Akhirnya di sinilah Ifa berada, menjadi guru sukarela sebuah sekolah dasar di pinggiran kota Solo yang hampir roboh gedungnya. Tidak, ia tidak menyesal. Sebab hidup adalah pilihan. Dan keputusannya untuk mengajar anak-anak itu datang dari panggilan nuraninya. Ia tak lagi mempedulikan masalah gaji. Tak lagi mempermasalahkan spesialisasi. Di dunia yang carut-marut oleh aturan-aturan buatan manusia yang suka mengkotak-kotakkan pikiran sehingga membatasi kreativitas dan kesempatan untuk berkarya, ada banyak hal berharga yang bisa dilakukan sebagai ajang aktualisasi diri, tak harus terpaku pada keahlian yang ia punyai. Karena ilmu Allah itu maha luas, tak terdikotomi, tak terbagi-bagi. Kemampuan dan profesionalisme akan datang dengan sendirinya seiring kemauan kerasnya untuk terus belajar dari realita kehidupan yang ada.
Ia lepaskan gelar sarjana tekniknya, lalu dengan bangga ditekuninya pekerjaan barunya. Anak-anak itu... ia sadar bahwa ternyata kebahagiaannya ada saat bersama mereka. Dengan sepenuh hati ia mengajari mereka menulis, membaca, menggambar, menyanyi, bercerita, berpuisi, membuat prakarya, juga pelajaran-pelajaran sejati dari kehidupan yang seringkali dinomorduakan oleh para pendidik bangsa ini: ketauhidan, bakti pada orang tua, persahabatan, persaudaraan, kebersamaan, cinta dan kasih sayang.
Pertama kali diterima mengajar Ifa ditugaskan untuk mengampu anak-anak kelas satu. Ia tak keberatan. Dalam setiap kesempatan di kelas ia berusaha mendekati anak-anak itu satu persatu lalu mulai mencoba memahami karakter mereka masing-masing. Gita yang pemalu, Andi yang masih suka ngompol di kelas, Wildan yang ditakuti oleh teman-temannya, Sinta yang terlalu cerdas hingga Ifa tercengang-cengang dibuatnya, Intan yang cerewet dan suka bercerita apa saja, Budi sang biang keributan di kelas, Hesti si penidur, Anto, Rio, Ikhsan... Subhanallah, ternyata banyak sekali hal-hal menakjubkan yang Ifa temui di sana. Ia menjadi semakin jatuh cinta.
* * *
Pesawat yang membawanya terbang beberapa jam lalu sebentar lagi akan mendarat. Terdengar peringatan dari pengeras suara yang meminta semua penumpang memasang sabuk pengaman mereka. Seorang wanita di sampingnya menyenggol lengannya dan tersenyum padanya, mengingatkan akan sikap acuhnya terhadap peringatan itu. Para pramugari berkeliling untuk memeriksa. Ia menurut.
Dipejamkannya matanya. Kembali pikirannya mengembara tak tentu rimbanya. Segalanya terasa hampa. Keriuhan dunia yang penuh sesak oleh manusia tak mampu menyingkap kesepiannya hingga ia pun terus terperangkap dalam kesendiriannya.
Apa kabar, Kak, sapa hatinya. Dua bola bening menetes dari pelupuk matanya. Seperti apa rumah kita sekarang, ia mereka-reka. Apakah masih seindah dulu saat mama masih bersama kita. Bagaimana kabar bunga-bunga di kebun kaca kita? Adenium. Euphorbia. Apakah kau masih ingat untuk menyiram dan merawatinya? Aku rindu melihat putih Ace of Heart dan Chameleon yang cantik itu, rindu menyentuh Siamese Ruby si pinky yang menawan, Sultry, Calypso, juga Shang tip atau Red Flare. Tetapi... aku sangsi apakah setelah mama tiada keindahan bunga-bunga itu masih bisa membuatku mampu untuk bertahan di sana. Dulu kita dan mama selalu menghabiskan pagi kita di kebun kaca dengan bercanda dan tertawa-tawa. Lalu sekarang... apakah yang tersisa buat kita. Hanya luka. Kesepianmu, kesepianku, kesepian kita... dengan apakah kita akan mencari penawarnya.
