Share

Ia Terasing

Author: Maryam Ashiya
last update Last Updated: 2021-05-24 01:23:29

Gerimis turun rintik-rintik ketika Al sampai di bandara. Bergegas ia berlari keluar dari mobilnya tanpa mempedulikan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang sumsum. Di waiting room matanya awas menyusuri deretan kursi yang setengah kosong, memperhatikan orang-orang yang lalu-lalang atau sekedar duduk dengan wajah kelelahan. Dicarinya sesosok wajah yang telah berbulan-bulan begitu ia rindukan kedatangannya. Tak ada. Ke mana perginya sang Titania? Kecemasan mulai melanda hatinya. Disusurinya kembali seisi ruangan itu. Ia kelimpungan. Rasa bahagia yang sempat menyelinap di hatinya beberapa menit yang lalu lenyap seketika. Sementara di luar sana hujan kian turun dengan lebatnya.

Al menjerit dalam hati.

Jangan katakan kepulanganmu hanyalah mimpi. Ttolong... agar aku percaya bahwa hidup kita bukanlah permainan belaka.

“Kak... ”

Al menemukannya. Suara itu terbata-bata memanggilnya. Ia menoleh dan mendapati sosok yang dicarinya terduduk sendirian di sudut ruangan. Al berlutut di depannya dan dengan tak percaya ia menyentuhkan tangannya ke pipi Titania yang cekung, menggenggam kedua tangannya, dan... betapa ia merintih melihat keadaan gadis kesayangannya itu. Wajah Titania pucat bagai mayat, tangannya kurus seperti tinggal kulit pembalut tulang, rambutnya yang dulu panjang tergerai kini dibabat habis, dan pakaian yang dikenakannya tak lebih baik untuk menutupi keadaannya yang mengenaskan. Matanya memancarkan kepedihan luar biasa. Al tak sanggup menatapnya lama-lama.

“Titania...” suaranya tertahan di tenggorokan. Hanya Tuhan yang tahu jeritan di hatinya yang menggema dan meratapi nasibnya yang semakin lama semakin tak mengerti dan tak mengenali sosok yang sangat ia sayangi itu. Hancurlah semua pengharapannya karena kini ternyata ia sudah terasing jauh dari Titania. Dirasakannya jurang yang memisahkan jiwanya dengan jiwa adiknya itu semakin luas menganga.

Dalam dekapan Al Titania menangis sejadi-jadinya, menumpahkan semua galau yang selama ini membelenggu hatinya. Kadang terisak, kadang lirih, bahkan tanpa suara. Betapa ingin Al menenangkan dan membantunya melepaskan kepenatan itu tetapi ia bagai kehilangan seluruh upaya hingga ia pun tak mampu berkata apa-apa. Tak ada rayuan. Tak ada kata-kata penghibur. Lima belas tahun melewati waktu-waktu hidupnya bersama Titania tak cukup membuatnya mengerti apa yang bisa menggembirakan dan mengobati luka adiknya itu. Ia hanya bisa terdiam. Membiarkan suara-suara itu menyayat-nyayat hati dan membuat air matanya ikut-ikutan mengalir.

Sampai fajar tiba mereka masih di sana. Suara tangisan pun tertelan oleh rintik-rintik gerimis yang berubah menjadi hujan. Tetapi Al masih tetap terjaga dan tak ingin menutup matanya demi meyakinkan dirinya bahwa Titania benar-benar ada. Ia telah kembali. Dan gadis itu kini sedang tertidur di pangkuannya. Al tak ingin mengusiknya. Dibiarkannya hal itu berlangsung lama tanpa ingin mengakhirinya. Selewat fajar mereka baru pulang ke rumah.

* * *

“Ia pergi ke Perancis. Dulu ia pernah menghabiskan masa kecilnya di sana sampai akhirnya kami sekeluarga pindah ke Indonesia. Bahkan saat liburan sekolah ia selalu melewatinya bersama mama dengan melihat-lihat perkebunan anggur di Saint Emillion, makan bersama di tepi sungai Avon, menonton opera, atau sekedar jalan-jalan menyusuri seisi kota. Kenangannya akan mama membuatnya kembali ke negeri itu untuk melakukan hal-hal yang sama dengan yang dilakukannya bersama mama sewaktu mama masih ada. Aku tahu ia melakukan semua itu dengan bermaksud untuk mengobati segala kerinduannya pada mama. Sayangnya... itu malah membuatnya jatuh ke jurang yang semakin dalam.”

