Indra Wijaya duduk di ruang pertemuan mewah di kediamannya, ditemani oleh Aldo dan beberapa orang kepercayaannya. Di hadapannya, Gunawan Rahadian, kepala keluarga Rahadian, duduk dengan sikap tenang dan penuh wibawa. Di sebelahnya, Calvin Rahadian memasang senyum ramah yang sama sekali tidak mencerminkan niat busuknya."Indra," ucap Gunawan dengan nada hangat. "Aku turut berduka atas situasi yang terjadi. Sudah saatnya kita bergandengan tangan untuk menghancurkan keluarga Mahendra."Indra menatap pria itu dengan penuh pertimbangan. Seumur hidupnya, ia tahu bahwa keluarga Rahadian selalu berada di pihak Mahendra. Tapi melihat bagaimana Dimas menyerangnya tanpa ampun, ia mulai berpikir bahwa mungkin ada sesuatu yang berubah."Mengapa kau ingin bekerja sama denganku?" tanya Indra langsung, tidak ingin basa-basi.Gunawan tersenyum. "Dimas Mahendra sudah menjadi ancaman bagi semua orang. Dia menguasai bisnis dengan tangan besi dan menyingkirkan siapa saja yang menghalangi jalannya. Keluarg
Di kediaman keluarga Mahendra, Dimas Mahendra duduk di ruang kerjanya dengan ekspresi penuh pertimbangan. Sejak keluarga Rahadian mulai mendekati keluarga Wijaya, ia sudah mencurigai adanya niat tersembunyi. Namun, hari ini Calvin Rahadian datang membawa berita yang bisa mengubah segalanya."Pak Dimas," ucap Calvin dengan nada tenang namun penuh keyakinan, "kami tidak benar-benar berkhianat. Kami hanya berpura-pura bekerja sama dengan keluarga Wijaya demi satu tujuan: menyelamatkan Clara."Dimas mengangkat alisnya, ekspresinya tetap dingin. "Apa maksudmu? Jelaskan dengan detail."Calvin menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Kami menemukan informasi bahwa Clara disekap di salah satu properti keluarga Wijaya. Jika saya dan ayah saya tidak menunjukkan kesetiaan pada mereka, maka kami tidak akan pernah bisa mendapatkan akses ke tempat itu."Dimas menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengamati Calvin dengan tajam. "Dan apa yang membuatku harus mempercayaimu?"Calvin menatap Dimas langsu
Adrian Wijaya duduk di dalam ruangan gelap yang hanya diterangi lampu redup. Tangannya terikat di belakang kursi, wajahnya penuh luka akibat beberapa kali dihajar anak buah Calvin Rahadian. Sejak ia ditangkap, ia terus mencoba mencari celah untuk kabur, tetapi usaha itu selalu berakhir dengan pukulan keras ke tubuhnya.Di depannya, Calvin Rahadian berdiri dengan tatapan dingin. "Kau benar-benar keras kepala, Adrian. Sudah berkali-kali aku memberitahumu bahwa kau tidak bisa menang dalam permainan ini."Adrian menyeringai meski darah mengalir dari sudut bibirnya. "Kau pikir dengan menculikku, keluarga Wijaya akan menyerah? Aku tahu rencanamu, Calvin. Kau memainkan kedua keluarga, mengadu domba mereka untuk keuntunganmu sendiri."Calvin menghela napas panjang. "Kau memang pintar, Adrian. Tapi sayangnya, kepintaranmu itu yang akan membunuhmu. Jika kau tidak bisa dikendalikan, maka kau harus disingkirkan."Adrian menegakkan tubuhnya meski rasa sakit menyelimuti setiap inci tubuhnya. "Kalau
Hujan masih turun dengan deras ketika berita kematian Adrian Wijaya tersebar luas. Rumah besar keluarga Wijaya dipenuhi dengan suara isak tangis dan kemarahan yang tak terbendung. Di tengah aula megah itu, tubuh Adrian terbaring di dalam peti yang masih terbuka, memperlihatkan wajahnya yang pucat dengan luka tembak di kepalanya.Indra Wijaya berdiri di samping peti itu, matanya merah dan penuh kebencian. Tangannya mengepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Putra bungsunya, kebanggaannya, telah direnggut darinya dengan cara yang begitu brutal.Di sekelilingnya, para tamu yang hadir hanya bisa menundukkan kepala, tak berani mengucapkan sepatah kata pun. Hanya suara rintik hujan dan isakan lemah dari anggota keluarga yang terdengar.Aldo Wijaya, putra sulungnya, berdiri di sampingnya, wajahnya dingin namun sorot matanya sama berbahayanya dengan sang ayah. "Ayah, kita harus membalas dendam. Kita tidak bisa membiarkan ini begitu saja. Dimas Mahendra harus membayar dengan darah.
