Meskipun ibu tak mengucap maksudnya, aku paham betul apa maksud yang diucapkan ibu. “Aamiin, Bu. Doanya gih,” ucapku dengan melayangkan senyum yang tak kalah manis darinya.Bawang merah, bawah putih, cabai serta beberapa kemiri itu sudah tampak halus, segera ku masukkan ke wajan yang sebelumnya sudah aku bubuhkan margarin, wangi khas nasi goreng menyeruak ke seluruh ruangan. Aku masukkan beberapa telur, nasi serta suiran ayam. Wanginya benar-benar menggugah selera. Atau mungkin aku yang memang merasa lapar karena semalaman telah bertarung.“Baunya enak sekali, Yu! Aku yang masih tertidur bisa terbangun karena mencium aroma masakan ini.” Bu Khofi, kakak ibu itu mengambil sendok dan membenamkannya di nasi goreng yang masih di atas wajan ini, diangkatnya sendok itu hingga terisi penuh. “Belum saya cicipi, Bude. Belum tahu asin apa enggaknya!” ucapku yang masih tak yakin dengan makanan yang ku buat.“Enak gini, kok. Rasanya pas!” ucap bude sambil menguah karena nasi goreng yang masih pa
“Ehem...,” deheman itu membuat tak sengaja menyentuh gelas kaca hingga terjatuh.Pyarr ....“Astagfirullah,”Wajahku pucat pasi, ketika melihat Mas Zul kini berdiri di ambang pintu, tangannya membawa piring dan gelas yang kotor. Segera ia meletakkan barang tersebut ke bak cucian. “Au ...,” kurasakan jari manisku tersayat serpihan kaca. Perih. Mas Zul menghampiriku dan memasukkan jari itu ke mulutnya, setelah itu ia membilas dengan air keran dan membalutnya dengan plaster. “Ada apa, Mas?” Mbak Zahra menghampiri saat aku dan Mas Zulkifli tak sengaja saling beradu pandang. Mendadak tubuhnya terlihat gemetar, hingga tubuhnya terlihat terhuyung tak kuat menahan berat badannya. “ Mbak Zahra,” ucapku kagetMas Zul dengan sigapnya mengangkat tubuh itu ke dalam pelukannya.“Sudah aku bilang, istirahat dulu di kamar.” Mas Zul membopong tubuh Mbak Zahra ke kamar sedangkan aku bergegas membersihkan serpihan kaca dengan sapu. ‘Apa yang terjadi dengan Mbak Zahra? Ia tampak tak sehat!’“Buat
Mas Zul mencoba membujuk kekasih hatinya itu untuk ikut, namun Mbak Zahra terus menolak dengan alasan fisiknya yang masih lemah, hingga ia pun menurut demi kebaikan Mbak Zahra. Sore hari setelah solat berjamaah bersama, Mbak Zahra langsung kembali ke kamar, ia diminta untuk banyak istirahat. Alhamdulillah kondisinya pun mulai membaik, wajahnya sudah terlihat segar serta tubuhnya nampak sudah sehat seperti biasanya. “Mengaji bersama ya, Dek!” Kulafalkan kata demi kata dari kitab suci ku ini, Al Qur’an. Mas Zul tampak menyimak serta mengingatkan beberapa bacaanku yang masih salah. Tak kupingkiri masa laluku begitu kelam, bahkan saat aku terus di uji dengan masalah yang bertubi keimanan ku mulai memudar, aku bahkan pernah menyalahkan Tuhan hingga aku meninggalkan rokaatku dan tak pernah lagi melafalkan namaNya.Dibalik itu semua, aku malu dengan diriku. Aku di beri takdir kebahagiaan seperti ini, memiliki keluarga yang begitu menyayangiku. Bahkan aku yang mengira nasib buruk ku akan k