Al menghela nafas berat. Di sampingnya Jack mendengarkannya dengan penuh perhatian. Sore itu mereka berdua sengaja bertemu di sebuah kafe di pinggir kota.

”Apa yang harus aku lakukan, Jack? Aku bahagia adikku telah kembali. Tetapi, entahlah... aku merasa Titania sekarang begitu jauh, tak tergapai. Segala tentangnya tak bisa lagi kumengerti. Sepanjang hari ia cuma diam dan mengurung diri dalam pikirannya sendiri.”

“Kenapa kau tak mencarikannya seorang sahabat?”

“Titania tidak butuh sahabat. Ia butuh seorang ibu.”

“Kau punya hubungan baik dengan para orang-orang di pemerintahan dan pengusaha, juga punya kesempatan untuk melakukan banyak hal. Lalu kenapa kau tidak berusaha meminta tolong pada mereka untuk membantu mencarikan ibu kandung Titania?”

 “Sudah kulakukan apa pun yang aku bisa. Kupasang iklan besar-besar di media-media ternama bahkan di media-media yang sampai ke pelosok desa. Kujanjikan hadiah besar bagi siapa pun yang bisa menemukannya. Aku datangi penjara-penjara khusus wanita, kuamati mereka satu-persatu dan kucari siapa di antara mereka yang kira-kira wajahnya mirip dengan Titania. Kuperlihatkan foto Titania semasa bayinya di semua tempat, bahkan kusuruh wanita-wanita penghibur di lokalisasi yang dekat dengan lokasi ditemukannya Titania semasa bayinya untuk melihatnya seraya berharap ada salah satu di antara mereka yang ingat dengan anak yang telah dibuangnya. Nihil, Jack. Tak ada wanita mana pun yang mau mengaku sebagai ibu kandung Titania.”

“Kalau begitu kenapa kau tidak menyadarkan Titania tentang kenyataan hidup yang harus dihadapinya? Bukankah dengan membiarkannya terus menerus terobsesi pada sesuatu yang tak ada adalah suatu tindakan yang sia-sia dan tidak mendewasakan pikirannya?”

“Aku tahu.”

“Lalu?”

“Aku takut ia akan semakin terluka bila aku memaksanya untuk sadar dari impian kosongnya. Saat ini keadaannya sudah begitu rapuh. Aku tak tega untuk melakukannya.”

“Tapi dengan begitu tak akan menyelesaikan apa-apa.”

“Kau pikir apakah dengan memaksanya keluar dari semua kebohongan itu keadaan akan menjadi lebih baik?”

“Manusia  wajib untuk terus berusaha dan pantang berputus asa.”

“Aku sudah berusaha tetapi tak ada perubahan yang berarti. Mungkin memang sudah nasibku terapung-apung terus seperti ini.”

“Kau terlalu pesimis.”

“Mungkin.”

Keduanya terdiam. Masing-masing sibuk mencari jalan keluarnya.

“Jack.”  Al memandang sahabatnya lekat-lekat. 

”Ya.”   

”Kau bahagia dengan hidupmu sekarang?”

Jack tersenyum simpul.

”Kau sudah melihatnya, lalu kenapa kau tanyakan juga? Tentu saja aku sangat bahagia dan bersyukur dikarunia sebuah lingkaran keluarga baru yang telah membimbingku menemukan makna hidupku. Mereka, kedua mertuaku yang sangat baik hati, paman, bibi, adik ipar, istri yang memahamiku dengan sepenuh hati, dan pahlawan kecilku yang manis dan lucu itu adalah anugerah terindah yang pernah kumiliki dalam hidup ini.” Al melihat binar-binar kebahagiaan terpancar dari mata Jack. Ada rasa iri yang menyusup ke hati. Seandainya ia bisa memiliki mata seperti itu.

“Masa depanku seolah suram tanpa kepastian tujuan. Tak ada bayangan dan tak bisa kumengerti apa yang sebenarnya ingin aku lakukan.“

“Itu karena kau kurang sungguh-sungguh memahami segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupanmu ini.”

“Benar.”

“Kau tahu masalahmu tetapi kau biarkan itu semua menumpuk di kepalamu. Kenapa kau tak berusaha untuk menyelesaikannya satu per satu?”

“Aku tak bisa. Karena semua yang ingin aku lakukan pasti akan berdampak pada Titania. Ikatan ini begitu kuatnya membelit hatiku hingga aku tahu harus memulainya dari mana.”