Hujan turun dengan deras di halaman rumah keluarga Wijaya, menciptakan genangan air yang memantulkan cahaya lampu-lampu taman. Di dalam rumah, suasana masih dipenuhi duka dan kemarahan. Indra Wijaya telah memerintahkan serangan balik terhadap keluarga Mahendra, tapi dua putranya yang tersisa, Alan dan Arga Wijaya, memilih untuk berpikir lebih jernih sebelum mengambil tindakan lebih lanjut.Alan duduk di ruang kerjanya, mengamati foto-foto tubuh Adrian yang diambil oleh penyelidik keluarga. Luka tembak di kepalanya begitu jelas, sementara tanda-tanda penganiayaan di tubuhnya menunjukkan bahwa adik mereka telah disiksa sebelum akhirnya dihabisi. Arga berdiri di belakangnya, kedua tangannya mengepal erat."Aku tidak percaya Dimas Mahendra akan melakukan ini secepat itu," ujar Arga dengan nada penuh emosi.Alan mengangguk. "Aku juga berpikir begitu. Papa terlalu cepat menyimpulkan bahwa ini perbuatan keluarga Mahendra. Kita harus melihat dari sudut pandang yang lebih luas."Arga menghempa
Namun, di tempat lain, Calvin Rahadian sudah lebih dulu menyusun langkah berikutnya. Dengan keluarga Wijaya yang mulai mencurigai keluarga Mahendra dan semakin banyak bukti yang mengarah kepada mereka, Calvin tahu ini adalah saat yang tepat untuk mendekati Dimas Mahendra dan memastikan posisi dirinya tetap aman.***Calvin duduk di dalam mobil mewahnya, menatap hujan yang turun membasahi kota. Dalam pikirannya, semua rencana sedang dimainkan seperti bidak catur. Keluarga Wijaya sudah mulai menuduh keluarga Mahendra secara terbuka, dan ini adalah kesempatan bagi Calvin untuk semakin merapatkan hubungannya dengan Dimas Mahendra.Dengan napas panjang, Calvin mengeluarkan ponselnya dan menelepon salah satu orang kepercayaan Dimas."Aku harus bertemu dengan Tuan Dimas. Ini mendesak," katanya dengan nada tegas.Beberapa jam kemudian, Calvin sudah berada di dalam ruangan kerja Dimas Mahendra. Pria itu duduk dengan ekspresi penuh kemarahan, jelas terbebani oleh semua tuduhan yang kini diarahk
Di luar ruangan, Calvin menyeringai. Semua berjalan sesuai rencana. Keluarga Wijaya dan Mahendra semakin masuk ke dalam permainannya, dan dia hanya tinggal duduk manis menunggu kehancuran mereka.Namun, ada satu hal lagi yang harus ia pastikan. Alan dan Arga Wijaya mulai mencurigainya. Mereka berdua bukan orang yang mudah dipermainkan, dan jika mereka sampai menemukan bukti kuat tentang siapa yang sebenarnya membunuh Adrian, maka rencana Calvin bisa berantakan.Ia membutuhkan strategi baru. Seseorang yang bisa masuk ke dalam kehidupan keluarga Wijaya, khususnya Aldo Wijaya, si putra sulung yang paling dipercaya oleh Indra Wijaya.Calvin menatap saudara perempuannya, Mitha Rahadian, yang tengah duduk di sofa dengan kaki bersilang, memainkan ponselnya dengan bosan."Aku punya tugas untukmu," ujar Calvin seraya duduk di seberangnya.Mitha mengangkat alis. "Tugas? Aku bukan anak buahmu, Calvin.""Ini penting," lanjut Calvin, menatapnya tajam. "Aku butuh kau untuk mendekati Aldo Wijaya. Bu
