Buah hati dari Sang Matahari.
Matahari, memang sama seperti kita.
Terbit saat wajah baru, indah ketika teredeup lelah. Seorang laki-laki kumal menyusuri jalan kehidupan, Jalan menuju surga memang sulit. Baju yang lusuh mengiringi jalannyadi sekitaran jalanan. Mencari kebutuhan diantara banyaknya, tumpukanpejalan. Terlukis di tembok ada karya sastra yang tergambar menarik. Dan kesemuanya masih belum bisa digenggam.Pagi hari tepat dihari itu, Aku dan adik makan diwarung dekat jalan. Kami memesan ayam bakar, dan jus mangga. Aroma ayam bakar, telah tercium sampai ke meja kami. Melintir keperutku yang sudah lapar dari tadi.
Pesanan pun tiba saya. Tidak sabar mencoba lezatnya aroma ayam bakar dengan saus asam manis. Kepungan butir-butir nasi hangat membuat nafsu makan sangat bergairah. Kucicipi secuil daging yang telah tersaji, gigitan pertama ayam bakar yang empuk dan nikamt itu terasa lancar hanya menyisakan sisa-sisa bumbu dijemari saya. Kakak terlihat lahap menyantap hidangannya. Kami larut dalam hidangan yang tersaji dihadapan kami.Beberapa waktu kemudian, mucul anak kecil atau mungkin remaja dengan pakaian lusuh yang menjinjing tas bawaannya. Dia menawarkan sol sepatu, kepada orang-orang yang ada didalam rumah makan itu. dengan banyak berharap ada yang mau menjahit sepatu atau sendal.
“Kak! Sol sepatunya, kak.” Ia menawarkan jasanya sambil menyodorkan tas sol yang ia bawa.
Saya terlihat kasian saat itu, bingung, lalu terlihat kebawah meja. Anak itu masih melakukan hal yang sama, tertuju mengarah ke saya yang sedang duduk. Kebetulan meja yang kami singgahi itu mejanya tidak tertutup bagian bawah. Lalu, sepasang sepasang kaki berbaut kaos kaki dan ada yang memakai sendal terpampang jelas dimeja sana.
“Sendalku masih baik, bagaimana mau dijahit?.” Saya membatin.
“ Duh, maaf yaa dek.... sendal kakak masih baik, jadi gak dijahit dulu.” Ujarku pada tawarannya.“ Kak! Sol sepatunya, kak....” Ia masih tetap menawarkan jasanya.“Maaf yaa dek... sendal yang kami pakai, masih baik. Jadi tidak dijahit dulu.” Ucap ku kepada tukang sol sepatu itu.Kemudian aku menyerahkan beberapa lembar rupiah untuk sedekah kepadanya. Ia pun menerima lalu pergi, dengan ucapan terima kasih. Ia pergi menuju ruko disamping rumah makan, disana ia duduk dengan temannya sedang memperhatikan lingkungan sekitar.
Kami kembali menatap sisa makanan, mencoba untu menghabisakan sisa-sisa maknan yang didepan kami. Berselang beberapa menit kemudian, hujan turun dengan derasnnya. Membasahi tenda-tenda dan warung-warung yang ada disekitar. Secara tak sengaja, aku menatap anak yang menawarkan jasanya tadi. Saya serentak iba. Disaat itu saya menikmati hidangan lezatnya, anak itu hanya bisa memandangi darai depan ruko. Selera makan saya mulai sedikit menghilang, tapi sisa makanan harus tetap dihabiskan agar tidak membuang makanan, dan mubazir. Sayapun menyelesaikan makanan itu dengan rasa campur aduk.
Hujan telah reda setelah lama menunggu, kami membayar dan meminta satu nasi dibungkus kepada pemilik warung. Setelah membayar kami beranjak pergi sebentar, untuk mengampiri anak tersebut dan memberikan makanan untuknya. Kami pulang dengan rasa kasihan, melihat anak tadi yang masih beranjak remaja, yang sepatutnya menempuh pendidikan kini harus usai karena meungkinan tidak ada biaya. Setetes air mata jatuh tanpa sepengetahuan adikku, mencoba mengusap agar tidak mengetahui.