 Wajah Al terlihat sangat putus asa. Jack berpikir sejenak, lalu ia pun berkata seraya menggenggam tangan sahabatnya itu, “Al, aku bukan ingin memaksamu mengikuti prinsip yang kuanut sekarang. Tetapi... melihat penderitaanmu dan keterkatung-katungan hidupmu aku jadi ingin tahu sebenarnya di tengah ketidakberdayaanmu menghadapi semua kekalutan itu pernahkah terpikir olehmu untuk mencari sesuatu yang bisa kau jadikan pegangan, sesuatu yang bisa menjadi tempatmu mengadu dan menumpahkan semua kegalauanmu?”

Al menoleh heran.

”Bukankah sesuatu itu adalah dirimu? Hanya kau satu-satunya sahabat yang kupercaya sebagai tempat bertanya dan bercerita tentang segalanya.”

Jack menggeleng.

“Lalu sesuatu apa yang... “ kalimat Al terpotong. Sebentuk kesadaran menyelinap di benaknya. “Tuhan maksudmu?”

Kali ini Jack mengangguk.

”Al...” katanya, ”Aku tahu kau mempercayaiku sebagai orang terdekatmu. Dan aku sangat berterima kasih atas kepercayaanmu itu. Tetapi aku ini hanya manusia biasa yang sarat dengan ketidaksempurnaan dan sebenarnya tidak benar-benar bisa membantu memecahkan masalahmu. Aku sama seperti manusia-manusia lainnya, yang bisa menghibur dan berkata-kata tetapi tak berkuasa untuk menyelesaikan segalanya.  Hanya Tuhan yang benar-benar bisa menjadi sahabat sejatimu. Sahabat yang kekal dan abadi. Yang  memberimu kekuatan dan keberanian mengarungi kerasnya kehidupan. Selalu ada di dekatmu tanpa terhalangi oleh dimensi ruang dan waktu. Tidak inginkah kau memiliki sahabat seperti itu?”

Al tak mengerti. Seandainya itu diucapkan oleh Jack beberapa tahun lalu mungkin ia akan tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata yang terlalu filosofis itu, membayangkan dirinya disuruh berpikir sesuatu yang abstrak bernama ‘tuhan’. Tapi sekarang... saat melihat bahwa ternyata sesuatu yang ingin ditertawakannya itu  memiliki pengaruh yang luar biasa di dalam diri sahabatnya dan dengan kemahakuasaanya mampu mengubah segalanya, ia jadi tercenung mendengarnya. 

”Pernah. Setidaknya akhir-akhir ini setelah bertemu denganmu. Tetapi aku tak yakin apakah aku punya keinginan untuk mengikutimu. Semua ini masih terlalu asing bagiku.”

Jack menepuk punggung Al.

“Aku mengerti. Dan aku juga tidak akan memaksamu untuk mengikutiku karena tidak ada paksaan untuk memasuki agamaku. Biarlah waktu yang akan bicara. Aku hanya berharap saat-saat kau merasa sepi dan sendiri menghadapi semua ini sadarilah ada tuhan yang siap mendengar segala keluh kesahmu. Yakinlah. Percayalah. Maka Dia pasti akan datang mengulurkan cinta dan pertolongan-Nya kepadamu, dan akan kau rasakan kebebasan jiwa yang telah lama kau cari itu.”

* * *

Mereka cuma berjarak sekitar dua meter. Tetapi Al merasa seolah dirinya sedang berpijak di bulan dan Titania berada di planet Mars sana. Begitu jauhnya sampai tak bisa menyatukan dua hati kakak beradik yang telah lama tidak saling menyapa. Ataukah ia yang terlalu mengabaikan sinyal-sinyal keterasingan itu? Jarak itu sudah ada, sejak dulu. Membentang luas memisahkan ikatan kasih sayang dan kedekatan di antara mereka. Ia tercipta dan selalu muncul tiba-tiba, tak peduli saat mereka sedang bersama atau saat masing-masing keduanya larut dalam kesendiriannya. Bahkan semenjak Titania baru menapaki masa kecilnya. Dan kini jarak itu bukannya menyusut tetapi malah mengembang seluas-luasnya. Hampir tanpa batas.

“Selamat pagi, Tania,” sapanya dengan suara kaku. Diambilnya selang untuk menyiram bunga dan ikut-ikutan mengarahkannya ke tanah di pot-pot yang ada di depannya sekadar menutupi kesan kakunya.

“Pagi juga, Kak.” Gadis itu cuma menoleh sebentar ke arah Al dengan menyunggingkan sebuah senyum yang lebih mirip seringai. Suaranya lirih hampir tanpa tenaga.