Di sebuah ruangan remang-remang dalam kediaman keluarga Wijaya, Andre Wijaya duduk di kursi beludru dengan tangan terlipat di depan dada. Mata tajamnya menatap layar laptop yang menampilkan berbagai rekaman CCTV yang telah ia kumpulkan secara diam-diam. Dalam salah satu rekaman itu, tampak Aldo Wijaya sedang berbicara dengan Mitha Rahadian. Mereka terlihat akrab, bahkan sedikit terlalu akrab untuk seseorang yang baru saling mengenal. Andre mengepalkan tangan. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres. Sejak kecil, ia selalu berada di bawah bayang-bayang Aldo. Kakaknya itu adalah kebanggaan keluarga, pewaris utama bisnis keluarga Wijaya. Sementara ia hanya dianggap bayangan—tidak lebih dari cadangan jika Aldo gagal. Hal itu selalu membuatnya merasa tidak dihargai. Dan sekarang, ada seseorang yang ingin mendekati Aldo, tapi bukan karena cinta atau ketertarikan, melainkan karena sebuah rencana yang lebih dalam. Andre mendekatkan wajahnya ke layar, memperhatikan setiap ekspresi Mitha dalam
Dua hari setelah video penyiksaan Clara sampai ke tangan Dimas Mahendra, suasana di kediaman Mahendra berubah drastis. Tak ada lagi perjamuan mewah atau rapat direksi penuh kepura-puraan. Dimas kini menjadi sosok ayah yang terbakar oleh rasa bersalah dan marah. Clara, darah dagingnya sendiri, telah dikhianati oleh orang yang ia percaya selama ini: Calvin Rahadian.Namun, Dimas adalah pria yang tidak terbiasa bermain dengan emosi. Ia belajar dari pengalaman bahwa emosi bisa menjadi kelemahan. Maka ia menyalurkan amarahnya menjadi satu hal: aksi.Di ruang kerjanya yang kini dijaga lebih ketat dari biasanya, Dimas memanggil orang-orang terdekatnya yang paling ia percayai. Di hadapan mereka, ia menyusun sebuah operasi balas dendam yang ia beri nama: Operasi Langit Hitam. Sebuah rencana rahasia yang bertujuan menghancurkan Calvin Rahadian secara sistematis—bukan hanya dari segi kekuasaan, tapi juga citra, loyalitas, dan jaringan kekuatannya."Kita tak
Hujan mengguyur malam Jakarta dengan derasnya, membasahi jendela apartemen tempat Adrian Wijaya berdiri mematung. Pandangannya kosong menatap ke luar, namun pikirannya bekerja cepat. Sudah terlalu banyak yang terjadi, terlalu banyak yang dikorbankan. Alvian, saudara kembarnya yang ia kenal sejak kecil, telah mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan Clara Mahendra. Dan kini, Adrian tahu bahwa ia tidak boleh gagal. Clara harus kembali kepada ayahnya, Dimas Mahendra. Bukan hanya demi menyatukan kembali keluarga itu, tapi juga demi mengakhiri semua pertumpahan darah yang dipicu oleh obsesi Calvin Rahadian.Di balik ruangan, Clara duduk di sofa dengan selimut menyelimuti tubuhnya yang masih lelah. Trauma yang ia alami tidak bisa dihapus begitu saja. Namun, ada semangat di matanya—semangat untuk bertahan, untuk kembali, dan untuk melawan.Adrian mendekat, duduk di samping Clara, menggenggam tangannya dengan lembut. "Aku akan membawamu pulang, Clara. Ayahmu harus tahu bahwa k