* * *
Langkah Al terhenti. Sebuah ruangan di sebelah kanannya membuatnya menolehkan kepalanya dan menjadikan dirinya terngiang-ngiang kembali pada sebuah nama, dan sejujurnya dari alam bawah sadarnya ia berharap suara-suara itu datang mengulurkan sapa. Ada rasa perih yang mengiris dada. Ada kepahitan saat mengingat semuanya. Dibukanya pintu ruangan itu. Segera ia mendapati benda-benda penuh warna-warni yang semakin menambah kepiluannya. Boneka Teddy yang teronggok di sudut meja, pesawat-pesawatan yang tergantung di atas tempat tidur, sprei biru bergambar Kawai Arisa – tokoh kartun kesayangan Titania – dengan bantal dan gulingnya, bola-bola kaca yang tertata di atas meja belajar, kertas gambar yang berisi coretan-coretan tak beraturan...
Al menyentuh semuanya, mengingat sekaligus merindukan suara-suara kecil nan riang yang dulu pernah mengisi kamar ini. Dan saat matanya bersitatap dengan semua yang ada di dinding kamar itu, rindu di dadanya tak dapat lagi ditahannya. Air matanya jatuh berlinang-linang. Perlahan ia menyentuhkan tangannya dari dinding ke dinding, memandangi satu demi satu gambar-gambar dan foto-foto yang terpampang di depan matanya. Foto-foto yang semakin menorehkan luka: Titania yang tergolek polos saat masih bayi. Titania kecil tertawa. Titania kecil naik kuda. Titania kecil merentangkan tangan di gendongan papa. Titania kecil bersepeda. Titania...
Al seolah-olah mendengar dan merasakan kembali segala keindahan masa kecil adiknya. Rengekan manja Titania, mata bulat nan beningnya, lengking tangisnya jika tak berada di dekat mama saat tidurnya, suara cadelnya, kehalusan kulitnya, dua lesung pipitnya yang menawan saat tertawa, nyanyian-nyanyian kecil yang pernah ia dendangkan untuk meninabobokan Titania...
Ia jatuh terduduk, tak mampu menanggung semua kenangan yang kini hadir bertubi-tubi menyerangnya dan membuatnya dihantui luka lara nestapa karena kesendiriannya. Dibenturkannya kepala dan tangannya ke dinding, sekedar menumpahkan emosi yang semakin kuat memenuhi isi kepalanya. Betapa ia ingin saat-saat itu kembali, mengisi hari-harinya yang kini terasa kian sepi. Sunyi. Tak punya arti. Agar ia tidak semakin tersiksa. Agar ia tidak semakin merana. Ia lelah menghadapi semua ini, semua kekacauan yang membuat jiwanya seperti mati rasa. Air matanya semakin deras membasahi pipinya. Deras. Dan makin deras.
Mungkin sudah seharusnya engkau pergi
dan tak sudi untuk kembali.
Maka izinkan di detik-detik kesepian ini
Kuhabiskan waktu untuk mengingatmu
Karena sebenarnya aku ingin terus selalu bersamamu
Dan kalau memang keinginan ini terlalu mahal bagiku
- hingga tak sanggup mengantarkan kepulanganmu -
Cukuplah kau ingat aku dalam belitan tawamu
Sentuh hatiku dalam genggaman tanganmu.
Lalu biarkan semuanya
tersimpan sebagai kenangan yang tak perlu dibuka lagi
Kita sudah terlalu terluka
Kita sudah banyak hidup dengan menanggung derita
Maka biarkan semuanya berakhir dengan perasaan rela
Karena sebelum aku memejamkan mata yang ingin kuingat hanyalah rasa bahagia
Sebab memiliki ‘saudara’ sepertimu amatlah berarti bagiku
Al mencoba melepaskan semua rasa itu, beban itu, mencoba tertawa-tawa dan menari-nari... demi melupakan semuanya. Persis seperti orang gila. Diusirnya bisikan-bisikan dan harapan-harapan yang selama ini mengakar kuat di jantung kehidupannya agar ia bisa merelakan semuanya.
Pergi, pergilah Titania
Kepakkan sayapmu ke manapun engkau suka
Bumi bukanlah tempat yang layak untuk menyatukan persaudaraan kita
Ia jatuh tersungkur ke tempat tidur.