Lalu keduanya terdiam dengan selang di tangan masing-masing. Al mengamati Titania yang sedang menunduk di dekat pot-pot bunga. Ia berusaha membuka percakapan.

White Goliath-nya cantik, ya,” katanya seraya menunjuk pada salah satu jenis Adenium yang pagi ini sedang mekar dengan indahnya.

“Iya.” Titania mengangguk lemah.

Red flare-nya juga.”

“Iya.”

“Lain kali kita tambah koleksi bunga kita, yuk.”

“Iya.”

“Kucing Persia kita sekarang sudah beranak, lho.”

“Iya.”

“Anaknya lucu-lucu dan gemuk-gemuk lagi.”

“Iya.”

...

Lama-lama Al tak sanggup meneruskan bicaranya. Iya. Kenapa cuma kata itu yang keluar dari bibirmu, Titania. Ayo bicaralah. Berceritalah apa saja: tentang bulan, tentang bunga-bunga, tentang langit, tentang burung-burung... aku akan mendengarkannya dengan suka cita.

Al sungguh tak tahan dengan semua kekakuan ini. Rasanya ia ingin lari membenamkan kepalanya ke tempat tidurnya dan tertidur selamanya tanpa bangun-bangun lagi.

Ia kalah.

Related chapters

  • Altair dan Sepasang Matahari   Harga Sebuah Ketulusan

    Bayang-bayang hitam itu kian mendekat. sosoknya teramat menyeramkan. Matanya yang merah menyala menatapnya buas dan penuh amarah, seolah makhluk itu ingin menelannya hidup-hidup. Mulutnya menyeringai dan lidahnya yang panjang terjulur ke luar seraya meneteskan air liur. Menjijikkan. Tangannya terayun-ayun ke depan, memperlihatkan jari-jemarinya yang berkuku tajam. Seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu lebat. Rambutnya tergerai hingga lutut. Mengerikan.Ia ketakutan. Makhluk itu berlari ke arahnya. Sekuat tenaga ia mencoba berlari, dan berlari demi menghindari kejarannya. Napasnya terengah-engah. Mukanya pucat pasi. Keringatnya jatuh berleleran. Ia terjerembab. Susah payah ia mencoba untuk bangkit. Sementara makhluk menyeramkan itu kian mendekat. Tinggal selangkah lagi dari tempat berdirinya kini.Tiba-tiba hal yang mengejutkan terjadi. Tangan dan kakinya tak bisa digerakkan. Mulutnya terkunci. Tubuhnya seolah terpaku pada bumi. Tak ada yang bisa mendengar teriakan

    Last Updated : 2021-06-20
  • Altair dan Sepasang Matahari   Menunggu Matahari

    Ia berdiri mematung. Khidmat. Bola matanya mengembang. Ditatapnya rintik-rintik gerimis yang mulai turun sejak dini hari tadi. Gemericik suaranya menghanyutkan pikirannya, mengalunkan nada-nada yang terdengar indah di telinga, lalu mengantarkannya pada suasana tenang. Damai. Sesaat ia merasa kesejukan menelusup ke ruang-ruang kalbunya dan menembus lorong-lorong beku yang entah sekian lamanya tak teraliri suara-suara lega. Denting air itu makin lama terdengar makin indah hingga perlahan diulurkannya kedua tangannya ke bawah tetesan hujan seraya memandangnya dengan takjub. Dingin menyentuh kulitnya. Tapi bibirnya menyunggingkan senyum menikmati kristal-kristal bening yang tercurah dari langit itu.Dipejamkannya kedua matanya. Direntangkannya kedua tangannya dan dibiarkannya angin berbisik membelai pipinya. Dihirupnya udara dengan lembut dan dihempaskannya pelan-pelan. Alam begitu tulus menawarkan kesejukan untuknya hingga entah berapa lamanya ia akan betah berdiri lama-lama men

    Last Updated : 2021-06-20
  • Altair dan Sepasang Matahari   Gadis Merkurius: Persahabatan Tak Butuh Simbol