Langit malam kembali mendung, seperti menyatu dengan suasana hati Andre Wijaya. Ia berdiri sendiri di balkon lantai atas rumah keluarga Wijaya, menatap lampu-lampu kota Jakarta yang tampak seperti bintang mati. Di dalam dirinya, badai mengamuk. Peristiwa malam perayaan khusus keluarga masih membekas jelas di kepalanya. Anya. Gadis yang selama ini ada di sudut hatinya. Gadis yang kini menjadi penyebab keterpurukan moralnya.Alan belum bicara padanya sejak kejadian itu. Tatapan dingin dari sang kakak seperti pisau yang tertancap dalam-dalam di dadanya. Andre tahu, ia sudah melewati batas. Ia sudah membuka celah bagi musuh untuk masuk lebih dalam ke dalam keluarga mereka.Sementara itu, Alan sibuk mengurus kerusakan reputasi yang perlahan mulai mencuat di media. Meski tidak secara eksplisit diberitakan, namun berbagai portal gosip sudah mencium skandal Andre. Sebuah video buram tersebar di media sosial, menunjukkan sosok yang mirip dengan Andre bersama seorang perempuan m
Pagi itu, Vila Wijaya yang megah di kawasan Puncak tampak sunyi, meski baru saja semalam menjadi tempat perayaan penuh gegap gempita memperingati keberhasilan keluarga Wijaya mempertahankan kendali atas proyek pembangunan energi terbarukan di Kalimantan Timur. Namun, sukacita itu tak berlangsung lama. Karena tepat dini hari, seorang tamu tak diundang berhasil menyelinap ke kamar Andre Wijaya dan menodai kehormatan malam itu.Anya, wanita cantik yang dikenal sebagai sahabat masa kecil Andre, telah berhasil menyelesaikan misi pertamanya untuk Dimas Mahendra. Dengan gaun merah menyala dan aroma parfum yang begitu khas, ia menggoda Andre tepat saat semua orang sibuk merayakan keberhasilan mereka di halaman belakang vila. Andre yang sudah lama menyimpan rasa pada Anya, dan juga sedang berada dalam kondisi mabuk ringan akibat minuman perayaan, tak kuasa menahan godaan itu.Mereka berdua menghilang ke kamar Andre, dan tak lama kemudian suara tawa dan desahan samar mengisi rua
Hujan belum reda sepenuhnya dari langit kota itu ketika pesta perayaan khusus keluarga Wijaya berlangsung dalam kemegahan yang tetap dijaga tertutup. Gedung keluarga, yang berada di kawasan dataran tinggi dengan pemandangan langsung ke kota, bersinar terang dari lampu-lampu kristal yang tergantung dari langit-langitnya. Para tamu undangan—terbatas hanya keluarga inti dan rekan terpercaya—berpakaian rapi dalam balutan formalitas dan anggur merah yang tak berhenti dituang.Namun di tengah suasana hangat dan selebrasi yang penuh prestise itu, Andre Wijaya berdiri di balkon lantai atas, jauh dari keramaian, memandang lampu-lampu kota yang berkedip dalam bayangan gelap malam. Rasa frustrasi yang terus menumpuk sejak konflik internal dengan Alan belum juga surut. Kini, kehadiran kembali Adrian, adik bungsu yang dianggap telah mati, membuat Andre merasa makin tenggelam dalam bayangan bayangannya sendiri.“Apa kabar, Andre?” Sebuah suara lembut menyusup ke balik keheningannya.