Saya sering mendengar orang-orang agar berpesan berilah apa yang kita punya niatkan dalam hati sedekah, supaya rezeki kita bertambah. Senja itu aku secara tak sengaja menemui anak itu sedang membantu ibunya dijalanan, entah kemana bapaknya itu pergi.
Duduk dijalan setelah usai kuliah siang, seorang anak yang tadi berjalan kearah denganku. Ku coba bertanya kepadanya tentang sedikit perihal kehidupan mereka.
“Dek, maaf... Kenapa kamu tidak sekolah, mana ayahmu?” Ujarku dengan rasa penasran
“Iya kak, aku tidak sekolah karena tidak ada biaya. Ayah ku telah lama meninggal. Aku membantu ibu bersih-bersih jalanan.” Ucap anak itu.“Rumah kamu dimana?.” ‘’ Rumahku tidak jauh dari jalan ini. Aku dan ibuku mensyukuri apa yang telah tuhan kehendaki.”“Apa kamu lapar?.” ucap ku.“ Tidak Kak, tadi selepas siang. Ibu memberiku sepotong roti dibagi dua dengan ibu.”“Yasudah... ikut kakak sebentar, kita pergi warung depan sana.”Mereka pergi dengan anak tukang sol menuju warung depannya. Dalam batin tersedu tangis dan haru dari kisah mereka. Mereka yang tidak punya masih ingin menempuh pendidikan dengan semangat. Rasa yang tak kenal lelah telah tertanam jiwa semangat pemuda. Terkadang kita merasa cukup dengan apa yang ada, mereka yang letih berjuang dengan hasil tidak sepadan masih bisa mensyukuri atas karunia tuhan semesta alam. Ucap ku dalam batin. Tuhan selalu memberikan yang terbaik bagi orang yang selalu berbuat baik.
“Bu... beli nasi dua bungkus, sama lauknya.” Ucap ku kepada pemilik warung nasi.
“Iya nak... mohon tunggu sebentar.” Sahut pemilik warung nasi.Tak lama menunggu, mereka pergi dengan membawa sekantung pelastik dua bungkus nasi yang digenggam anak kecil tadi. Mereka berjalan menuju tempat ibunya bekerja sebagai tukang bersih-bersih jalan. Langit terasa mendung dikala menjelang malam, mereka berteduh disebuah halte didekat taman. Saling bertukar cerita sambil menuju hujan reda. Tepat waktu pukul setengah lima sore, hujan reda menghiasi langit jingga. Langkah mereka kembali berjalan tak lama sampai kepada ibunya yang risau duduk sambil menunggu. Ibu itu mengucap
“Nak... kemana saja kamu, ibu risau tak ada kamu.” Sang ibu bertanya.“Aku tadi pergi sebentar dengan kakak ini menuju warung nasi.” Ucap anak tukang sol. Sapaan ibu tukang sol ini kepadaku. Sambil memegang sapu lidi untuk bersi-bersih jalanan.“Iyaa bu, maaf tadi aku melihat anak ini sedang menawarkan jasanya kepada orang sekitar, lalu aku panggi dia dan aku ajak pergi menuju warung nasi terdekat. Ouh iya ini ada dua bungkus nasi tolong diterima buat ibu dan anaknya.” Ucap ku
“ Terima kasih nak, semoga tuhan membalas kebaikanmu.” Ucap ibu sambil tersenyum“Iya bu, aku pamit mau pulang. Dek kamu harus nurut apa yang diperintahkan ibu yaa.” Ucap ku dengan menahan sedih“Iya kak, hati-hati dijalan. Semoga selamat sampai tujuan.”Aku pergi meninggalkan ibu dan anak itu. Batin bersedih melihat perjuangan mereka. Mereka memang tak punya apa-apa, tetapi jiwa mereka masih tertanam rasa baik. Memang nadir orang seperti itu.