    Koridor itu terasa sunyi saat Ifa melangkahkan kakinya ke sana. Tak ada suara apa pun selain langkah kakinya sendiri dan gemerincing rangkaian kunci kamar yang tergenggam di tangannya. Gadis yang dicarinya belum jua dijumpainya.Ifa berusaha menenangkan pikirannya dan membuat dirinya serileks mungkin. Lalu dipilihnya salah satu kunci yang dipegangnya dan dipakainya untuk membuka ruangan yang pintunya kini berada di depannya. Ia menghela nafas pelan. Terdengar suara berderit saat pintu dibuka. Ifa melongok ke dalam, mencoba memastikan bahwa ruangan itu adalah ruangan yang pantas dimasukinya. Ruangan tempat segala kenangan masa kecil Titania tersembunyi di sana. Titania’s World. Ia membaca papan kayu yang terpasang di atas pintu, lalu tanpa ragu-ragu lagi ia masuk ke ruangan itu.Ruangan itu masih nampak bersih. Tak ada sarang laba-laba atau debu tebal yang menyelimutinya padahal Ifa sudah bersiap-siap menutup hidungnya dengan sapu tangannya. Para pelayan

    Last Updated : 2021-06-20
  • Altair dan Sepasang Matahari   Bila Tiba Saatnya

    Jam setengah lima sore. Ifa menutup mushaf qur’an yang baru saja dibacanya, lalu merapikan jilbabnya di depan kaca. Ia memandang pantulan wajahnya di sana beberapa menit lamanya. Ada yang kurang saat ia mengamatinya. Ia menghirup nafas dan menghempaskannya pelan-pelan. Dilapangkan hatinya dari rasa gundah yang menggelayutinya, dibebaskan pikirannya dari bisikan-bisikan emosi yang membelenggunya. Seulas senyum tersungging di bibirnya. Wajahnya yang semula muram kini berseri-seri lagi. Semangatnya telah pulih kembali. Aku akan terus mencobanya, tekadnya. Ia lalu keluar dan mencari Titania ke kamarnya. “Tania.” Ifa memanggil gadis itu. Tak ada jawaban. Dibukanya pintu kamarnya dengan pelan, hampir tanpa suara. Kesunyian di lantai dua ini membuat sedikit gesekan saja bisa terdengar sangat berisik. Gadis yang dicarinya itu ada di sana, di luar kamarnya. Berdiri tegak di balkon dengan tubuh yang menghadap ke barat dan mengarahkan kepalanya ke arah matahari sepert

    Last Updated : 2021-06-20
  • Altair dan Sepasang Matahari   Monolog Tak Terbaca

    Hari ke tujuh bulan tujuh.Altair duduk terpaku di ruang tatami-nya, memandangi taman zen di depan apartemennya dengan pandangan kosong. Langit Jakarta terlihat redup di atasnya.“Tanabata,“ desahnya. Benaknya siap merunuti kembali legenda asal Cina itu yang selama tiga puluh tahun ini mengisi sebagian ruang otaknya, bahkan tertulis dengan indahnya di dalam diary pribadinya:Long long ago, the God in the heaven had had a daughter named Orihime (means Weaver, the star Vega). She was everyday weaving cloths for the god using weaver called as tanahata. The God was anxious about too hard working daughter and one day he introduced a youngster named Kengyuh (means Cowherd, the star Altair) who also works hard taking care of cows. And they fell in love at the first glance and they now forgot their work letting the cloths of god wasted and cows in ill.The God was angry about it and let them live apart separated by

    Last Updated : 2021-05-19
  • Altair dan Sepasang Matahari   Titania

    Mendekati pukul setengah dua belas, dan kehampaan mulai melanda Al lagi. Dilepasnya kacamata yang bertengger di kupingnya, diusap-usapnya kedua matanya yang terasa perih karena dipaksa melototi laporan sejak pagi tadi, dan dihempaskannya tubuhnya ke kursi kerjanya. Ia resah. Tak dihiraukannya tumpukan kertas yang ada di meja. Konsentrasinya menguap dengan begitu cepatnya . Semakin lama ia merasa jenuh dengan semua ini.Al membuka laci mejanya, lalu tangannya menggapai sebuah album foto yang selama ini disimpannya. Baru saja dibukanya lembaran pertama tetapi wajah yang hadir di sana membuat benaknya langsung teringat kembali pada sebuah nama: Titania, adik semata wayang yang telah berbulan-bulan menghilang, tepatnya sehari setelah kematian mama dan sampai sekarang belum ada kabar apapun yang mampir ke telinganya. Ia didera kerinduan sekaligus rasa cemas yang teramat sangat.Al tahu bahwa Titania telah terluka begitu dalam. Kematian mama di saat-s

