Ia berdiri mematung. Khidmat. Bola matanya mengembang. Ditatapnya rintik-rintik gerimis yang mulai turun sejak dini hari tadi. Gemericik suaranya menghanyutkan pikirannya, mengalunkan nada-nada yang terdengar indah di telinga, lalu mengantarkannya pada suasana tenang. Damai. Sesaat ia merasa kesejukan menelusup ke ruang-ruang kalbunya dan menembus lorong-lorong beku yang entah sekian lamanya tak teraliri suara-suara lega. Denting air itu makin lama terdengar makin indah hingga perlahan diulurkannya kedua tangannya ke bawah tetesan hujan seraya memandangnya dengan takjub. Dingin menyentuh kulitnya. Tapi bibirnya menyunggingkan senyum menikmati kristal-kristal bening yang tercurah dari langit itu.
Dipejamkannya kedua matanya. Direntangkannya kedua tangannya dan dibiarkannya angin berbisik membelai pipinya. Dihirupnya udara dengan lembut dan dihempaskannya pelan-pelan. Alam begitu tulus menawarkan kesejukan untuknya hingga entah berapa lamanya ia akan betah berdiri lama-lama men
Koridor itu terasa sunyi saat Ifa melangkahkan kakinya ke sana. Tak ada suara apa pun selain langkah kakinya sendiri dan gemerincing rangkaian kunci kamar yang tergenggam di tangannya. Gadis yang dicarinya belum jua dijumpainya.Ifa berusaha menenangkan pikirannya dan membuat dirinya serileks mungkin. Lalu dipilihnya salah satu kunci yang dipegangnya dan dipakainya untuk membuka ruangan yang pintunya kini berada di depannya. Ia menghela nafas pelan. Terdengar suara berderit saat pintu dibuka. Ifa melongok ke dalam, mencoba memastikan bahwa ruangan itu adalah ruangan yang pantas dimasukinya. Ruangan tempat segala kenangan masa kecil Titania tersembunyi di sana. Titania’s World. Ia membaca papan kayu yang terpasang di atas pintu, lalu tanpa ragu-ragu lagi ia masuk ke ruangan itu.Ruangan itu masih nampak bersih. Tak ada sarang laba-laba atau debu tebal yang menyelimutinya padahal Ifa sudah bersiap-siap menutup hidungnya dengan sapu tangannya. Para pelayan
Jam setengah lima sore. Ifa menutup mushaf qur’an yang baru saja dibacanya, lalu merapikan jilbabnya di depan kaca. Ia memandang pantulan wajahnya di sana beberapa menit lamanya. Ada yang kurang saat ia mengamatinya. Ia menghirup nafas dan menghempaskannya pelan-pelan. Dilapangkan hatinya dari rasa gundah yang menggelayutinya, dibebaskan pikirannya dari bisikan-bisikan emosi yang membelenggunya. Seulas senyum tersungging di bibirnya. Wajahnya yang semula muram kini berseri-seri lagi. Semangatnya telah pulih kembali. Aku akan terus mencobanya, tekadnya. Ia lalu keluar dan mencari Titania ke kamarnya. “Tania.” Ifa memanggil gadis itu. Tak ada jawaban. Dibukanya pintu kamarnya dengan pelan, hampir tanpa suara. Kesunyian di lantai dua ini membuat sedikit gesekan saja bisa terdengar sangat berisik. Gadis yang dicarinya itu ada di sana, di luar kamarnya. Berdiri tegak di balkon dengan tubuh yang menghadap ke barat dan mengarahkan kepalanya ke arah matahari sepert
Hari ke tujuh bulan tujuh.Altair duduk terpaku di ruang tatami-nya, memandangi taman zen di depan apartemennya dengan pandangan kosong. Langit Jakarta terlihat redup di atasnya.“Tanabata,“ desahnya. Benaknya siap merunuti kembali legenda asal Cina itu yang selama tiga puluh tahun ini mengisi sebagian ruang otaknya, bahkan tertulis dengan indahnya di dalam diary pribadinya:Long long ago, the God in the heaven had had a daughter named Orihime (means Weaver, the star Vega). She was everyday weaving cloths for the god using weaver called as tanahata. The God was anxious about too hard working daughter and one day he introduced a youngster named Kengyuh (means Cowherd, the star Altair) who also works hard taking care of cows. And they fell in love at the first glance and they now forgot their work letting the cloths of god wasted and cows in ill.The God was angry about it and let them live apart separated by