Disini dibatas kota ini
Tempat kaya nan indah permaiSamudranya kaya raya membentang luasTanah kami subur tuan dan puan...Aku berdiri dinegri ini
Berjuta rakyat bersimpang rugah Mereka merampas yang bukan haknyaTergusur nan laparJalanan bagi mereka adalah penghasilanUntuk hari ini, aku harap ini bisa berubah
Sang senja menyaksikan.....****
Pelayan TokoPagi, itu cuaca cerah dipersimpangan jalan.menyisakan genangan, bekas hujan tadi malam.Nyatanya semua hidup itu berbeda, tetapi kitaselalu berdampingan ditempatkan unuk saling menemukan.Biar saja tetap terulang, aku tidak pernah mendengar bahwa.Tuhan berkata kita beda tujuan.Masih ditempat yang sama. Bogor tempat indah, sejuk, dan nyaman seperti bunga yang disimpan didalam taman.Alarm, berbunyi keras disebelah tempat tidur ku. Bagiku itu adalah anugrah. Sebab kalo bangun siang jalan dikota pasti macet. Saya melirik jam di ponsel genggam ku, sudah menunjukan pukul tujuh pagi. Langkah menuju pintu kamar mandi, membilas badan lalu pergi menuju kampus.Terlihat pelayan toko sedang membersihkan halaman, dengan paras yang cantik hingga menawan. Para pedagang dan anak kecil, sedang siap-siap berniaga berkemas merapikan barang bawaannya. Langkah disertai do’a mereka, semangat yang tak kunjung pudar.
DiaryBapak Penjual KoranSeiring, kumandang adzan subuh di mesjid dekat rumahku.Ku tatap pria tak dikenal didepanku. Berharap limpahan dari rahmat-Mu.Hari esok dan seterusnya akan lebih cerah. Kulangkahkan kakiku,Beranjak pergi. Dengan harapan dan angan, mendapatkan rezeki-MuTuk arungi bahtera kehidupan. Dari pintu kamar ku terpajang dinding hiasan kamar.Menggambarkan untuk hidup semangat.Siang itu udara terik menampar pipi, keluh demi keluh terucap tanpa nalar. Secara tak sengaja, saya melihat bapak penjual koran tengah berjalan depersimpangan jalan. Sambil membawa barang dagangannya. Saya yang saat itu sedang makan siang bersama teman kampus. Awalnya aku mengira bahwa bapak itu hanya penjual koran biasa, tapi setelah kami makan aku telusuri beliau, betapa terkejutnya aku dan temanku bahwa bapak itu tidak bisa bicara yau membisu. Dipelukannya, ia membawa puluhan kabar-kabar terbaru dari majalah duni
Matahari TenggelamMatahari, setiap kali kau tenggelam.kau biasanya mengajarkan untuk ikhlas.Dalam lelah, kita belajar untuk istirahatkita hidup didunia ini untuk mencari kebaikan.Baginya pekerjaan yang terbaik adalah langkahhidup yang baik.Biasanya jika otak penat dengan pelajaran, saya biasaya keluar bersama teman dengan roda dua dikala senja. Tidak ada yang kami lakukan, hanya nongkrong diwarung tempat biasa berbagi rasa. Orang-orang pun berbondong-bondong hanya untuk memesan makanan atau minuman, hanya berkendara keliling tempat.Mungkin sebagian orang menyebutkan, bahwa jika ada yang berekendara keliling tempat disebut kurang kerjaan. Bagi saya tidak, jika hingar-bingarnya dikota ini membuat kita jenuh, disenja itu justru sebaliknya mengasikkan. Selepas jam-jam macet berlalu, kala itu diwaktu magrib pun jalanan menjadi renggang lancarnya lalu lintas, asap kendaraan pun berkurang, udara pun terasa lebih segar. Ditamb
