Calvin Rahadian duduk di kursi kulit hitamnya, menyesap segelas anggur merah dengan senyum puas. Di depannya, seorang pria berlutut dengan tangan terikat ke belakang, wajahnya penuh luka lebam. Pria itu adalah Bima Santoso, orang kepercayaan Dimas Mahendra yang selama ini menjadi otaknya dalam operasi keuangan gelap."Kau tahu," ucap Calvin sambil meletakkan gelas anggurnya, "aku sebenarnya tidak punya masalah pribadi denganmu, Bima. Tapi kau terlalu setia pada Dimas Mahendra, dan itu membuatmu jadi ancaman."Bima mengangkat kepalanya dengan lemah, darah menetes dari pelipisnya. "Aku tidak akan pernah mengkhianati Dimas..."Calvin tertawa kecil. "Oh, aku tidak butuh pengkhianatanmu. Aku hanya butuh tubuhmu—lebih tepatnya, mayatmu."Dengan isyarat tangannya, dua anak buahnya mengangkat Bima dan menyeretnya ke tengah ruangan. Di depan mereka, sebuah bak baja berisi air es sudah disiapkan."Tidak!" Bima meronta, tetapi tangan-tangan kekar itu menekannya ke bawah.Calvin berdiri dari kurs
Indra Wijaya duduk di ruang pertemuan mewah di kediamannya, ditemani oleh Aldo dan beberapa orang kepercayaannya. Di hadapannya, Gunawan Rahadian, kepala keluarga Rahadian, duduk dengan sikap tenang dan penuh wibawa. Di sebelahnya, Calvin Rahadian memasang senyum ramah yang sama sekali tidak mencerminkan niat busuknya."Indra," ucap Gunawan dengan nada hangat. "Aku turut berduka atas situasi yang terjadi. Sudah saatnya kita bergandengan tangan untuk menghancurkan keluarga Mahendra."Indra menatap pria itu dengan penuh pertimbangan. Seumur hidupnya, ia tahu bahwa keluarga Rahadian selalu berada di pihak Mahendra. Tapi melihat bagaimana Dimas menyerangnya tanpa ampun, ia mulai berpikir bahwa mungkin ada sesuatu yang berubah."Mengapa kau ingin bekerja sama denganku?" tanya Indra langsung, tidak ingin basa-basi.Gunawan tersenyum. "Dimas Mahendra sudah menjadi ancaman bagi semua orang. Dia menguasai bisnis dengan tangan besi dan menyingkirkan siapa saja yang menghalangi jalannya. Keluarg
Di kediaman keluarga Mahendra, Dimas Mahendra duduk di ruang kerjanya dengan ekspresi penuh pertimbangan. Sejak keluarga Rahadian mulai mendekati keluarga Wijaya, ia sudah mencurigai adanya niat tersembunyi. Namun, hari ini Calvin Rahadian datang membawa berita yang bisa mengubah segalanya."Pak Dimas," ucap Calvin dengan nada tenang namun penuh keyakinan, "kami tidak benar-benar berkhianat. Kami hanya berpura-pura bekerja sama dengan keluarga Wijaya demi satu tujuan: menyelamatkan Clara."Dimas mengangkat alisnya, ekspresinya tetap dingin. "Apa maksudmu? Jelaskan dengan detail."Calvin menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Kami menemukan informasi bahwa Clara disekap di salah satu properti keluarga Wijaya. Jika saya dan ayah saya tidak menunjukkan kesetiaan pada mereka, maka kami tidak akan pernah bisa mendapatkan akses ke tempat itu."Dimas menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengamati Calvin dengan tajam. "Dan apa yang membuatku harus mempercayaimu?"Calvin menatap Dimas langsu