    Last Updated : 2021-05-19
  • Altair dan Sepasang Matahari   Kesunyian Tiga Jiwa

    Menatap tetes salju yang jatuh satu-satu, ia tangkupkan kedua telapak tangannya ke bawah dagunya, membiarkan tetes-tetes itu sesaat berada di sana lalu ia sentuhkan ke pipinya. Ada kekosongan menyelimuti raga. Ada sesuatu yang hilang saat ia menyentuh dan merasakan kelembutannya. Di mana tangan-tangan itu? Tangan yang dulu senantiasa merengkuhnya dalam hangat kasihnya. Tangan yang dengan setia membantunya menapaki masa kecilnya yang suram. Tangan yang membelai rambutnya saat ia berada di pangkuannya atau menjelang tidurnya dengan disertai sebuah kecupan manis di keningnya. Pun tangan yang sama yang senantiasa menggandengnya saat mereka berjalan-jalan bersama. Bahkan di sini, di sepanjang Rue du Chateau yang menyimpan sejuta kenangan di hatinya. Ia pernah di sini bersamanya, berfoto berdua di depan patung Nostardamus yang kini ada di sampingnya, tertawa-tawa memandangi lalu lalang orang yang lewat di depan mereka, makan malam bersama di restoran di tengah temaramnya lampu-lampu yang

    Last Updated : 2021-05-19
  • Altair dan Sepasang Matahari   Pulang

    Akhirnya di sinilah Ifa berada, menjadi guru sukarela sebuah sekolah dasar di pinggiran kota Solo yang hampir roboh gedungnya. Tidak, ia tidak menyesal. Sebab hidup adalah pilihan. Dan keputusannya untuk mengajar anak-anak itu datang dari panggilan nuraninya. Ia tak lagi mempedulikan masalah gaji. Tak lagi mempermasalahkan spesialisasi. Di dunia yang carut-marut oleh aturan-aturan buatan manusia yang suka mengkotak-kotakkan pikiran sehingga membatasi kreativitas dan kesempatan untuk berkarya, ada banyak hal berharga yang bisa dilakukan sebagai ajang aktualisasi diri, tak harus terpaku pada keahlian yang ia punyai. Karena ilmu Allah itu maha luas, tak terdikotomi, tak terbagi-bagi. Kemampuan dan profesionalisme akan datang dengan sendirinya seiring kemauan kerasnya untuk terus belajar dari realita kehidupan yang ada.Ia lepaskan gelar sarjana tekniknya, lalu dengan bangga ditekuninya pekerjaan barunya. Anak-anak itu... ia sadar bahwa ternyata kebahagiaannya ada saat bers

    Last Updated : 2021-05-24

Latest chapter

  • Altair dan Sepasang Matahari   Bila Tiba Saatnya

    Jam setengah lima sore. Ifa menutup mushaf qur’an yang baru saja dibacanya, lalu merapikan jilbabnya di depan kaca. Ia memandang pantulan wajahnya di sana beberapa menit lamanya. Ada yang kurang saat ia mengamatinya. Ia menghirup nafas dan menghempaskannya pelan-pelan. Dilapangkan hatinya dari rasa gundah yang menggelayutinya, dibebaskan pikirannya dari bisikan-bisikan emosi yang membelenggunya. Seulas senyum tersungging di bibirnya. Wajahnya yang semula muram kini berseri-seri lagi. Semangatnya telah pulih kembali. Aku akan terus mencobanya, tekadnya. Ia lalu keluar dan mencari Titania ke kamarnya. “Tania.” Ifa memanggil gadis itu. Tak ada jawaban. Dibukanya pintu kamarnya dengan pelan, hampir tanpa suara. Kesunyian di lantai dua ini membuat sedikit gesekan saja bisa terdengar sangat berisik. Gadis yang dicarinya itu ada di sana, di luar kamarnya. Berdiri tegak di balkon dengan tubuh yang menghadap ke barat dan mengarahkan kepalanya ke arah matahari sepert

  • Altair dan Sepasang Matahari   Gadis Merkurius: Persahabatan Tak Butuh Simbol

    Koridor itu terasa sunyi saat Ifa melangkahkan kakinya ke sana. Tak ada suara apa pun selain langkah kakinya sendiri dan gemerincing rangkaian kunci kamar yang tergenggam di tangannya. Gadis yang dicarinya belum jua dijumpainya.Ifa berusaha menenangkan pikirannya dan membuat dirinya serileks mungkin. Lalu dipilihnya salah satu kunci yang dipegangnya dan dipakainya untuk membuka ruangan yang pintunya kini berada di depannya. Ia menghela nafas pelan. Terdengar suara berderit saat pintu dibuka. Ifa melongok ke dalam, mencoba memastikan bahwa ruangan itu adalah ruangan yang pantas dimasukinya. Ruangan tempat segala kenangan masa kecil Titania tersembunyi di sana. Titania’s World. Ia membaca papan kayu yang terpasang di atas pintu, lalu tanpa ragu-ragu lagi ia masuk ke ruangan itu.Ruangan itu masih nampak bersih. Tak ada sarang laba-laba atau debu tebal yang menyelimutinya padahal Ifa sudah bersiap-siap menutup hidungnya dengan sapu tangannya. Para pelayan