Ternyata kata-kata tak membantunya mengobati rasa kehilangannya. Ia tak bisa membohongi perasaannya.
Tidak, aku tak sanggup berpisah dengan cara seperti ini, jerit hatinya pilu. Dengan pahit direguknya kembali kesakitan itu.
Ditemani keheningan malam ia jatuh tertidur di ruangan itu.
* * *
Malam-malam saat Al terbangun, ia jumpai semuanya gelap segelap hatinya. Segera ia melangkah keluar tanpa menoleh lagi, tak ingin membiarkan luka itu semakin lama bersemayam di hatinya dan membuatnya jatuh ke jurang yang semakin dalam. Tidak. Ia harus bangkit. Entah untuk apa. Diraihnya handuk yang tergantung di lemari dan bergegas ia pergi ke kamar mandi, berlama-lama di bawah kucuran shower tanpa ingin memikirkan apa-apa.
Dengan rambut yang masih basah ia keluar dari kamar mandinya lalu duduk di tepi tempat tidurnya, berganti pakaian pendek yang diambil dari lemarinya, dan mengeringkan rambutnya dengan hair dryer. Baru saja ia beranjak keluar dan menutup pintu kamarnya untuk pergi ke ruang kerjanya saat tiba-tiba ponselnya berbunyi.
”Kak, aku pulang,” suara di seberang sana lirih, nyaris tak terdengar. Tetapi pengaruhnya melebihi getaran ultrasonik hingga kegembiraan di hati Al meluap dan hampir meledak. Tergesa-gesa ia meraih kunci mobilnya dan lari ke garasi. Menstarter mobil dan membunyikan klaksonnya berkali-kali sesampainya di pintu gerbang sehingga satpamnya yang sedang terkantuk-kantuk terperanjat mendengarnya. Lalu setelah itu Al pun melarikan mobilnya melesat di jalan raya menuju satu tujuan. Ke bandara. Menjemput Titania. Masih dengan kaos oblong, celana pendek, dan rambut yang awut-awutan.
Gerimis turun rintik-rintik ketika Al sampai di bandara. Bergegas ia berlari keluar dari mobilnya tanpa mempedulikan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang sumsum. Di waiting room matanya awas menyusuri deretan kursi yang setengah kosong, memperhatikan orang-orang yang lalu-lalang atau sekedar duduk dengan wajah kelelahan. Dicarinya sesosok wajah yang telah berbulan-bulan begitu ia rindukan kedatangannya. Tak ada. Ke mana perginya sang Titania? Kecemasan mulai melanda hatinya. Disusurinya kembali seisi ruangan itu. Ia kelimpungan. Rasa bahagia yang sempat menyelinap di hatinya beberapa menit yang lalu lenyap seketika. Sementara di luar sana hujan kian turun dengan lebatnya.Al menjerit dalam hati.Jangan katakan kepulanganmu hanyalah mimpi. Ttolong... agar aku percaya bahwa hidup kita bukanlah permainan belaka.“Kak... ”Al menemukannya. Suara itu terbata-bata memanggilnya. Ia menoleh dan mendapati sosok yang dicarinya ter
Bayang-bayang hitam itu kian mendekat. sosoknya teramat menyeramkan. Matanya yang merah menyala menatapnya buas dan penuh amarah, seolah makhluk itu ingin menelannya hidup-hidup. Mulutnya menyeringai dan lidahnya yang panjang terjulur ke luar seraya meneteskan air liur. Menjijikkan. Tangannya terayun-ayun ke depan, memperlihatkan jari-jemarinya yang berkuku tajam. Seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu lebat. Rambutnya tergerai hingga lutut. Mengerikan.Ia ketakutan. Makhluk itu berlari ke arahnya. Sekuat tenaga ia mencoba berlari, dan berlari demi menghindari kejarannya. Napasnya terengah-engah. Mukanya pucat pasi. Keringatnya jatuh berleleran. Ia terjerembab. Susah payah ia mencoba untuk bangkit. Sementara makhluk menyeramkan itu kian mendekat. Tinggal selangkah lagi dari tempat berdirinya kini.Tiba-tiba hal yang mengejutkan terjadi. Tangan dan kakinya tak bisa digerakkan. Mulutnya terkunci. Tubuhnya seolah terpaku pada bumi. Tak ada yang bisa mendengar teriakan