Langit malam tampak muram, dihiasi awan hitam pekat yang menggantung berat di cakrawala. Angin bertiup tajam, menyibak pepohonan yang berjajar di sepanjang jalanan hutan pinggiran kota. Di balik bayang-bayang gelap itu, Bara Alvino, Adrian Wijaya, Arga Wijaya, dan Clara Mahendra bersembunyi di markas sementara mereka yang tersembunyi di bawah tanah. Tempat itu dulu adalah bunker militer tak terpakai, yang kini mereka sulap menjadi pusat komando darurat.Bara berdiri di depan layar besar yang menampilkan peta kota. Tangan kirinya memegang tablet yang terus menerus memperbarui pergerakan musuh, sementara tangan kanannya meremas sisa luka tembak yang belum sepenuhnya sembuh."Operasi Langit Hitam akan dimulai malam ini," ucap Bara tegas, memecah keheningan ruangan.Adrian yang berdiri di dekat meja dengan berbagai dokumen intelijen mengangkat kepalanya. "Kau yakin ini waktunya? Calvin pasti sedang menggila mencari Clara. Keadaan sangat tidak stabil."Clara y
Sirene mobil terdengar samar di kejauhan. Di dalam mobil hitam yang melaju cepat di jalan-jalan belakang kota, Bara Valentino memelintir kemudi dengan penuh fokus. Di sampingnya, Adrian duduk dengan ekspresi dingin, sesekali menoleh ke kursi belakang tempat Clara duduk dengan wajah pucat dan mata masih sembab. Arga duduk di sebelah Clara, menatap jalanan di belakang melalui kaca spion kecil, berjaga-jaga."Kita sudah masuk ke zona aman?" tanya Adrian dengan suara rendah."Belum. Tapi kita hampir keluar dari radius pencarian mereka. Mobil-mobil Calvin tersebar ke seluruh penjuru. Kita harus menyeberang ke distrik timur sebelum fajar," jawab Bara dengan nada tergesa.Arga menghela napas berat. "Sial, semua ini karena Mitha. Kita kecolongan."Clara hanya diam. Tubuhnya masih gemetar. Peristiwa beberapa hari terakhir masih menghantui pikirannya. Ia belum sepenuhnya percaya bahwa Adrian—atau pria yang mengaku sebagai Adrian—masih hidup. Tapi ketika mereka bertemu, ada kilasan ingatan, luka
Mitha menggenggam ponselnya erat saat nada sambung berbunyi di telinganya. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Ia tahu bahwa apa yang akan ia katakan bisa membawa konsekuensi besar, tetapi rasa penasarannya lebih kuat daripada keraguannya."Halo?" Suara Calvin terdengar dari seberang telepon, datar dan penuh kewaspadaan.Mitha menelan ludah. "Kak, aku punya informasi yang mungkin menarik untukmu. Aku baru saja mengikuti seseorang dan aku melihat sesuatu yang tidak seharusnya ada di sana."Hening sejenak, lalu Calvin menjawab dengan suara rendah, "Di mana? Dan siapa yang kau ikuti?"Mitha melirik ke sekelilingnya, memastikan tidak ada yang memperhatikan sebelum ia menjawab dengan suara pelan, "Aku mengikuti Bara Alvino. Aku tadi kencan dengannya di kafe, dan aku penasaran... Jadi, aku mengikutinya sampai ke rumahnya. Kak, di dalam rumahnya aku melihat seseorang yang sangat mirip dengan Clara Mahendra."Calvin terdiam. Kemudian, tawa
Mitha Rahadian tidak bisa mengabaikan rasa penasarannya sejak pertemuannya dengan Bara di kafe tadi sore. Ada sesuatu tentang pria itu yang menariknya, bukan hanya karena pesona dinginnya yang misterius, tetapi juga karena aura yang mengelilinginya. Bara Alvino bukan pria biasa, dan Mitha tahu ada sesuatu yang disembunyikannya.Ketika Bara meninggalkan kafe, Mitha diam-diam mengikutinya. Dengan langkah ringan dan gerakan yang terlatih sejak kecil dalam lingkungan keluarga Rahadian, ia berhasil menjaga jarak tanpa menarik perhatian. Bara berjalan santai menuju mobilnya, tidak menunjukkan tanda-tanda menyadari bahwa ia sedang dibuntuti. Mitha segera memanggil sopir pribadinya dan menyuruhnya mengikuti mobil Bara dari kejauhan.Selama perjalanan, Mitha tidak bisa berhenti bertanya-tanya. Ada sesuatu yang aneh dengan Bara. Selain aura misteriusnya, dia juga tampak selalu waspada. Seolah-olah dia tidak bisa membiarkan siapa pun terlalu dekat dengannya.Setelah hampir tiga puluh menit perja