Mendekati pukul setengah dua belas, dan kehampaan mulai melanda Al lagi. Dilepasnya kacamata yang bertengger di kupingnya, diusap-usapnya kedua matanya yang terasa perih karena dipaksa melototi laporan sejak pagi tadi, dan dihempaskannya tubuhnya ke kursi kerjanya. Ia resah. Tak dihiraukannya tumpukan kertas yang ada di meja. Konsentrasinya menguap dengan begitu cepatnya . Semakin lama ia merasa jenuh dengan semua ini.Al membuka laci mejanya, lalu tangannya menggapai sebuah album foto yang selama ini disimpannya. Baru saja dibukanya lembaran pertama tetapi wajah yang hadir di sana membuat benaknya langsung teringat kembali pada sebuah nama: Titania, adik semata wayang yang telah berbulan-bulan menghilang, tepatnya sehari setelah kematian mama dan sampai sekarang belum ada kabar apapun yang mampir ke telinganya. Ia didera kerinduan sekaligus rasa cemas yang teramat sangat.Al tahu bahwa Titania telah terluka begitu dalam. Kematian mama di saat-s
Menatap tetes salju yang jatuh satu-satu, ia tangkupkan kedua telapak tangannya ke bawah dagunya, membiarkan tetes-tetes itu sesaat berada di sana lalu ia sentuhkan ke pipinya. Ada kekosongan menyelimuti raga. Ada sesuatu yang hilang saat ia menyentuh dan merasakan kelembutannya. Di mana tangan-tangan itu? Tangan yang dulu senantiasa merengkuhnya dalam hangat kasihnya. Tangan yang dengan setia membantunya menapaki masa kecilnya yang suram. Tangan yang membelai rambutnya saat ia berada di pangkuannya atau menjelang tidurnya dengan disertai sebuah kecupan manis di keningnya. Pun tangan yang sama yang senantiasa menggandengnya saat mereka berjalan-jalan bersama. Bahkan di sini, di sepanjang Rue du Chateau yang menyimpan sejuta kenangan di hatinya. Ia pernah di sini bersamanya, berfoto berdua di depan patung Nostardamus yang kini ada di sampingnya, tertawa-tawa memandangi lalu lalang orang yang lewat di depan mereka, makan malam bersama di restoran di tengah temaramnya lampu-lampu yang
Akhirnya di sinilah Ifa berada, menjadi guru sukarela sebuah sekolah dasar di pinggiran kota Solo yang hampir roboh gedungnya. Tidak, ia tidak menyesal. Sebab hidup adalah pilihan. Dan keputusannya untuk mengajar anak-anak itu datang dari panggilan nuraninya. Ia tak lagi mempedulikan masalah gaji. Tak lagi mempermasalahkan spesialisasi. Di dunia yang carut-marut oleh aturan-aturan buatan manusia yang suka mengkotak-kotakkan pikiran sehingga membatasi kreativitas dan kesempatan untuk berkarya, ada banyak hal berharga yang bisa dilakukan sebagai ajang aktualisasi diri, tak harus terpaku pada keahlian yang ia punyai. Karena ilmu Allah itu maha luas, tak terdikotomi, tak terbagi-bagi. Kemampuan dan profesionalisme akan datang dengan sendirinya seiring kemauan kerasnya untuk terus belajar dari realita kehidupan yang ada.Ia lepaskan gelar sarjana tekniknya, lalu dengan bangga ditekuninya pekerjaan barunya. Anak-anak itu... ia sadar bahwa ternyata kebahagiaannya ada saat bers