Adrian Wijaya duduk di dalam ruangan gelap yang hanya diterangi lampu redup. Tangannya terikat di belakang kursi, wajahnya penuh luka akibat beberapa kali dihajar anak buah Calvin Rahadian. Sejak ia ditangkap, ia terus mencoba mencari celah untuk kabur, tetapi usaha itu selalu berakhir dengan pukulan keras ke tubuhnya.Di depannya, Calvin Rahadian berdiri dengan tatapan dingin. "Kau benar-benar keras kepala, Adrian. Sudah berkali-kali aku memberitahumu bahwa kau tidak bisa menang dalam permainan ini."Adrian menyeringai meski darah mengalir dari sudut bibirnya. "Kau pikir dengan menculikku, keluarga Wijaya akan menyerah? Aku tahu rencanamu, Calvin. Kau memainkan kedua keluarga, mengadu domba mereka untuk keuntunganmu sendiri."Calvin menghela napas panjang. "Kau memang pintar, Adrian. Tapi sayangnya, kepintaranmu itu yang akan membunuhmu. Jika kau tidak bisa dikendalikan, maka kau harus disingkirkan."Adrian menegakkan tubuhnya meski rasa sakit menyelimuti setiap inci tubuhnya. "Kalau
Hujan masih turun dengan deras ketika berita kematian Adrian Wijaya tersebar luas. Rumah besar keluarga Wijaya dipenuhi dengan suara isak tangis dan kemarahan yang tak terbendung. Di tengah aula megah itu, tubuh Adrian terbaring di dalam peti yang masih terbuka, memperlihatkan wajahnya yang pucat dengan luka tembak di kepalanya.Indra Wijaya berdiri di samping peti itu, matanya merah dan penuh kebencian. Tangannya mengepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Putra bungsunya, kebanggaannya, telah direnggut darinya dengan cara yang begitu brutal.Di sekelilingnya, para tamu yang hadir hanya bisa menundukkan kepala, tak berani mengucapkan sepatah kata pun. Hanya suara rintik hujan dan isakan lemah dari anggota keluarga yang terdengar.Aldo Wijaya, putra sulungnya, berdiri di sampingnya, wajahnya dingin namun sorot matanya sama berbahayanya dengan sang ayah. "Ayah, kita harus membalas dendam. Kita tidak bisa membiarkan ini begitu saja. Dimas Mahendra harus membayar dengan darah.
Hujan turun dengan deras di halaman rumah keluarga Wijaya, menciptakan genangan air yang memantulkan cahaya lampu-lampu taman. Di dalam rumah, suasana masih dipenuhi duka dan kemarahan. Indra Wijaya telah memerintahkan serangan balik terhadap keluarga Mahendra, tapi dua putranya yang tersisa, Alan dan Arga Wijaya, memilih untuk berpikir lebih jernih sebelum mengambil tindakan lebih lanjut.Alan duduk di ruang kerjanya, mengamati foto-foto tubuh Adrian yang diambil oleh penyelidik keluarga. Luka tembak di kepalanya begitu jelas, sementara tanda-tanda penganiayaan di tubuhnya menunjukkan bahwa adik mereka telah disiksa sebelum akhirnya dihabisi. Arga berdiri di belakangnya, kedua tangannya mengepal erat."Aku tidak percaya Dimas Mahendra akan melakukan ini secepat itu," ujar Arga dengan nada penuh emosi.Alan mengangguk. "Aku juga berpikir begitu. Papa terlalu cepat menyimpulkan bahwa ini perbuatan keluarga Mahendra. Kita harus melihat dari sudut pandang yang lebih luas."Arga menghempa
Namun, di tempat lain, Calvin Rahadian sudah lebih dulu menyusun langkah berikutnya. Dengan keluarga Wijaya yang mulai mencurigai keluarga Mahendra dan semakin banyak bukti yang mengarah kepada mereka, Calvin tahu ini adalah saat yang tepat untuk mendekati Dimas Mahendra dan memastikan posisi dirinya tetap aman.***Calvin duduk di dalam mobil mewahnya, menatap hujan yang turun membasahi kota. Dalam pikirannya, semua rencana sedang dimainkan seperti bidak catur. Keluarga Wijaya sudah mulai menuduh keluarga Mahendra secara terbuka, dan ini adalah kesempatan bagi Calvin untuk semakin merapatkan hubungannya dengan Dimas Mahendra.Dengan napas panjang, Calvin mengeluarkan ponselnya dan menelepon salah satu orang kepercayaan Dimas."Aku harus bertemu dengan Tuan Dimas. Ini mendesak," katanya dengan nada tegas.Beberapa jam kemudian, Calvin sudah berada di dalam ruangan kerja Dimas Mahendra. Pria itu duduk dengan ekspresi penuh kemarahan, jelas terbebani oleh semua tuduhan yang kini diarahk