Isi CahayaCahaya, seribu cahaya menerangi jalanmu.Seperti, matahari dan rembulan disampingmu.Sinar mu begitu terang, membuat jalan menjadi terang.Langkahmu bagaikan permata laksana bunga bercahaya,yaa kala itu dipagi hari.Perjalanan harus kutempuh dengan berjalan kaki. Kota kabupaten masih jauh, aku masih sepertiga perjalanan.Seperti biasanya kugendong tas punggung. Rasa lelah, tidak membuatku nyerah begitu saja. Suara yang coba menenangkan tidak dihiraukan. Tapi aku tida banyak waktu untuk menenangkan pikiranku, teruslah melangkah. Jalan aspal yang kulintasi semakin samar. Siang itu, langit terasa mendung untuk membuat penelitian tentang kesehatan masyarakat sepertinya hujan akan datang. Udara makin dingin, tanda-tanda akan turun hujan lebat.Aku harus cepat. Berharap cepat sampai dengan tujuanku , sebelum hujan belum membasahi jalanan. Tak peduli beberapa kali untuk melangkahkan kaki, atau jalanan yang rusak. Ketika jalan aspal l
Tetesan Air MataWalau, langkah kakiku rapuh.Aku akan tetap benerjang dan berjuang,aku akan terus maju meski langkah tak mampu.Dengan tekad, aku akan terus berhumpu.Pagi itu, cuaca indah menyambutku dari tidur. Tris yang sudah pergi dan duduk diluar menatapi pemandangan indah di kampung ini. Kampung yang indah dan damai, terbentuk dari sana gumpalan-gumpalan awan berkumpul menyelimuti dengan lembut dan kesejukan. Kampung ini tidak bisa digenggam oleh siapapun, seperti halnya awan yang terbang bebas disana.Setiap kali saya melihat awan, janya keceriaan dan kebahagiaan. Dibalik itu ada kisah perih yang menggentarkan hati, memeteskan air mata, dan melatih mental diri. Semilir angin, dari rongga langit-langit menghembus menelisik lambaian-lambaian kepak sayap burung tanpa harus terganggu. Negri ini terdapat laut yang biru, hutan yang hijau, dan banyaknya ekosistem hewan dan tumbuhan.Siang kami mulai penelitian
Semua Akan Kembali Kepada AsalnyaPada, suatu senja.Kita bercerita tentang cita-cita.Langkah berbeda menapak cahaya jingga.Melayang sekalipun kita ikut terbang.Kalau sang senja datang kita akan menyaksikan.Kembali.Ya kala itu kita bersama, berderap melangkah menuju harapan di dunia. Keindahan itu sungguh seperti sunset yang indah mempesona. Cahayanya, cakrawala, bahkan hembusan anginnya. Keindahan itu, bisa membius siapapun yang menyaksikannya untuk menjadi tenang dan damai. Kisah kita seperti sunset. Indah bahkan tidak bisa tertuliskan oleh pena hidup. Matahari itu telah menuju peristirahatanya. Matahari itu telah menyelesaikan tugas sucinya. Mencintai setulus hati . Mencintai sampai mati. “Selamat jalan teman” kisah ini akan selalu dikenang dan dipajang di majalah besar.Setiap langkah kita berbeda, aku hanya melanjutkan profesi ku sebagai alumni mahasiswa kesehatan. Kerap kali dalam buku catatan ku, menuliskan sebuah ce
Pengibaran 28 OktoberCerita berawal dari sebuah tongkrongan sepuluh sekawan dari kampung yang mengaku orang paling “pintar dan agak sedikit bodoh dengan pikiran yang sok bijak” yang kebiasaan pokok bahasan disaat sudah nongkrong cuma bisa ketawa-ketawa. Meraka adalah Sutris, Joyko, Yudi, Hapiel, Rifki, Elan, Rizal, Faisal, dan Rahmat, Ahdi. Sutris adalah pria tinggi badan besar dan penjelajah, Joyko bisa dianggap ‘’the leader’’ dengan rambut berponi, Yudi pria pencinta hewan dengan skill merawat yang baik, Hapiel bisa disebut musisi dan perayu wanita, Elan pria tampan dengan tampilan biasa, Rizal anak pemalas dengan keseharian tidur, Faisal dengan rambut kriting namun pendiam, Rahmat biasanya orang yang humoris ketika bucin, Rifki orangnya gendut subur pemain basket, Ahdi anak pencinta alam yang cerdas.Notifikasi grup berbunyi sepuluh orang itu akan berkumpul ditempat tongkrongan biasa, Mereka sepakat untuk berkumpul , e