Gerimis turun rintik-rintik ketika Al sampai di bandara. Bergegas ia berlari keluar dari mobilnya tanpa mempedulikan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang sumsum. Di waiting room matanya awas menyusuri deretan kursi yang setengah kosong, memperhatikan orang-orang yang lalu-lalang atau sekedar duduk dengan wajah kelelahan. Dicarinya sesosok wajah yang telah berbulan-bulan begitu ia rindukan kedatangannya. Tak ada. Ke mana perginya sang Titania? Kecemasan mulai melanda hatinya. Disusurinya kembali seisi ruangan itu. Ia kelimpungan. Rasa bahagia yang sempat menyelinap di hatinya beberapa menit yang lalu lenyap seketika. Sementara di luar sana hujan kian turun dengan lebatnya.Al menjerit dalam hati.Jangan katakan kepulanganmu hanyalah mimpi. Ttolong... agar aku percaya bahwa hidup kita bukanlah permainan belaka.“Kak... ”Al menemukannya. Suara itu terbata-bata memanggilnya. Ia menoleh dan mendapati sosok yang dicarinya ter
Bayang-bayang hitam itu kian mendekat. sosoknya teramat menyeramkan. Matanya yang merah menyala menatapnya buas dan penuh amarah, seolah makhluk itu ingin menelannya hidup-hidup. Mulutnya menyeringai dan lidahnya yang panjang terjulur ke luar seraya meneteskan air liur. Menjijikkan. Tangannya terayun-ayun ke depan, memperlihatkan jari-jemarinya yang berkuku tajam. Seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu lebat. Rambutnya tergerai hingga lutut. Mengerikan.Ia ketakutan. Makhluk itu berlari ke arahnya. Sekuat tenaga ia mencoba berlari, dan berlari demi menghindari kejarannya. Napasnya terengah-engah. Mukanya pucat pasi. Keringatnya jatuh berleleran. Ia terjerembab. Susah payah ia mencoba untuk bangkit. Sementara makhluk menyeramkan itu kian mendekat. Tinggal selangkah lagi dari tempat berdirinya kini.Tiba-tiba hal yang mengejutkan terjadi. Tangan dan kakinya tak bisa digerakkan. Mulutnya terkunci. Tubuhnya seolah terpaku pada bumi. Tak ada yang bisa mendengar teriakan
Jam setengah lima sore. Ifa menutup mushaf qur’an yang baru saja dibacanya, lalu merapikan jilbabnya di depan kaca. Ia memandang pantulan wajahnya di sana beberapa menit lamanya. Ada yang kurang saat ia mengamatinya. Ia menghirup nafas dan menghempaskannya pelan-pelan. Dilapangkan hatinya dari rasa gundah yang menggelayutinya, dibebaskan pikirannya dari bisikan-bisikan emosi yang membelenggunya. Seulas senyum tersungging di bibirnya. Wajahnya yang semula muram kini berseri-seri lagi. Semangatnya telah pulih kembali. Aku akan terus mencobanya, tekadnya. Ia lalu keluar dan mencari Titania ke kamarnya. “Tania.” Ifa memanggil gadis itu. Tak ada jawaban. Dibukanya pintu kamarnya dengan pelan, hampir tanpa suara. Kesunyian di lantai dua ini membuat sedikit gesekan saja bisa terdengar sangat berisik. Gadis yang dicarinya itu ada di sana, di luar kamarnya. Berdiri tegak di balkon dengan tubuh yang menghadap ke barat dan mengarahkan kepalanya ke arah matahari sepert
Koridor itu terasa sunyi saat Ifa melangkahkan kakinya ke sana. Tak ada suara apa pun selain langkah kakinya sendiri dan gemerincing rangkaian kunci kamar yang tergenggam di tangannya. Gadis yang dicarinya belum jua dijumpainya.Ifa berusaha menenangkan pikirannya dan membuat dirinya serileks mungkin. Lalu dipilihnya salah satu kunci yang dipegangnya dan dipakainya untuk membuka ruangan yang pintunya kini berada di depannya. Ia menghela nafas pelan. Terdengar suara berderit saat pintu dibuka. Ifa melongok ke dalam, mencoba memastikan bahwa ruangan itu adalah ruangan yang pantas dimasukinya. Ruangan tempat segala kenangan masa kecil Titania tersembunyi di sana. Titania’s World. Ia membaca papan kayu yang terpasang di atas pintu, lalu tanpa ragu-ragu lagi ia masuk ke ruangan itu.Ruangan itu masih nampak bersih. Tak ada sarang laba-laba atau debu tebal yang menyelimutinya padahal Ifa sudah bersiap-siap menutup hidungnya dengan sapu tangannya. Para pelayan