Ia berdiri mematung. Khidmat. Bola matanya mengembang. Ditatapnya rintik-rintik gerimis yang mulai turun sejak dini hari tadi. Gemericik suaranya menghanyutkan pikirannya, mengalunkan nada-nada yang terdengar indah di telinga, lalu mengantarkannya pada suasana tenang. Damai. Sesaat ia merasa kesejukan menelusup ke ruang-ruang kalbunya dan menembus lorong-lorong beku yang entah sekian lamanya tak teraliri suara-suara lega. Denting air itu makin lama terdengar makin indah hingga perlahan diulurkannya kedua tangannya ke bawah tetesan hujan seraya memandangnya dengan takjub. Dingin menyentuh kulitnya. Tapi bibirnya menyunggingkan senyum menikmati kristal-kristal bening yang tercurah dari langit itu.Dipejamkannya kedua matanya. Direntangkannya kedua tangannya dan dibiarkannya angin berbisik membelai pipinya. Dihirupnya udara dengan lembut dan dihempaskannya pelan-pelan. Alam begitu tulus menawarkan kesejukan untuknya hingga entah berapa lamanya ia akan betah berdiri lama-lama men
Koridor itu terasa sunyi saat Ifa melangkahkan kakinya ke sana. Tak ada suara apa pun selain langkah kakinya sendiri dan gemerincing rangkaian kunci kamar yang tergenggam di tangannya. Gadis yang dicarinya belum jua dijumpainya.Ifa berusaha menenangkan pikirannya dan membuat dirinya serileks mungkin. Lalu dipilihnya salah satu kunci yang dipegangnya dan dipakainya untuk membuka ruangan yang pintunya kini berada di depannya. Ia menghela nafas pelan. Terdengar suara berderit saat pintu dibuka. Ifa melongok ke dalam, mencoba memastikan bahwa ruangan itu adalah ruangan yang pantas dimasukinya. Ruangan tempat segala kenangan masa kecil Titania tersembunyi di sana. Titania’s World. Ia membaca papan kayu yang terpasang di atas pintu, lalu tanpa ragu-ragu lagi ia masuk ke ruangan itu.Ruangan itu masih nampak bersih. Tak ada sarang laba-laba atau debu tebal yang menyelimutinya padahal Ifa sudah bersiap-siap menutup hidungnya dengan sapu tangannya. Para pelayan
Jam setengah lima sore. Ifa menutup mushaf qur’an yang baru saja dibacanya, lalu merapikan jilbabnya di depan kaca. Ia memandang pantulan wajahnya di sana beberapa menit lamanya. Ada yang kurang saat ia mengamatinya. Ia menghirup nafas dan menghempaskannya pelan-pelan. Dilapangkan hatinya dari rasa gundah yang menggelayutinya, dibebaskan pikirannya dari bisikan-bisikan emosi yang membelenggunya. Seulas senyum tersungging di bibirnya. Wajahnya yang semula muram kini berseri-seri lagi. Semangatnya telah pulih kembali. Aku akan terus mencobanya, tekadnya. Ia lalu keluar dan mencari Titania ke kamarnya. “Tania.” Ifa memanggil gadis itu. Tak ada jawaban. Dibukanya pintu kamarnya dengan pelan, hampir tanpa suara. Kesunyian di lantai dua ini membuat sedikit gesekan saja bisa terdengar sangat berisik. Gadis yang dicarinya itu ada di sana, di luar kamarnya. Berdiri tegak di balkon dengan tubuh yang menghadap ke barat dan mengarahkan kepalanya ke arah matahari sepert
Hari ke tujuh bulan tujuh.Altair duduk terpaku di ruang tatami-nya, memandangi taman zen di depan apartemennya dengan pandangan kosong. Langit Jakarta terlihat redup di atasnya.“Tanabata,“ desahnya. Benaknya siap merunuti kembali legenda asal Cina itu yang selama tiga puluh tahun ini mengisi sebagian ruang otaknya, bahkan tertulis dengan indahnya di dalam diary pribadinya:Long long ago, the God in the heaven had had a daughter named Orihime (means Weaver, the star Vega). She was everyday weaving cloths for the god using weaver called as tanahata. The God was anxious about too hard working daughter and one day he introduced a youngster named Kengyuh (means Cowherd, the star Altair) who also works hard taking care of cows. And they fell in love at the first glance and they now forgot their work letting the cloths of god wasted and cows in ill.The God was angry about it and let them live apart separated by