Di luar ruangan, Calvin menyeringai. Semua berjalan sesuai rencana. Keluarga Wijaya dan Mahendra semakin masuk ke dalam permainannya, dan dia hanya tinggal duduk manis menunggu kehancuran mereka.Namun, ada satu hal lagi yang harus ia pastikan. Alan dan Arga Wijaya mulai mencurigainya. Mereka berdua bukan orang yang mudah dipermainkan, dan jika mereka sampai menemukan bukti kuat tentang siapa yang sebenarnya membunuh Adrian, maka rencana Calvin bisa berantakan.Ia membutuhkan strategi baru. Seseorang yang bisa masuk ke dalam kehidupan keluarga Wijaya, khususnya Aldo Wijaya, si putra sulung yang paling dipercaya oleh Indra Wijaya.Calvin menatap saudara perempuannya, Mitha Rahadian, yang tengah duduk di sofa dengan kaki bersilang, memainkan ponselnya dengan bosan."Aku punya tugas untukmu," ujar Calvin seraya duduk di seberangnya.Mitha mengangkat alis. "Tugas? Aku bukan anak buahmu, Calvin.""Ini penting," lanjut Calvin, menatapnya tajam. "Aku butuh kau untuk mendekati Aldo Wijaya. Bu
Langit malam tampak muram, dihiasi awan hitam pekat yang menggantung berat di cakrawala. Angin bertiup tajam, menyibak pepohonan yang berjajar di sepanjang jalanan hutan pinggiran kota. Di balik bayang-bayang gelap itu, Bara Alvino, Adrian Wijaya, Arga Wijaya, dan Clara Mahendra bersembunyi di markas sementara mereka yang tersembunyi di bawah tanah. Tempat itu dulu adalah bunker militer tak terpakai, yang kini mereka sulap menjadi pusat komando darurat.Bara berdiri di depan layar besar yang menampilkan peta kota. Tangan kirinya memegang tablet yang terus menerus memperbarui pergerakan musuh, sementara tangan kanannya meremas sisa luka tembak yang belum sepenuhnya sembuh."Operasi Langit Hitam akan dimulai malam ini," ucap Bara tegas, memecah keheningan ruangan.Adrian yang berdiri di dekat meja dengan berbagai dokumen intelijen mengangkat kepalanya. "Kau yakin ini waktunya? Calvin pasti sedang menggila mencari Clara. Keadaan sangat tidak stabil."Clara y
Sirene mobil terdengar samar di kejauhan. Di dalam mobil hitam yang melaju cepat di jalan-jalan belakang kota, Bara Valentino memelintir kemudi dengan penuh fokus. Di sampingnya, Adrian duduk dengan ekspresi dingin, sesekali menoleh ke kursi belakang tempat Clara duduk dengan wajah pucat dan mata masih sembab. Arga duduk di sebelah Clara, menatap jalanan di belakang melalui kaca spion kecil, berjaga-jaga."Kita sudah masuk ke zona aman?" tanya Adrian dengan suara rendah."Belum. Tapi kita hampir keluar dari radius pencarian mereka. Mobil-mobil Calvin tersebar ke seluruh penjuru. Kita harus menyeberang ke distrik timur sebelum fajar," jawab Bara dengan nada tergesa.Arga menghela napas berat. "Sial, semua ini karena Mitha. Kita kecolongan."Clara hanya diam. Tubuhnya masih gemetar. Peristiwa beberapa hari terakhir masih menghantui pikirannya. Ia belum sepenuhnya percaya bahwa Adrian—atau pria yang mengaku sebagai Adrian—masih hidup. Tapi ketika mereka bertemu, ada kilasan ingatan, luka