“Mas ini masih pukul 03.00 kenapa ke sini? Kasihan kalau Mbak Zahra mencarimu!’“Ia yang memintaku untuk ke sini!”‘Ya Tuhan, ternyata wanita sebaik Mbak Zahra benar-benar ada, wanita Solehah yang membuat aku selalu kagum kepadanya.’“Jangan, Mas. Kamu harus adil terhadap kedua istrimu.” Aku mendorong tubuhnya melewati pintu kayu yang berukuran indah, kembali menutupnya rapat. Aku tertunduk duduk di lantai di bawah pintu tersebut, tak mampu lagi aku menahan air mata yang ingin segera luruh melihat bumi. Tak kupingkiri aku pun wanita biasa yang ingin bisa selalu bersama suamiku, Namun, aku lebih ingin suamiku adil, aku ingin aku tetap bersamanya hingga ke jannahNya kelak. **Mas Zul memasukkan dua koper ke dalam bagasi mobilnya, sedangkan dua wanita berparas ayu itu mengantar kami hingga di halaman depan, aku berpamitan kepada ibu, mencium punggung tangannya, dan dibalas dengan pelukan hangat oleh tubuh paruh baya itu. Akupun melayangkan pelukan ke tubuh mbak Zahra, nampak senyuman i
“Pak Ustad poligami?” Aku berpura-pura tak mendengar dan terus memandang suamiku, mendengarkan setiap kalimat yang diucapnya, hingga tak ku sadari sebuah bidikan kamera mengarahku, flash yang tak sengaja menghampiriku indraku. Ingin rasanya aku menasehati para wanita-wanita itu, namun aku di sini sedang membawa nama suamiku. Aku hanya berusaha diam tak berkomentar, takut menjadikan masalah untuk kehidupan Mas Zul nantinya. Beberapa kali kudengar kalimat sumbang dari mereka, membuat hatiku terasa sesak, seperti inikah rasanya menjadi yang kedua? Hanya ada hinaan dan cibiran. Acara tersebut selesai dini hari, aku menunggu Mas Zul yang masih bercengkerama dengan sahabatnya. Menjatuhkan tubuhku di jok mobil sambil kugeser jok tersebut ke arah belakang, supaya kaki jenjangku ini hanya sedikit yang tertekuk. Sebenarnya beberapa jamaah dan panitia memintaku untuk beristirahat di tempatnya, aku menolak. Bukannya apa-apa, aku masih takut di ajak bercerita mengenai hal pribadi Mas Zul, apala
“Zahra kemana, Bu?” Mas Zul nampak khawatir terhadap wanita yang melahirkannya itu. Tampaknya ia pun telah mencari kekasihnya di setiap bagian rumah ini.“Aku tidak tahu, Nang. Setelah memberikan sarapan ini, Nak Zahra tak lagi menjenguk ke kamar. Tadi saya pikir Nak Zahra sudah membukakan pintu, ternyata belum.”“Kenapa kalian pulang? Bukannya kalian bakal menginap beberapa hari di sana.”“Aku khawatir keadaan, Ibu. Dari pada hati Zul tidak tenang mending Zul pulang saja, Bu.”“Padahal aku sudah berpesan sama Nak Zahra jangan beri tahu kalian. Biarlah kalian bulan madu dulu.”“Bulan madunya di rumah saja, Bu. Sekalian bisa menemani ibu, “ jawabku.Kami berpikir Mbak Zahra ke pasar, namun hingga sinar matahari mulai surut, ia belum sampai ke rumah juga. Mas Zulkifli tampak begitu cemas, hampir se komplek perumahan ini telah ia kelilingi beberapa kali, Saat di hubungi ponselnya, justru suara dering itu terdengar dari ruang kamarnya. Ia meninggalkan layar pipih itu, tak seperti biasanya
POV. Zahra“Bu Awi, itu menantunya belum isi juga?” Beberapa warga yang hadir mengarahkan pandangan ke arahku. Mereka menatapku penuh selidik, aku hanya berpura-pura tak mendengar dan terus membagikan teh hangat untuk mereka. Hanya itulah yang mampu kulakukan.Hari ini ibu mendapat giliran acara tahlilan keluarga. Kegiatan rutin yang di lakukan warga.. Di tiap dua Minggu sekali acara itu akan di gelar dari rumah warga satu ke keluarga lainnya, mereka mengirimkan doa untuk para keluarga yang telah almarhum. Jika acara telah selesai, tuan tamu biasanya menjamu dengan minuman dan cemilan untuk para warga yang telah datang.Ibu tak menjawab, hanya terlihat senyum mengembang di bibirnya.“Coba periksa ke Dr. Alif, SpOG. Mantu saya dulu juga begitu, setelah rutin periksa Alhamdulillah di karuniai momongan.”“Atau mungkin karena faktor keturunan, Mas Zul kan tak punya saudara. Jadi biasanya memang agak susah.”“Nah, makanya, Bu. Minta anak dan mantu ibu ke Dokter, ikut program hamil.”Nada-