Menyusuri Hutan Di JanuariSahabat dari kecil berdiskusi ditempat tongkrongan, merekomendasi tempat tujuan perjalanan menuju alam dan kembali dengan membawa keceriaan...BOGOR, daerah sunyi tatkala seorang sahabat bernama Faisal, Rizki ,Tris ,dan Lan. Sedang mencari surga kecil bagi mereka untuk melepaskan penat dari kesibukan dunia pendidikan, Faisal anak SMK bagian perkantoran disekolahannya menjadi primadona para perempuan, Rizki anak perhotelan yang kesibukannya hanya duduk bersandar layaknya orang dipantai, Tris sekolah SMA anak tinggi cerdas kadang gak jelas, dan Lan sekolah SMK punya skill dibidang sepak bola.Berkumpul empat orang sahabat dirumah Rizki yang sedang mencari destinasi liburan di bulan januari, musim hujan dikota Bogor melantunkan nada gitar Rizki dengan skill Bang Rhoma Irama nya. “Gaada tempat yang sejuk gitu” ucap Faisal yang dari tadi diam seribu bahasa. “ Iya nih... bosan dirumah terus... yaa kal
Semua Akan Kembali Kepada AsalnyaPada, suatu senja.Kita bercerita tentang cita-cita.Langkah berbeda menapak cahaya jingga.Melayang sekalipun kita ikut terbang.Kalau sang senja datang kita akan menyaksikan.Kembali.Ya kala itu kita bersama, berderap melangkah menuju harapan di dunia. Keindahan itu sungguh seperti sunset yang indah mempesona. Cahayanya, cakrawala, bahkan hembusan anginnya. Keindahan itu, bisa membius siapapun yang menyaksikannya untuk menjadi tenang dan damai. Kisah kita seperti sunset. Indah bahkan tidak bisa tertuliskan oleh pena hidup. Matahari itu telah menuju peristirahatanya. Matahari itu telah menyelesaikan tugas sucinya. Mencintai setulus hati . Mencintai sampai mati. “Selamat jalan teman” kisah ini akan selalu dikenang dan dipajang di majalah besar.Setiap langkah kita berbeda, aku hanya melanjutkan profesi ku sebagai alumni mahasiswa kesehatan. Kerap kali dalam buku catatan ku, menuliskan sebuah ce
Tetesan Air MataWalau, langkah kakiku rapuh.Aku akan tetap benerjang dan berjuang,aku akan terus maju meski langkah tak mampu.Dengan tekad, aku akan terus berhumpu.Pagi itu, cuaca indah menyambutku dari tidur. Tris yang sudah pergi dan duduk diluar menatapi pemandangan indah di kampung ini. Kampung yang indah dan damai, terbentuk dari sana gumpalan-gumpalan awan berkumpul menyelimuti dengan lembut dan kesejukan. Kampung ini tidak bisa digenggam oleh siapapun, seperti halnya awan yang terbang bebas disana.Setiap kali saya melihat awan, janya keceriaan dan kebahagiaan. Dibalik itu ada kisah perih yang menggentarkan hati, memeteskan air mata, dan melatih mental diri. Semilir angin, dari rongga langit-langit menghembus menelisik lambaian-lambaian kepak sayap burung tanpa harus terganggu. Negri ini terdapat laut yang biru, hutan yang hijau, dan banyaknya ekosistem hewan dan tumbuhan.Siang kami mulai penelitian