Mitha menggenggam ponselnya erat saat nada sambung berbunyi di telinganya. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Ia tahu bahwa apa yang akan ia katakan bisa membawa konsekuensi besar, tetapi rasa penasarannya lebih kuat daripada keraguannya."Halo?" Suara Calvin terdengar dari seberang telepon, datar dan penuh kewaspadaan.Mitha menelan ludah. "Kak, aku punya informasi yang mungkin menarik untukmu. Aku baru saja mengikuti seseorang dan aku melihat sesuatu yang tidak seharusnya ada di sana."Hening sejenak, lalu Calvin menjawab dengan suara rendah, "Di mana? Dan siapa yang kau ikuti?"Mitha melirik ke sekelilingnya, memastikan tidak ada yang memperhatikan sebelum ia menjawab dengan suara pelan, "Aku mengikuti Bara Alvino. Aku tadi kencan dengannya di kafe, dan aku penasaran... Jadi, aku mengikutinya sampai ke rumahnya. Kak, di dalam rumahnya aku melihat seseorang yang sangat mirip dengan Clara Mahendra."Calvin terdiam. Kemudian, tawa
Mitha Rahadian tidak bisa mengabaikan rasa penasarannya sejak pertemuannya dengan Bara di kafe tadi sore. Ada sesuatu tentang pria itu yang menariknya, bukan hanya karena pesona dinginnya yang misterius, tetapi juga karena aura yang mengelilinginya. Bara Alvino bukan pria biasa, dan Mitha tahu ada sesuatu yang disembunyikannya.Ketika Bara meninggalkan kafe, Mitha diam-diam mengikutinya. Dengan langkah ringan dan gerakan yang terlatih sejak kecil dalam lingkungan keluarga Rahadian, ia berhasil menjaga jarak tanpa menarik perhatian. Bara berjalan santai menuju mobilnya, tidak menunjukkan tanda-tanda menyadari bahwa ia sedang dibuntuti. Mitha segera memanggil sopir pribadinya dan menyuruhnya mengikuti mobil Bara dari kejauhan.Selama perjalanan, Mitha tidak bisa berhenti bertanya-tanya. Ada sesuatu yang aneh dengan Bara. Selain aura misteriusnya, dia juga tampak selalu waspada. Seolah-olah dia tidak bisa membiarkan siapa pun terlalu dekat dengannya.Setelah hampir tiga puluh menit perja
Langit malam masih gelap ketika Adrian Wijaya berdiri di depan gerbang besar rumah keluarganya. Sudah lama ia tidak menginjakkan kaki di sini, dan kini ia kembali dengan membawa beban yang lebih besar dari sebelumnya. Ia menatap rumah megah itu, mengingat setiap kenangan yang pernah ia lalui di dalamnya. Malam ini, ia kembali bukan sebagai Adrian yang dulu, melainkan sebagai seseorang yang memiliki misi yang belum terselesaikan.Dengan langkah tegas, Adrian mendorong gerbang dan memasuki halaman rumah. Para penjaga yang melihatnya langsung membelalakkan mata, seolah melihat hantu. Salah satu dari mereka bahkan nyaris menjatuhkan senjata yang dipegangnya."Adrian...?" gumam salah satu penjaga dengan suara gemetar.Adrian tidak menjawab. Ia hanya terus berjalan melewati mereka, menuju pintu utama. Ia tahu bahwa keberadaannya akan segera diketahui oleh kedua saudaranya, Alan dan Andre Wijaya. Itu hanya soal waktu sebelum mereka muncul dengan seribu pertanyaan yang harus ia hadapi.Saat A
Arga Wijaya melangkah keluar dari rumah dengan langkah santai, meskipun pikirannya terus dipenuhi berbagai kecemasan. Sejak ia tinggal bersama Bara Valentino, banyak hal dalam hidupnya berubah secara drastis. Ia kehilangan tempat di keluarganya sendiri, dipisahkan dari keluarganya, dan kini harus bergantung pada seorang pria yang masa lalunya masih penuh misteri. Namun, Arga tidak memiliki banyak pilihan selain bertahan hidup dan mencari cara untuk membalas dendam atas ketidakadilan yang terjadi pada keluarganya.Malam itu, Arga hanya memiliki satu tujuan sederhana: membeli makanan. Bara sudah pergi sejak subuh untuk mengurus urusannya.Setelah mendapatkan beberapa kantong makanan dari warung terdekat, Arga kembali ke rumah dengan langkah yang lebih cepat. Ada perasaan aneh yang mengganggunya, seolah-olah sesuatu yang besar sedang menunggunya di dalam rumah.Ketika ia membuka pintu dan masuk ke dalam, ia langsung membeku di ambang pintu ruang tamu. Di sana, duduk