Ia berdiri mematung. Khidmat. Bola matanya mengembang. Ditatapnya rintik-rintik gerimis yang mulai turun sejak dini hari tadi. Gemericik suaranya menghanyutkan pikirannya, mengalunkan nada-nada yang terdengar indah di telinga, lalu mengantarkannya pada suasana tenang. Damai. Sesaat ia merasa kesejukan menelusup ke ruang-ruang kalbunya dan menembus lorong-lorong beku yang entah sekian lamanya tak teraliri suara-suara lega. Denting air itu makin lama terdengar makin indah hingga perlahan diulurkannya kedua tangannya ke bawah tetesan hujan seraya memandangnya dengan takjub. Dingin menyentuh kulitnya. Tapi bibirnya menyunggingkan senyum menikmati kristal-kristal bening yang tercurah dari langit itu.Dipejamkannya kedua matanya. Direntangkannya kedua tangannya dan dibiarkannya angin berbisik membelai pipinya. Dihirupnya udara dengan lembut dan dihempaskannya pelan-pelan. Alam begitu tulus menawarkan kesejukan untuknya hingga entah berapa lamanya ia akan betah berdiri lama-lama men
Bayang-bayang hitam itu kian mendekat. sosoknya teramat menyeramkan. Matanya yang merah menyala menatapnya buas dan penuh amarah, seolah makhluk itu ingin menelannya hidup-hidup. Mulutnya menyeringai dan lidahnya yang panjang terjulur ke luar seraya meneteskan air liur. Menjijikkan. Tangannya terayun-ayun ke depan, memperlihatkan jari-jemarinya yang berkuku tajam. Seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu lebat. Rambutnya tergerai hingga lutut. Mengerikan.Ia ketakutan. Makhluk itu berlari ke arahnya. Sekuat tenaga ia mencoba berlari, dan berlari demi menghindari kejarannya. Napasnya terengah-engah. Mukanya pucat pasi. Keringatnya jatuh berleleran. Ia terjerembab. Susah payah ia mencoba untuk bangkit. Sementara makhluk menyeramkan itu kian mendekat. Tinggal selangkah lagi dari tempat berdirinya kini.Tiba-tiba hal yang mengejutkan terjadi. Tangan dan kakinya tak bisa digerakkan. Mulutnya terkunci. Tubuhnya seolah terpaku pada bumi. Tak ada yang bisa mendengar teriakan
Gerimis turun rintik-rintik ketika Al sampai di bandara. Bergegas ia berlari keluar dari mobilnya tanpa mempedulikan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang sumsum. Di waiting room matanya awas menyusuri deretan kursi yang setengah kosong, memperhatikan orang-orang yang lalu-lalang atau sekedar duduk dengan wajah kelelahan. Dicarinya sesosok wajah yang telah berbulan-bulan begitu ia rindukan kedatangannya. Tak ada. Ke mana perginya sang Titania? Kecemasan mulai melanda hatinya. Disusurinya kembali seisi ruangan itu. Ia kelimpungan. Rasa bahagia yang sempat menyelinap di hatinya beberapa menit yang lalu lenyap seketika. Sementara di luar sana hujan kian turun dengan lebatnya.Al menjerit dalam hati.Jangan katakan kepulanganmu hanyalah mimpi. Ttolong... agar aku percaya bahwa hidup kita bukanlah permainan belaka.“Kak... ”Al menemukannya. Suara itu terbata-bata memanggilnya. Ia menoleh dan mendapati sosok yang dicarinya ter
