Sore saat matahari hampir satu garis lurus di ufuk barat dengan arah pandangan manusia, anggota Fantasy Club hadir lagi dalam pertemuan yang diminta Sagara dan Caraka. Mereka sedang duduk saling berdampingan dengan Sagara yang berperan sebagai penyampai materi. Pria itu ada di depan mereka yang mendadak menjadi pusat perhatian.
Hari ini, mereka diminta menyimak tentang teori dalam teknik melepas kemampuan dengan Sagara yang berperan sebagai pembimbing. Seperti guru yang menyampaikan materi pembelajaran dengan ringkas namun jelas, pria itu menyampaikan bahan ajarnya kepada mereka. Ajaibnya, mereka bisa mengikuti pertemuan dengan baik tanpa ada halangan.
Di sela-sela waktu diskusi, Jeslyn mengangkat tangan dengan tinggi. Setelah dipersilakan Caraka sebagai orang yang mengawasi pertemuan pada hari ini, dia mengajukan pertanyaan yang ingin disampaikan. "Emang ada nggak di antara anggota kita yang pernah diminta menguasai teknik ini?" ujarnya.
Sagara mengangguk terle
Irene yang menggunakan bus sebagai transportasi darat sedang dalam perjalanan pulang. Hari hampir menjelang malam. Langit gelap juga sebentar lagi akan bersambut. Dia duduk di barisan dua paling belakang di sisi sopir. Pandangannya mengarah ke arah luar dan mengamati berbagai gedung tinggi dan gedung pencakar langit yang sudah seperti dekorasi di ibu kota nusantara.Latihan di rumah Sagara telah berakhir pada hari ini. Setelah teori tentang teknik melepas kemampuan dijelaskan oleh Sagara, ada latihan kecil sebelum menguasai kemampuan tersebut. Latihan itu tidak butuh waktu lama juga. Makanya mereka bisa selesai tepat waktu. Pulang dari latihan, dia memang tidak memiliki kegiatan lagi. Makanya keinginan untuk pulang ke rumah sudah ada di dalam kepala dan menjadi salah satu harapan.Sekitar 10 menit ke depan, bus berhenti di tempat pemberhentian bus. Di sana sudah ada beberapa kepala yang ingin naik, namun yang diutamakan terlebih dahulu adalah penumpang yang sudah menga
Beralih ke suatu tempat di Jakarta yang letaknya terpencil dari pusat kota. Tepatnya di sebuah rumah kecil yang bisa dikatakan sebagai gubuk dan letaknya ada di kawasan pemukiman padat penduduk. Akibat kawasannya yang padat, tidak jarang tempat ini selalu ada keramaian dari warga sekitar. Bisa terjadi kapan saja. Kadang ada juga yang kesannya sampai mengganggu tetangga lain.Di rumah itu, pintu rumah tidak pernah terbuka lebar. Kadang orang yang ingin bertamu dan hanya sekadar tegur sapa harus mengurungkan niatnya lantaran terkesan tidak ingin menerima tamu. Pemilik rumah juga jarang kelihatan di luar dan bergabung dengan keakraban warga lain, padahal sudah disambut dengan baik oleh mereka.Banyak yang mengira kalau pemilik rumah sibuk bekerja untuk mengais rezeki, kebetulan ada yang melihat orang itu bekerja tidak jauh dari kawasan ini. Faktanya tidak begitu. Alasan sang pemilik rumah tidak kelihatan hanya satu, karena dia tidak suka bergabung dengan orang lain.
Bertemu di satu tempat yang sama—entah itu karena suratan takdir atau memang sudah jalan cerita yang dibuat sejak zaman dahulu kala—Devin dan Mentari bertemu. Hanya saling menatap bola mata sang lawan bicara, suasana menjadi hening. Sudah biasa mengobrol banyak hal, kini malah menjadi canggung. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Hanya membiarkan udara saja dan waktu yang menyerap masa."Udah lama ... gak ketemu, ya?" ucap Mentari yang akhirnya memulai pembicaraan setelah sadar tidak ada yang berbicara. Kalau tidak ada yang memulai sesuatu, dia yang harus memulai. Dia tidak ingin membiarkan suasana seperti berada di kota mati."Iya ... udah lama emang," balas Devin yang tidak tahu alasannya malah makin gugup. Puan itu sudah berusaha menyingkirkan rasa canggung, tetapi malah dia yang tidak sanggup. Jika begini, sia-sia saja usaha sang puan untuk mencairkan suasana."Kayaknya ada yang mau lo omongin ya?" ujar Mentari yang malah melemparkan pertanyaan.