“Sudah Zahra lakukan, Bu. Tapi Mas Zul selalu menolak,”Percakapan itu terasa getir. Sakit memang. Namun, kalimat yang di ucap mertuaku itu memang benar. Ia juga wanita biasa, seorang ibu yang ingin menimang cucu dari anaknya. Aku tak boleh egois, apalagi beliau begitu menyayangiku.Beberapa kali aku membujuk Mas Zul, namun selalu jawaban yang sama ia lontarkan. “Baiklah, baik. Jika aku sudah menemukannya, aku akan menikah.” Kalimat itu terdengar jelas, entah itu memang dari hatinya atau sekedar basa-basi agar tak lagi meributkan masalah ini. Beberapa nama wanita sudah ku pilihkan untuknya, beberapa adalah teman kuliah dulu dan beberapanya lagi teman ku di kampung. Ia menolak, lelaki itu akan menikah jika Allah sendiri yang mempertemukan mereka. Kala itu aku sujud dalam sajadahku, memanjatkan semua hajatku, ingin rasanya memberikan kebahagiaan dengan menghadirkan anak di pangkuan ibu. Tak selang lama ponselku berbunyi, tertulis nama Mas Zul di dalamnya. Mas Zul memberikan kabar kal
Dalam kebingungan aku menatap wajah lelaki yang kini berada di sampingku. Dia tersenyum manis menyimpulkan kebahagiaan di dalamnya. Apa maksudnya? Ia membiarkan Arini pergi begitu saja dalam keadaan hamil? Bukankah Mas Zul itu suaminya? Ia wajib menafkahi lahir batin kepada dua istrinya secara adil.“Alhamdulillah, Dek! Satu persatu masalah keluarga kita telah menghilang.”“Apa maksudmu, Mas? Masalah? Arini itu istrimu, Mas! Istigfar, Mas. Jangan sampai kamu menyesal dengan membuang Arini begitu saja. Ia seorang wanita, dan ia tengah hamil, Mas.”“Nanti Mas jelaskan sambil makan bakwan hangat buatanmu.”Mas Zul mengalungkan lengannya ke pundakku.“Bakwan?” Aku melepas pelukan itu dan berlari menuju dapur, benar seperti dugaanku. Bakwan di penggorengan sudah berkepul asap dengan warna gelap. “Gosong, Mas,” ucapku sambil melirik ke arah Mas Zul yang kini berdiri di sebelahku.Ia tertawa dan diikuti Zafran yang turut serta memamerkan gigi dengan tawa riangnya.**Aku menatap luar dari
Brangkar rumah sakit menyambut kami, segera dibawanya tubuh tak berdaya itu memasuki ruang IGD, sedangkan aku berdiri mematung menunggu kabar Randi. “Maaf, Bu. Ini ponsel bapak Randi.” Seorang perawat berseragam putih itu memberikan sebuah ponsel serta dompet kepadaku.Aku melihat layar pipih itu hendak memberi kabar keluarganya. Sementara ponselku tertinggal di kamar, aku lupa membawanya. Aku memencet tombol on untuk mengaktifkan handphone yang mati ini, berharap layar pipih ini kembali menyala. Ada sebuah sandi di dalamnya. Ya Tuhan, bagaimana aku mengisi sandi itu. Beberapa kali aku mencoba memasukkan kode umum seperti 123456 dan yang lainnya. Namun, selalu sandi salah tertulis di dalamnya. Apa aku harus kembali menuju gedung tadi untuk memberi tahu keadaan Randi? Ditambah lagi hujan deras masih enggan untuk berhenti. Aku kembali memasukkan sandi yang bagiku tak masuk akal. Hari kelahiranku. Ponsel itu terbuka memasuki beranda depan. Ada rasa sakit di dalamnya, apakah sampai se