Hujan gerimis menyelimuti kota malam itu, menambah kesan mencekam di antara jalanan yang dipenuhi cahaya neon. Adrian memandang sekeliling, memastikan tidak ada yang mengikutinya sebelum ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang yang sudah ia percayai sejak lama."Bara, aku butuh bantuanmu. Cepat jemput aku di sudut kota, aku tidak bisa menjelaskan panjang lebar di telepon. Aku bersama seseorang yang juga harus kau lindungi," ujar Adrian dengan suara mendesak.Di ujung sana, Bara Valentino terdiam sejenak. Ia mengenali nada suara Adrian yang jarang sekali terdengar seperti itu—panik, mendesak, dan penuh ketakutan."Kau di mana tepatnya?" Bara bertanya, nada suaranya tetap tenang meskipun pikirannya mulai menyusun kemungkinan buruk."Jalan Salma, dekat gang sempit di belakang kafe tua itu. Aku tidak punya banyak waktu, Bara. Jika kau masih menganggapku teman, datanglah sekarang."Tanpa banyak tanya, Bara mengambil kunci mobilnya dan bergeg
Calvin Rahadian duduk di ruangannya dengan napas memburu. Tangannya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Matanya menatap layar CCTV yang merekam kejadian semalam. Clara Mahendra telah lolos. Sesuatu yang tak seharusnya terjadi, namun kini sudah menjadi kenyataan."Bagaimana mungkin?" gumamnya dengan suara penuh kemarahan. "Bagaimana mungkin dia bisa melarikan diri?!"Ia membanting gelas wiski di tangannya ke lantai, menyebabkan pecahan kaca berserakan. Semua orang di ruangan itu menahan napas, takut akan amukan pria yang dikenal tak memiliki belas kasihan.Calvin bangkit dari kursinya, matanya menyorot tajam ke arah anak buahnya yang berdiri dengan wajah penuh ketakutan. "Kalian semua pecundang! Bagaimana bisa seorang wanita yang terkunci di ruangan besi, dengan penjagaan ketat, bisa melarikan diri?!"Salah satu anak buahnya, Reno, memberanikan diri untuk berbicara, meskipun suaranya sedikit bergetar. "Bos, kami sedang menyelidiki bagaimana dia
Adrian menggenggam erat tangan Clara saat mereka berlari menembus kegelapan malam. Napas mereka terengah-engah, detak jantung berpacu dengan kecepatan yang sama dengan langkah kaki mereka. Hujan yang turun deras membuat jalanan licin, tapi mereka tidak peduli. Yang ada di dalam pikiran mereka hanya satu hal: pergi sejauh mungkin dari tempat terkutuk itu.Clara masih dalam keadaan shock. Rasa sakit dan ketakutan bercampur menjadi satu di dalam tubuhnya. Tapi satu hal yang lebih membingungkannya: bagaimana mungkin Adrian masih hidup? Ia sendiri melihat bagaimana Calvin menembakkan peluru ke dada Adrian. Ia melihat tubuh Adrian jatuh tak berdaya, darah mengalir dari tubuhnya, dan detik itu juga, Clara yakin bahwa ia telah kehilangan cinta dalam hidupnya.Namun kini, pria itu ada di sini, menggenggam tangannya, menariknya menjauh dari neraka yang hampir menelannya.Setelah berlari selama beberapa menit, mereka akhirnya sampai di sebuah rumah kecil di tengah hutan. A