Isi CahayaCahaya, seribu cahaya menerangi jalanmu.Seperti, matahari dan rembulan disampingmu.Sinar mu begitu terang, membuat jalan menjadi terang.Langkahmu bagaikan permata laksana bunga bercahaya,yaa kala itu dipagi hari.Perjalanan harus kutempuh dengan berjalan kaki. Kota kabupaten masih jauh, aku masih sepertiga perjalanan.Seperti biasanya kugendong tas punggung. Rasa lelah, tidak membuatku nyerah begitu saja. Suara yang coba menenangkan tidak dihiraukan. Tapi aku tida banyak waktu untuk menenangkan pikiranku, teruslah melangkah. Jalan aspal yang kulintasi semakin samar. Siang itu, langit terasa mendung untuk membuat penelitian tentang kesehatan masyarakat sepertinya hujan akan datang. Udara makin dingin, tanda-tanda akan turun hujan lebat.Aku harus cepat. Berharap cepat sampai dengan tujuanku , sebelum hujan belum membasahi jalanan. Tak peduli beberapa kali untuk melangkahkan kaki, atau jalanan yang rusak. Ketika jalan aspal l
Matahari TenggelamMatahari, setiap kali kau tenggelam.kau biasanya mengajarkan untuk ikhlas.Dalam lelah, kita belajar untuk istirahatkita hidup didunia ini untuk mencari kebaikan.Baginya pekerjaan yang terbaik adalah langkahhidup yang baik.Biasanya jika otak penat dengan pelajaran, saya biasaya keluar bersama teman dengan roda dua dikala senja. Tidak ada yang kami lakukan, hanya nongkrong diwarung tempat biasa berbagi rasa. Orang-orang pun berbondong-bondong hanya untuk memesan makanan atau minuman, hanya berkendara keliling tempat.Mungkin sebagian orang menyebutkan, bahwa jika ada yang berekendara keliling tempat disebut kurang kerjaan. Bagi saya tidak, jika hingar-bingarnya dikota ini membuat kita jenuh, disenja itu justru sebaliknya mengasikkan. Selepas jam-jam macet berlalu, kala itu diwaktu magrib pun jalanan menjadi renggang lancarnya lalu lintas, asap kendaraan pun berkurang, udara pun terasa lebih segar. Ditamb
DiaryBapak Penjual KoranSeiring, kumandang adzan subuh di mesjid dekat rumahku.Ku tatap pria tak dikenal didepanku. Berharap limpahan dari rahmat-Mu.Hari esok dan seterusnya akan lebih cerah. Kulangkahkan kakiku,Beranjak pergi. Dengan harapan dan angan, mendapatkan rezeki-MuTuk arungi bahtera kehidupan. Dari pintu kamar ku terpajang dinding hiasan kamar.Menggambarkan untuk hidup semangat.Siang itu udara terik menampar pipi, keluh demi keluh terucap tanpa nalar. Secara tak sengaja, saya melihat bapak penjual koran tengah berjalan depersimpangan jalan. Sambil membawa barang dagangannya. Saya yang saat itu sedang makan siang bersama teman kampus. Awalnya aku mengira bahwa bapak itu hanya penjual koran biasa, tapi setelah kami makan aku telusuri beliau, betapa terkejutnya aku dan temanku bahwa bapak itu tidak bisa bicara yau membisu. Dipelukannya, ia membawa puluhan kabar-kabar terbaru dari majalah duni
Pelayan TokoPagi, itu cuaca cerah dipersimpangan jalan.menyisakan genangan, bekas hujan tadi malam.Nyatanya semua hidup itu berbeda, tetapi kitaselalu berdampingan ditempatkan unuk saling menemukan.Biar saja tetap terulang, aku tidak pernah mendengar bahwa.Tuhan berkata kita beda tujuan.Masih ditempat yang sama. Bogor tempat indah, sejuk, dan nyaman seperti bunga yang disimpan didalam taman.Alarm, berbunyi keras disebelah tempat tidur ku. Bagiku itu adalah anugrah. Sebab kalo bangun siang jalan dikota pasti macet. Saya melirik jam di ponsel genggam ku, sudah menunjukan pukul tujuh pagi. Langkah menuju pintu kamar mandi, membilas badan lalu pergi menuju kampus.Terlihat pelayan toko sedang membersihkan halaman, dengan paras yang cantik hingga menawan. Para pedagang dan anak kecil, sedang siap-siap berniaga berkemas merapikan barang bawaannya. Langkah disertai do’a mereka, semangat yang tak kunjung pudar.