“Akadnya apa belum mulai, Umi?”“Randi, Syah. Randi ....”“Randi kenapa, Umi?”“Randi pergi.”Aku menatap Anisa yang masih duduk menunggu pengantin lelakinya datang. Aku tak tahu bagaimana perasaan wanita cantik itu saat ini, namun kuyakin pasti hatinya hancur berkeping menerima kenyataan pahit yang hampir tak terpikir oleh logika. Bagaimana mungkin lelaki itu pergi? Kenapa Randi begitu tega memberikan noda gelap dalam keluarga Anisa, wanita baik nan cantik itu.Seorang wanita paruh baya mendekati tubuh Anisa yang dari tadi duduk mematung di depan meja akadnya, sepertinya perempuan itu meminta Anisa berdiri meninggalkan ruangan. Namun, wanita cantik itu tampak enggan. Ia menggeleng dan tetap bertahan di posisinya, membuat hati ini pilu melihat kejadian itu. Kulihat beberapa kali ia mengusap matanya. Aku yakin saat ini air bening keluar dari sudut matanya. ‘Maafkan aku, Anisa!’Beberapa jam yang lalu.“Abi mana, Umi?’“Abi di kamar Umi Arini, Sayang.”“Umi Arini lagi. Ya sudah, Zafran
Suara adan saling bertaut antar mushola, kupanjatkan doa kepada sang pemilik semesta, tak lupa syukur atas nikmat sehat, nikmat anak Soleh, nikmat kebahagiaan dan nikmat rejeki. Aku kembali berkutat dengan meja dapur yang terus menemaniku beberapa tahun ini. Tak lupa seusai itu aku selalu membawa bekal untuk makan siang di tempat kerja dan untuk Zafran di kelasnya.“Dek, besok pagi kan akadnya Randi. Apa Mas pantas memakai pakaian ini?” Mas Zul mengenakan salah satu kemeja yang di ambilnya dari toko, ia mengenakan pakaian baru itu sambil menatap cermin datar yang memantul ke arahnya. Mengenakan kemeja berwarna coklat muda serta celana panjang berwarna coklat tua, membuat lelaki itu begitu sempurna.Tak sepeti biasanya, lelaki itu biasanya selalu cuek masalah penampilan, baik saat menghadiri pengajian maupun undangan pernikahan, biasanya aku atau Mbak Zahra lah yang dulu sering rusuh sendiri memilih pakaian untuk lelaki yang kita sayang. “Bagus, Mas,” ucapku sambil mengacungkan jemp
“Aisyah,” teriakan itu membuatku bergidik ngeri. Suara dari lelaki yang begitu aku kenal. Aku mendongakkan wajahku ke sumber suara.“Mas Zul,” ucapku lirih.Ia berjalan bersama wanita yang akan menjadi pendamping hidup Randi.“Ini istriku, namanya Aisyah,” ucapnya sambil menatap wanita yang mengekorinya. Mas Zul memegang pundakku dan mendekatkan tubuhku ke dalam pelukannya. Aku menatapnya dengan heran. Ada hubungan apa ia dengan Anisa, kenapa ia tiba-tiba berubah dan kembali hangat. Atau ini hanya penutup hubungan yang sudah tak harmonis lagi.“Ka – kalian saling kenal?” tanya Randi yang tak kalah kaget dariku.Wanita itu hanya tersenyum, tanpa jawaban. Setelah Anisa melihat baju yang kupilih, ia langsung mengiyakan tanpa terlebih dulu mencobanya, hingga akhirnya beberapa menit kemudian mereka pamit pulang.Aku duduk di ruang Mas Zul sambil mengibaskan kertas kecil di meja Mas Zul, AC ruangan ini belum mampu mendinginkan hatiku yang masih terasa kacau balau. Mas Zul yang terkadang b
Kepalaku teras semakin berat ketika Arini terus saja meminta haknya sebagai istri. Dari segi materi aku memang menyamakan ia dengan Aisyah tapi dari nafkah batin aku belum mampu melakukannya. “Aku belum bisa, Ar. Bukankah kamu pernah bilang kamu tak akan meminta hak istri dariku?”Arini tertawa dan menatapku sinis.“Aku ini istrimu, Mas. Aku punya hak atas dirimu dan kamu juga punya kewajiban kepadaku. Bukankah dalam Islam pernikahan itu tak boleh dijadikan permainan?”Ucapan wanita itu justru membuatku terasa di jebak olehnya. Tentang aksi bunuh dirinya, kehamilannya, dan permintaan dinikahi. Sekarang ia meminta lebih dari itu. “Ah, sudahlah,” ucapku melangkah keluar dari kamarnya. Aku memasuki kamar Aisyah yang kini sunyi, mencarinya di seluruh penjuru rumah namun tetap saja tak kudapati wanita Solehah ku itu! Apakah teguranku itu terlalu keras hingga membuatnya pergi? Aku mengambil ponselku dan mencoba melakukan panggilan ke ponselnya. Namun, lagi-lagi suara ponselnya terdengar