Akhirnya di sinilah Ifa berada, menjadi guru sukarela sebuah sekolah dasar di pinggiran kota Solo yang hampir roboh gedungnya. Tidak, ia tidak menyesal. Sebab hidup adalah pilihan. Dan keputusannya untuk mengajar anak-anak itu datang dari panggilan nuraninya. Ia tak lagi mempedulikan masalah gaji. Tak lagi mempermasalahkan spesialisasi. Di dunia yang carut-marut oleh aturan-aturan buatan manusia yang suka mengkotak-kotakkan pikiran sehingga membatasi kreativitas dan kesempatan untuk berkarya, ada banyak hal berharga yang bisa dilakukan sebagai ajang aktualisasi diri, tak harus terpaku pada keahlian yang ia punyai. Karena ilmu Allah itu maha luas, tak terdikotomi, tak terbagi-bagi. Kemampuan dan profesionalisme akan datang dengan sendirinya seiring kemauan kerasnya untuk terus belajar dari realita kehidupan yang ada.Ia lepaskan gelar sarjana tekniknya, lalu dengan bangga ditekuninya pekerjaan barunya. Anak-anak itu... ia sadar bahwa ternyata kebahagiaannya ada saat bers
Menatap tetes salju yang jatuh satu-satu, ia tangkupkan kedua telapak tangannya ke bawah dagunya, membiarkan tetes-tetes itu sesaat berada di sana lalu ia sentuhkan ke pipinya. Ada kekosongan menyelimuti raga. Ada sesuatu yang hilang saat ia menyentuh dan merasakan kelembutannya. Di mana tangan-tangan itu? Tangan yang dulu senantiasa merengkuhnya dalam hangat kasihnya. Tangan yang dengan setia membantunya menapaki masa kecilnya yang suram. Tangan yang membelai rambutnya saat ia berada di pangkuannya atau menjelang tidurnya dengan disertai sebuah kecupan manis di keningnya. Pun tangan yang sama yang senantiasa menggandengnya saat mereka berjalan-jalan bersama. Bahkan di sini, di sepanjang Rue du Chateau yang menyimpan sejuta kenangan di hatinya. Ia pernah di sini bersamanya, berfoto berdua di depan patung Nostardamus yang kini ada di sampingnya, tertawa-tawa memandangi lalu lalang orang yang lewat di depan mereka, makan malam bersama di restoran di tengah temaramnya lampu-lampu yang
Mendekati pukul setengah dua belas, dan kehampaan mulai melanda Al lagi. Dilepasnya kacamata yang bertengger di kupingnya, diusap-usapnya kedua matanya yang terasa perih karena dipaksa melototi laporan sejak pagi tadi, dan dihempaskannya tubuhnya ke kursi kerjanya. Ia resah. Tak dihiraukannya tumpukan kertas yang ada di meja. Konsentrasinya menguap dengan begitu cepatnya . Semakin lama ia merasa jenuh dengan semua ini.Al membuka laci mejanya, lalu tangannya menggapai sebuah album foto yang selama ini disimpannya. Baru saja dibukanya lembaran pertama tetapi wajah yang hadir di sana membuat benaknya langsung teringat kembali pada sebuah nama: Titania, adik semata wayang yang telah berbulan-bulan menghilang, tepatnya sehari setelah kematian mama dan sampai sekarang belum ada kabar apapun yang mampir ke telinganya. Ia didera kerinduan sekaligus rasa cemas yang teramat sangat.Al tahu bahwa Titania telah terluka begitu dalam. Kematian mama di saat-s
Hari ke tujuh bulan tujuh.Altair duduk terpaku di ruang tatami-nya, memandangi taman zen di depan apartemennya dengan pandangan kosong. Langit Jakarta terlihat redup di atasnya.“Tanabata,“ desahnya. Benaknya siap merunuti kembali legenda asal Cina itu yang selama tiga puluh tahun ini mengisi sebagian ruang otaknya, bahkan tertulis dengan indahnya di dalam diary pribadinya:Long long ago, the God in the heaven had had a daughter named Orihime (means Weaver, the star Vega). She was everyday weaving cloths for the god using weaver called as tanahata. The God was anxious about too hard working daughter and one day he introduced a youngster named Kengyuh (means Cowherd, the star Altair) who also works hard taking care of cows. And they fell in love at the first glance and they now forgot their work letting the cloths of god wasted and cows in ill.The God was angry about it and let them live apart separated by