Mendekati pukul setengah dua belas, dan kehampaan mulai melanda Al lagi. Dilepasnya kacamata yang bertengger di kupingnya, diusap-usapnya kedua matanya yang terasa perih karena dipaksa melototi laporan sejak pagi tadi, dan dihempaskannya tubuhnya ke kursi kerjanya. Ia resah. Tak dihiraukannya tumpukan kertas yang ada di meja. Konsentrasinya menguap dengan begitu cepatnya . Semakin lama ia merasa jenuh dengan semua ini.Al membuka laci mejanya, lalu tangannya menggapai sebuah album foto yang selama ini disimpannya. Baru saja dibukanya lembaran pertama tetapi wajah yang hadir di sana membuat benaknya langsung teringat kembali pada sebuah nama: Titania, adik semata wayang yang telah berbulan-bulan menghilang, tepatnya sehari setelah kematian mama dan sampai sekarang belum ada kabar apapun yang mampir ke telinganya. Ia didera kerinduan sekaligus rasa cemas yang teramat sangat.Al tahu bahwa Titania telah terluka begitu dalam. Kematian mama di saat-s
Menatap tetes salju yang jatuh satu-satu, ia tangkupkan kedua telapak tangannya ke bawah dagunya, membiarkan tetes-tetes itu sesaat berada di sana lalu ia sentuhkan ke pipinya. Ada kekosongan menyelimuti raga. Ada sesuatu yang hilang saat ia menyentuh dan merasakan kelembutannya. Di mana tangan-tangan itu? Tangan yang dulu senantiasa merengkuhnya dalam hangat kasihnya. Tangan yang dengan setia membantunya menapaki masa kecilnya yang suram. Tangan yang membelai rambutnya saat ia berada di pangkuannya atau menjelang tidurnya dengan disertai sebuah kecupan manis di keningnya. Pun tangan yang sama yang senantiasa menggandengnya saat mereka berjalan-jalan bersama. Bahkan di sini, di sepanjang Rue du Chateau yang menyimpan sejuta kenangan di hatinya. Ia pernah di sini bersamanya, berfoto berdua di depan patung Nostardamus yang kini ada di sampingnya, tertawa-tawa memandangi lalu lalang orang yang lewat di depan mereka, makan malam bersama di restoran di tengah temaramnya lampu-lampu yang
Jam setengah lima sore. Ifa menutup mushaf qur’an yang baru saja dibacanya, lalu merapikan jilbabnya di depan kaca. Ia memandang pantulan wajahnya di sana beberapa menit lamanya. Ada yang kurang saat ia mengamatinya. Ia menghirup nafas dan menghempaskannya pelan-pelan. Dilapangkan hatinya dari rasa gundah yang menggelayutinya, dibebaskan pikirannya dari bisikan-bisikan emosi yang membelenggunya. Seulas senyum tersungging di bibirnya. Wajahnya yang semula muram kini berseri-seri lagi. Semangatnya telah pulih kembali. Aku akan terus mencobanya, tekadnya. Ia lalu keluar dan mencari Titania ke kamarnya. “Tania.” Ifa memanggil gadis itu. Tak ada jawaban. Dibukanya pintu kamarnya dengan pelan, hampir tanpa suara. Kesunyian di lantai dua ini membuat sedikit gesekan saja bisa terdengar sangat berisik. Gadis yang dicarinya itu ada di sana, di luar kamarnya. Berdiri tegak di balkon dengan tubuh yang menghadap ke barat dan mengarahkan kepalanya ke arah matahari sepert
Koridor itu terasa sunyi saat Ifa melangkahkan kakinya ke sana. Tak ada suara apa pun selain langkah kakinya sendiri dan gemerincing rangkaian kunci kamar yang tergenggam di tangannya. Gadis yang dicarinya belum jua dijumpainya.Ifa berusaha menenangkan pikirannya dan membuat dirinya serileks mungkin. Lalu dipilihnya salah satu kunci yang dipegangnya dan dipakainya untuk membuka ruangan yang pintunya kini berada di depannya. Ia menghela nafas pelan. Terdengar suara berderit saat pintu dibuka. Ifa melongok ke dalam, mencoba memastikan bahwa ruangan itu adalah ruangan yang pantas dimasukinya. Ruangan tempat segala kenangan masa kecil Titania tersembunyi di sana. Titania’s World. Ia membaca papan kayu yang terpasang di atas pintu, lalu tanpa ragu-ragu lagi ia masuk ke ruangan itu.Ruangan itu masih nampak bersih. Tak ada sarang laba-laba atau debu tebal yang menyelimutinya padahal Ifa sudah bersiap-siap menutup hidungnya dengan sapu tangannya. Para pelayan