Duduk menyandarkan punggung dan meluruskan kaki di tempat relaksasi, Devin telah tertidur yang dibantu Caraka. Dia juga dipersilakan masuk ke ruangan yang lebih gelap dan lebih remang-remang dibanding ruangan lain, seperti tempat Jingga dibawa dengan cara yang sama pula. Dia tidur dengan lelap, dibantu pula oleh suasana tempat yang sunyi.Sagara yang memperhatikan proses itu dari jauh hanya bisa diam dan tidak banyak bicara. Caraka pernah berkata butuh konsentrasi tinggi untuk bisa membawa kliennya ke alam bawah sadar. Serta butuh ketenangan juga. Makanya pria itu membiarkan Caraka melakukan aksinya yang sedang menghubungi alam bawah sadar Devin.Caraka kemudian menggenggam telapak tangan Devin, menggenggamnya dengan erat seakan-akan tidak ingin melepaskannya pergi. Dia memecah keheningan dengan mengajukan pertanyaan, "Sekarang kamu bisa dengar aku?"Tanpa suara, Devin merespons dengan menganggukkan kepala satu kali. Kegiatan berhasil dilakukan. Mereka saling te
Di sisi lain, ada Mentari yang kembali menghabiskan waktu sebelum malam menjelang di kafe langganan dan tempat yang paling sering dia datangi. Kebetulan hari ini latihan diliburkan, jadi dia tidak merasa diganggu dengan banyaknya waktu kosong. Dia juga tidak punya kegiatan lain selain mengurung diri di rumah untuk mengisi hari libur. Daripada bosan, dia memutuskan pergi ke pusat kota dan pulang saat malam. Dia senang melakukannya sendirian dan kini sudah menjadi rutinitas. Walau raganya ada di kafe—beserta fisiknya juga—namun pikiran sang puan lantas tidak ada di tempat. Pikiran itu sedang melintasi ruang dan waktu, serta melintasi cahaya seperti ada di luar angkasa. Tidak ada yang tahu sudah berapa kilometer jarak yang ditempuh pikiran tersebut. Mendukung aksi, dia sedang menopang dagu dengan tangan yang ditekuk di atas meja. Sebelum ke sini, dia sibuk memikirkan apa yang akan terjadi jika dia keluar. Dia juga sibuk menimbang apa yang harus diputuskan. Hal itu karena peristiwa tempo
Waktu kosong Sagara dan Caraka diisi dengan duduk di ruang utama. Sejatinya, memang tempat ini sudah menjadi markas besar anggota Fantasy Club jika diminta berkumpul untuk membahas apa pun, termasuk membahas gaji selama menyelesaikan misi. Jika tidak ada latihan, mereka juga sering datang ke sini. Jika memang tidak ada latihan dan tidak dipanggil, selalu saja ada yang datang ke rumah. Tempat mewah ini sudah menjadi pilihan utama. Rumah ini juga sudah seperti rumah milik mereka. Dua pria itu sedang ada di ruangan. Kali ini, mereka tampak serius. Bukan lagi antara pria yang tidak akan jauh dari menonton TV. Tidak ada lagi program acara yang bisa mengalihkan atensi. Mereka kompak memasang wajah serius yang paling serius di dunia. Ruangan ini diisi oleh diskusi mereka yang sepertinya tidak akan mencapai kata putus. Tidak ada ujungnya seperti jurang yang tidak kelihatan garis akhir. Mereka sedang membahas sesuatu yang menarik, namun terkadang sampai membuat mereka adu mulut karena ada yan
Walau pesimis pada awalnya lantaran meminta izin kepada orang tua masing-masing, pada akhirnya anggota Fantasy Club bisa bepergian untuk melakukan perjalanan karyawisata. Sagara sebagai guru memastikan kalau mereka akan pulang dalam keadaan aman. Makanya mereka diberi izin agar bisa pergi liburan selama beberapa hari.Tujuan mereka sekarang ada di daerah Jakarta Selatan, tepatnya di sebuah vila yang dekat dengan hutan. Sebelum itu, Sagara sudah menyewa tempat beberapa hari sebelumnya untuk memastikan tidak akan ada yang menginap. Soal itu, dia kenal dengan pemilik vila yang menyambut dengan baik kedatangan mereka.Sebelum pergi, mereka diminta berkumpul di rumah Sagara untuk mempersiapkan banyak hal yang ingin dibawa. Selain pakaian dan obat-obatan sebagai perlengkapan utama, mereka juga membawa lima buah orang-orangan yang dimasukkan ke dalam bersama mereka. Mengenai transportasi, mereka meminjamnya dari kenalan Sagara yang memiliki bus mini. Tidak ada yang sangka kal
Setelah mengisi waktu kosong sebelum dihadapi kenyataan yang tidak pasti, anggota Fantasy Club yang menginap di Villa Rawa diundang ke ruang makan, termasuk Sagara dan Caraka. Langit gelap juga sudah bersambut di luar sana dan menjadi dekorasi paling indah di muka bumi. Mereka semangat ketika mendengar ajakan yang disampaikan oleh para karyawan. Apalagi mereka tidak perlu repot memasak makanan.Di ruang makan, kedatangan mereka sudah disambut oleh Chakra yang ada di barisan paling depan beserta beberapa karyawan vila. Tetapi ada satu insan yang mengenakan pakaian mencolok. Warna seragam yang dia gunakan yaitu warna putih terang yang suci seperti kertas putih.Mereka kompak berseru takjub atas sambutan tersebut. Ditambah makan malam yang katanya enak dan lezat seperti yang dia dengar. Sebagai pemilik vila, dia memang memegang kuasa apalagi tempat ini. Mereka ingin menjaga nama baik dengan tidak menyajikan hal paling aneh yang bisa menurunkan kualitas."Selamat da