  • Altair dan Sepasang Matahari   Menunggu Matahari

    Ia berdiri mematung. Khidmat. Bola matanya mengembang. Ditatapnya rintik-rintik gerimis yang mulai turun sejak dini hari tadi. Gemericik suaranya menghanyutkan pikirannya, mengalunkan nada-nada yang terdengar indah di telinga, lalu mengantarkannya pada suasana tenang. Damai. Sesaat ia merasa kesejukan menelusup ke ruang-ruang kalbunya dan menembus lorong-lorong beku yang entah sekian lamanya tak teraliri suara-suara lega. Denting air itu makin lama terdengar makin indah hingga perlahan diulurkannya kedua tangannya ke bawah tetesan hujan seraya memandangnya dengan takjub. Dingin menyentuh kulitnya. Tapi bibirnya menyunggingkan senyum menikmati kristal-kristal bening yang tercurah dari langit itu.Dipejamkannya kedua matanya. Direntangkannya kedua tangannya dan dibiarkannya angin berbisik membelai pipinya. Dihirupnya udara dengan lembut dan dihempaskannya pelan-pelan. Alam begitu tulus menawarkan kesejukan untuknya hingga entah berapa lamanya ia akan betah berdiri lama-lama men

  • Altair dan Sepasang Matahari   Harga Sebuah Ketulusan

    Bayang-bayang hitam itu kian mendekat. sosoknya teramat menyeramkan. Matanya yang merah menyala menatapnya buas dan penuh amarah, seolah makhluk itu ingin menelannya hidup-hidup. Mulutnya menyeringai dan lidahnya yang panjang terjulur ke luar seraya meneteskan air liur. Menjijikkan. Tangannya terayun-ayun ke depan, memperlihatkan jari-jemarinya yang berkuku tajam. Seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu lebat. Rambutnya tergerai hingga lutut. Mengerikan.Ia ketakutan. Makhluk itu berlari ke arahnya. Sekuat tenaga ia mencoba berlari, dan berlari demi menghindari kejarannya. Napasnya terengah-engah. Mukanya pucat pasi. Keringatnya jatuh berleleran. Ia terjerembab. Susah payah ia mencoba untuk bangkit. Sementara makhluk menyeramkan itu kian mendekat. Tinggal selangkah lagi dari tempat berdirinya kini.Tiba-tiba hal yang mengejutkan terjadi. Tangan dan kakinya tak bisa digerakkan. Mulutnya terkunci. Tubuhnya seolah terpaku pada bumi. Tak ada yang bisa mendengar teriakan

  • Altair dan Sepasang Matahari   Ia Terasing

    Gerimis turun rintik-rintik ketika Al sampai di bandara. Bergegas ia berlari keluar dari mobilnya tanpa mempedulikan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang sumsum. Di waiting room matanya awas menyusuri deretan kursi yang setengah kosong, memperhatikan orang-orang yang lalu-lalang atau sekedar duduk dengan wajah kelelahan. Dicarinya sesosok wajah yang telah berbulan-bulan begitu ia rindukan kedatangannya. Tak ada. Ke mana perginya sang Titania? Kecemasan mulai melanda hatinya. Disusurinya kembali seisi ruangan itu. Ia kelimpungan. Rasa bahagia yang sempat menyelinap di hatinya beberapa menit yang lalu lenyap seketika. Sementara di luar sana hujan kian turun dengan lebatnya.Al menjerit dalam hati.Jangan katakan kepulanganmu hanyalah mimpi. Ttolong... agar aku percaya bahwa hidup kita bukanlah permainan belaka.“Kak... ”Al menemukannya. Suara itu terbata-bata memanggilnya. Ia menoleh dan mendapati sosok yang dicarinya ter