Ia berdiri mematung. Khidmat. Bola matanya mengembang. Ditatapnya rintik-rintik gerimis yang mulai turun sejak dini hari tadi. Gemericik suaranya menghanyutkan pikirannya, mengalunkan nada-nada yang terdengar indah di telinga, lalu mengantarkannya pada suasana tenang. Damai. Sesaat ia merasa kesejukan menelusup ke ruang-ruang kalbunya dan menembus lorong-lorong beku yang entah sekian lamanya tak teraliri suara-suara lega. Denting air itu makin lama terdengar makin indah hingga perlahan diulurkannya kedua tangannya ke bawah tetesan hujan seraya memandangnya dengan takjub. Dingin menyentuh kulitnya. Tapi bibirnya menyunggingkan senyum menikmati kristal-kristal bening yang tercurah dari langit itu.Dipejamkannya kedua matanya. Direntangkannya kedua tangannya dan dibiarkannya angin berbisik membelai pipinya. Dihirupnya udara dengan lembut dan dihempaskannya pelan-pelan. Alam begitu tulus menawarkan kesejukan untuknya hingga entah berapa lamanya ia akan betah berdiri lama-lama men
Bayang-bayang hitam itu kian mendekat. sosoknya teramat menyeramkan. Matanya yang merah menyala menatapnya buas dan penuh amarah, seolah makhluk itu ingin menelannya hidup-hidup. Mulutnya menyeringai dan lidahnya yang panjang terjulur ke luar seraya meneteskan air liur. Menjijikkan. Tangannya terayun-ayun ke depan, memperlihatkan jari-jemarinya yang berkuku tajam. Seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu lebat. Rambutnya tergerai hingga lutut. Mengerikan.Ia ketakutan. Makhluk itu berlari ke arahnya. Sekuat tenaga ia mencoba berlari, dan berlari demi menghindari kejarannya. Napasnya terengah-engah. Mukanya pucat pasi. Keringatnya jatuh berleleran. Ia terjerembab. Susah payah ia mencoba untuk bangkit. Sementara makhluk menyeramkan itu kian mendekat. Tinggal selangkah lagi dari tempat berdirinya kini.Tiba-tiba hal yang mengejutkan terjadi. Tangan dan kakinya tak bisa digerakkan. Mulutnya terkunci. Tubuhnya seolah terpaku pada bumi. Tak ada yang bisa mendengar teriakan
Gerimis turun rintik-rintik ketika Al sampai di bandara. Bergegas ia berlari keluar dari mobilnya tanpa mempedulikan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang sumsum. Di waiting room matanya awas menyusuri deretan kursi yang setengah kosong, memperhatikan orang-orang yang lalu-lalang atau sekedar duduk dengan wajah kelelahan. Dicarinya sesosok wajah yang telah berbulan-bulan begitu ia rindukan kedatangannya. Tak ada. Ke mana perginya sang Titania? Kecemasan mulai melanda hatinya. Disusurinya kembali seisi ruangan itu. Ia kelimpungan. Rasa bahagia yang sempat menyelinap di hatinya beberapa menit yang lalu lenyap seketika. Sementara di luar sana hujan kian turun dengan lebatnya.Al menjerit dalam hati.Jangan katakan kepulanganmu hanyalah mimpi. Ttolong... agar aku percaya bahwa hidup kita bukanlah permainan belaka.“Kak... ”Al menemukannya. Suara itu terbata-bata memanggilnya. Ia menoleh dan mendapati sosok yang dicarinya ter
