. Selama ini tak pernah sekalipun aku membeda-bedakan dirimu dari Valerie, kan?”&nbs