Buah hati dari Sang Matahari.Matahari, memang sama seperti kita.Terbit saat wajah baru, indah ketika teredeup lelah.Seorang laki-laki kumal menyusuri jalan kehidupan,Jalan menuju surga memang sulit. Baju yang lusuh mengiringi jalannyadi sekitaran jalanan. Mencari kebutuhan diantara banyaknya, tumpukanpejalan. Terlukis di tembok ada karya sastra yang tergambar menarik.Dan kesemuanya masih belum bisa digenggam.Pagi hari tepat dihari itu, Aku dan adik makan diwarung dekat jalan. Kami memesan ayam bakar, dan jus mangga. Aroma ayam bakar, telah tercium sampai ke meja kami. Melintir keperutku yang sudah lapar dari tadi.Pesanan pun tiba saya. Tidak sabar mencoba lezatnya aroma ayam bakar dengan saus asam manis. Kepungan butir-butir nasi hangat membuat nafsu makan sangat bergairah. Kucicipi secuil daging yang telah tersaji, gigitan pertama ayam bakar yang empuk dan nikamt itu terasa lancar hanya menyisakan s
Sepintas Debu JalananTatapan, matanya begitu tajam.Saat kau mencari makhluk tuhan,Yang membawa kebahagiaan entah sampai kapan.Lantas kau lupa, bahwasannya yang kau cari sebenarnyaKesuksesan. Itulah hidup.Tuhan memang memiliki cara-Nya yang berbeda untuk mengingatkan kita, entah itu dari yang bencana ataupun kebahagiaan. Sejatinya manusia dibumi adalah ketentuan dari tuhan semesta alam, termasuk antara pertemuan dan perpisahan.Manusia tidak akan menyangkan sebelumnya, ketika bertemu seseorang yang baik. Darinya kita belajar bahwasanya hidup perlu penghormatan antara kasih sayang dan saling menghargai. Bisa jadi bahwa tuhan telah menentukan bahwa orang yang baik akan bersama dengan yang baik. Hal-hal itu kadang kita suka luput dari pengamatan kita, dasarnya kita harus selalu bersyukur apa yang telah ditetapkan tuhan semesta alam.Kampus di Bogor banyak sekali pedagang jalanan, dan pengamen cilik bernyanyi. Biasanya, para pedagang
Bangku TamanManusia, terbentuk dari impian.Tanpa itu kita hanyalah angan-angan biasa yang bergerakMengikuti hirup-hirup dunia kusam, tetapi tidak mengiringi iramaAlam dan Bumi. Dan impian bukan sesuatu yang absolut. Ia dapat berubah,bertambah maupun berkurang. Bagi laki-laki itu sendiri impian telah bertambah satu:melangkah beriringan bersama gadis yang bernama Annisa Cahyani.Setahun, lebih tanpa ada kabar. Aku menanyakan kabarmu lewat akun gmail untuk menanyakan kabar. Dan, akhirnya aku menyatakan perasaanku kepadamu. Maksudku, saat itu hanya ingin menanyakan kabar saja. Agar kamu tau, betapa merindunya aku disini. Aku bermaksud hanya ingin meringankan pikiranku yang gundah supaya berkurang. Namun, semoga kamu merasakan apa yang kurasa.Hay Niss, apakabar disana? Ingatkah saat kita pertama jumpa disekelas dan kita pulang bareng. Kita tinggal di kota yang sama dan kita hanya manusai yang dipertemukan dalam kospirasi alam