Akhirnya di sinilah Ifa berada, menjadi guru sukarela sebuah sekolah dasar di pinggiran kota Solo yang hampir roboh gedungnya. Tidak, ia tidak menyesal. Sebab hidup adalah pilihan. Dan keputusannya untuk mengajar anak-anak itu datang dari panggilan nuraninya. Ia tak lagi mempedulikan masalah gaji. Tak lagi mempermasalahkan spesialisasi. Di dunia yang carut-marut oleh aturan-aturan buatan manusia yang suka mengkotak-kotakkan pikiran sehingga membatasi kreativitas dan kesempatan untuk berkarya, ada banyak hal berharga yang bisa dilakukan sebagai ajang aktualisasi diri, tak harus terpaku pada keahlian yang ia punyai. Karena ilmu Allah itu maha luas, tak terdikotomi, tak terbagi-bagi. Kemampuan dan profesionalisme akan datang dengan sendirinya seiring kemauan kerasnya untuk terus belajar dari realita kehidupan yang ada.Ia lepaskan gelar sarjana tekniknya, lalu dengan bangga ditekuninya pekerjaan barunya. Anak-anak itu... ia sadar bahwa ternyata kebahagiaannya ada saat bers
Menatap tetes salju yang jatuh satu-satu, ia tangkupkan kedua telapak tangannya ke bawah dagunya, membiarkan tetes-tetes itu sesaat berada di sana lalu ia sentuhkan ke pipinya. Ada kekosongan menyelimuti raga. Ada sesuatu yang hilang saat ia menyentuh dan merasakan kelembutannya. Di mana tangan-tangan itu? Tangan yang dulu senantiasa merengkuhnya dalam hangat kasihnya. Tangan yang dengan setia membantunya menapaki masa kecilnya yang suram. Tangan yang membelai rambutnya saat ia berada di pangkuannya atau menjelang tidurnya dengan disertai sebuah kecupan manis di keningnya. Pun tangan yang sama yang senantiasa menggandengnya saat mereka berjalan-jalan bersama. Bahkan di sini, di sepanjang Rue du Chateau yang menyimpan sejuta kenangan di hatinya. Ia pernah di sini bersamanya, berfoto berdua di depan patung Nostardamus yang kini ada di sampingnya, tertawa-tawa memandangi lalu lalang orang yang lewat di depan mereka, makan malam bersama di restoran di tengah temaramnya lampu-lampu yang
Mendekati pukul setengah dua belas, dan kehampaan mulai melanda Al lagi. Dilepasnya kacamata yang bertengger di kupingnya, diusap-usapnya kedua matanya yang terasa perih karena dipaksa melototi laporan sejak pagi tadi, dan dihempaskannya tubuhnya ke kursi kerjanya. Ia resah. Tak dihiraukannya tumpukan kertas yang ada di meja. Konsentrasinya menguap dengan begitu cepatnya . Semakin lama ia merasa jenuh dengan semua ini.Al membuka laci mejanya, lalu tangannya menggapai sebuah album foto yang selama ini disimpannya. Baru saja dibukanya lembaran pertama tetapi wajah yang hadir di sana membuat benaknya langsung teringat kembali pada sebuah nama: Titania, adik semata wayang yang telah berbulan-bulan menghilang, tepatnya sehari setelah kematian mama dan sampai sekarang belum ada kabar apapun yang mampir ke telinganya. Ia didera kerinduan sekaligus rasa cemas yang teramat sangat.Al tahu bahwa Titania telah terluka begitu dalam. Kematian mama di saat-s
Hari ke tujuh bulan tujuh.Altair duduk terpaku di ruang tatami-nya, memandangi taman zen di depan apartemennya dengan pandangan kosong. Langit Jakarta terlihat redup di atasnya.“Tanabata,“ desahnya. Benaknya siap merunuti kembali legenda asal Cina itu yang selama tiga puluh tahun ini mengisi sebagian ruang otaknya, bahkan tertulis dengan indahnya di dalam diary pribadinya:Long long ago, the God in the heaven had had a daughter named Orihime (means Weaver, the star Vega). She was everyday weaving cloths for the god using weaver called as tanahata. The God was anxious about too hard working daughter and one day he introduced a youngster named Kengyuh (means Cowherd, the star Altair) who also works hard taking care of cows. And they fell in love at the first glance and they now forgot their work letting the cloths of god wasted and cows in ill.The God was angry about it and let them live apart separated by