  • Altair dan Sepasang Matahari   Pulang

    Akhirnya di sinilah Ifa berada, menjadi guru sukarela sebuah sekolah dasar di pinggiran kota Solo yang hampir roboh gedungnya. Tidak, ia tidak menyesal. Sebab hidup adalah pilihan. Dan keputusannya untuk mengajar anak-anak itu datang dari panggilan nuraninya. Ia tak lagi mempedulikan masalah gaji. Tak lagi mempermasalahkan spesialisasi. Di dunia yang carut-marut oleh aturan-aturan buatan manusia yang suka mengkotak-kotakkan pikiran sehingga membatasi kreativitas dan kesempatan untuk berkarya, ada banyak hal berharga yang bisa dilakukan sebagai ajang aktualisasi diri, tak harus terpaku pada keahlian yang ia punyai. Karena ilmu Allah itu maha luas, tak terdikotomi, tak terbagi-bagi. Kemampuan dan profesionalisme akan datang dengan sendirinya seiring kemauan kerasnya untuk terus belajar dari realita kehidupan yang ada.Ia lepaskan gelar sarjana tekniknya, lalu dengan bangga ditekuninya pekerjaan barunya. Anak-anak itu... ia sadar bahwa ternyata kebahagiaannya ada saat bers

  • Altair dan Sepasang Matahari   Kesunyian Tiga Jiwa

    Menatap tetes salju yang jatuh satu-satu, ia tangkupkan kedua telapak tangannya ke bawah dagunya, membiarkan tetes-tetes itu sesaat berada di sana lalu ia sentuhkan ke pipinya. Ada kekosongan menyelimuti raga. Ada sesuatu yang hilang saat ia menyentuh dan merasakan kelembutannya. Di mana tangan-tangan itu? Tangan yang dulu senantiasa merengkuhnya dalam hangat kasihnya. Tangan yang dengan setia membantunya menapaki masa kecilnya yang suram. Tangan yang membelai rambutnya saat ia berada di pangkuannya atau menjelang tidurnya dengan disertai sebuah kecupan manis di keningnya. Pun tangan yang sama yang senantiasa menggandengnya saat mereka berjalan-jalan bersama. Bahkan di sini, di sepanjang Rue du Chateau yang menyimpan sejuta kenangan di hatinya. Ia pernah di sini bersamanya, berfoto berdua di depan patung Nostardamus yang kini ada di sampingnya, tertawa-tawa memandangi lalu lalang orang yang lewat di depan mereka, makan malam bersama di restoran di tengah temaramnya lampu-lampu yang

  • Altair dan Sepasang Matahari   Titania

    Mendekati pukul setengah dua belas, dan kehampaan mulai melanda Al lagi. Dilepasnya kacamata yang bertengger di kupingnya, diusap-usapnya kedua matanya yang terasa perih karena dipaksa melototi laporan sejak pagi tadi, dan dihempaskannya tubuhnya ke kursi kerjanya. Ia resah. Tak dihiraukannya tumpukan kertas yang ada di meja. Konsentrasinya menguap dengan begitu cepatnya . Semakin lama ia merasa jenuh dengan semua ini.Al membuka laci mejanya, lalu tangannya menggapai sebuah album foto yang selama ini disimpannya. Baru saja dibukanya lembaran pertama tetapi wajah yang hadir di sana membuat benaknya langsung teringat kembali pada sebuah nama: Titania, adik semata wayang yang telah berbulan-bulan menghilang, tepatnya sehari setelah kematian mama dan sampai sekarang belum ada kabar apapun yang mampir ke telinganya. Ia didera kerinduan sekaligus rasa cemas yang teramat sangat.Al tahu bahwa Titania telah terluka begitu dalam. Kematian mama di saat-s

  • Altair dan Sepasang Matahari   Monolog Tak Terbaca

    Hari ke tujuh bulan tujuh.Altair duduk terpaku di ruang tatami-nya, memandangi taman zen di depan apartemennya dengan pandangan kosong. Langit Jakarta terlihat redup di atasnya.“Tanabata,“ desahnya. Benaknya siap merunuti kembali legenda asal Cina itu yang selama tiga puluh tahun ini mengisi sebagian ruang otaknya, bahkan tertulis dengan indahnya di dalam diary pribadinya:Long long ago, the God in the heaven had had a daughter named Orihime (means Weaver, the star Vega). She was everyday weaving cloths for the god using weaver called as tanahata. The God was anxious about too hard working daughter and one day he introduced a youngster named Kengyuh (means Cowherd, the star Altair) who also works hard taking care of cows. And they fell in love at the first glance and they now forgot their work letting the cloths of god wasted and cows in ill.The God was angry about it and let them live apart separated by

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status