“Umi, kenapa Abi marah-marah? Bukankah sebelum kita berangkat Umi sudah berpesan kepada nenek untuk ijin ke luar memberi brownies!” “Abi enggak marah, Sayang! Abi Cuma salah paham.”“Abi itu marah, Umi. Abi sekarang sering marah-marah.”Aku membenamkan tubuh kecilnya ke dalam pelukan, memintanya untuk menunaikan empat rakaatnya dan kemudian tidur. Mas Zul dari tadi tak masuk ke kamar, sedangkan aku belum berani keluar, nyaliku masih ciut jika harus kembali melihat amarah suamiku. Apalagi malam ini adalah jadwalnya bersama Arini, tak mungkin juga aku meminta waktunya untuk bersamaku. Terdengar adzan subuh, aku lebih memilih berjamaah dengan Zafran di kamar. Entah kenapa hatiku masih sakit dengan suara sumbang Mas Zul yang diutarakan kepadaku. Aisyah? Ia mudah sekali memanggilku dengan nama saja tanpa ada kata dek di depannya. Seusai berjamaah, Zafran seperti biasanya mandi dan bersiap untuk sekolah sedangkan aku berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan pagi ini.“Tumben gak ikut
“Ehem...,” deheman itu membuat tak sengaja menyentuh gelas kaca hingga terjatuh.Pyarr ....“Astagfirullah,”Wajahku pucat pasi, ketika melihat Mas Zul kini berdiri di ambang pintu, tangannya membawa piring dan gelas yang kotor. Segera ia meletakkan barang tersebut ke bak cucian. “Au ...,” kurasakan jari manisku tersayat serpihan kaca. Perih. Mas Zul menghampiriku dan memasukkan jari itu ke mulutnya, setelah itu ia membilas dengan air keran dan membalutnya dengan plaster. “Ada apa, Mas?” Mbak Zahra menghampiri saat aku dan Mas Zulkifli tak sengaja saling beradu pandang. Mendadak tubuhnya terlihat gemetar, hingga tubuhnya terlihat terhuyung tak kuat menahan berat badannya. “ Mbak Zahra,” ucapku kagetMas Zul dengan sigapnya mengangkat tubuh itu ke dalam pelukannya.“Sudah aku bilang, istirahat dulu di kamar.” Mas Zul membopong tubuh Mbak Zahra ke kamar sedangkan aku bergegas membersihkan serpihan kaca dengan sapu. ‘Apa yang terjadi dengan Mbak Zahra? Ia tampak tak sehat!’“Buat
"Ini juga kenapa brownis panggang, Mbak. Aku pengennya brownis kukus," ucap wanita itu lagi.'Sabar, Aisyah. Kamu wanita yang kuat,' batinku sambil memegang dada yang terasa sesakAku menaruh brownis itu di meja di dekatnya dan berlalu begitu saja. Rasa di hatiku sedang tidak baik, pertengkaran dengan Mas Zul, tentang pernikahan Randi dan kini Arini menambah beban di pikiranku.Aku bergegas ke kamar dan memasuki kamar mandi mengguyur tubuhku dengan dinginnya air keran saat ini. Aku menangis sejadinya, meluapkan emosiku yang terus saja aku tahan. Setelah aku menemukan bahagia kini kembali lara dengan munculnya orang ketiga. Bahkan Mas Zul lelaki yang selalu menjadi panutan ku sekarang berubah acuh dan dingin. Aku Aisyah, wanita yang dulunya jadi yang kedua dan sekarang merasakan bagaimana namanya diduakan. Aku bukan Mbah Zahra yang memiliki hati lapang untuk menerima madunya. Aku belum bisa!Tangisku semakin pecah seiring dengan gemericik air yang kini menjadi peredam suara tangisan.